Minggu, 05 Januari 2014

Novel : FURIN KAZAN

Furin Kazan

Yasushi Inoue


Satu

Tidak ada yang mengetahui asal-usul Aoki Daizen,selain dikenal sebagai mantan pengikut keluarga Hojo yang kehilangan posisi karena melakukan kesalahan besar,
samurai tak bertuan berusia 30 tahunan itu, tiba di kota benteng Sunpu yang diperintah Imagawa Yoshimoto, setahun lalu. Tidak ada hal lain yang diketahui orang tentang dirinya.

Kebanyakan pengikut Imagawa akan menghindar bila berpapasan di jalan dengan Aoki Daizen. Wajah dan sosoknya memancarkan sesuatu yang tidak menyenangkan;

pucat dengan bibir tipis dan bekas luka di antara kedua alis.
Bahu kirinya sedikit terangkat saat berjalan. Meski wajahnya terlihat cukup tampan, penampilannya tampak dingin dan kejam.

Daizen sangatlah lihai. Entah dari aliran pedang mana, permainan pedangnya sangat cepat dan selalu berhasil menumbangkan lawannya dengan hanya sekali sabetan.
Pada musim semi ini, akan diadakan pertandingan di alun alun kota, yang juga mengizinkan para samurai tak bertuan untuk ikut ambil bagian. Saat itu, keahlian pedang Daizen
tampak menonjol. Tak seorang pun mampu menandinginya. Belasan samurai yang membanggakan kemampuan mereka, hampir semuanya tumbang dalam
sekali sabetan. Dada mereka ditusuk dari bawah oleh pedang kayu Daizen, yang membuat tubuh mereka terpental ke belakang. Seorang memuntahkan darah dan
lainnya sedikit banyak terluka. 

Meski sejak saat itu nama sisamurai tak bertuan, Aoki Daizen, menjadi terkenal,namun tawaran pekerjaan dari keluarga Imagawa tidak kunjung tiba. Walaupun ia sangat ahli memainkan pedang, Daizen memancarkan suatu aura yang mengingatkan orang
agar senantiasa menjauhi. Aura seseorang yang tidak bisa dipercaya.

Sore hari, sesudah pertandingan, Aoki Daizen
meninggalkan penginapannya di daerah Ogata. Saat keluar
di pintu depan, seorang pelayan mengatakan sesuatu,
namun seperti biasa, ia tak menjawab. Si pelayan
memberitahukan tentang kepulangan sang tuan rumah, tapi
entah mendengar atau tidak, Daizen tetap berjalan pelan,
dalam diam, menuju gerbang belakang. Mungkin ia
memang mendengar kata-kata si pelayan tadi, lalu
menghindar lewat gerbang belakang agar tidak bertemu
dengan tuan rumah. Daizen berjalan menyusuri sepanjang
sisi Sungai Abe, sampai tiba di sebuah kelokan besar, la
melangkah turun sepanjang pinggiran, melewati pintu
belakang dari dua atau tiga rumah petani, lalu memasuki
sebuah kuil tua di samping rerimbunan pohon bambu.

“Ada orang?”
Di pintu gerbang ia memanggil lirih. Karena tak ada
balasan, ia membuka pintu gerbang itu, masuk ke sebuah
taman kecil di belakang kuil. Di sana, tumbuh beberapa
pohon dan batu-batu pijakan teronggok tak beraturan.
 “Ada orang?” kembali dia memanggil. Menyadari tandatanda
keberadaan seseorang di dalam ruangan, ia pun lalu
duduk di beranda.

“Siapa?” terdengar suara lirih, sedikit serak.
“Aoki Daizen,” jawabnya angkuh. Tak ada balasan dari
dalam.

“Aoki Daizen,” ulangnya, sambil memandangi pohonpohon
di taman kecil yang sudah dua tiga hari ini disinari
cahaya dingin matahari.

