Jumat, 03 Agustus 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (23)


Oleh Rizki Ridyasmara


Bab 30
  
DANUREDJO SEPANJANG MALAM TIDAK BERADA di ruangan kerjanya di kraton. Secara khusus Residen Smissaert menyuruhnya untuk membuat selebaran dan memperbanyaknya.
“Patih, kowe cepat bikin pamflet. Umumkan jika Diponegoro itu penjahat yang berbahaya. Siapa pun yang mengikutinya maka mereka akan kita anggap juga sebagai pemberontak dan akan kita hukum seberat-beratnya. Besok pagi pamflet-pamflet itu harus sudah tertempel di banyak tempat strategis di seluruh karesidenan ini!” ujar Smissaert.



            Patih Danuredjo tidak bisa membantah. Sebab itu, ketika Letnan Satu Thierry dan Chevallier berangkat memimpin pasukan yang cukup besar ke Tegalredjo, Patih Danuredjo malah sibuk menulis dan menyusun kata demi kata untuk selebarannya di ruangan percetakan di dalam kraton.


            Menulis kata demi kata untuk memfitnah seseorang adalah salah satu keahlian Patih Danuredjo yang jarang dimiliki orang lain. Danuredjo tahu jika sebuah peperangan bukan hanya mengandalkan pertempuran dengan senjata yang mematikan di lapangan, tetapi juga mengandalkan banyak pertempuran di palagan lain yang tidak menggunakan senjata api atau senjata tajam. Salah satunya adalah pertempuran di lapangan media atau propaganda.


            Pertempuran di bidang propaganda bertujuan untuk memenangkan opini masyarakat, meraih dukungan dan simpati yang luas, sekaligus menghancurkan karakter musuh sehancur-hancurnya, sehingga musuh tidak mendapatkan dukungan rakyat, dan akan jauh lebih baik jika musuh bisa dijadikan common-enemy atau musuh bersama yang harus diperangi. Dengan propaganda yang hebat, orang baik bisa dijadikan orang jahat, juga sebaliknya.


Patih Danuredjo sungguh-sungguh paham akan hal ini. Patih Danuredjo, yang diam-diam mengidolakan Machiavelli dengan Il Principe-nya[1], telah belajar banyak dari filsuf Italia kelahiran abad ke-15 Masehi ini tentang bagaimana cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan segala tatktik dan strategi. Tujuan menghalalkan kekuasaan, itulah Machiavelisme.


Untuk membuat sebuah selebaran, bukan perkara yang sulit bagi Danuredjo. Sebuah pamflet yang efektif dan tepat sasaran, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami semua orang, ringkas, to the point, menggunakan tulisan yang jelas dan mudah terbaca, kertas dan tinta dengan warna yang mencolok sehingga menjadi pusat perhatian orang banyak, dan sebagainya.


            Kepada juru tulis kraton, Patih Danuredjo memerintahkan untuk menulis kata demi kata sesuai dengan perintahnya, “Coba kau tulis semua yang akan kukatakan ini.”
            “Inggih, Kanjeng Patih...”


            “Pengumuman...,” ujar Danuredjo memulai kalimatnya. Juru tulis kraton itu mulai menuliskan satu persatu kata yang keluar dari bibir Danuredjo. Tak sampai limabelas menit, konsep pamflet selesai. Danuredjo membacanya kembali untuk memeriksa segala sesuatunya. Kepalanya kemudian mengangguk-angguk.


            “Bagus, wis bagus. Ya ini saja kamu cetak dan perbanyak. Malam ini juga kamu sebar. Tempelkan di tempat-tempat strategis di seluruh wilayah Yogyakarta. Besok aku ingin lihat, di semua tempat yang strategis, di persimpangan jalan, depan semua toko, depan stasiun, pos penjagaan, jembatan, tiang-tiang dan pohon, di depan masjid dan gereja, di semua tempat, pamflet ini sudah harus tertempel...”


            “Inggih, Kanjeng Patih Dalem...”   
            “Dan satu lagi... Siapa pun yang terlihat merusak atau mencabut pamflet ini, tangkap saja. Mereka pastilah bagian dari pemberontak itu...”


