Rabu, 01 Agustus 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (22)


Oleh Rizki Ridyasmara12:54 28/07/2012

“Saya sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pemerintah di Ngayogyakarta Hadiningrat memutuskan tidak akan memberi tambahan pasukan di Tegalredjo dalam waktu cepat. Komandanmu itu harus bertahan dahulu menghadapi para pemberontak di sana dengan sekuat tenaga. Dan tolong sampaikan pada komandanmu itu, mereka harus menulis laporan yang berisi alasan pentingnya bertahan di Puri Tegalredjo padahal target sudah kabur. Mengapa mereka tidak ikut mengejar Diponegoro dan malah mendirikan pos komando di Puri Tegalredjo. Itu saja. Cepat sampaikan dengan utuh!”


            “Siap, Tuan! Saya akan sampaikan semuanya dengan utuh!”
            “Laksanakan!”
            “Siap, laksanakan!”



            Setelah memberikan penghormatan secara militer, opsir itu segera berlalu dari hadapan Smissaert dan langsung menggebrak kudanya kembali ke Tegalredjo.


            Setelah ruangannya sepi, Smissaert kemudian menulis surat yang secara singkat meminta bantuan kepada Residen Surakarta, Magelang, dan juga Semarang, untuk secepatnya mengirim pasukan bantuan ke Yogyakarta. Khusus kepada Residen Magelang, Smissaert juga meminta pasokan dana untuk membiayai operasi ini. Selesai menulis beberapa surat, dia segera memanggil seorang kurir khusus yang sudah biasa ke Surakarta dan dikenal Mac Gillavry dengan baik. Sutowijoyo namanya.


            “Selamat malam, Tuan,” sapa Sutowijoyo begitu masuk ke dalam ruangan kepatihan. Dia kemudian berdiri saja di depan Smissaert.


            “Ya, malam. Kowe sekarang juga pergi ke Surakarta dan temui Residen Mac Gillavry di sana. Sampaikan salamku dan juga surat ini. Sedangkan surat-surat yang lain nanti kowe sampaikan pada kurir yang lain sesuai dengan tujuannya. Berhati-hatilah di jalan. Para pemberontak sudah berada di mana-mana...”


            “Siap, Tuan. Laksanakan!”
            Sutowijoyo segera menerima surat-surat tersebut kemudian langsung bergegas menuju kudanya.


            Di dalam kamar kerjanya, Smissaert terkekeh sendirian. Dia puas sudah mengerjai Thierry dan Chevallier. Wajah mereka berdua pasti akan terlihat lucu ketika menerima laporan dari kurirnya jika dirinya menolak memberi pasukan tambahan ke Tegalredjo... []
            
Bab 28
  
RESIDEN SURAKARTA, HENDRIK MAURITZ MAC Gillavry berdiri memandangi langit malam dari jendela gedung karesidenan yang lebar. Malam di pertengahan Juli benar-benar pekat. Nun jauh di atas langit, ribuan titik kecil berwarna putih dan kuning bercahaya bagai tebaran mutiara yang menggantung di awan yang gelap. Di bawahnya, dari tempatnya berdiri, puluhan kunang-kunang beterbangan ke sana-kemari dengan lincah di antara pucuk-pucuk ilalang, pohon, dan semak. Walau mencoba untuk bersikap tenang, namun kedua mata Mac Gillavry yang dilindungi tulang pipi yang kuat tidak bisa menyembunyikan kegusaran di dalam hatinya. Mac Gillavry sekarang benar-benar kesal dengan Anthonie Hendriks Smissaert yang menurutnya tidak becus bekerja di wilayah sepenting Yogyakarta.


            Dari tempatnya yang berada di sebelah Lor Wetan[1] wilayah Karesidenan Yogyakarta, Mac Gillavry terus mengikuti perkembangan demi perkembangan operasi penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro dan sejumlah pangeran pemberontak lainnya yang gagal di Tegalredjo.