Lalu, terdengar denting logam. Sekeping koin jatuh di
samping tempatnya duduk, la pungut dan lihat koin itu
sekilas; bagian atasnya berpola anyaman, sedangkan bagian
bawah terdapat cap bergambar pohon kiri yang di
tengahnya tercetak huruf Suruga.

“Hah! satu keping!”

Aoki Daizen mendengus, tertawa mengejek.

“Dasar penipu!” katanya penuh kebencian.

“Aku sudah muak mendengar tentang pengembaraan
samuraimu; Berkeliling ke seluruh penjuru negeri,
mempelajari berbagai tradisi mereka, mencari tahu strategi
kekuatannya, memiliki pengetahuan geografis yang
mumpuni. Hah!”

Daizen tertawa pelan dengan suara lebih rendah lagi.
Tawa mengejek yang menunjukkan sikap merendahkan.
Biasanya ia jarang berbicara dan dikenal pendiam. Tapi saat
ini, mulutnya tak berhenti berbicara.

“Dasar penipu! Tahu apa kau tentang strategi perang.
Menguasai rahasia tentang strategi perang, penaklukan
benteng, penaklukan wilayah. Lantas, keahlian pedangmu,
dari aliran Gyoryu, katamu! Ha! Aku ingin melihat
bagaimana kehebatan permainan pedang aliran Gyoryu itu.
Aoki Daizen siap menjadi lawanmu kapan saja!”

Tetap tidak ada balasan dari dalam rumah. Daizen
berteriak marah. “Berikan satu koin lagi! Meski kita samasama
samurai tak bertuan, kau lihai menipu orang lain.
Makanya kau lebih ahli mengumpulkan uang dibandingkan
aku. Berikan satu koin lagi!”

Dari celah pintu, kembali melayang sekeping koin, jatuh
di beranda dengan suara pelan.

“Kuterima ini. Kuberi sepuluh hari lagi sebelum
kubongkar kedok penipuanmu.”

Aoki Daizen bangkit dan berkata, “Hari ini aku terburuburu.
Nanti malam, aku harus bertemu dengan pengikut
Takeda untuk membicarakan pekerjaan. Aku sudah muak
dengan benteng Sunpu.”

Ketika Aoki Daizen sudah berjalan dua-tiga langkah,
terdengar suara serak,

“Tunggu!”

“Ada apa?”

“Tadi kau bicara tentang pengikut Takeda. Siapa dia?”

“Kau penasaran, ya? Namanya Jenderal Itagaki siapalah.
Aku tak tahu nama lengkapnya.”

Jeda sesaat, suara serak itu berkata, “Menurutmu,
segampang itukah mendapatkan pekerjaan?”

“Mana kutahu sebelum mencoba?”

Saat Aoki Daizen kembali berjalan dua-tiga langkah,
pintu bergeser membuka. Seorang lelaki bertubuh sangat
kecil beringsut keluar. Dari wajah hingga perawakan tubuh,
semuanya kelihatan aneh.

“Apa maumu?” Aoki Daizen menoleh.

“Kuberi kau petunjuk. Dengar, Itagaki yang kau sebut itu
pastilah Itagaki Nobukata. Sudah beberapa generasi,
keluarga Itagaki memiliki peran penting di klan Takeda.
Saat ini, Amari Torayasu dan Itagaki Nobukata adalah dua
pengikut utama Takeda. Dia bukan tipe orang yang mau
menerima begitu saja tawaran seorang ronin (samurai tak
bertuan). Hanya ada satu cara. Kita harus menyerang
Itagaki Nobukata!”

“Menyerang?! Menyerang bagaimana?!”

“Sudah jelas. Kau serang dia, lalu aku akan muncul
menyelamatkannya.”

Aoki Daizen tidak paham maksud lawan bicaranya. Pria
kecil si empunya rumah itu berkata lagi,

“Dengan begitu, antara aku dan Itagaki Nobutaka akan
terjalin sebuah ikatan. Tidak ada hutang budi yang lebih
besar daripada menyelamatkan nyawa seseorang. Aku pun
berharap dapat mengabdi pada klan Takeda. Begitu aku
bekerja pada Takeda, aku akan merekomendasikanmu.”

