Eramuslim.com
Residen Yogyakarta ini kemudian berteriak agar prajurit jaga memanggil Patih Danuredjo, “Panggil itu patih ke sini menghadapku!”
Suryo Widhuro, sang prajurit penjaga kamar kepatihan, segera menghadap, “Inggih, Tuan Residen.”
Tak lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh Patih Danuredjo datang ke ruangan di mana Smissaert berada. Baginya, panggilan dari residen Belanda merupakan panggilan yang sangat penting. Melihat wajahnya yang kusut, Danuredjo sepertinya juga baru terbangun dari mimpinya.
“Ada apa Tuan Residen memanggil saya pagi-pagi begini?”
“Diponegoro marah. Kowe harus baca itu surat!” ujar Belanda itu sambil melemparkan sebuah gulungan surat yang sudah terbuka segelnya. Patih Danuredjo dengan sigap menangkap gulungan surat itu dan membukanya. Wajahnya kemudian terlihat berseri-seri.
“Ha.. ha.. ha.. Ini bagus. Apa aku bilang. Dia marah besar. Sebaiknya orang kita memeriksa patok-patok yang ada di tanah makam itu sekarang juga. Jika dirusak, kita pasang lagi. Dan pagi ini juga kita panggil Diponegoro untuk menghadap kesini untuk menjelaskan tentang surat ini. Dia meminta Tuan untuk memecat saya. Ini sudah makar! Kita tangkap saja orang itu di sini!”
Smissaert mengangguk-angguk, “Well, kowe benar-benar pintar Danuredjo! Ya, periksa patok-patok itu sekarang dan kita panggil Diponegoro ke sini segera.”
Danuredjo ikut mengangguk dan terdiam. Biasanya, jika sedang demikian, orang itu tengah memikirkan sesuatu atau menyusun rencana. Benar saja. Tiba-tiba dia menyebut Pangeran Mangkubumi.
“Tuan Residen, Diponegoro masih sangat menghormati Pangeran Mangkubumi. Aku juga curiga dengan orang itu. Bagaimana kalau Mangkubumi saja yang kita suruh untuk menghadap Diponegoro dan menyampaikan undangan kita itu.”
“Bagus, itu juga rencana yang bagus.”
“Ya, saya takut kalau kita kirim kurir biasa, pemimpin pemberontak itu tidak akan mau datang.”
“Baiklah, kowe atur saja. Yang penting segera undang itu pemberontak Diponegoro ke sini menghadap kita. Kita tawarkan saja jabatan di kraton ini. Jika dia menolak ya tangkap saja.”
“Jabatan di kraton?” tukas Danuredjo agak curiga.
Smissaert terkekeh, “Jangan takut Patih, kowe tidak perlu cemas seperti itu...”
Danuredjo mengangguk-angguk tanda senang. “Ya, Tuan Residen. Saya tahu itu. Tapi menurut hemat saya, kita juga harus tetap menyiagakan pasukan, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak kita duga.”
“Benar juga katamu. Kalau begitu panggil saja Chevallier ke sini. Di mana dia sekarang? Dan jangan lupa, kita panggil juga si Mangkubumi...” []
Bab 10
NUSANTARA ADALAH TEMPAT DI MANA ALLAH menitipkan sebagian kekayaan surga-Nya. Tanah dan air Nusantara teramat subur. Kekayaan alamnya berlimpah-ruah. Udaranya bersih dan iklimnya bersahabat. Letak Nusantara juga paling strategis di antara tempat di mana pun di dunia, di pandang dari segi apa pun. Inilah yang menyebabkan negeri ini sejak berabad lalu hingga sekarang menjadi rebutan kaum imperialisme dan kolonialis dunia, seperti halnya kafir Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, dan sekarang Belanda.
Ironisnya, walau turun-temurun telah menjadi penghuni wilayah yang sangat istimewa ini, rakyat Nusantara dari tahun ke tahun bukannya bertambah makmur dan sejahtera, malah bertambah miskin dan melarat. Belanda mengatakan jika hal itu disebabkan kemalasan dari orang-orang pribumi. Namun bagi Diponegoro, tudingan itu sama sekali tidak berdasar. Sebagai orang yang tumbuh besar bersama rakyat, dia tahu jika sejak sinar matahari menyingsing, sudah banyak orang-orang pribumi yang pergi ke sawah dengan cangkulnya, dan ada pula yang pergi ke pasar untuk menjual hasil bumi, atau menjual jasa sebagai tenaga angkut. Dan mereka baru berhenti atau pulang ketika matahari sudah jauh condong ke barat.
