Oleh : Rizki Ridyasmara
Setibanya di pelataran atas, Akhmad Prawiro berdiri di depan gua dan mengucapkan salam. Pangeran Diponegoro dan yang lainnya menjawab salam pemuda keturunan Cina tersebut.
“Mari masuk, Kisanak,” ajak Diponegoro.
Dengan penuh hormat, Akhmad Prawiro melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu—demikian yang diajarkan para guru ngaji sejak dia masih kanak-kanak—untuk memasuki rumah atau bangunan lainnya. Dia kemudian duduk bersila, mengikuti seluruh sesepuh yang ada di dalam gua tersebut.
“Nah, anak muda, sekarang tolong ceritakan kepada kami, apa yang membuatmu tergesa seperti itu?” tanya Pangeran Ngabehi.
“Maaf, Kanjeng Pangeran. Saya baru saja bertemu dengan beberapa orang prajurit kraton yang bersimpati kepada jihad kita. Mereka mengatakan bahwa beberapa jam lalu Kolonel Von Jett, Kapten Bouwensch, Smissaert, serta Danuredjo bertemu di Vredeburg dan mereka merencanakan untuk menyerang kita di Selarong secepatnya.”
“Benarkah?”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Bouwensch sendiri telah memerintahkan pasukan Belanda untuk segera bersiap dengan membawa perlengkapan tempur garis pertama.”
Pangeran Bei terdiam sejenak. Demikian pula dengan Pangeran Diponegoro dan yang lainnya. Semuanya tahu bahwa diperlukan waktu sekitar satu-dua jam bagi pasukan Belanda di Vredeburg untuk bersiap dan berangkat. Dan perjalanan dari Benteng Vredeburg ke Selarong lebih singkat lagi. Ini berarti serangan itu bisa terjadi tengah malam nanti atau besok pagi.
“Kisanak, ada lagi yang ingin kamu sampaikan?”
Akhmad Prawiro menggelengkan kepalanya. “Itu saja, Kanjeng Pangeran...”
“Kisanak, dan kau juga Ki Singalodra...”
“Inggih, Gusti Kanjeng Pangeran...,” jawab Akhmad Prawiro dan Ki Singalodra bersamaan.
“...Katakan kepada seluruh kepala regu laskar yang berada di Selarong agar secepatnya bersiap hijrah sementara ke arah selatan, tepatnya di sekitar Sendangsari, di tepi Kali Progo. Siapa yang sudah siap, silakan berangkat. Tidak perlu menunggu kita semua. Kita akan bersiap pula secepatnya. Nah, sekarang turunlah dan temui para kepala regu di bawah...”
Setelah mengucapkan salam, keduanya kemudian langsung turun. Ki Guntur Wisesa yang berada di tengah-tengah mereka berdiri, “Kanjeng Pangeran, saya akan ke bawah dahulu mengatur semuanya.”
“Silakan, Ki,” jawab Diponegoro.
Sebagai orang yang bertanggungjawab atas keamanan wilayah Selarong, Ki Guntur segera melompat ke bawah mendahulu Ki Singalodra dan Akhmad Prawiro. Ki Guntur segera menemui sejumlah kepala pasukan dan menginstruksikan agar tidak ada satu pun laskar yang melakukan perlawanan terhadap kolone Belanda pimpinan Kapten Bouwensch yang akan menyerang Selarong.
“Kita secepatnya menyingkir ke Sendangsari sekarang juga. Biarkan mereka menemui Selarong yang kosong!” tegasnya.
Untunglah semua kepala laskar yang ada patuh tanpa banyak tanya. Mereka segera bersiap untuk menggerakkan pasukannya ke Sendangsari seperti yang diperintahkan. Ki Guntur Wisesa sendiri sebenarnya ingin bertanya mengapa mereka harus menghindari serangan Belanda, sedangkan pasukan mereka di Selarong ini sudah cukup kuat. Dia yakin, semuanya bisa menghancurkan kolone Kapten Bouwensch.
Ah, nanti saja saya akan bertanya pada Kanjeng Pangeran Diponegoro!
Tiba-tiba pundak Ki Guntur Wisesa ditepuk seseorang. Ki Guntur segera menoleh ke belakang. Pangeran Diponegoro telah berdiri di dekatnya, disertai para sesepuh. Dengan senyum yang begitu tulus, Diponegoro berkata, “Ki Guntur saudaraku, kita kali ini sengaja menghindar dari serangan pasukan kafir Belanda...”