“Lagi-lagi sebuah tipuan, heh?” Aoki Daizen meludah,
lalu memandang tajam lawan bicaranya.

“Tapi tidak ada cara lain yang lebih meyakinkan selain
ini.”

“Dasar penipu!”

“Kalau tidak suka, pergi sajalah.”

Aoki Daizen berpikir sejenak, lalu berbalik ke beranda
dan berkata, “Akhirnya kau tunjukkan karakter aslimu.
Dasar penipu bermata satu!” Mata orang yang duduk di

beranda itu memang hanya satu yang dapat melihat. Entah
melihat ke arah mana, ia tidak tahu pasti.
Saat Daizen berbalik kembali ke beranda, orang itu
menumpukan tangan kanannya di lantai beranda, lalu
mengangkat pinggang. Jari tengah tangan kanan itu sudah
tidak ada. Tak lama kemudian, orang itu berdiri. Meski
begitu, badannya teramat pendek. Pria dengan tinggi tidak
sampai lima kaki itu masuk kembali ke ruang berlantai
tatami.

Aoki Daizen tertawa pongah. Tidak demikian halnya
dengan Kansuke. Berada dalam ruang yang sedikit gelap,
wajahnya terpaku ke arah bunga krisan merah di taman.

“Tidak mudah menyerang orang tanpa melukai. Ini baru
pertama kali bagi Aoki Daizen,” ujarnya. Namun, Kansuke
tetap tidak mengatakan apa pun, seperti sebelumnya.

“Hei! Katakan sesuatu! Kau tidak mau bicara, ya,
Yamamoto Kansuke!” bentak Daizen penuh amarah.

Wajahnya yang pucat seketika menegang kaku.

“Sedikit luka tidak apa-apa, tapi kalau dia sampai mati,
itu akan menimbulkan masalah. Semuanya akan menjadi
sia-sia,” akhirnya suara serak yang tenang itu menyahut
dari dalam ruangan.

Aoki Daizen tidak menyukai Yamamoto Kansuke. la
memang baru bertemu setengah tahun lalu, dan sejak saat
itu pula ia membencinya. Mungkin karena karakter mereka
memang tidak cocok. Setiap kali mendengar suara

Kansuke, selalu muncul dorongan kuat untuk
menghinanya. Alasan Daizen mendatangi rumah Kansuke
memang untuk meminta uang, namun dalam lubuk
hatinya, motivasi untuk membuat jengkel Kansuke jauh
lebih kuat.

Nama samurai tak bertuan Yamamoto Kansuke telah
dikenal di tiga wilayah klan Imagawa yakni Suruga,
Totomi, dan Mikawa. la adalah samurai tak bertuan dari
Ushikubo, Provinsi Mikawa, yang tiba di Sunpu sejak
sembilan tahun lalu. Selama itu, ia telah berkali-kali
memohon kerja pada Imagawa; namun selalu ditolak
dengan alasan yang tidak jelas. Selama sembilan tahun ini
ia dilindungi dan diberi makan oleh pengikut utama klan
Imagawa, yaitu lohara Tadatane. Menurut kabar burung,
alasan lohara menyuplai beras dan garam kepada Kansuke
adalah karena mereka memiliki hubungan kekerabatan.
Kalau tidak, mana mungkin lohara rela mengurusnya,
sementara Kansuke belum diangkat menjadi pengikut klan
Imagawa.