Bangsa ini adalah bangsa yang sangat rajin dan pekerja keras, namun jika bangsa yang seperti ini malah menjadi miskin dan melarat, maka pasti ada sesuatu yang salah dengan sistem kekuasaan yang ada.
Bagi seorang Diponegoro, satu-satunya jalan untuk mengeluarkan bangsanya dari kemiskinan adalah dengan mengusir penguasa kafir dari Nusantara dan menginsyafkan orang-orang pribumi yang sudah menjadi pelayan setianya. Thagut harus ditumbangkan dan dihancurkan, diganti dengan sistem sosial dan kemasyarakatan yang berkeadilan. Bukannya dengan mendekati thagut. Hal itu hanya bisa dicapai dengan perjuangan berlandaskan akidah yang kuat, lurus dan benar, dan sama sekali tidak bisa bekerjasama atau berkoalisi dengan Thagut atau kemungkaran.
“Kanjeng Pangeran...,” tiba-tiba Ki Singalodra sudah berdiri di sampingnya. Lelaki kekar dengan jambang dan janggut yang lebat ini—sehingga sangat mirip dengan seorang Warok Ponorogo—sekarang wajahnya terlihat lebih bersih dan rapi. Pangeran Diponegoro yang tengah berdiri melihat sawah yang membentang di hadapannya dengan latar belakang Gunung Merapi, menoleh ke samping. Ketika mengetahui siapa yang datang, Pangeran tersenyum.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ki Singalodra..”
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh, Kanjeng Pangeran...”
“Ada apa, Kisanak?”
Ki Singalodra menundukkan kepalanya.
“Kanjeng Pangeran... Terima kasih sudah menerima saya sebagai bagian dari barisan ini. Saya sebenarnya punya satu permintaan, maaf jika Kanjeng Pangeran nantinya tidak berkenan...”
“Katakan saja, Ki...”
“Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Biarkan saya menjaga Kanjeng Pangeran setiap waktu...”
Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia lalu menepuk-nepuk bahu Ki Singalodra. “Sebaik-baiknya penjaga kita adalah Allah subhana wa ta’ala, Kisanak...”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya juga paham. Tapi biarkanlah saya menjadi perpanjangan tangan dari Allah subhana wa ta’ala untuk menjaga diri Kanjeng Pangeran...”
“Terima kasih, Ki Singalodra... Apa yang menyebabkan Kisanak hendak menjadi pengawal utamaku...”
Ki Singalodra tiba-tiba terdiam. Wajahnya dilempar jauh menghadap ke sawah dan Gunung Merapi di kejauhan. Kedua matanya yang dilindungi alis yang tebal terlihat basah. Dengan bergetar menahan haru, lelaki itu berkata lirih, “Aku ingin cepat-cepat menggapai syahid fi sabilillah. Aku ingin cepat-cepat berkumpul kembali dengan isteri dan anakku di surga. Bukankah orang yang syahid akan membawa syafaat kepada keluarganya kelak?”
Diponegoro mengangguk pelan. Hatinya juga diliputih perasaan haru mendengar pengakuan bekas penjahat itu. Dia kemudian memeluk Ki Singalodra yang masih terisak. Orang itu agaknya benar-benar memendam rindu yang teramat sangat kepada isteri dan anak satu-satunya.
“Kisanak, janganlah mengkhawatirkan anak dan isterimu yang sekarang sudah hidup bahagia di surga. Mereka memang tengah menantikan hari di mana Kisanak bisa berkumpul bersama-sama mereka. Dalam salah satu hadits Nabi shalallahu wa’allaihi wasalam yang diriwayatkan dengan baik oleh Nasai, Rasululllah bersabda bahwa pada hari kiamat, anak-anak kecil akan berdiri lalu dikatakan kepada mereka, ’Masuklah ke surga.’ Maka mereka mengatakan,’(Saya akan masuk) sehingga bapak-bapak kami masuk (juga) ke surga.’ Lalu dikatakan kepada mereka,’Masuklah kalian dan bapak-bapak kalian ke surga. Jadi anak Kisanak itu sudah menunggu Kisanak di pintu gerbang surga. Janganlah cemas...”