            Secara pribadi, Mac Gillavry tidak menyalahkan komandan di lapangan terkait kegagalan operasi itu. Yang salah tetap komandan tertinggi di Karesidenan Yogya, yakni Smissaert. Sudah sejak awal dia telah memperingatkan, berkali-kali dia kirim surat yang melaporkan perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro dari hari ke hari—sesuatu yang sesungguhnya bukan kewajibannya—kepada Smissaert, tetapi Residen Yogya ini malah mengabaikannya. Dan ketika perang sudah pecah seperti malam ini, di mana banyak rakyat pribumi membentuk satuan-satuan laskar tersendiri dan berperang di belakang Diponegoro, maka keadaan menjadi sulit untuk dikendalikan dan diprediksi.


            Dan semua ini membuat posisi Mac Gillavry serba salah. Mau tidak mau dia harus memenuhi permintaan dari Smissaert untuk mengirimkan pasukan tambahan ke Yogyakarta. Permintaan yang sama yang ditujukan bagi Mangkunegara II dengan Legiun Mangkunegarannya.


            Kebetulan, malam ini baru saja tiba Letnan-Kolonel Genie[2] Cochius dari Markas Komando Semarang, yang berencana akan menginspeksi pasukan besok pagi. Sebentar lagi, bawahan dari Kolonel Von Jett ini akan datang di ruangannya untuk membahas strategi pertahanan Yogyakarta.


            Benar saja, tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kakinya di atas lantai marmer yang dingin di malam yang sunyi itu. Setelah saling memberikan hormat secara militer dan bersalaman, Cochius dan Mac Gillavry membentangkan sebuah peta Karesidenan Yogyakarta dan sekitarnya di atas meja bundar, tempat di mana biasanya dilangsungkan rapat antar pejabat karesidenan.


            Sambil menunjukkan jarinya di satu titik merah di atas peta, Gillavry berkata, “Ini Tegalredjo. Semula Diponegoro dan yang lainnya tinggal dan bermarkas di sini. Tadi sore Chevallier dan Letnan Satu Thierry menyerang kedudukan mereka dari segala arah, terutama selatan, timur, dan utara. Pasukan dari arah barat sendiri rupanya terhambat blokade jalan dan banyak jebakan di sana sehingga Diponegoro dan yang lainnya berhasil meloloskan diri ke arah barat ini.”


            “Kemana kira-kira perginya mereka?”
            Mac Gillavry mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Mereka mungkin sudah mempersiapkan segalanya, termasuk jalur pelarian. Yang jadi masalah, sepeninggal Diponegoro dari Puri Tegalredjo sore tadi, sepanjang malam ini timbul pemberontakan di mana-mana. Pasukan kita cukup kewalahan sekarang. Bukan tidak mungkin, pemberontakan akan merembet ke Surakarta ini...”


            “Ya, ya itu benar. Saya juga mendengar kabar jika pasukan Kiai Modjo juga telah bergerak untuk bergabung dengan Diponegoro. Entah, mereka sudah bertemu atau belum...”


            Mac Gillavry tidak begitu kaget dengan kabar yang dikatakan Cochius. Dia tahu, Kiai Modjo dan banyak guru agama di wilayahnya memang sangat dekat dengan Diponegoro sejak lama. Bahkan ada juga di antara mereka yang mengikatkan diri dalam tali kekeluargaan dengan mengawinkan satu anak dengan yang lainnya.


“Agama Islam telah menyatukan mereka semua. Inilah yang sesungguhnya sangat berbahaya. Kita akan sulit untuk menundukkan para pemberontak yang disatukan oleh agama ini. Sejarah telah memberi kita banyak pelajaran tentang hal itu, sejak masa-masa awal penyebaran agama ini di Arab hingga masa Perang Salib di Yerusalem...”