Menurut kabar burung pula, Kansuke menguasai ilmu
pedang aliran Gyoryu dan belum ada pengikut klan
Imagawa yang berhasil mengalahkannya. Namun, belum
ada seorang pun yang pernah melihatnya menghunus
pedang, mendengar tentang kisahnya di medan laga, atau
tentang dia membunuh maupun melukai orang lain. Di
balik desas-desus tentang keahlian pedang Gyoryu-nya,
penampilan aneh Kansuke itulah yang mungkin berperan
lebih besar. Tingginya tidak sampai lima kaki, kulitnya
gelap, salah satu matanya buta, dan kakinya pincang
sebelah, serta tidak ada jari tengah di tangan kanannya.
Usianya pasti telah mendekati 50 tahun.

Kabarnya, sejak berusia 20 tahun Kansuke telah
mengelilingi Jepang, la juga dikabarkan piawai dalam
strategi peperangan, memiliki pengetahuan seni perang
kuno dan modem, serta dikenal sebagai ahli dalam
penaklukan benteng dan perebutan wilayah. Meski
demikian, fakta bahwa ia belum juga dipekerjakan oleh klan
Imagawa dan terus menjadi ronin selama sembilan tahun
ini, justru membantu mengangkat namanya. Kebanyakan
orang menganggap, pasti ada seseorang yang tangguh dekat
tuan Imagawa yang iri atas kecerdasan, pengalaman serta
bakat Kansuke; dan orang itulah yang mencegah
pengangkatan Kansuke. Beberapa waktu kemudian, tersiar
kabar bahwa pejabat yang iri itu tak lain adalah pelindung
Kansuke sendiri, Iohara Tadatane.

Orang jarang mengunjungi Kansuke, bahkan pengikut
Imagawa sekalipun. Pada malam hari rumahnya selalu sepi.
Hanya Aoki Daizen yang tidak percaya pada desas-desus
seputar Yamamoto Kansuke. Penipu! Begitu pikirnya.
Ketidakpercayaannya pada Kansuke didasarkan intuisi
semata, la tidak bisa membayangkan sosok Yamamoto
Kansuke berdiri dengan pedang terhunus di tangan. Jika ia
paksakan bayangan itu dalam benaknya, Kansuke tidak
terlihat sebagai seorang samurai pemberani, melainkan
seorang samurai yang sangat aneh.

Aoki Daizen pertama kali bertemu dengan Yamamoto
Kansuke sekitar enam bulan lalu, dan langsung tidak
memercayainya. Seorang ahli pedang tidak seperti ini
penampilannya, pikir Daizen. la ingin menantang dan
menyingkap sosok aslinya. Beberapa kali ia berusaha
menantang Kansuke melakukan duel pedang, tapi Kansuke
tidak pernah melayani dan selalu berhasil lolos dengan
cerdik dari tantangan Daizen.

Secara berkala, Daizen mengunjungi rumah Yamamoto
Kansuke untuk menghina dengan kata-kata kotor. Meski
begitu, Kansuke senantiasa berdiam diri. Perasaan jijik dan
benci terhadap Kansuke menjadi satu-satunya hiburan
dalam hidup Daizen yang membosankan dan diwarnai
kemiskinan. Daizen sendiri tidak memiliki pengetahuan
apa-apa tentang strategi perang dan keadaan berbagai
negeri, sehingga tidak bisa menilai Kansuke. la berpikir
bahwa hal tersebut sama dengan kemampuannya
menggunakan pedang. Bagaimana mungkin ia bicara
tentang penaklukan benteng atau perebutan wilayah tanpa
memiliki pengikut seorang pun? Daizen juga meragukan
bahwa ia pernah berkeliling ke seluruh penjuru negeri.

Sekali, Daizen sempat menanyakan keadaan geografis
wilayah Odawara, tempat kelahirannya, tetapi Kansuke
tidak menjawab. Tidak salah lagi, Kansuke memang tidak
tahu apa-apa.

Hari ini Daizen merasa puas bahwa Kansuke akhirnya
menampakkan jati dirinya sebagai penipu, la berjalan lebih
cepat dari biasa sepanjang tepi Sungai Abe. Bahkan bila ide
menyerang Itagaki Nobutaka merupakan sebuah tipuan,
paling tidak telah cukup menghalau kebosanan Daizen.
Dasar penipu licik! Meski telah menipu dunia, kau tak akan
bisa menipuku.