Lalu Diponegoro membaca ayat-ayat Qur’an berkenaan dengan syahid fisabilillah. Antara lain surat al-Baqarah ayat 154, “Janganlah kalian berkata bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.” Lalu juga surat Ali Imron ayat 169.
“Ketahuilah Kisanak.., siapa pun yang menggapai mati syahid, maka dia akan dapat memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang anggota keluarganya. Itu janji Rasulullah yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Sebab itu saya ingin cepat-cepat meraih syahid itu. Izinkan saya untuk menjaga Kanjeng Pangeran. Bagi saya dan teman-teman, pintu-pintu surga sebentar lagi akan membentang di depan mata. Namun bagi Kanjeng Pangeran tidak. Perjalanan Kanjeng Pangeran masih panjang. Kanjeng Pangeran harus membebaskan negeri ini dahulu dari tangan kaum kafir dan para pelayannya sebelum menemui syahid. Sebab itu izinkanlah saya mengawal Kanjeng Pangeran agar Kanjeng Pangeran bisa menunaikan tugas dengan paripurna...”
Kedua mata Pangeran Diponegoro berkaca-kaca. Maha Besar Allah. Hidayah bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Dan hidayah bisa mengubah seorang jagoan yang tangannya berlumuran darah seperti Ki Singalodra menjadi Singa Allah yang telah bertekad untuk menghibahkan jiwa dan raganya semata-mata di jalan Allah. Suatu perniagaan yang tidak akan pernah merugi hingga akhir dunia.
“Apa yang sebenarnya mendorong Kisanak untuk bergabung denganku melawan kafir Belanda?”
Ki Singalodra terdiam sejenak. Kemudian dia menjawab, “Mereka telah membunuh anak dan isteriku, Kanjeng Pangeran...”
Diponegoro menganggukkan kepalanya, “Ya, soal itu saya sudah mendengarnya. Itu saja?”
“Ya, Kanjeng Pangeran...”
“Jika demikian, kalau anak dan isterimu tidak dibunuh Belanda, maka Kisanak masih akan membela orang-orang kafir itu?” selidik Diponegoro dengan senyum tulus yang mengembang di sudut bibirnya.
Ki Singalodra menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran... Saya memang tidak banyak paham dengan agama Islam.”
Diponegoro memegang kedua bahu lelaki itu. “Tidak mengapa Kisanak. Apa yang dilakukan Kisanak dengan membela kafir Belanda juga dilakukan oleh banyak saudara-saudara kita. Itu disebabkan ketidaktahuan Kisanak akan agama Allah ini. Kisanak khilaf dan jika bertobat maka Allah Maha Pengampun. Sayangnya, ada banyak saudara-saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun mereka malah memilih untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan, jika mereka tidak masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin kotor dan zalimlah kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan masuk ke dalam pusat kekuasaan, tinggi sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pejabat kraton lainnya, makan semeja dengan kaum kafir, yang terjadi bukannya pejabat kraton yang terwarnai mereka, namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu agama itu malah terwarnai oleh pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan orang-orang kafir itu. Mereka yang tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana untuk menuju keridhoan Allah, sekarang banyak yang memandang dunia sebagai tujuan utama. Dunia sudah menguasai hati dan pikiran mereka, bukan lagi panji syahadah... Dan Islam telah menjadi sekadar alat untuk menipu umat dan memperkaya diri...”
“Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu, yang dulu hidup sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup bermewah-mewah dengan uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi memperdulikan umatnya. Tidak lagi peduli dengan perjuangan menegakkan agama Allah ini. Yang mereka pikirkan hanyalah cara agar mereka bisa bertambah kaya dan kaya...”
Diponegoro kembali tersenyum, “Benar, Kisanak. Sebab itu, apa yang Kisanak jalani di masa lalu insya Allah akan diampuni Allah subhana wa ta’ala, karena dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini sungguh berbeda dengan para ustadz dan ulama yang sekarang sudah duduk semeja dengan penguasa. Mereka itulah kaum yang Allah katakan sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan kehidupan dunia....”