            Setelah memberikan perintah itu, Patih Danuredjo segera keluar dari ruang percetakan dengan membawa satu salinan konsep pamflet tersebut yang akan diperlihatkannya kepada Smissaert. Dia bergegas menuju ruang kepatihan di mana Residen Smissaert masih ada di sana.


Patih Danuredjo benar-benar menyukai tugas yang satu ini. Menghancurkan karakter orang lain lewat sebuah pamfler atau selebaran efeknya bisa jauh lebih parah ketimbang daya hancur sebuah peluru meriam. Dan hal ini sah-sah saja di dalam perang, bahkan bisa dipergunakan di masa-masa damai pula untuk menghancurkan karakter orang yang tidak disukai.


Pihak yang anti pemerintah juga suka menggunakan selebaran untuk menyerang kekuasaan. Danuredjo ingat, salah satu kasus mengenai selebaran yang pernah sangat dikenalnya adalah yang terjadi di masa kekuasaan Pakubuwono III[2]. Hanya saja, selebaran di masa itu malah dibuat oleh seorang yang berseberangan dengan pemerintah.


Alkisah, sebuah pamflet gelap ditemukan menempel di tempat penyimpanan gamelan kramat milik keraton. Isinya, ringkas dan padat:
“Haruskah orang-orang Eropa itu dianggap lebih kuat daripada Allah?”


Ketika selebaran itu sampai ke telinga Pakubuwono III, raja yang sangat setia terhadap penguasa kolonial Belanda tersebut langsung marah. Dia segera memerintahkan supaya dicari orang yang dianggap bertanggungjawab atas selebaran tersebut. Tidak ada petunjuk apa pun selain sebuah coretan kecil di bagian bawah selebaran bertuliskan:  Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingulaga.


Setelah mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Belanda, Pakubuwono III kemudian memerintahkan agar Kiai Alim Demak, seorang ulama yang hanif dan berada di luar struktur kekuasaan, ditangkap dan dipenjarakan. Kiai yang buta huruf latin itu langsung dianggap bersalah. Hukuman berat menantinya.


Tanpa pengadilan, orangtua itu dijatuhi hukuman mati dengan cara yang sangat mengerikan. Di hadapan rakyat biasa yang diperintahkan untuk menonton, di tengah alun-alun, Kiai Alim Demak digantung terbalik di sebuah tiang dengan kaki di atas. Dengan perlahan kulit kepalanya dikelupas selapis demi selapis. Lalu tepat di bawah wajahnya, pamflet yang menjadi sebab-musabab itu dibakar.

Malam sudah semakin larut. Namun di dalam kraton sejumlah senopati, pasukan telik sandi, beberapa prajurit kepala, dan kurir tampak masih hilir-mudik dengan wajah tegang. Perkembangan di Tegalredjo sangatlah mencemaskan. Dari sejumlah laporan, gabungan pasukan Belanda dan Legiun yang dipimpin Letnan Satu Thierry dan Chevallier yang sore tadi merebut Tegalredjo, malam ini malah terkepung oleh laskar pendukung Pangeran Diponegoro. Walau laskar-laskar tersebut hanya bersenjatakan alat-alat sederhana, seperti keris, pedang,  tombak atau bambu runcing, dan lainnya, namun semangat yang mereka miliki sungguh mengerikan. Jika pasukan Belanda dan Legiun berperang untuk menyelamatkan diri, maka para pendukung Pangeran Diponegoro itu pergi berperang untuk mencari mati.
Patih Danuredjo tahu betul jika seruan jihad Diponegoro-lah yang menyebabkan itu semua. Sebab itulah di dalam selebarannya, Danuredjo berusaha keras jika yang digelorakan Diponegoro bukanlah jihad, namun teror dan ajakan setan.


Sambil terus bergegas menuju ruangannya, Patih Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu bergumam, “Orang-orang harus percaya kalau dia itu mengangkat senjata hanya karena sakit hati tidak terpilih menjadi Sultan. Islam hanya dijadikan kambing hitam untuk mengobati kekecewaan hatinya. 


