Rabu, 04 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (13)

Ki Singalodra terdiam sejenak. Kemudian dia menjawab, “Mereka telah membunuh anak dan isteriku, Kanjeng Pangeran...”


            Diponegoro menganggukkan kepalanya, “Ya, soal itu saya sudah mendengarnya. Itu saja?”
            “Ya, Kanjeng Pangeran...”
            “Jika demikian, kalau anak dan isterimu tidak dibunuh Belanda, maka Kisanak masih akan membela orang-orang kafir itu?” selidik Diponegoro dengan senyum tulus yang mengembang di sudut bibirnya.



            Ki Singalodra menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran... Saya memang tidak banyak paham dengan agama Islam.”


            Diponegoro memegang kedua bahu lelaki itu. “Tidak mengapa Kisanak. Apa yang dilakukan Kisanak dengan membela kafir Belanda juga dilakukan oleh banyak saudara-saudara kita. Itu disebabkan ketidaktahuan Kisanak akan agama Allah ini. Kisanak khilaf dan jika bertobat maka Allah Maha Pengampun. Sayangnya, ada banyak saudara-saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun mereka malah memilih untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan, jika mereka tidak masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin kotor dan zalimlah kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan masuk ke dalam pusat kekuasaan, tinggi sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pejabat kraton lainnya, makan semeja dengan kaum kafir, yang terjadi bukannya pejabat kraton yang terwarnai mereka, namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu agama itu malah terwarnai oleh pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan orang-orang kafir itu. Mereka yang tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana untuk menuju keridhoan Allah, sekarang banyak yang memandang dunia sebagai tujuan utama. Dunia sudah menguasai hati dan pikiran mereka, bukan lagi panji syahadah... Dan Islam telah menjadi sekadar alat untuk menipu umat dan memperkaya diri...”


            “Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu,  yang dulu hidup sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup bermewah-mewah dengan uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi memperdulikan umatnya. Tidak lagi peduli dengan perjuangan menegakkan agama Allah ini. Yang mereka pikirkan hanyalah cara agar mereka bisa bertambah kaya dan kaya...”


            Diponegoro kembali tersenyum, “Benar, Kisanak. Sebab itu, apa yang Kisanak jalani di masa lalu insya Allah akan diampuni Allah subhana wa ta’ala, karena dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini sungguh berbeda dengan para ustadz dan ulama yang sekarang sudah duduk semeja dengan penguasa. Mereka itulah kaum yang Allah katakan sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan kehidupan dunia....”


            Diponegoro menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia sungguh-sungguh prihatin dengan sikap dan kelakuan sejumlah ulama yang seperti itu. Kemudian dia bertanya lagi kepada Ki Singalodra, “Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi Belanda itu tidak lebih dari pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang baik. Kisanak harus mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan Allah. Satu-satunya niat yang benar dan lurus di dalam berjuang adalah menegakkan panji tauhid demi menggapai ridho Allah. Itu saja. Jangan campur-adukkan dengan motivasi-motivasi yang lainnya. Sebab semua itu akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad. Mengerti Kisanak?”


            “Insya Allah, saya paham, Kanjeng Pangeran...”
            “Alhamdulillah. Nah, sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?”


            Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia menatap wajah Pangeran Diponegoro. “Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja...” 


Pangeran Diponegoro akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Dengan izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan selalu berada di sisiku di dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid ini, siang dan malam. Bismillah, Kisanak....”


            Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini akhirnya luruh di kedua matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro sambil menangis sesenggukan bagai anak kecil.


“Semoga Allah subhana wa ta’ala selalu menyatukan hati kita di jalan lurus ini, Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti bisa berjumpa kembali di Jannah di dalam barisan panjang kaum mujahidin...”
            “Amien Ya Rabb al’amien....”
            Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum. Dia teringat masa kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika buyutnya adalah orang-orang hebat. “Kakek buyutmu itu, Singalodra, bernama Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan Amangkurat I membantai enamribuan ulama di Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu yang masih berusia sepuluh tahun adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan diri. Dari mulut kakek buyutmu itulah, kita semua tahu betapa Amangkurat I itu sangat lalim. Aku yakin, engkau kelak juga menjadi orang besar. Yakinlah itu!”


            Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk mendampingi dan mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah tanggungjawab besar yang hanya bisa dilakukan oleh orang hebat. []


Bab 11
  
HARI BELUM BEGITU SIANG KETIKA Pangeran Mangkubumi tiba di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi turun dari kudanya, seorang prajurit jaga dengan tergesa menghampiri dirinya dan mengatakan jika Patih Danuredjo dan Residen Smissaert yang masih berada di kraton sedang menunggunya.