Diponegoro menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia sungguh-sungguh prihatin dengan sikap dan kelakuan sejumlah ulama yang seperti itu. Kemudian dia bertanya lagi kepada Ki Singalodra, “Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi Belanda itu tidak lebih dari pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang baik. Kisanak harus mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan Allah. Satu-satunya niat yang benar dan lurus di dalam berjuang adalah menegakkan panji tauhid demi menggapai ridho Allah. Itu saja. Jangan campur-adukkan dengan motivasi-motivasi yang lainnya. Sebab semua itu akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad. Mengerti Kisanak?”
“Insya Allah, saya paham, Kanjeng Pangeran...”
“Alhamdulillah. Nah, sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?”
Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia menatap wajah Pangeran Diponegoro. “Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja...”
Pangeran Diponegoro akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Dengan izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan selalu berada di sisiku di dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid ini, siang dan malam. Bismillah, Kisanak....”
Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini akhirnya luruh di kedua matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro sambil menangis sesenggukan bagai anak kecil.
“Semoga Allah subhana wa ta’ala selalu menyatukan hati kita di jalan lurus ini, Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti bisa berjumpa kembali di Jannah di dalam barisan panjang kaum mujahidin...”
“Amien Ya Rabb al’amien....”
Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum. Dia teringat masa kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika buyutnya adalah orang-orang hebat. “Kakek buyutmu itu, Singalodra, bernama Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan Amangkurat I membantai enamribuan ulama di Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu yang masih berusia sepuluh tahun adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan diri. Dari mulut kakek buyutmu itulah, kita semua tahu betapa Amangkurat I itu sangat lalim. Aku yakin, engkau kelak juga menjadi orang besar. Yakinlah itu!”
Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk mendampingi dan mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah tanggungjawab besar yang hanya bisa dilakukan oleh orang hebat. []
Bab 11
HARI BELUM BEGITU SIANG KETIKA Pangeran Mangkubumi tiba di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi turun dari kudanya, seorang prajurit jaga dengan tergesa menghampiri dirinya dan mengatakan jika Patih Danuredjo dan Residen Smissaert yang masih berada di kraton sedang menunggunya.
“Ada apa mereka menungguku, Suryo?”
“Maaf Pangeran, saya kurang tahu...”
Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju ruang kepatihan. Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan tembakau yang begitu merebak di aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan, Mangkubumi langsung masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Benar saja, di dalam kamar kerja Danuredjo, kedua orang itu sudah menunggunya.
“Darimana saja engkau Pangeran?” sapa Smissaert yang duduk di belakang meja milik Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke atas meja. Mangkubumi benar-benar marah. Namun dia berusaha untuk bisa mengendalikan diri.
“Menengok sawah,” jawab Mangkubumi singkat. “Ada apa Tuan Residen memanggilku?”
Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk di sampingnya.
“Duduk dulu Pangeran...”
“Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.”
“Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan secepatnya...”
“Tugas? Secepatnya?”
“Ya.”
“Apa itu?”
“Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak mengganggu ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku menunggunya di sini...”
“Ada surat undangannya?” tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua tangannya bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan. Baginya, bersikap sombong di depan orang kafir adalah baik.
Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi isyarat pada Danuredjo untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan disegel dengan rapi. Patih Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat yang diletakkan di atas meja kecil yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran serong di sudut ruangan.
“Ini suratnya Tuan Residen...,” ujar Danuredjo sembari badannya membungkuk ke arah Smissaert yang masih duduk dengan pongah.
“Berikan saja langsung ke dia...,” ujar Smissaert dengan acuh.
Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan surat itu kepada Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu merebut surat dari Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat itu langsung dimasukkan kedalam saku bajunya. Danuredjo sendiri kembali duduk di samping Smissaert seperti anak ayam berlindung di balik ketiak induknya.
Sumber : eramuslim.com
“Saya berangkat,” ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan dan keluar ruangan begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.
Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali ke arah Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Desa Tegalredjo tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di musim hujan sangat menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak lubang. Namun bulan Juli adalah bulan musim panas. Jadi Mangkubumi bisa memacu kudanya dengan lebih cepat.
Dari kraton menuju Tegalredjo terdapat tiga buah pos penjagaan di mana orang yang lewat harus membayar bea jalan atau pajak jalan. Namun Mangkubumi terus saja menggebrak kudanya dengan melompati portal penghalang yang ada sehingga dia sama sekali tidak membayar pajak. Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah memakluminya. Tapi jangan coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib membayar bea jalan. Tidak ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku untuk kawulo alit, namun tidak untuk para penggede... [] (Bersambung)
sumber : eramuslim.com
Residen Yogyakarta ini kemudian berteriak agar prajurit jaga memanggil Patih Danuredjo, “Panggil itu patih ke sini menghadapku!”