Daizen tengah berjalan di tepian Sungai Abe yang
berkerikil, sementara di seberang sungai terhampar lahan
pertanian yang belum ditanami. Tak mungkin menanam
beras tahun ini! Pikiran ini tiba-tiba memberati hati Daizen.

Jika sudah menyangkut soal beras, permasalahan menjadi
serius. Setiap tahun banyak petani meninggalkan lahan
mereka dan menjadi pengelana. Makin sedikit orang yang
mau menggarap lahan. Awal bulan ini, hujan lebat terus
mengguyur selama sepuluh hari berturut-turut. Wilayah
sebelah timur Kyoto mengalami banjir bandang. Bahkan
diwilayah ini pun, tak terhitung lagi banyaknya rumah yang
tersapu banjir sepanjang bantaran sungai Abe. Bukan hanya
sawah, sapi dan kuda pun hanyut terbawa air ke laut.

Tahun lalu, pada tahun Tenbun ke-9, negeri ini juga dilanda
angin topan dahsyat; sekali di musim semi dan sekali di
musim gugur. Bencana terus terjadi setiap tahun.
’Apakah sebaiknya aku melamar pekerjaan di wilayah
Kai? Mungkin di sana lebih baik. Meski aku enggan bekerja
bersama Kansuke, tetapi bekerja bersama keparat itu
mungkin lebih baik ketimbang sendirian di negeri tak
dikenal. Tapi aku benci orang itu!’ Aoki Daizen mendadak
berhenti, la benar-benar tak tahan memikirkan hal itu.

Daizen sadar bahwa ia sendiri juga tidak disukai orang lain.
Tetapi ia betul-betul muak pada Kansuke. Saat kecil, di
sebuah ladang ubi, ia pernah menggerus ulat hijau di tanah
dengan batu. Kebenciannya saat ini tidak akan hilang
sampai mampu melakukan hal serupa terhadap ronin
keparat itu.

Saat itu awal Agustus. Tiada angin berhembus, tetapi
udara malam terasa dingin. Musim gugur pun semakin
dekat.

Tidak begitu jauh dari rumah Imagawa, kediaman para
samurai menyebar di sekelilingnya; seolah melindungi
rumah itu. Setelah melewati wilayah pemukiman para
samurai, jalanan tampak menuruni bukit menuju kota. Di
siang hari, jalan ini penuh sesak, namun setelah matahari
terbenam, hampir tidak ada orang yang melewati.

Gerombolan perampok kadang lewat dengan langkah-langkah
cepat.

Toko-toko di kedua sisi jalan menutup pintu rapat-rapat
kala malam tiba.

Aoki Daizen berdiri di dekat pohon enoki besar di tengah
lereng selama lebih dari satu jam. la sedang menunggu
pengikut klan Takeda, Itagaki Nobutaka, lewat. Itagaki
tengah mengunjungi mantan bangsawan pemilik tanah klan
Takeda di Kai, Nobutora, yang dikejar Shingen dan telah
menemukan perlindungan di bawah Imagawa selama
empat atau lima tahun terakhir ini. Menurut
perhitungannya, Itagaki akan kembali ke kediaman
Shinonome Hanjiro, yang telah menemani Nobutora dari
Takeda. Daizen berencana menyerang mereka di tengah
perjalanan.

la belum bertemu Kansuke hari ini, tetapi tak salah lagi,
disinilah tempat mereka akan bertemu; di bawah pohon
enoki di tengah lereng. Begitu melihat Itagaki, ia akan
muncul dari balik pohon dan berusaha membunuhnya. Jika
pengikutnya berusaha melindungi, ia akan menghabisi dua
atau tiga orang dari mereka, dan saat itulah Kansuke akan
muncul. Setelah saling menyerang dengan beberapa sabetan
pedang, Daizen akan melarikan diri ke dalam hutan. Hanya
itu tugas yang harus ia lakukan.