            “Ada apa mereka menungguku, Suryo?”
            “Maaf Pangeran, saya kurang tahu...”


            Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju ruang kepatihan. Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan tembakau yang begitu merebak di aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan, Mangkubumi langsung masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Benar saja, di dalam kamar kerja Danuredjo, kedua orang itu sudah menunggunya.


            “Darimana saja engkau Pangeran?” sapa Smissaert yang duduk di belakang meja milik Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke atas meja. Mangkubumi benar-benar marah. Namun dia berusaha untuk bisa mengendalikan diri.


            “Menengok sawah,” jawab Mangkubumi singkat. “Ada apa Tuan Residen memanggilku?”


            Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk di sampingnya.
            “Duduk dulu Pangeran...”
            “Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.”
            “Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan secepatnya...”
            “Tugas? Secepatnya?”
            “Ya.”
            “Apa itu?”
            “Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak mengganggu ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku menunggunya di sini...”


            “Ada surat undangannya?” tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua tangannya bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan. Baginya, bersikap sombong di depan orang kafir adalah baik.


            Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi isyarat pada Danuredjo untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan disegel dengan rapi. Patih Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat yang diletakkan di atas meja kecil yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran serong di sudut ruangan.


            “Ini suratnya Tuan Residen...,” ujar Danuredjo sembari badannya membungkuk ke arah Smissaert yang masih duduk dengan pongah.


            “Berikan saja langsung ke dia...,” ujar Smissaert dengan acuh.


Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan surat itu kepada Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu merebut surat dari Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat itu langsung dimasukkan kedalam saku bajunya. Danuredjo sendiri kembali duduk di samping Smissaert seperti anak ayam berlindung di balik ketiak induknya.


            “Saya berangkat,” ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan dan keluar ruangan begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.


            Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali ke arah Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Desa Tegalredjo tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di musim hujan sangat menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak lubang. Namun bulan Juli adalah bulan musim panas. Jadi Mangkubumi bisa memacu kudanya dengan lebih cepat.


            Dari kraton menuju Tegalredjo terdapat tiga buah pos penjagaan di mana orang yang lewat harus membayar bea jalan atau pajak jalan. Namun Mangkubumi terus saja menggebrak kudanya dengan melompati portal penghalang yang ada  sehingga dia sama sekali tidak membayar pajak. Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah memakluminya. Tapi jangan coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib membayar bea jalan. Tidak ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku untuk kawulo alit, namun tidak untuk para penggede... 



Bab 12
  
IKATAN TALI KEKANG KUDA YANG dikendarai Pangeran Mangkubumi agak mengendur. Paman Diponegoro itu melambatkan kecepatan kudanya dan berhenti terlebih dahulu di bawah batang kekar Delonix Regia[1] yang berdaun lebat dengan bunga-bunga merah yang bermekaran di sana-sini. Tak sampai semenit dia sudah mengencangkan ikatan itu. Dengan sekali gebrak, kudanya pun kembali melesat.


            Usai melewati Kali Winongo di daerah Pringgokusuman, Mangkubumi melambatkan lari kudanya. Sejauh mata memandang, hamparan sawah dan kebun terlihat begitu indah. Tapi bukan itu yang membuat dia menurunkan kecepatan kudanya. Di berbagai mulut gang dan jalan desa, para lelaki dewasa, bahkan banyak yang masih remaja belasan tahun, tampak berkerumun lengkap dengan senjatanya masing-masing. Ada yang membawa golok, keris, pisau panjang, clurit, tombak atau bambu yang yang diruncingkan ujungnya, trisula, dan lain sebagainya.


            “Ada apa ini?” tanya Mangkubumi di dalam hati.


            Ketika mereka melihat siapa yang sedang berada di atas kuda, semuanya membungkukkan badan dengan takzim. Pangeran Mangkubumi menyapa mereka dengan hangat dan menghampiri salah satu dari mereka.


            “Ada apa Kisanak bergerombol seperti ini lengkap dengan senjata?” tanyanya sambil tetap berada di atas pelana kuda.


            Salah seorang bapak yang menyelipkan keris di pinggangnya menjawab, “Beribu ampun Kanjeng Pangeran. Kami ingin membela Kanjeng Pangeran Diponegoro. Kami dengar Belanda akan menangkap beliau...”


            Pangeran Mangkubumi tersenyum, “Siapa yang mengabarkan berita itu kepada kalian?”
            “Demang[2], Kanjeng Pangeran...”
            Mangkubumi kembali mengangguk-anggukan kepalanya, “Ya, Demang kalian benar...”