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli
[2] Sri Susuhunan Pakubuwana III lahir di Kartasura tahun 1732 dan wafat tahun 1788 adalah raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788. Dia merupakan raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.


Bab 31
  
JARAK DARI TEGALREDJO KE DEKSO yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo[1] memang tidak begitu jauh. Namun juga tidak bisa dibilang dekat. Apalagi rombongan Pangeran Diponegoro selalu menghindari jalan besar. Rombongan ini selalu memilih lewat jalan-jalan kecil, jalan setapak, bahkan harus menembus rapatnya belukar hutan, pematang sawah, pinggir kali dan jurang, dan yang lainnya hanya dengan mengandalkan cahaya bulan. Semua itu dilakukan untuk menghindarkan keberadaan mereka dari intaian mata-mata Belanda dan Danuredjo.


            Sebab itu, setelah beberapa kali berhenti untuk beristirahat, sholat, dan juga makan, rombongan ini baru tiba di Dekso menjelang tengah malam. Setelah melepas anak-anak, para emban, dan beberapa lainnya yang bukan kombatan, rombongan kembali berjalan menerabas hutan menuju selatan. Sesuai dengan arahan Mangkubumi dan Susuhunan Pakubuwono VI, mereka akan menuju wilayah Gua Selarong yang sangat strategis.


            Perjalanan dari Dekso ke Selarong juga tidak mudah. Mereka harus menyeberangi Kali Progo yang di musim panas seperti bulan Juli ini airnya surut sehingga bisa dilalui, walau tetap harus berhati-hati karena bebatuannya licin dan banyak ular. Mereka juga harus menyeberangi beberapa kali kecil seperti Kali Konteng dan lainnya.   


Mendekati Gua Selarong yang berada di wilayah Bantul, hari sudah menjelang pagi walau matahari belum menampakkan wajahnya. Beberapa dari anggota rombongan tampak kelelahan dan mengantuk, bahkan ada yang sampai tertidur di atas kudanya, namun tidak demikian dengan Pangeran Diponegoro, Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan para sesepuh lainnya. Mereka sudah terbiasa di dalam hidupnya menyedikitkan tidur dan memperbanyak sholat sunnah, zikir, dan ibadah lainnya.


Adzan subuh bergema tepat ketika mereka memasuki batas Desa Selarong di mana Ki Guntur Wisesa dan banyak laskarnya sudah menunggu di kedua sisi jalan.


            “Ahlan wa sahlan, Kanjeng Pangeran!” sambut Ki Guntur Wisesa ketika menyambut kedatangan Pangeran Diponegoro dan yang lainnya. Kedua pasukan bertemu dan saling berangkulan. Beberapa di antara mereka sampai menetaskan airmata haru. Persaudaraan di dalam Islam memang sedemikian indah. Walau banyak yang tidak saling mengenal, namun ukhuwah Islamiyah yang tlah tertanam di dalam dada mereka membuat semuanya merasa sebagai satu bangunan yang kokoh, yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya.


            “Kanjeng Pangeran, subuh telah tiba. Mari kita ke masjid terlebih dahulu,” ajak Ki Guntur Wisesa yang segera membawa pasukan besar itu ke sebuah masjid sederhana yang tidak begitu jauh dari gerbang desa. Walau masjid kecil, tapi halaman rumputnya luas sehingga sebagian pasukan bisa turut mengikuti sholat subuh berjamaah di halaman tersebut.


            “Kanjeng Pangeran dan yang lainnya silakan sholat terlebih dahulu. Kami akan berjaga-jaga di sini bergantian,” ujar Ki Guntur.


            Setelah menunaikan sholat, semuanya berjalan beriringan menuju Gua Selarong yang berada di ketinggian bukit, dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Para senopati dan ulama pendekar sendiri berkumpul untuk melakukan musyawarah mengenai pelaksanaan strategi pertahanan dan penyerangan melawan pasukan kafir Belanda dan para murtadin lainnya yang menjadi kaki tangan penjajah. []  
           
Bab 32
  
ORANG-ORANG KAMPUNG BERLARIAN MENYAMBUT datangnya barisan panjang laskar Pangeran Diponegoro di Selarong. Mereka, tua dan muda, berteriak-teriak kegirangan.


