Minggu, 15 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (18)

Di dalam bilik utama di dalam Puri Tegalredjo, isteri Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih—puteri dari Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang Kepadhangan—tengah menidurkan anak-anaknya. Lagu Lir-Ilir mengalun merdu perlahan dari bibirnya yang tipis. Dengan penuh kasih sayang, Raden Ayu Retnaningsih mengusapkan tangannya dengan lembut ke kening anak-anaknya yang baru saja terlelap. Disibakkannya rambut di kening anak-anaknya yang sudah agak panjang menutupi keningnya. Perempuan itu memandangi lekat-lekat wajah mereka. Ada rasa damai yang sangat indah di dalam relung garbanya, di saat dia memandangi wajah-wajah mungil tanpa dosa yang tengah tertidur pulas.




Namun penglihatannya tiba-tiba buram. Kedua matanya basah. Bulir-bulir air mata yang begitu bening pun luruh, merambat turun dengan pelan di kedua pipinya yang halus. Perempuan shalihah itu galau kala teringat pesan suaminya, Pangeran Diponegoro, tadi sore, jika dirinya dan anak-anak mereka harus selalu siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Belanda dan Patih Danuredjo IV sedang mengincar diri suaminya, dan bukan tidak mungkin Belanda akan mempergunakan cara apa saja untuk menangkap mereka, bahkan mungkin membunuhnya.

Sekali lagi diusapnya kening anak-anaknya. Kemudian diciumnya dengan lembut. Setelah itu dia meraih sebuah mushaf yang selalu tergeletak di ujung tempat tidurnya. Dalam keadaan masih berwudhu, perempuan itu kemudian membaca ayat demi ayat Allah dengan suara yang begitu lirih. Nyaris tak terdengar. Sepanjang malam, Raden Ayu Retnaningsih bermunajat kepada Allah subhana wa ta’ala agar diberikan ampunan, ketabahan, sekaligus kekuatan untuk menghadapi hari-hari esok yang hanya Allah yang Maha Tahu.

Secara pribadi, Retnaningsih sungguh tidak pernah takut jika harus berhadapan melawan Belanda. Perempuan yang jago memanah dan memimpin satu pasukan khusus perempuan yang menjadi bagian dari Laskar Diponegoro ini hanya iba dengan nasib anak-anaknya kelak yang harus ikut berperang. Walau tangguh dan tegar, Retnaningsih bagaimana pun seperti seorang ibu kebanyakan, yang ingin anak-anaknya tumbuh besar di dalam masa yang damai dan tenteram. Namun kenyataan berkata lain. Agaknya Allah memang memiliki rencana lain terkait semua yang harus dihadapinya.


Di luar bangunan utama Puri Tegalredjo, Pangeran Diponegoro didampingi Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, Mangkubumi, dan Ki Singalodra, dengan penjagaan dari satu regu pasukan kawal, masih berada di dalam masjidnya. Di luar tembok puri, terdapat penjagaan satu lapis lagi di keempat penjuru mata angin. Demikian pula dengan lingkar satu, lingkar dua, dan tiga. Semua prajurit sudah siap, menanti dengan kesiagaan penuh apa yang akan terjadi.
Di tanah makam leluhur, tombak-tombak yang sengaja ditancapkan untuk menggantikan patok-patok proyek jalan, masih berdiri dengan gagahnya. Ini adalah pesan yang sangat nyata kepada kafir Belanda, jika pribumi tidak akan pernah takut untuk berjuang menegakkan keadilan, bahkan jika harus di bayar dengan nyawa sekali pun. []

Bab 20
  
UFUK PAGI MULAI MEREKAH MERAH. Lampu-lampu sentir dan obor di beberapa bagian Puri Tegalredjo masih menyala terang. Sebagian lagi sudah padam. Kompleks Puri Tegalredjo yang memiliki luas keseluruhan sekira dua hektar are ini tampak sepi. Namun sesungguhnya tidak demikian. Di tiap sudut bangunan, bawah pohon beringin, dan di tempat-tempat tersembunyi, selalu saja ada prajurit yang berjaga. Mereka memang tidak menampakkan penjagaan secara menyolok, sesuai dengan perintah Senopati Joyonenggolo yang bertanggungjawab terhadap keamanan seluruh area dalam puri tersebut.