Cochius mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya dia benar-benar kagum dengan residen yang satu ini yang mempunyai wawasan kesejarahan yang cukup baik. Berbeda sekali dengan Smissaert. Cochius kemudian menoleh kepada Gillavry dan bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Smissaert dalam menghadapi Diponegoro, “Tuan Residen, apa yang kemudian diperbuat oleh Karesidenan Yogya untuk menghadapi hal ini?”


            Mac Gillavry tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. “Tidak ada! Nyaris tidak ada! Sejak awal aku sudah peringatkan mereka akan bahayanya Diponegoro ini, tetapi mereka tidak perduli. Sekarang setelah semuanya terjadi, dengan enaknya mereka meminta bantuan pasukan kepada kita. Mau tidak mau, kita pasti akan membantu mereka. Segala sesuatu yang terjadi di Yogya, sudah pasti akan dirasakan juga disini!”


            “Lantas jika demikian, apa yang sekarang Tuan Residen buat?”
            “Apa yang aku perbuat?”
            “Ya. Yang pertama sudah pasti Tuan akan berusaha keras mencegah pemberontakan akan merembet di wilayah ini. Benar bukan?”
            Residen Surakarta itu mengamini pandangan Cochius, “Ya. Itu sudah pasti...”
            “Dan yang kedua?” 


[1] (Bahasa Jawa): Timur Laut
[2] Insinyur kemiliteran, atau Korps Zeni.


“Bagaimana menurutmu sendiri, Letkol?” Gillavry balik bertanya.


            “Memadamkan pemberontakan terhadap pemerintah adalah tugas kita semua. Di mana pun itu terjadi. Apalagi yang berada dekat dengan wilayah kita sendiri. Bukankah demikian, Tuan Residen?”


            “Itu benar. Kita memang harus ikut memadamkan pemberontakan dengan menangkap pimpinan pemberontakan itu.”


            “Bagaimana dengan permintaan penambahan pasukan ke Yogyakarta?”
            “Besok pagi engkau akan menginspeksi pasukan kita disini. Kita akan memberangkatkan sejumlah pasukan ke Yogya besok pagi itu. Kita hubungi juga Legiun untuk ikut berangkat ke Yogyakarta bersama-sama kita.”


            “Legiun sudah siap. Mereka akan berangkat besok pagi menambah jumlah pasukan mereka di Yogya. Jika tidak ada halangan, Ritmeester[1] Raden Mas Suwongso sendiri yang akan memimpin Legiun. Mereka ini  akan memperkuat pertahanan di sekeliling kraton...”
            “Baguslah jika begitu. Bagaimana dengan kabar dari Semarang sendiri?”


            “Kolonel Von Jett sudah menyanggupi untuk mengirim satu kompi infanteri ditambah artileri sebanyak duaratusan prajurit infanteri dan kavaleri yang akan dipimpin Kapten Kumsius. Mereka akan lewat Magelang karena Residen Magelang akan menitipkan dana tambahan untuk pertahanan Yogyakarta seperti yang Residen Smissaert minta.”


            “Apakah Kolonel Von Jett sendiri akan langsung memimpin pasukannya?”
            “Sepertinya begitu. Tapi sampai sekarang belum ada informasi yang valid tentang itu...”    
            “Menurut penilaianmu pribadi?”
            “Besar kemungkinan dia akan terjun langsung. Dia seorang pimpinan yang tidak betah berada di belakang meja...”
            Gillavry tertawa, “Beruntung kau punya pimpinan seperti dia...” 


            “Ya. Dan Tuan Residen juga beruntung memiliki sekutu kuat yang sangat setia pada kerajaan kita di sini...”
            “Oh ya? Siapa yang Anda maksud, Letkol?”
            “Siapa lagi jika bukan Susuhunan Mangkunegara II, si Raja Tua itu...”


            Mac Gillavry tersenyum lebar dan mengangguk-angguk, “Ya, kau benar, Letkol. Raja itu sangat setia pada kita. Dia patut mendapatkan medali kehormatan atas kesetiaannya selama ini. Kesetiaan yang tanpa cela...”