Suryo Widhuro, sang prajurit penjaga kamar kepatihan, segera menghadap, “Inggih, Tuan Residen.”
Tak lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh Patih Danuredjo datang ke ruangan di mana Smissaert berada. Baginya, panggilan dari residen Belanda merupakan panggilan yang sangat penting. Melihat wajahnya yang kusut, Danuredjo sepertinya juga baru terbangun dari mimpinya.
“Ada apa Tuan Residen memanggil saya pagi-pagi begini?”
“Diponegoro marah. Kowe harus baca itu surat!” ujar Belanda itu sambil melemparkan sebuah gulungan surat yang sudah terbuka segelnya. Patih Danuredjo dengan sigap menangkap gulungan surat itu dan membukanya. Wajahnya kemudian terlihat berseri-seri.
“Ha.. ha.. ha.. Ini bagus. Apa aku bilang. Dia marah besar. Sebaiknya orang kita memeriksa patok-patok yang ada di tanah makam itu sekarang juga. Jika dirusak, kita pasang lagi. Dan pagi ini juga kita panggil Diponegoro untuk menghadap kesini untuk menjelaskan tentang surat ini. Dia meminta Tuan untuk memecat saya. Ini sudah makar! Kita tangkap saja orang itu di sini!”
Smissaert mengangguk-angguk, “Well, kowe benar-benar pintar Danuredjo! Ya, periksa patok-patok itu sekarang dan kita panggil Diponegoro ke sini segera.”
Danuredjo ikut mengangguk dan terdiam. Biasanya, jika sedang demikian, orang itu tengah memikirkan sesuatu atau menyusun rencana. Benar saja. Tiba-tiba dia menyebut Pangeran Mangkubumi.
“Tuan Residen, Diponegoro masih sangat menghormati Pangeran Mangkubumi. Aku juga curiga dengan orang itu. Bagaimana kalau Mangkubumi saja yang kita suruh untuk menghadap Diponegoro dan menyampaikan undangan kita itu.”
“Bagus, itu juga rencana yang bagus.”
“Ya, saya takut kalau kita kirim kurir biasa, pemimpin pemberontak itu tidak akan mau datang.”
“Baiklah, kowe atur saja. Yang penting segera undang itu pemberontak Diponegoro ke sini menghadap kita. Kita tawarkan saja jabatan di kraton ini. Jika dia menolak ya tangkap saja.”
“Jabatan di kraton?” tukas Danuredjo agak curiga.
Smissaert terkekeh, “Jangan takut Patih, kowe tidak perlu cemas seperti itu...”
Danuredjo mengangguk-angguk tanda senang. “Ya, Tuan Residen. Saya tahu itu. Tapi menurut hemat saya, kita juga harus tetap menyiagakan pasukan, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak kita duga.”
“Benar juga katamu. Kalau begitu panggil saja Chevallier ke sini. Di mana dia sekarang? Dan jangan lupa, kita panggil juga si Mangkubumi...” []
Bab 10
NUSANTARA ADALAH TEMPAT DI MANA ALLAH menitipkan sebagian kekayaan surga-Nya. Tanah dan air Nusantara teramat subur. Kekayaan alamnya berlimpah-ruah. Udaranya bersih dan iklimnya bersahabat. Letak Nusantara juga paling strategis di antara tempat di mana pun di dunia, di pandang dari segi apa pun. Inilah yang menyebabkan negeri ini sejak berabad lalu hingga sekarang menjadi rebutan kaum imperialisme dan kolonialis dunia, seperti halnya kafir Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, dan sekarang Belanda.
Ironisnya, walau turun-temurun telah menjadi penghuni wilayah yang sangat istimewa ini, rakyat Nusantara dari tahun ke tahun bukannya bertambah makmur dan sejahtera, malah bertambah miskin dan melarat. Belanda mengatakan jika hal itu disebabkan kemalasan dari orang-orang pribumi. Namun bagi Diponegoro, tudingan itu sama sekali tidak berdasar. Sebagai orang yang tumbuh besar bersama rakyat, dia tahu jika sejak sinar matahari menyingsing, sudah banyak orang-orang pribumi yang pergi ke sawah dengan cangkulnya, dan ada pula yang pergi ke pasar untuk menjual hasil bumi, atau menjual jasa sebagai tenaga angkut. Dan mereka baru berhenti atau pulang ketika matahari sudah jauh condong ke barat.