Daizen mengamati kegelapan disekelilingnya. Masih ada
secercah cahaya di dalam kegelapan, la tahu bahwa di suatu
tempat yang tak jauh dari situ, mata aneh lelaki pendek itu
pasti juga sedang mengawasi.
Daizen tidak tahan terus-menerus berdiam diri.

“Hei, keparat! Kansuke!” panggilnya pelan. Setelah itu ia
pasang telinga baik-baik, tapi tentu saja tidak ada jawaban.
Lidahnya berdecak sebal, lalu jongkok di atas tanah.
Sejam berlalu. Kegelapan alam sekitar mulai
menumbuhkan sisi jahat dalam dirinya. Pencuri atau anjing
liar pun jadi! Muncullah! Biar kubunuh semua!

Lalu, ia mendengar derap langkah perlahan mendekat
dari atas bukit. Jelas bukan langkah kaki satu orang. Saat
mereka mendekat, baru tampak bahwa mereka bertiga.

“Saeki Mondo!”

Tanpa menggeser posisi, Daizen berteriak ke arah
rombongan yang hendak melewatinya. Tentu saja nama
yang meluncur dari mulutnya itu adalah karangannya
sendiri.

Suara langkah kaki langsung berhenti.

“Tidak ada yang bernama Saeki di sini. Kau salah
orang,” jawab seorang di antara mereka.

Omong kosong. Jangan bohong! Aku jauh-jauh datang
ke sini hanya untuk membunuhmu!”

“Buat apa berbohong!” jawab laki-laki itu, tetapi tiba-tiba
Daizen mencabut pedang.

Menyadari gerakan itu, ketiga laki-laki melompat
mundur.

“Tunggu! Kau benar-benar telah salah orang. Aku adalah
pengikut klan Takeda dari Kai. Namaku Itagaki.”

suara itu terdengar penuh wibawa. Dia betul-betul
Itagaki, pikir Daizen.

“Aku tak peduli kau Itagaki atau siapa, aku tetap akan

membunuhmu!” teriak Daizen.

“Perampok!” Bersamaan dengan teriakan itu, mereka
menghunus pedang.

Di hadapan Aoki Daizen sudah terhunus dua bilah
pedang putih yang saling menyilang. Kemudian dari arah
agak jauh dibelakang kedua pedang itu, kembali terdengar
suara penuh wibawa tadi.

“Jangan dilukai! Usir saja dari sini dengan hati-hati!”
Saat menyadari bahwa dua orang di depannya itu bukan
Itagaki, Daizen melompat melukai bahu salah seorang
samurai. Samurai itu menjerit kesakitan. Daizen
menyingkir sejenak, namun kembali menyerang dan
melukai kaki samurai yang satunya. Suara jerit kesakitan
terdengar kembali.

Semua berlangsung dalam sekejap. Itagaki menyerang
tanpa suara. Saat pedang mereka saling bertemu dua-tiga
kali, Daizen mampu mendengar hembusan berat napas
lawan.

“Kau sa…salah orang. Aku ini pengikut Takeda, Itagaki
Nobutaka,” ujar lawannya. Daizen tak menjawab.
“Atau jangan-jangan… kau perampok?”
Daizen berpikir apa yang harus dilakukan terhadap
lawan yang tidak boleh dibunuh ini, seraya memperpendek
jarak antara mereka.

Saat itulah, Itagaki melangkah maju. Tampak jelas
bahwa ia lebih mahir memainkan pedang dibanding kedua
samurai sebelumnya. Daizen melompat mendekati dada
Itagaki, meraih lengan kanan lawan, lalu mendorong
perlahan ke tepi jalan.

“Siapa itu?”