Lalu sebelum memacu kudanya kembali dia berpesan pada semuanya, “Saudara-saudaraku, tanah makam leluhur memang telah dipatoki Belanda dan Patih Danuredjo tadi malam. Pangeran Diponegoro sekarang memang tengah bersiap jika nanti terjadi hal-hal yang buruk. Pesan saya, tetaplah bersiaga. Sampai ada perintah selanjutnya...”


            “Inggih, Kanjeng Pangeran. Kami siap...,” sahut mereka serempak sembari mengacungkan berbagai senjata yang mereka miliki. Mangkubumi menganggukkan kepalanya kembali.


            “Allah bersama kita! Allahu Akbar!” teriaknya.
            “Allahu Akbar! Allahu Akbar!!” teriak orang-orang di bawahnya dengan bergemuruh.


            “Saya sekarang akan menemui Pangeran Diponegoro. Tunggu perkembangan selanjutnya!”


            Mangkubumi kembali memacu kudanya menuju Desa Tegalredjo yang sudah terlihat di kejauhan. Semakin mendekati Tegalredjo, semakin banyak rakyat yang berkumpul di pinggir jalan dan juga di bukit-bukit lengkap dengan senjatanya. Bahkan beberapa di antaranya sudah menunggang kuda. Perasaan haru meliputi Mangkubumi. Rakyat Yogya memang sungguh-sungguh mencintai Pangeran Diponegoro dengan perjuangannya. Bagi rakyat Yogyakarta, Diponegoro bukan lagi seorang pangeran, namun sudah menjadi sultan yang sesungguhnya. Kenyataan ini menjadikan semangat di dalam dada seorang Mangkubumi untuk berjuang di sisi keponakannya semakin besar.


            “Aku akan berdiri di sisinya!” bathin Mangkubumi mantap. []


Bab 13
  
LANGIT SIANG BEGITU CERAH. ANGKASA terlihat biru. Di beberapa bagian ke arah utara, awan tipis seputih kapas tampak berarak bagai gelombang prajurit berjubah putih yang berbaris menyongsong ke medan laga. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan raut wajah Patih Danuredjo siang itu. Usai Pangeran Mangkubumi pergi ke Tegalredjo, membawa perintah Smissaert untuk membawa Pangeran Diponegoro ke kraton, Residen Yogyakarta malah memarahi dirinya. Padahal dia sudah dengan segenap tenaga melayaninya.


            Pasalnya kabar pasukan bantuan dari Mangkunegaran belum juga ada kepastiannya. Demikian pula yang dari Sumenep dan Tidore. Padahal dari sejumlah telik sandi Belanda yang ditanam di dalam barisan Diponegoro diperoleh informasi, jika beberapa hari lalu Diponegoro telah memberikan sejumlah uang yang tidak diketahui asal sumber dananya, kepada dua orang kepercayaannya untuk dibelikan sejumlah senjata api.


Smissaert tahu, pasukan inti dari Diponegoro tidak bisa dianggap remeh. Diponegoro memiliki jaringan yang sangat kuat tidak saja di wilayah Yogyakarta, tapi juga meluas jauh melebihi garis pantai Pulau Jawa. Para pendukungnya terutama dari kalangan ulama dan pondok pesantren. Belum lagi pasukan perempuannya yang dilatih sendiri oleh Ratu Ageng. Kebanyakan dari laskar perempuannya adalah para desertir dari Bregada Langen Kesuma, yang sangat mahir dalam olah kanuragan dan juga penggunaan senjata. Semua itu ditambah dengan pasukan telik sandinya yang cukup hebat dan dapat dukungan dari akar rumput, yakni rakyat Yogyakarta dan sekitarnya.
Sebab itu, ketika belum ada jawaban pasti dari berbagai pasukan lokal yang diharapkan bisa membantu Belanda, Smissaert sangat gusar. Semua kegeraman itu ditumpahkannya pada Patih Danuredjo yang dianggapnya hanya bisa menjilat namun tidak berusaha maksimal.


“Patih, kowe sekarang sudah hidup enak. Kowe sudah menjadi sultan yang sesungguhnya dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kowe bisa dengan mudah menipu Sultan Menol yang masih lima tahun itu. Kowe punya banyak rumah, tanah, hewan ternak, dan lainnya. Perempuan mana saja yang kowe mau pasti dapat, dari yang masih gadis sampai janda kembang, dari yang masih bau kencur sampai yang sudah seperti mangga masak. Tapi kowe masih saja bekerja setengah-setengah membantu kita. Apa semuanya mau kita cabut lagi, hah!”


