Oleh : Eramuslim.com
“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk Sari.”
“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan itu kowe jangan suruh menari lama-lama. Nanti dia kecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti cepat capek. Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?”
Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut tertawa.
“Sriayu lagi...?” goda Smissaert.
Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini yang lain saja. Bosan kalau makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur lodeh...”
Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian. Keduanya memang penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun, Patih Danuredjo akan memenangkan pihak yang memberikan hadiah berupa perempuan muda dan cantik kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu menandingi mereka dalam urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara, termasuk dengan puteri-puteri kraton.
Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras berserakan di mana-mana. Laki-laki dan perempuan masih berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik. Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula kraton malam itu tak ubahnya seperti bar atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak sampai menembus ke luar dinding tebal kraton.[]
Bab 5
Puri Tegalredjo, 04.50 wib
ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI ANGKASA pagi. Suaranya terdengar mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan kecil, yang tersebar di seantero dusun di lembah dan gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun berkokok bersahut-sahutan.
Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam masjid yang belum sepenuhnya rampung dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih dengan surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya. Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang hening sendirian. Baginya malam adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan keabadian.
Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda dengan jubah dan songkok putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.
Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut berdiri, kemudian melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid. Mereka adalah warga sekitar Puri Tegalredjo yang sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah sholat subuh yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung atau jubah putih.
Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah dua rakaat kemudian berdiri paling depan di mihrab imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi bersamanya untuk segera mengumandangkan iqamah.
Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga tidak pelan, anak muda tadi menangkupkan tangan ke sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah, tanda sholat subuh berjamaah akan segera didirikan. Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di mihrab untuk sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sebatas telinga. Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!” Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang imam.
Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang menjadi imam sholat membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas berisi tentang kemurnian tauhid. Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang benar agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allah subhana wa ta’ala. Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.
Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang merupakan surat ke-102 yang menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu. Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro membaca delapan ayat surat tersebut. Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara Sang Pangeran yang begitu menyayat hati.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
Sampai kamu masuk ke liang kubur,
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,
Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,
Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)...”
Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh yang berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah soal “Islam dan Negara”.
“...di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh orang-orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah, lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu? Ada yang tahu?”
Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap dirinya. Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.
“Ya, silakan jawab anak muda...”
“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah negara adalah kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah...”
Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”
Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ada lagi yang ingin bertanya?”
Seorang lelaki tua mengangkat tangan.
“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.
“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika... apa itu... Daulah Islamiyah itu... belum ada... Apa yang harus kita lakukan?”
“Matur nuwun bapak... Iya, Daulah Islamiyah namanya. Atau Negara Islam. Jika Daulah Islamiyah belum tercipta seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah Islamiyah itu di dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa, dan terus menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara Islam.”
“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti sekarang, dimana kaum kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan kafir Belanda itu?”
“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah hukum, sistem kekuasaan, atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan dengan perintah dan larangan Allah subhana wa ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar, maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga wajib memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih apa pun. Orang Islam yang bersekutu dengan thagut adalah orang yang mengkhianati perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada balasan dari Allah terhadap orang-orang seperti itu. Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” (Bersambung)
[1] (Bahasa Arab): Nasehat.
[2] (Bahasa Arab): Sejarah.
“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk Sari.”
“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan itu kowe jangan suruh menari lama-lama. Nanti dia kecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti cepat capek. Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?”
Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut tertawa.
“Sriayu lagi...?” goda Smissaert.
Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini yang lain saja. Bosan kalau makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur lodeh...”
Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian. Keduanya memang penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun, Patih Danuredjo akan memenangkan pihak yang memberikan hadiah berupa perempuan muda dan cantik kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu menandingi mereka dalam urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara, termasuk dengan puteri-puteri kraton.
Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras berserakan di mana-mana. Laki-laki dan perempuan masih berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik. Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula kraton malam itu tak ubahnya seperti bar atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak sampai menembus ke luar dinding tebal kraton.[]
Bab 5
Puri Tegalredjo, 04.50 wib
ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI ANGKASA pagi. Suaranya terdengar mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan kecil, yang tersebar di seantero dusun di lembah dan gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun berkokok bersahut-sahutan.
Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam masjid yang belum sepenuhnya rampung dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih dengan surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya. Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang hening sendirian. Baginya malam adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan keabadian.
Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda dengan jubah dan songkok putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.
Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut berdiri, kemudian melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid. Mereka adalah warga sekitar Puri Tegalredjo yang sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah sholat subuh yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung atau jubah putih.
Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah dua rakaat kemudian berdiri paling depan di mihrab imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi bersamanya untuk segera mengumandangkan iqamah.
Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga tidak pelan, anak muda tadi menangkupkan tangan ke sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah, tanda sholat subuh berjamaah akan segera didirikan. Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di mihrab untuk sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sebatas telinga. Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!” Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang imam.
Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang menjadi imam sholat membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas berisi tentang kemurnian tauhid. Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang benar agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allah subhana wa ta’ala. Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.
Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang merupakan surat ke-102 yang menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu. Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro membaca delapan ayat surat tersebut. Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara Sang Pangeran yang begitu menyayat hati.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
Sampai kamu masuk ke liang kubur,
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,
Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,
Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)...”
Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh yang berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah soal “Islam dan Negara”.
“...di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh orang-orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah, lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu? Ada yang tahu?”
Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap dirinya. Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.
“Ya, silakan jawab anak muda...”
“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah negara adalah kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah...”
Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”
Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ada lagi yang ingin bertanya?”
Seorang lelaki tua mengangkat tangan.
“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.
“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika... apa itu... Daulah Islamiyah itu... belum ada... Apa yang harus kita lakukan?”
“Matur nuwun bapak... Iya, Daulah Islamiyah namanya. Atau Negara Islam. Jika Daulah Islamiyah belum tercipta seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah Islamiyah itu di dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa, dan terus menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara Islam.”
“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti sekarang, dimana kaum kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan kafir Belanda itu?”
“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah hukum, sistem kekuasaan, atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan dengan perintah dan larangan Allah subhana wa ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar, maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga wajib memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih apa pun. Orang Islam yang bersekutu dengan thagut adalah orang yang mengkhianati perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada balasan dari Allah terhadap orang-orang seperti itu. Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” (Bersambung)
[1] (Bahasa Arab): Nasehat.
[2] (Bahasa Arab): Sejarah.