Bangsa ini adalah bangsa yang sangat rajin dan pekerja keras, namun jika bangsa yang seperti ini malah menjadi miskin dan melarat, maka pasti ada sesuatu yang salah dengan sistem kekuasaan yang ada.
Bagi seorang Diponegoro, satu-satunya jalan untuk mengeluarkan bangsanya dari kemiskinan adalah dengan mengusir penguasa kafir dari Nusantara dan menginsyafkan orang-orang pribumi yang sudah menjadi pelayan setianya. Thagut harus ditumbangkan dan dihancurkan, diganti dengan sistem sosial dan kemasyarakatan yang berkeadilan. Bukannya dengan mendekati thagut. Hal itu hanya bisa dicapai dengan perjuangan berlandaskan akidah yang kuat, lurus dan benar, dan sama sekali tidak bisa bekerjasama atau berkoalisi dengan Thagut atau kemungkaran.
“Kanjeng Pangeran...,” tiba-tiba Ki Singalodra sudah berdiri di sampingnya. Lelaki kekar dengan jambang dan janggut yang lebat ini—sehingga sangat mirip dengan seorang Warok Ponorogo—sekarang wajahnya terlihat lebih bersih dan rapi. Pangeran Diponegoro yang tengah berdiri melihat sawah yang membentang di hadapannya dengan latar belakang Gunung Merapi, menoleh ke samping. Ketika mengetahui siapa yang datang, Pangeran tersenyum.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ki Singalodra..”
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh, Kanjeng Pangeran...”
“Ada apa, Kisanak?”
Ki Singalodra menundukkan kepalanya.
“Kanjeng Pangeran... Terima kasih sudah menerima saya sebagai bagian dari barisan ini. Saya sebenarnya punya satu permintaan, maaf jika Kanjeng Pangeran nantinya tidak berkenan...”
“Katakan saja, Ki...”
“Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Biarkan saya menjaga Kanjeng Pangeran setiap waktu...”
Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia lalu menepuk-nepuk bahu Ki Singalodra. “Sebaik-baiknya penjaga kita adalah Allah subhana wa ta’ala, Kisanak...”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya juga paham. Tapi biarkanlah saya menjadi perpanjangan tangan dari Allah subhana wa ta’ala untuk menjaga diri Kanjeng Pangeran...”
“Terima kasih, Ki Singalodra... Apa yang menyebabkan Kisanak hendak menjadi pengawal utamaku...”
Ki Singalodra tiba-tiba terdiam. Wajahnya dilempar jauh menghadap ke sawah dan Gunung Merapi di kejauhan. Kedua matanya yang dilindungi alis yang tebal terlihat basah. Dengan bergetar menahan haru, lelaki itu berkata lirih, “Aku ingin cepat-cepat menggapai syahid fi sabilillah. Aku ingin cepat-cepat berkumpul kembali dengan isteri dan anakku di surga. Bukankah orang yang syahid akan membawa syafaat kepada keluarganya kelak?”
Diponegoro mengangguk pelan. Hatinya juga diliputih perasaan haru mendengar pengakuan bekas penjahat itu. Dia kemudian memeluk Ki Singalodra yang masih terisak. Orang itu agaknya benar-benar memendam rindu yang teramat sangat kepada isteri dan anak satu-satunya.
“Kisanak, janganlah mengkhawatirkan anak dan isterimu yang sekarang sudah hidup bahagia di surga. Mereka memang tengah menantikan hari di mana Kisanak bisa berkumpul bersama-sama mereka. Dalam salah satu hadits Nabi shalallahu wa’allaihi wasalam yang diriwayatkan dengan baik oleh Nasai, Rasululllah bersabda bahwa pada hari kiamat, anak-anak kecil akan berdiri lalu dikatakan kepada mereka, ’Masuklah ke surga.’ Maka mereka mengatakan,’(Saya akan masuk) sehingga bapak-bapak kami masuk (juga) ke surga.’ Lalu dikatakan kepada mereka,’Masuklah kalian dan bapak-bapak kalian ke surga. Jadi anak Kisanak itu sudah menunggu Kisanak di pintu gerbang surga. Janganlah cemas...”