Tiba-tiba seberkas cahaya lampion menerangi wajah
Daizen dari samping. Untuk pertama kalinya Daizen
tersadar bahwa ia tengah mendorong lawannya ke tembok
tanah liat. la mendengar kata-kata “pengikut utama” dan
mengira lelaki itu sudah tua, namun ternyata berusia lebih
muda. Seorang samurai berusia separuh baya.

Sejam berlalu. Kegelapan alam sekitar mulai
menumbuhkan sisi jahat dalam dirinya. Pencuri atau anjing
liar pun jadi! Muncullah! Biar kubunuh semua!

“Saya diserang perampok dan mengalami kesulitan
menyingkirkan lawan” jawab Itagaki cepat.

“Saya akan membantumu!”

Jelas suara itu milik Kansuke. Daizen melepas tangan
Itagaki, lalu dengan tangkas melompat ke belakang. Kini
saatnya memainkan peran, pikirnya.

Serangan sebilah pedang panjang menghantam. “Ah!”
pekik Daizen, melompat ke belakang, kakinya tersandung
sebongkah batu, lalu terjatuh.

Serangan kedua dan ketiga bertubi-tubi mengenai
Daizen. Ini bukan lagi main-main. la dapat merasakan
hasrat membunuh yang kuat dalam diri lawannya.

Ini tidak seperti yang direncanakan! Sambil menuruni
lereng, Daizen akhirnya mampu melompat bangkit.
Tampaknya ia terluka di dahi, di antara kedua mata; dan
darah mengalir masuk mefilip mata. Tidak ada waktu untuk
menyekanya.

“Kansuke!”

Setelah berteriak, Daizen melompat ke rimbunan semak
di sebelah kanan. Sesuai rencana mereka, pengejaran
Kansuke seharusnya berhenti di sini.

Ketika menengok ke belakang, pedang lawan terus
mengejar. Jelaslah kini, pedang itu akan terus membuntuti
ke mana pun ia menghindar.

“Kau gila?” teriak Aoki Daizen.

“Aku tidak gila!” kata suara rendah itu. Lalu
melanjutkan, “Aku akan membunuhmu!” desis Kansuke.

“Kemarilah!” teriak Aoki Daizen, yang merasakan

bahwa situasi telah berubah sama sekali. Lawan telah
bertekad membunuhnya, maka ia pun harus
membunuhnya! Rasa benci teramat sangat terhadap ronin cacat 
itu berlipat sepuluh kali dalam dada Daizen.

Namun, untuk pertama kali di dalam hidupnya Daizen
merasakan takut. Ujung pedang lawan secara mengejutkan
berada di posisi begitu rendah. Laki-laki kecil itu
menurunkan pedang sampai nyaris menyentuh tanah.

Ketika mata satunya itu menatap Daizen lekat-lekat,

Daizen tak mampu melangkah maju atau bergerak mundur.

Jarak antara keduanya perlahan makin merapat. Aoki

Daizen merasa terpaku di tanah. Pedang lawan berkilat dan
seketika itu pula bahunya tersayat. Disusul pergelangan
tangan kanan, lalu kaki.

“Tunggu! Tunggu dulu!”

Daizen berteriak mengiba, namun serasa berseru pada
dinding tebal. Sekuat apa pun berteriak, pedang lawan terus
menyerang tanpa ampun.

Daizen merasa tubuh Yamamoto Kansuke makin
membesar, sedangkan tubuhnya sendiri menciut dan
menjadi jelek. Bahkan mata Daizen yang tinggal satu itu
semakin tidak berguna. Kakinya pincang.

“Ughh.”

Itulah jeritan terakhir saat ia meregang nyawa.
Tubuhnya terbelah dua dari bahu sampai ke bawah.


Dua
Pada pertengahan Februari tahun Tenbun ke-12, utusan
dari klan Takeda di Provinsi Kai mendatangi Yamamoto
Kansuke di Sunpu untuk menawari pekerjaan. 

