Dikutip dari Eramuslim.com
Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu Marshall Hermann Wilhelm Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam salah satu jamuan penyambutan, diperlihatkan atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia terkagum-kagum melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini. Sejarawan Carey mengatakan jika Langen Kesuma merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi yang mampu membuat Daendels berdecak kagum ketika melihatnya.
===================================
Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa—termasuk di kalangan bangsawan kraton—lazim menikah di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika Diponegoro dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan ayahnya 16 tahun[1]. Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh oleh nenek atau buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang jauh lebih matang dan dewasa. Suatu konversi budaya yang saat ini sudah punah.
Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang sangat taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai tahun 1792, ketika suaminya masih berkuasa, Ratu Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian meneruskannya di Puri Tegalredjo setelah suaminya wafat.
Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan Panglima Bregada Langen Kesuma—kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya di zaman Amangkurat I—pada masa kekuasaan Mangkubumi.
Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat tangguh. Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi.
Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch juga pernah menyaksikan Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.
Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton. Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:
“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”
Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang perempuan yang menjadi pemimpin pasukan Langen Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat latihan di ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran.”
Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan kanuragan, Ratu Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama sehingga pakaian pasukan ini terbilang sangat sopan, dengan tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk berperang. Ratu Ageng sebagai pengasuh Pangeran Diponegoro adalah panglima pasukan khusus ini. Bukan hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan seorang permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-nilai keislaman. Sebab itulah, selain menempa seorang Diponegoro dengan cara-cara seorang ksatria, Ratu Ageng juga membekali cicit kesayangannya ini dengan ilmu agama yang cukup dalam.
Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak kandungnya sendiri Ratu Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap tidak taat dalam menjalankan perintah agama, walau Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat anti terhadap penjajah Belanda.
Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan digantikan oleh Raden Mas Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792, Ratu Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton yang dianggapnya sudah cemar oleh tradisi kafir Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah dusun terpencil yang kelak dikenal sebagai Tegalredjo, berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro ikut diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah rakyatnya sendiri.
Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut, arah yang dijadikan kiblat bagi umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu Ageng juga membangun sebuah masjid di sebelah barat laut bangunan utama puri yang berupa pendopo utama.
Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau rakyat kecil, maka dalam jiwa seorang Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit. Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di sawah dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu Ageng harus bekerja, karena dia harus menghidupi keluarganya sendiri disebabkan dia menolak bantuan keuangan dari kraton yang dianggapnya sudah dikotori oleh kemaksiatan dan kezaliman.
“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan tangan dan kakiku sendiri, ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari memeras keringat dan darah rakyat!” tegasnya.
Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalredjo bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.
Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para ulama yang dipanggil maupun yang didatangi langsung oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran Diponegoro menjadi seorang pemuda yang bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan keras mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam dia sering membaur bersama para santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan menggunakan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia akan segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu, Diponegoro juga senang mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua untuk menyendiri, dan menatap lama-lama deburan ombak dan langit Laut Kidul.
Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para pembesar kraton yang sebagian besar masih kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan agama. Para pejabat kraton yang notabene sudah memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan kafir Belanda. Islam bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya sudah tidak ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai dansa-dansi sampai pagi, minum-minuman keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-gadis penari.
Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu tinggi dan mulia kini sudah cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton sendiri yang sudah lupa dengan jatidirinya.
Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak menobatkannya sebagai putera mahkota—walau Diponegoro bukan berasal dari permaisuri, namun selir—dengan tegas dia menolaknya. Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan Belanda dalam kekuasaan kraton. Bahkan pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda dan Residen Belanda-lah yang melantik seorang raja. Diponegoro amat muak dengan semua ini. Itulah yang melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia, Raden Mas Jarot, untuk menerima posisi sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang terdekatnya, Diponegoro ketika itu mengatakan,
“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, tolong ingatkan pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran mahkota, walau pun seterusnya akan diangkat menjadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin itu terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada sekarang, dekat dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya bertobat kepada Allah Yang Maha Besar. Hidup di dunia tiada akan lama dan saya tidak ingin hidup saya ini nantinya dikotori oleh kafir Belanda. Saya tidak ingin hidup dengan menanggung dosa...”[2]
Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama sekali tidak menarik hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak mau ikut terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan berada di tempat yang sepi, untuk mencari kesejatian dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan pengetahuan yang bermanfaat.
Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan para alim-ulama dan rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama besar yang dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, lalu Haji Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan, Kiai Kasongan, Kiai Papringan, juga dengan Kiai Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain. Dan seorang Ustadz Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa menjadi salah satu guru bagi orang yang berhati mulia ini.
“Ustadz... silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu,” ujar Pangeran Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad Taftayani[3] tentang murid kesayangannya itu.
“Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin malam, pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang sebentar lagi akan mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh perjuangan ini. Saya berdoa agar Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb. Apakah kisanak semua masih ada pertanyaan?”
Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling berpandangan dan kemudian menggelengkan kepala.
“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat ini saya cukupkan. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semuanya.
Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan lainnya bergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong. Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan perkembangan terakhir situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandi atau mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung memimpin pertemuan tersebut. (Bersambung)
Catatan kaki :
[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.
[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di dalam Babad Diponegoro jilid I hal.39-40.
[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal dari Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19”, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29).