            Puri Tegalredjo merupakan kompleks bangunan yang berbeda dengan bangunan-bangunan lain di desa ini, bahkan jika dibandingkan dengan bangunan kediaman para pangeran yang lain. Kebanyakan bangunan masih menggunakan dinding bilik yang dilabur kapur putih dengan tulang-tulang bambu atau kayu panjang dengan atap sirap atau genteng. Berbeda dengan Puri tempat kediaman Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro yang sudah dibangun secara permanen, dengan batu bata dan semen. Bahkan sebuah tembok setebal setengah sampai hampir satu meter dibangun mengelilingi kompleks puri ini dengan bagian samping dan belakang lebih tinggi hingga mencapai tiga meter[1].

            Sebagaimana bangunan bangsawan kraton lainnya, kompleks ini juga menghadap ke arah selatan di mana Laut Kidul menggelora. Hanya bangunan kraton yang menghadap ke arah ini, sedangkan rumah rakyat biasa akan berdiri dengan menghadap bangunan-bangunan kraton.

            Gerbang besar Puri Tegalredjo diapit oleh dua pintu kecil yang selalu terbuka. Di belakang gerbang, membentang sebuah alun-alun kecil dengan luas lebih kurang empat kali luas lapangan basket. Alun-alun itu dikelilingi sawo kecik yang berjajar rapi, diseling pohon beringin di sana-sini. Sebuah pendopo besar dengan atap joglo berdiri di sisi utara alun-alun yang juga menghadap ke selatan. Di bagian belakang pendopo berdiri bangunan utama puri sebagai tempat tinggal Ratu Ageng, dan juga Diponegoro serta keluarganya. Bangunan utama ini dikelilingi bangunan-bangunan lain, seperti masjid di sebelah barat, istal kuda,  gudang beras dan hasil bumi lainnya, kamar-kamar tempat menginap para tamu, juga rumah para pekerja puri ini.

Di Tegalredjo, tanah milik Pangeran Diponegoro cukup luas. Di sebelah timur dibatasi Kali Winongo yang cukup dalam dan lebar.

            Sejak Pangeran Diponegoro diboyong Ratu Ageng keluar dari kraton dan menetap di Tegalredjo, wilayah ini berkembang dengan pesat. Jumlah penduduk terus bertambah. Rumah-rumah baru terus bermunculan. Dan rumah-rumah lama banyak yang diubah bentuknya. Dengan sendirinya jalur jalan raya mulai membaik dan lebih panjang.

            Pangeran Diponegoro sendirilah yang mengatur pohon-pohon, jalan, dan kolam di daerah ini. Selain tumbuhan, putera Hamengku Buwono III ini juga gemar memelihara sejumlah hewan piaraan seperti burung perkutut dan juga kuda. Bisa jadi, dalam skala lebih kecil, Diponegoro tampaknya mewarisi bakat kakek buyutnya, yakni Sultan Hamengku Buwono I, yang merupakan seorang arsitek yang hebat, yang merencanakan sendiri tata ruang serta rancang bangun untuk Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan seluruh bangunan pendukungnya, termasuk Taman Sari.[2]