            Malam bertambah larut. Letnan Kolonel Genie Cochius dan Residen Mac Gillavry terus membahas strategi yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan terakhir. Mereka terus berbincang sampai dini hari. Pukul tiga pagi mereka baru masuk ke dalam kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Keduanya percaya, esok hari adalah hari yang amat melelahkan...

Tak jauh di perbatasan antara Karesidenan Surakarta dengan Yogyakarta, di sejumlah tempat masih terjadi pertempuran dalam skala kecil antara laskar-laskar dadakan melawan prajurit Belanda dan juga Legiun. Pos-pos penjagaan jalan dan juga pos intai diserang. Korban terus berjatuhan di kedua belah pihak. Sesekali masih terdengar suara tembakan bersahut-sahutan. Malam yang biasanya sunyi, kali ini begitu meriah. Sebuah awal bagi perang besar... []


Bab 29
  
PERAN PEREMPUAN DI NUSANTARA ternyata sudah jauh ada sebelum Raden Ayu Kartini lahir. Dua abad sebelum era Kartini, di Aceh Darussalam terdapat Sri Sultanah Ratu Safiatudin Tajul ‘Alam. Ratu ini selain sangat cerdas—menguasai sekurangnya tujuh bahasa asing, pelahap karya sastra dan sejarah, dan diplomat ulung, juga seorang yang perempuan shalihah yang begitu taat memegang ajarannya. Salah satunya adalah catatan yang mengisahkan dia selalu menerima semua tamu negara yang bukan muhrim dari balik hijab sutera berhiaskan emas permata. Semua itu ditambah dengan ‘kegagahannya’ memimpin satu pasukan khusus perempuan pengawal istana yang ikut maju bertempur dengan gagah berani dalam Perang Malaka di tahun 1639.


            Di Tanah Jawa, puluhan tahun sebelum Kartini lahir, seorang Ratu Ageng—permaisuri Sultan Hamengku Buwono I—juga menyamai kualitas seorang Sultanah Safiatudin. Hal itu diwariskan kepada Raden Ayu Retnaningsih, isteri dari Pangeran Diponegoro, yang tidak saja cantik, cerdas, dan sholihah, namun juga mampu memimpin pasukan khusus perempuan sebagaimana Bregada Langen Kesuma, yang turut berperang di sisi Diponegoro dengan gagah berani melawan kafir Belanda dan antek-anteknya.


            Setelah siuman dari pingsannya, dengan masih merasakan lemas di sekujur badan, Raden Ayu Retnaningsih sudah mengendarai kuda sendirian. Perjalanan dari Tegalredjo ke Dekso yang sudah masuk ke dalam wilayah Kulon Progo[2] sebenarnya bukan perjalanan yang sulit dan melelahkan. Namun disebabkan mereka mengambil jalur agak melambung ke utara, dan tidak melalui jalan raya, melainkan melalui jalan kecil bahkan harus menerabas hutan dan pinggiran sawah, maka mereka baru tiba di desa kecil tersebut lewat tengah malam.
Sesekali dari atas kudanya, Pangeran Diponegoro mendekati isterinya tersebut dan menanyakan apakah Retnaningsih sudah lelah dan menawarkan istirahat. Namun dengan tegar dan tersenyum, perempuan itu selalu menggelengkan kepalanya dan bersikeras agar perjalanan dilanjutkan saja hingga tiba di desa tujuan.


Menurut rencana yang disusun bersama dengan Ki Guntur Wisesa, jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan maka semua anak-anak kecil, para emban, dan siapa pun yang bukan atau belum bisa menjadi kombatan, akan dititipkan di Dekso. Setelah itu, Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya akan melanjutkan perjalanan ke wilayah Gua Selarong yang sudah lama ditetapkan sebagai basis perjuangan melawan kafir Belanda.