Ki Guntur salah tingkah. Dia benar-benar tidak menduga Pangeran Diponegoro mengetahui apa yang tengah berkecamuk di dalam kepalanya.
“Eh, maafkan saya, Kanjeng Pangeran. Bukan maksud saya untuk berburuk sangka...”
“Tidak mengapa, Ki. Rasulullah saja sering didebat para sahabatnya. Bahkan Umar radiyallahu anhu pernah diacungkan pedang tepat di hari pelantikannya sebagai khalifah oleh umatnya. Mengapa pula saya tidak. Saya hanyalah manusia biasa, tidak berbeda denganmu dan dengan yang lainnya. Strategi menghindar kali ini memang sengaja kita gunakan agar kafir Belanda mengira kita lemah, belum cukup kuat. Kemenangan telak yang diraih laskar Mulyo Sentiko di Pisangan terhadap dua pasukan kafir pimpinan Kapten Kumsius dan Letnan Delatree amat mengejutkan Belanda. Dan mereka akan bertambah kaget manakala pasukan mereka kembali hancur di Selarong. Mereka akan memanggil seluruh kekuatannya dari Batavia dan dari luar Jawa. Mereka juga akan menekan seluruh raja untuk mengerahkan pasukan bantuannya untuk menyerang kita. Ini tentu kita tidak inginkan. Biarlah kali ini kita menghindar, agar mereka lengah. Dan pada saatnya nanti, insya Allah tidak akan lama lagi, kita akan melakukan serangan besar-besaran terhadap jantung kekuatan mereka di Bumi Mataram. Kita akan kepung Yogya dan membebaskannya!” papar Diponegoro panjang lebar.
“Serangan besar?”
“Betul, Kisanak. Kita akan kepung Yogyakarta, memutuskannya dari dunia luar, dan serang mereka di jantungnya! Insya Allah, kita akan bisa menghancurkan mereka...”
“Amien ya Rabb!”
Ki Guntur Wisesa benar-benar kagum dengan rencana itu. Dia pun segera pamit. Setelah menunaikan sholat maghrib berjamaah, semua laskar yang ada di Selarong berangkat hijrah ke selatan melewati jalur khusus yang telah diamankan oleh anggota laskar. Pangeran Diponegoro dan sesepuh lainnya berada di tengah rombongan. Di depan barisan, Ki Guntur Wisesa dan Pangeran Bei memimpin. Sedangkan di bagian paling belakang, laskar elit Bulkiyo pimpinan Kiai Modjo mengawal. Di bawah siraman cahaya rembulan, mereka semua meniti jalan setapak menuju daerah yang aman di tepian Kali Progo. []
Bab 39
NILAI PENDADAKAN DALAM SUATU SERANGAN menempati posisi sangat penting dalam sukses tidaknya suatu operasi pertempuran. Kapten Bouwensch sangat mengetahui hal ini. Sebab itu, setelah keluar dari ruang pertemuan, dimana Kolonel Von Jett memerintahkan persiapan serangan ke markas pemberontak di Gua Selarong, dia segera menghimpun beberapa komandan pasukan dan hanya mengatakan jika mereka akan segera berangkat melakukan serangan ke suatu daerah.
Namun Bouwensch agaknya lupa, Benteng Vredeburg tidak hanya dihuni oleh orang-orang Eropa. Di dalam benteng yang letaknya hanya sepelemparan meriam di utara Kraton Yogyakarta itu, terdapat ratusan orang pribumi. Mereka menempati strata terendah dalam kehidupan sosial di dalam benteng, dipekerjakan sebagai budak yang antara lain bertugas melayani kebutuhan prajurit dan perwira Belanda, tukang sapu, tukang rumput, perawat kuda, tukang masak, dan sebagainya. Dan Pangeran Diponegoro serta sesepuh yang lain memanfaatkan hal ini dengan menyusupkan banyak orangnya ke dalam benteng sebagai pelayan.
Sebab itu, ketika Kapten Bouwensch mengumpulkan para komandan pasukannya dan memerintahkan persiapan garis tempur pertama untuk diberangkatkan ke Selarong, informasi ini didengar oleh seorang pelayan dan segera membocorkannya.