Lalu Diponegoro membaca ayat-ayat Qur’an berkenaan dengan syahid fisabilillah. Antara lain surat al-Baqarah ayat 154, “Janganlah kalian berkata bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.” Lalu juga surat Ali Imron ayat 169.
“Ketahuilah Kisanak.., siapa pun yang menggapai mati syahid, maka dia akan dapat memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang anggota keluarganya. Itu janji Rasulullah yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Sebab itu saya ingin cepat-cepat meraih syahid itu. Izinkan saya untuk menjaga Kanjeng Pangeran. Bagi saya dan teman-teman, pintu-pintu surga sebentar lagi akan membentang di depan mata. Namun bagi Kanjeng Pangeran tidak. Perjalanan Kanjeng Pangeran masih panjang. Kanjeng Pangeran harus membebaskan negeri ini dahulu dari tangan kaum kafir dan para pelayannya sebelum menemui syahid. Sebab itu izinkanlah saya mengawal Kanjeng Pangeran agar Kanjeng Pangeran bisa menunaikan tugas dengan paripurna...”
Kedua mata Pangeran Diponegoro berkaca-kaca. Maha Besar Allah. Hidayah bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Dan hidayah bisa mengubah seorang jagoan yang tangannya berlumuran darah seperti Ki Singalodra menjadi Singa Allah yang telah bertekad untuk menghibahkan jiwa dan raganya semata-mata di jalan Allah. Suatu perniagaan yang tidak akan pernah merugi hingga akhir dunia.
“Apa yang sebenarnya mendorong Kisanak untuk bergabung denganku melawan kafir Belanda?”
Ki Singalodra terdiam sejenak. Kemudian dia menjawab, “Mereka telah membunuh anak dan isteriku, Kanjeng Pangeran...”
Diponegoro menganggukkan kepalanya, “Ya, soal itu saya sudah mendengarnya. Itu saja?”
“Ya, Kanjeng Pangeran...”
“Jika demikian, kalau anak dan isterimu tidak dibunuh Belanda, maka Kisanak masih akan membela orang-orang kafir itu?” selidik Diponegoro dengan senyum tulus yang mengembang di sudut bibirnya.
Ki Singalodra menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran... Saya memang tidak banyak paham dengan agama Islam.”
Diponegoro memegang kedua bahu lelaki itu. “Tidak mengapa Kisanak. Apa yang dilakukan Kisanak dengan membela kafir Belanda juga dilakukan oleh banyak saudara-saudara kita. Itu disebabkan ketidaktahuan Kisanak akan agama Allah ini. Kisanak khilaf dan jika bertobat maka Allah Maha Pengampun. Sayangnya, ada banyak saudara-saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun mereka malah memilih untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan, jika mereka tidak masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin kotor dan zalimlah kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan masuk ke dalam pusat kekuasaan, tinggi sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pejabat kraton lainnya, makan semeja dengan kaum kafir, yang terjadi bukannya pejabat kraton yang terwarnai mereka, namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu agama itu malah terwarnai oleh pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan orang-orang kafir itu. Mereka yang tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana untuk menuju keridhoan Allah, sekarang banyak yang memandang dunia sebagai tujuan utama. Dunia sudah menguasai hati dan pikiran mereka, bukan lagi panji syahadah... Dan Islam telah menjadi sekadar alat untuk menipu umat dan memperkaya diri...”
“Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu, yang dulu hidup sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup bermewah-mewah dengan uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi memperdulikan umatnya. Tidak lagi peduli dengan perjuangan menegakkan agama Allah ini. Yang mereka pikirkan hanyalah cara agar mereka bisa bertambah kaya dan kaya...”
Diponegoro kembali tersenyum, “Benar, Kisanak. Sebab itu, apa yang Kisanak jalani di masa lalu insya Allah akan diampuni Allah subhana wa ta’ala, karena dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini sungguh berbeda dengan para ustadz dan ulama yang sekarang sudah duduk semeja dengan penguasa. Mereka itulah kaum yang Allah katakan sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan kehidupan dunia....”