Perpisahan yang terjadi antara Raden Ayu Retnaningsih dan anak-anaknya yang masih kecil di Dekso sungguh-sungguh mengharukan. Sambil mengumpulkan semua anaknya di dalam rengkuhan pelukannya, dengan penuh perasaan cinta Retnaningsih berkata,  


“Anak-anakku, ibu atau bapakmu cepat atau lambat pasti akan meninggalkanmu semua. Namun Allah subhana wa ta’ala tidak akan pernah meninggalkanmu. Gusti Allah akan selalu menjagamu. Sebab itu, janganlah sekali-kali melupakan atau meninggalkan Gusti Allah. Hanya Gusti Allah sebaik-baik pelindung dan tempat mengadu. Ibu dan bapakmu akan terus berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan kalian dan semua saudara-saudara seiman. Doakanlah kami. Dan kami pun akan selalu mendoakan kalian. Jika kalian selalu bersama Allah, maka kalian juga akan selalu bersama ibu dan bapakmu ini. Yakinlah, kita akan segera bertemu dan berkumpul kembali. Allah Maha Kuasa. Gusti Allah Maha Kuat...”


Walau berusaha tetap tegar, namun Retnaningsih tidak mampu membendung airmata haru yang akhirnya mengalir keluar dari kedua sudut matanya. Dipeluknya anak-anak itu satu-persatu dengan hangat. Tidak ada yang tahu, apakah ini pertemuan terakhir atau bukan. Namun semua berharap, agar mereka bisa kembali bertemu dalam satu keluarga yang utuh.
Setelah Raden Ayu Retnaningsih memeluk anak-anaknya, giliran Pangeran Diponegoro yang mencium dan melepas semua anak-anaknya, juga dengan peluk dan cium.
“Anak-anaku sayang, yakinlah dengan keyakinan yang sebenar-benarnya. Allah akan selalu bersamamu. Jika suatu hari kalian melihat cahaya yang indah, kapan pun itu, itu adalah aku. Tumbuh besarlah dan menjadi kuatlah. Pegang agama kita sekuat-kuatnya, gigitlah dengan sekeras-kerasnya, hingga nafas terakhir...Jika kalian selalu bersama Allah, aku dan ibumu ada di sana...”


Semua yang hadir malam itu berlinang airmata. Sebuah perpisahan yang amat sangat mengharukan.


Di Dekso, mereka semua tidak berlama-lama. Malam itu juga mereka melanjutkan perjalanan, kali ini terus ke arah selatan, menuju Gua Selarong. Beberapa lelaki dewasa yang ada di Dekso mengikuti rombongan dengan membawa senjatanya masing-masing dan bersumpah sehidup semati bersama Pangeran Diponegoro. Di setiap kampung dan dusun yang dilewati, jumlah rombongan selalu bertambah. Lebih dari setengah lelaki yang sudah mampu berperang, memilih ikut bersama Pangeran Diponegoro. Dari yang semula hanya berjumlah puluhan, semakin mendekati Selarong, rombongan mereka sudah mencapai ratusan hingga membentuk satu pasukan besar.


Rombongan besar ini mencapai Selarong disambut dengan gema adzan subuh dan kokok ayam jantan. Ratusan laskar yang sudah berada di Selarong menyambut rombongan itu dengan gegap gempita dan takbir. Kedua mata Pangeran Diponegoro kembali basah karena terharu. Dia teringat satu episode sejarah Rasul Muhammad SAW ketika hijrah menghindari kezaliman kaum musyrik Quraisy, dari Makkah menuju Madinah. Saat menginjak perbatasan kota Madinah, penduduk asli Madinah yang dikenal sebagai Kaum Anshor menyambut rombongan Rasulullah dengan takbir dan lagu-lagu perjuangan. Diponegoro tersenyum. Mereka adalah kaum Muhajirin sekarang dan laskar serta penduduk Selarong adalah kaum Anshor-nya.


Sejarah memang selalu berulang, dalam bentuk dan pola yang sama. Yang berganti hanyalah nama-nama... (Bersambung)     


[1] Pangkat setara Kapten.
[2] Kulon Progo berarti “Sebelah barat Kali Progo”

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...