Pangeran Diponegoro memiliki banyak telinga di Benteng Vredeburg dan juga di dalam Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri. Sebab itu, ketika Diponegoro dan laskarnya sudah berangkat menuju wilayah aman di selatan Selarong malam harinya, maka di dalam benteng, Kapten Bouwensch dan pasukannya baru melaksanakan apel di lapangan luas yang berada di tengah-tengah bangunan utama, lengkap dengan segala perlengkapannya.
Satu jam sebelum memberangkatkan pasukannya, Bouwensch terlebih dahulu mengirim satu regu perintis dengan kawalan pasukan bersenjata yang bertugas mengamankan akses jalan menuju Selarong. Menurut sejumlah mata-mata, pergerakan laskar dan simpatisan pemberontak sangat luar biasa. Hanya dalam radius yang sangat sempit, semua akses jalan yang berdekatan dengan Vredeburg dan Kraton sudah banyak yang dirusak atau dipasang jebakan dan blokade, berupa lubang-lubang atau pengrusakan jalan yang disengaja, pohon-pohon besar yang ditumbangkan dan batangnya dibiarkan melintang menutupi jalan, pemampatan aliran air hingga air meluber ke jalan tanah membuat jalan menjadi becek bahkan gembur, penimbunan jalan oleh batu-batu kali, dan sebagainya. Pasukan perintis bertugas menyingkirkan semua itu agar pergerakan pasukan penyerang yang di antaranya membawa kereta meriam yang berat yang ditarik kuda bisa lebih lancar.
Tentu saja hal ini membuat lambat pergerakan pasukan Belanda. Laskar Diponegoro yang hanya terdiri dari pasukan berkuda dan berjalan kaki—kavaleri dan infanteri—jauh lebih cepat ketimbang pasukan Belanda. Sebab itu, ketika pasukan Diponegoro telah tiba di Sendangsari dan membuat perkemahan di tengah rerimbunan hutan di sepanjang tepian Kali Progo, Kapten Bouwensch dan pasukannya baru beranjak beberapa kilometer dari Vredeburg.
Wilayah Selarong sendiri sudah benar-benar bersih dari laskar dan juga lelaki dewasa. Yang tinggal di desa itu cuma perempuan dan anak-anak. Semua lelaki yang sudah dianggap besar sengaja diperintahkan meninggalkan desa untuk sementara waktu. Ini dilakukan untuk menghindarkan mereka dari sasaran kemarahan Belanda yang dipastikan gagal menemukan Diponegoro dan laskarnya.
Tanpa diketahui siapa pun, sebagian anggota laskar perempuan di bawah komando Raden Ayu Retnaningsih tetap tinggal di Selarong dan berpura-pura menjadi warga sekitar. Mereka diperintahkan menggali informasi tentang kekuatan pasukan Kapten Bouwensch, dan juga memberi rasa aman kepada penduduk asli Selarong.
Seperti halnya Trisat Kenya atau Bregada Langen Kesuma, laskar puteri Diponegoro juga memiliki kecakapan tempur terlatih dan olah kanuragan yang tinggi, sehingga srikandi-srikandi ini, walau diluarnya tampak lemah gemulai, namun menyimpan kekuatan dan keberanian yang dahsyat.
Lewat tengah malam, pasukan Kapten Bouwensch telah tiba di perbatasan terluar Desa Selarong. Mereka tidak langsung masuk, namun mengirim pasukan pelopor terlebih dahulu, yang terdiri dari tiga regu pasukan infanteri bersenjatakan senapan flintlock[1] dan pedang, dan mengikuti pasukan itu dari belakang. Pasukan pelopor terdiri dari gabungan pasukan Eropa dan Legiun Mangkunegaran yang semuanya berkuda serta dilengkapi pedang serta karaben Musketon.
Situasi di sekitar Gua Selarong sangat sepi. Pasukan Bouwensch dengan amat leluasa masuk dan menyisir seluruh bagian tanpa menemukan seorang laskar pun. Sadarlah Bouwensch jika pergerakan pasukannya sudah tercium oleh pasukan Diponegoro. Walau geram, dia mengakui jika pasukan mata-mata Diponegoro kali ini ternyata lebih lihai dibanding Belanda.