            Tak jauh dari kompleks puri, masih di dalam areal tanah milik Diponegoro yang berada di Selohardjo, di tepi Kali Winongo, Diponegoro juga membangun sebuah panepen, yaitu tempat untuk menyendiri atau bersemadi. Gedung ini sangat indah yang dilengkapi dengan serambi depan, tempat menerima tamu, dan juga surau, kolam, dan taman. Di depan gedung ada sebuah batu datar[3] yang dinaungi pohon Kemuning yang begitu rimbun daun-daunnya. Di tempat inilah, Pangeran Diponegoro biasa duduk bertafakur di malam hari. Gedung tersebut dikelilingi kolam dan di tengah kolam dibuat semacam ”pulau” kecil yang ditumbuhi sebatang pohon beringin putih. Di kolam besar yang airnya jernih itu banyak terdapat ikan dari berbagai jenis. [4] 


[1] Disebut juga sebagai Pager Bumi.
[2] Gambaran tentang Puri Tegalrejo ini bisa dibaca dari kesaksian Pendeta H.A. Brumund yang mengunjungi tempat tersebut selang beberapa hari setelah dibakar dan dihancurkan oleh Belanda pada bulan Juli 1825. Juga dari lukisan karya Ratmojo di tahun 1973 yang masih terpasang dengan rapi di salah satu ruangan Puri Tegalredjo yang kini menjadi Museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, Jogyakarta.
[3] Sela gilang.


Pagi ini, usai melaksanakan sholat subuh berjamaah yang seperti biasa diikuti ceramah lima menit, Pangeran Diponegoro keluar dari masjid menuju bangunan utama Puri Tegalredjo. Ustadz Taftayani yang mendampinginya sejak tadi malam masih berdiam di dalam masjid. Sedangkan Ki Singalodra tetap mengikuti Diponegoro, namun berhenti sampai di teras depan bangunan utama.

            Dari arah pendopo, Pangeran Mangkubumi berjalan mendekati Ki Singalodra yang tengah berdiri di depan bangunan utama. Setelah memberi salam, Mangkubumi menanyakan perihal pangeran kepada Ki Singalodra.

            “Bagaimana keadaan Pangeran, Kisanak?”
            “Alhamdulillah, baik...”

            “Residen gila itu tadi malam mengutus salah seorang anak buahnya menemuiku. Dia mengancam, jika Pangeran Diponegoro tidak juga menemuinya sampai maghrib, maka Belanda akan melakukan segala cara untuk menangkapnya...”
”Inggih, Kanjeng Pangeran...”

Tiba-tiba pintu puri terbuka. Seorang laki-laki dengan jubah putih dan surban hijau pupus keluar dan menyapa Mangkubumi dengan salam doa keselamatan.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Paman Mangkubumi...”

Mangkubumi menjawab salam Diponegoro kemudian memberitahukan soal utusan Residen Smissaert yang menemuinya tadi malam di dekat Puri Tegalredjo.

“Bagaimana sebaiknya, Pangeran?”

Untuk sesaat Diponegoro terdiam. Dia tahu jika kali ini Residen Smissaert rupanya benar-benar marah dan tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sejak beberapa hari lalu dan puncaknya tadi malam, perasaannya mengatakan jika sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda namun Diponegoro tidak tahu apa yang akan terjadi.

“Paman...,” jawabnya. “...Saya tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini atau besok. Hanya Allah yang Maha Mengetahui Segala Sesuatunya. Kita sebagai hamba-Nya hanya diperintahkan untuk bersiap jika terjadi sesuatu. Sebab itu, kita telah mempersiapkan semuanya. Dan mudah-mudahan, insya Allah, semua yang terjadi akan menjadi kebaikan bagi kita semua...”

Pangeran Mangkubumi menganggukkan kepala, “Itu benar, Pangeran. Namun apa yang akan kita kerjakan untuk menjawab ultimatum residen itu?”

“Nanti akan saya tulis surat kembali. Surat terakhir kita kepada mereka. Tentang peneguhan sikap kita. Selain itu, pagi ini juga tolong siapkan semua pasukan kita di sekitar Tegalredjo ini, Paman.”

“Baik, Pangeran.”
“Dan kau Ki Singalodra...”