            “Kanjeng Pangeran Diponegoro datang! Kanjeng Pangeran Diponegoro datang!”


            Pagi-pagi buta itu, di mana hawa masih terasa dingin mengigit tulang, kaum perempuan, anak-anak, dan orang-orang tua, bergegas keluar dari rumahnya dan berdiri di pinggir jalan. Takbir berulang-ulang diteriakkan memenuhi langit. Dari atas Kiai Gentayu, kuda hitam dengan ‘kaus kaki’ putih di keempat kakinya, Pangeran Diponegoro dengan mengenakan jubah dan sorban serba putih terus menebar senyum dan membalas takbir dengan tak kalah semangat. Pangeran Bei dan Mangkubumi, disertai Senopati Ki Guntur Wisesa, Ustadz Taftayani, dan Ki Singalodra, berkuda di sekeliling Diponegoro.


            Di bagian belakang rombongan, tak kurang sekira limaratus meter dari keberadaan Pangeran Diponegoro di depan, terlihat di kejauhan satu pasukan besar dipimpin dua lelaki yang mengenakan jubah dan sorban putih, sebagaimana Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi pakai. Pasukan besar itu mengibarkan satu panji berwarna hitam.


            “Siapa mereka?” ujar Abdullah pelan. Lelaki yang menjabat sebagai kepala regu yang bertugas mengamankan bagian paling belakang barisan Diponegoro, bersama sepuluh anak buahnya, langsung berbalik arah dan menunggu mereka. Sedangkan pasukan yang lain melanjutkan perjalanan ke Gua Selarong dengan perlahan.


            Abdullah menghela kudanya perlahan, diikuti anak buahnya. Mereka berjalan berlawanan arah dengan rombongan Diponegoro untuk menyambut kedatangan pasukan besar yang masih terlihat di kejauhan sedang memasuki gerbang desa dengan sikap waspada. Ketika jarak di antara mereka sudah sekira seratusan meter, Abdullah menarik nafas lega. Dari jauh dia sudah mengenali dua lelaki berjubah dan bersorban di depan pasukan besar.


            “Kanjeng Kiai Modjo dan Kiai Ghazali...,” desisnya gembira.


            Kiai Ghazali adalah anak dari Kiai Modjo. Mereka berdua telah menyusul Diponegoro ke Selarong membawa serta pasukan Boelkiyo, pasukan khusus yang mendapat gemblengan dari Kiai Modjo dan ulama pendekar lainnya di Surakarta.  


            “Topo, cepat kau lapor pada Kanjeng Pangeran bahwa Kiai Modjo dan pasukannya sudah menyusul kita di Selarong!” ujar Abdullah.


            Sutopo, salah seorang laskar dari Sambiredjo segera memacu kudanya melewati rombongan pasukan dari samping jalan menuju ke bagian depan di mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada. Sedangkan Abdullah dan beberapa anak buahnya tetap menunggu laskar Kiai Modjo yang menurut kabar memang sudah berangkat dari Surakarta kemarin siang, sebelum terjadi penyerangan Belanda ke Tegalredjo.    


            Pasukan besar itu kian dekat. Abdullah benar. Panji hitam yang dilihatnya sekarang sudah menampakkan tulisan syahadatain di bagian tengahnya yang dibuat dari sulaman benang emas sehingga tulisan arab itu bercahaya ditimpa sinar mentari pagi yang baru saja muncul di ufuk timur. Sosok Kiai Modjo dan Kiai Ghazali pun sudah tampak jelas. Dia segera menyongsong ke depan.


            “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh! Ahlan wa sahlan Kiai!” ujar Abdullah lantang seraya menggebrak kudanya mendekati Kiai Modjo dan Kiai Ghazali.
            Kiai Modjo tersenyum. Ulama besar dari daerah Modjo di Surakarta itu membalas salam dari Abdullah. [] (Bersambung)


[1] Progo adalah nama sebuah sungai besar di sebelah barat Yogyakarta yang berhulu di Puncak Gunung Merapi di utara Yogya dan bermuara di Pantai Selatan. Kulon Progo berarti “sebelah barat Kali Progo”. 



"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...