Setelah setengah jam menyisir wilayah itu tanpa hasil, Kapten Bouwensch memutuskan untuk kembali ke Vredeburg dan tidak mempertahankan Selarong. Dia juga tidak memerintahkan pasukannya untuk menyisir di luar wilayah Selarong, sesuatu yang amat berbahaya karena sikap permusuhan rakyat pribumi terhadap Belanda semakin memuncak disebabkan pemberontakan Diponegoro dan para pangeran lainnya ini. Namun Bouwensch juga menilai, dengan menyingkirnya para pemberontak dari pasukannya, maka itu berarti kekuatan pemberontak masih lemah.
Kepergian pasukan Bouwensch dari Selarong diikuti oleh pandangan mata ratusan perempuan pribumi dan anak-anak, yang di antaranya anggota laskar puteri Diponegoro. Mereka lega, strategi menahan diri mereka berhasil. Belanda akan mengira mereka masih lemah. Dengan begitu mereka akan lebih leluasa untuk memperkuat pasukan dan mengepung Yogyakarta nantinya. []
Bab 40
INGIN SEKALI SESUNGGUHNYA KI SINGALODRA membunuh sebanyak-banyaknya pasukan Belanda. Dia yakin, dia mampu melakukan itu. Tapi karena Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya memilih untuk menggunakan taktik menghindar sementara, dia mau tidak mau harus patuh dan taat dengan keputusan syuro itu.
Lewat tengah malam, Ki Singalodra dikejutkan oleh suara derap kaki kuda yang kian lama kian mendekat ke arah perkemahan mereka di tepian Kali Progo dekat dengan wilayah Sendangsari. Lelaki yang tengah tertidur di bawah pohon di luar arena perkemahan itu segera bangkit dan berdiri untuk melihat siapa yang datang malam-malam begini. Penglihatannya yang tajam menangkap tiga penunggang kuda perempuan yang tengah memacu kudanya menuju perkemahan.
Pasukan telik sandi Laskar Puteri!
Ki Singalodra melompat keluar dari rerimbunan semak dan melambaikan tangannya kepada tiga laskar puteri penunggang kuda tersebut.
“Tahan! Tahan! Aku Singalodra! Ada kabar penting rupanya.”
Ketiga penunggang tersebut menarik tali kekang kudanya dan berhenti hanya dalam jarak dua meter dari tempat Ki Singalodra berdiri. Mereka memberi salam yang segera dijawab oleh Ki Singalodra.
“Ki Singalodra, kami utusan dari Raden Ayu Retnaningsih untuk menyampaikan kabar terbaru dari Selarong...”
“Ya. Saya tahu.”
“Bisakah kami diantar menemui Kanjeng Pangeran Diponegoro?”
Ki Singalodra menganggukkan kepalanya. “Sebentar,” katanya. Kemudian lelaki itu mengeluarkan suara burung gagak dan dari rerimbunan semak keluar seekor kuda hitam yang berjalan perlahan menghampiri tuannya. Ki Singalodra pun segera melompat ke punggung kudanya itu.
“Mari ikut saya!”
Ki Singalodra berjalan di depan, diikuti ketiga laskar perempuan yang menyelipkan keris dan trisula di pinggangnya. Mereka berempat tidak dapat memacu kudanya kencang-kencang karena jalan tanah yang sempit dengan banyak suluran akar pohon di bawahnya. Beberapa kali mereka bahkan harus menundukkan kepala dan merendahkan badannya agar tidak terkena cabang dan batang pohon di hutan ini yang menjalar ke mana-mana. Tidak sampai setengah jam kemudian, hamparan rumput hijau yang tidak terlalu luas membentang di depan mereka. Di bawah sorot cahaya rembulan yang agak redup, hamparan rumput itu tampak sarat dengan misteri. Di ujung hamparan rumput tersebut, terlihat tenda-tenda pasukan Diponegoro yang disamarkan vegetasi sekitarnya. (Bersambung)
[1] Senapan Flintlock merupakan senjata api laras panjang yang harus diisi kembali dengan bubuk mesiu setiap melepas 12 kali tembakan. Kelemahan jenis senjata ini adalah bubuk mesiu yang dimasukkan harus benar-benar kering. Sebab itu, jika musim hujan, senapan ini sering tidak berfungsi karena bubuk mesiu menjadi lembab.
eramuslim.com