Diponegoro menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia sungguh-sungguh prihatin dengan sikap dan kelakuan sejumlah ulama yang seperti itu. Kemudian dia bertanya lagi kepada Ki Singalodra, “Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi Belanda itu tidak lebih dari pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang baik. Kisanak harus mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan Allah. Satu-satunya niat yang benar dan lurus di dalam berjuang adalah menegakkan panji tauhid demi menggapai ridho Allah. Itu saja. Jangan campur-adukkan dengan motivasi-motivasi yang lainnya. Sebab semua itu akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad. Mengerti Kisanak?”
“Insya Allah, saya paham, Kanjeng Pangeran...”
“Alhamdulillah. Nah, sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?”
Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia menatap wajah Pangeran Diponegoro. “Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja...”
Pangeran Diponegoro akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Dengan izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan selalu berada di sisiku di dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid ini, siang dan malam. Bismillah, Kisanak....”
Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini akhirnya luruh di kedua matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro sambil menangis sesenggukan bagai anak kecil.
“Semoga Allah subhana wa ta’ala selalu menyatukan hati kita di jalan lurus ini, Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti bisa berjumpa kembali di Jannah di dalam barisan panjang kaum mujahidin...”
“Amien Ya Rabb al’amien....”
Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum. Dia teringat masa kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika buyutnya adalah orang-orang hebat. “Kakek buyutmu itu, Singalodra, bernama Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan Amangkurat I membantai enamribuan ulama di Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu yang masih berusia sepuluh tahun adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan diri. Dari mulut kakek buyutmu itulah, kita semua tahu betapa Amangkurat I itu sangat lalim. Aku yakin, engkau kelak juga menjadi orang besar. Yakinlah itu!”
Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk mendampingi dan mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah tanggungjawab besar yang hanya bisa dilakukan oleh orang hebat. []
Bab 11
HARI BELUM BEGITU SIANG KETIKA Pangeran Mangkubumi tiba di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi turun dari kudanya, seorang prajurit jaga dengan tergesa menghampiri dirinya dan mengatakan jika Patih Danuredjo dan Residen Smissaert yang masih berada di kraton sedang menunggunya.
“Ada apa mereka menungguku, Suryo?”
“Maaf Pangeran, saya kurang tahu...”
Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju ruang kepatihan. Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan tembakau yang begitu merebak di aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan, Mangkubumi langsung masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Benar saja, di dalam kamar kerja Danuredjo, kedua orang itu sudah menunggunya.
“Darimana saja engkau Pangeran?” sapa Smissaert yang duduk di belakang meja milik Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke atas meja. Mangkubumi benar-benar marah. Namun dia berusaha untuk bisa mengendalikan diri.
“Menengok sawah,” jawab Mangkubumi singkat. “Ada apa Tuan Residen memanggilku?”
Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk di sampingnya.
“Duduk dulu Pangeran...”
“Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.”
“Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan secepatnya...”
“Tugas? Secepatnya?”
“Ya.”
“Apa itu?”
“Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak mengganggu ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku menunggunya di sini...”
“Ada surat undangannya?” tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua tangannya bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan. Baginya, bersikap sombong di depan orang kafir adalah baik.
Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi isyarat pada Danuredjo untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan disegel dengan rapi. Patih Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat yang diletakkan di atas meja kecil yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran serong di sudut ruangan.
“Ini suratnya Tuan Residen...,” ujar Danuredjo sembari badannya membungkuk ke arah Smissaert yang masih duduk dengan pongah.
“Berikan saja langsung ke dia...,” ujar Smissaert dengan acuh.
Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan surat itu kepada Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu merebut surat dari Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat itu langsung dimasukkan kedalam saku bajunya. Danuredjo sendiri kembali duduk di samping Smissaert seperti anak ayam berlindung di balik ketiak induknya.
Sumber : eramuslim.com
“Saya berangkat,” ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan dan keluar ruangan begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.
Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali ke arah Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Desa Tegalredjo tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di musim hujan sangat menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak lubang. Namun bulan Juli adalah bulan musim panas. Jadi Mangkubumi bisa memacu kudanya dengan lebih cepat.
Dari kraton menuju Tegalredjo terdapat tiga buah pos penjagaan di mana orang yang lewat harus membayar bea jalan atau pajak jalan. Namun Mangkubumi terus saja menggebrak kudanya dengan melompati portal penghalang yang ada sehingga dia sama sekali tidak membayar pajak. Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah memakluminya. Tapi jangan coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib membayar bea jalan. Tidak ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku untuk kawulo alit, namun tidak untuk para penggede... [] (Bersambung)
sumber : eramuslim.com