Ki Singalodra yang sedari tadi terdiam mendengarkan percakapan kedua bangsawan di dekatnya itu dengan penuh hormat menjawab, “Inggih, Kanjeng Pangeran...”

“Kau hubungi lagi Senopati Joyonenggolo dan perintahkan dia untuk memperketat penjagaan. Dan satu lagi, tolong supaya Joyonenggolo memeriksa jalur penyelamatan ke Gua Selarong sekali lagi. Kita tidak tahu bagaimana nantinya, namun tidak ada salahnya untuk mempersiapkan segala sesuatunya...”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan...”
            Setelah memberi salam, Ki Singalodra bergegas berjalan menuju kuda hitamnya. Dengan sekali lompat, dia sudah berada di atas pelana dan memacu kudanya menuju pos utama puri tempat Senopati Joyonenggolo berada. []

Bab 21
  
DANUREDJO TAHU JIKA WAKIL RESIDEN Chevaliers telah menerima surat langsung dari Residen Surakarta Mac Gillavry yang melaporkan tentang perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro yang semakin hari semakin besar. Bukan hanya dalam soal jumlah pangeran, ulama, dan sesepuh desa yang setiap hari terus saja bertambah mendukungnya, namun juga aliran dana yang diperoleh Diponegoro yang sampai saat ini masih saja ditelusuri oleh Belanda. Pemerintah masih kesulitan untuk mencari sumber pendanaan Diponegoro yang diduga kuat sangat besar disebabkan dia bisa membeli senjata api dan tajam dalam jumlah banyak, memberi makan pasukan tiap hari yang cukup banyak, dan juga melaksanakan pelatihan demi pelatihan tempur bagi laskarnya di berbagai tempat.

            Danuredjo sendiri tidak bisa memastikan hal itu. Namun dia yakin jika sejumlah pangeran, ulama, dan sesepuh yang berdiri di belakang Diponegoro-lah yang telah menyumbangkan uangnya untuk memberontak. Itu sudah dikatakannya kepada Smissaert, namun residen tersebut malah menugaskannya untuk mencari bukti yang kuat agar Belanda memiliki alasan untuk menangkapnya.

Seorang Danuredjo sesungguhnya malas mengurusi hal seperti itu, namun dia sudah keburu melaporkan kepada Smissaert sehingga mau tidak mau dia akhirnya berjanji untuk melakukan itu. Dan bukan seorang Danuredjo jika dia tidak bisa memutar otak dengan licin. Setelah ditugasi Smissaert, dia malah memanggil Ki Sentono dan menyerahkan tugas tersebut kepada orangtua itu.

            Siang itu di pendopo alun-alun Lor[1] Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berbatasan sepelemparan meriam dari Benteng Vredeburg di mana Residen Yogyakarta A. H. Smissaert tinggal, Danuredjo tengah mengumpulkan semua senopati utama kraton dan juga beberapa pasukan bantuan. Di depan mereka, Patih Dalem tersebut menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang sekarang berkumpul di sekitar Tegalredjo tengah bersiap untuk melakukan pemberontakan dengan menyerang kraton dan menghabiskan seluruh pejabat kraton beserta keluarganya.

            “Pasukan Belanda akan membantu kita. Akan melindungi kraton kita. Walau mereka berbeda agama dengan kita, berbeda dengan agama Islam sebagai falsafah kraton ini, tetapi mereka akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mendukung kita. Dengan izin Allah kita akan menang. Allahu Akbar!” ujar Danuredjo berapi-api. Baginya, semua cara harus ditempuh untuk bisa menyatukan kekuatan di belakangnya, termasuk menunggangi Islam demi kepentingan pribadinya.