Dengan menyembah-nyembah tanpa memperdulikan harga diri, Patih Danuredjo memohon-mohon kepada Smissaert agar Residen Yogya itu bersabar sedikit. “Sabar, Tuan. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya. Mereka pasti datang. Tunggulah sampai sore, pasti ada berita baik buat kita...”


“Kowe menyuruh saya sabar. Enak saja. Sekarang begini saja, kalau sampai sore tidak ada kabar beritanya, maka kowe jangan harap bisa hidup dengan enak lagi...”


“Aduuuh... Janganlah sekejam itu, Tuan. Pasti, Tuan. Pasti akan ada beritanya. Mereka pasti datang...”


“Sudahlah! Cepat kowe atur itu orang-orang agar kowe bisa selamat!”


“Baik. Baik, Tuan. Saya akan atur semuanya.”


Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Smissaert beranjak dari kursinya dan berjalan keluar ruangan menuju kamar tidur. Dia agaknya masih mengantuk setelah semalaman hingga dini hari berpesta pora. Patih Danuredjo sendiri keluar dari ruangan kerjanya dan memerintahkan agar prajurit jaga memanggil Ki Sentono, salah seorang kepercayaannya.


“Cari dia cepat! Suruh dia selekasnya menghadapku!” ujar Danuredjo.


Suryo Widhuro, sang prajurit jaga ruangan kepatihan siang itu, segera berlari. Danuredjo kembali ke ruangannya dan mencoba untuk menenangkan diri. Hatinya benar-benar panas mendapat omelan dari Smissaert. Dia mengutuk Belanda itu. Namun hanya itu yang bisa dilakukannya. Hidupnya sepenuhnya tergantung pada orang itu. Segala kenikmatan dan kelezatan hidupnya diperoleh berkat pengabdiannya kepada Belanda.


Duduk seorang diri di ruangan kerjanya membuat Danuredjo tidak kerasan. Dia lalu berdiri dan membuka pintu samping yang langsung menuju kamar tidurnya. Dengan perlahan tangannya memegang gagang kunci dan mendorong pintu itu kedalam. Dari pintu yang terbuka, Danuredjo bisa mengintip seorang perempuan muda masih berkemul di atas pembaringan. Kedua matanya masih tertutup. Pundaknya yang putih mulus tersingkap. Juga betisnya. Pemandangan itu membuat darah Danuredjo naik sampai ke ubun-ubun. Kelelakiannya serasa terbakar kembali. Dengan cepat dan hati-hati dia segera mengunci pintu kamar. Lalu bagai seekor serigala kelaparan, dia langsung melompat ke tempat tidur. Perempuan itu terbangun. Dia malah tersenyum ketika melihat Danuredjo yang datang.


RESIDEN YOGYAKARTA A.H. Smissaert tidak langsung menuju kamar tidurnya. Wakil Residen Chevallier mencegatnya beberapa tombak dari pintu kamar tidur residen tersebut.


            “Tuan memanggilku?” tanya Chevallier. Letnan Satu Kavaleri peraih medali kehormatan Ridder M.W.O dalam Palagan Waterloo[3] ini memberikan military salute[4] dengan sikap tubuh tegak sempurna. Residen Smissaert hanya menganggukkan kepalanya.    


“Ya. Pagi ini juga kau siapkan pasukan kita di Yogyakarta. Cek juga bantuan dari Magelang dan Semarang. Bila perlu hubungi langsung Kolonel Von Jett yang ada di sana. Kita akan segera menangkap Diponegoro. Pemberontak itu sekarang sudah punya pasukan bersenjata, kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan...”


Di dalam hatinya Chevallier tertawa. Dia sudah tahu semua perkembangan terkini dari Residen Surakarta Mac Gillavry. Namun wajahnya tetap menunjukkan sikap profesionalnya sebagai Wakil Residen.


“Siap, laksanakan!” [] (Bersambung)


[1] Nama latin untuk tumbuhan Bunga Flamboyan.
[2] Semacam kepala desa.
[3] Palagan atau Pertempuran Waterloo terjadi pada tahun...... antara pasukan Prancis di bawah komando Jenderal Napoleon Bonaperte melawan
[4] Military Salute adalah pemberian hormat secara militer dengan tangan kanan diangkat setinggi pelipis atau di atas mata kanan. Hampir seluruh pasukan di dunia modern sekarang masih menggunakan cara penghormatan seperti ini. 


"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...