            Seluruh senopati yang ada di hadapannya mengangguk-anggukkan kepala. Walau tahu jika yang dikatakan Patih Dalem tersebut banyak dustanya, namun para senopati tersebut tidak mau mendebatnya. Mereka semua tahu, walau wajah Danuredjo selalu memasang senyum, namun dia sesungguhnya sangat tidak suka didebat, bahkan sekadar untuk dipertanyakan semua tindak-tanduknya. Dengan tersenyum dia bisa memerintahkan pembunuhan yang paling keji sekali pun, atau paling ringan adalah memecat mereka dan mengusir mereka beserta anak isterinya ke hutan. Siapa pun yang berada dekat dengan Danuredjo tidak ingin mengambil resiko itu. Di depan orang ini, lebih baik diam daripada berbicara.

            Dengan penuh kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an tentang Islam yang penuh rahmat bagi semesta, derajat manusia yang sama, Allah Maha Pengasih dan Penyayang, dan sebagainya, Patih Danuredjo berpidato panjang lebar menekankan perlunya pihak kraton menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah Belanda.

            “Islam tidak melarang kita bermuamalah[2] dengan orang-orang di luar Islam. Rasulullah dahulu juga melakukan hubungan dagang dengan orang Yahudi dan bukankah Rasulullah itu sebaik-baiknya teladan bagi umat manusia? Sebab itu, bekerjasama dengan Belanda itu diperbolehkan di dalam Islam. Bukankah begitu Kiai Suranudin?”

            Lelaki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih dan tangan kanannya yang selalu memilin sebuah tasbih kecil dari kayu cendana, menganggukkan kepalanya, “Ya. Memang benar Kanjeng Patih...”

            Danuredjo tersenyum puas, “Dan saya ingin bertanya kepada kalian semua. Apakah kita ini semuanya telah beragama Islam?”

            “Inggih, Kanjeng Patih...,” sahut semuanya serempak.
            “Bukankah Kanjeng Sri Susuhunan Sultan Hamengku Buwono IV juga seorang Muslim?”
“Inggih, Kanjeng Patih...”

“Nah, kita ini adalah kerajaan Islam. Kita adalah pemerintahan Islam. Semua yang ada di kraton ini adalah orang-orang Islam. Kanjeng Sultan adalah Imam kita semua. Jika Pangeran Diponegoro hendak melakukan pemberontakan kepada kraton, terhadap Sultan, berarti dia telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam, memberontak terhadap Imam. Bukankah itu yang di dalam fiqh Islam disebut sebagai Bughot? Bagaimana Kiai Suranudin?”

            Kiai Suranudin membelai-belai janggut putihnya yang sudah hampir menyentuh dadanya, “Ya, ya, itu benar. Di dalam fiqh, kaum bughot adalah kaum atau kelompok bersenjata yang menentang penguasa kaum Muslimin, menentang Sang Imam. Sepengetahuan saya, syarat untuk bisa suatu kelompok dianggap sebagai bughot adalah: Pertama, mereka memiliki pasukan bersenjata yang akan digunakan untuk melawan Imamnya. Kedua, mereka ini memiliki pimpinan yang ditaatinya. Ketiga, mereka berbuat demikian disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontak adalah suatu keharusan...”

            Belum selesai Kiai Suranudin berbicara, Danuredjo langsung menyela, “Jika demikian, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya jelas-jelas memenuhi semua persyaratan disebut sebagai kaum bughot. Bukankah demikian Kiai?”

            “Ya. Mereka sudah memenuhi ketiga syarat itu,” ujar Kiai Suranudin. Dia sepertinya tidak punya pilihan lain. Danuredjo memang sangat lihai memutar lidah dan logika, sehingga dia mau tidak mau akan mengatakan apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Patih Dalem tersebut. Kiai Suranudin pun merasa apa yang dikatakannya benar, sudah sesuai dengan kaidah fiqh, namun entah mengapa hatinya merasa tidak nyaman. (Bersambung)

[1] Bahasa Jawa: Utara.
[2] (Bahasa Arab): Berinteraksi.
[4] Babad Diponegoro VII: b.40-42.


Sumber : eramuslim.com

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...