Satu setengah tahun telah berlalu sejak Kansuke membunuh
ronin tak dikenal, Aoki Daizen, dan membantu pengikut
Takeda, Itagaki Nobukata. Menurut utusan tersebut,
keluarga Takeda akan memberi imbalan sebesar 100 kan.
Kansuke mengirim kembali utusan Itu dengan memberi
jawaban bahwa ia meminta waktu dua hari untuk
mempertimbangkannya.

Hari itu, setelah sekian lama, Kansuke keluar
meninggalkan rumah. Bunga sakura yang mekar lebih awal
mulai bermunculan sepanjang tepi Sungai Abe.

“Penaklukan benteng, penaklukan benteng,” Kansuke
mengulang kata-kata yang sama dalam benaknya sejak tadi.
Imbalan 100 kan tidak terlalu dipedulikan. Yang lebih
penting adalah apakah ia dapat ikut serta merencanakan
strategi perang dan berkesempatan mempraktekkan bakat
menaklukkan benteng serta wilayah lawan. Sebelum
menerima tawaran, ia harus menetapkan sebuah syarat.

“Penaklukan benteng, penaklukan benteng.” Yamamoto
Kansuke berjalan melintasi deretan pohon-pohon sakura
tanpa sekali pun menoleh ke pucuk-pucuknya yang
berbunga. Dua perempuan yang tampak seperti istri
samurai, beserta dua anak kecil, berjalan dari arah
berlawanan. Begitu melihat Kansuke, mereka menepi ke
pinggir jalan dengan rasa takut.

“Penaklukan benteng, penaklukan benteng.” Tanpa
sedikitpun melihat kedua perempuan tersebut, Kansuke
mengangkat pandangan, melihat dengan tatapan kosong
dan terus berjalan. Setiap kali menapakkan kaki kanan,
tubuhnya membengkok agak dalam ke sisi tersebut.

la masuki jalan utama Sunpu. Kediaman pelindungnya,
lohara Tadatane yang merupakan kepala pengikut
Imagawa, berada di gerbang masuk dari kediaman para
samurai. Karena ada tiga pohon besar keyaki tumbuh di
sana, orang-orang di kota menyebutnya sebagai “Rumah
Besar Keyaki”.

Kansuke memasuki pintu utama Rumah Besar Keyaki.
Tanpa mengumumkan kedatangannya, ia menapakkan kaki
pada sebuah undakan kecil. Di koridor rumah, ia bertemu
salah seorang pelayan wanita.

“Apakah Tuan lohara ada di rumah?”
“Ya. Mohon tunggu sebentar.”

Kansuke tidak mengindahkan dan terus berjalan
menyusuri koridor. Pelayan wanita itu ingin mendahului
Kansuke dan memberitahukan kedatangannya pada tuan
rumah; namun ragu-ragu untuk melakukannya. Tubuh
Kansuke yang pendek dan caranya berjalan memancarkan
aura yang membuat orang lain tidak berani mendahului.

“Kau ada di dalam?” Kansuke berseru dari depan sebuah
ruangan yang terletak paling sudut.
“Siapa?”
“Yamamoto Kansuke. Saya datang menemuimu.”

Tidak ada jawaban dari dalam. Kansuke seolah bisa
menyaksikan ekspresi di wajah lohara berubah menjadi
kesal karena kedatangannya.

“Permisi,” Kansuke membuka pintu geser dan memasuki
mangan tersebut Paling tidak ia sudah bersikap sopan
dengan duduk di sudut ruangan dan sedikit menundukkan
kepala.

“Saya datang kemari hari ini untuk membicarakan
sesuatu.”
“Apa itu?”
lohara Tadatane duduk di depan mejanya seperti sedang
membaca. Lalu, perlahan mengangkat kepala yang sudah
beruban itu, memandang ke arah Kansuke.

“Seorang utusan dari keluarga Takeda datang, menawari
pekerjaan.”
lohara tetap diam tanpa menjawab, hanya matanya yang
bergerak-gerak. Sejurus kemudian, “Apa kau
menerimanya?”

“Saya tidak bisa menjadi ronin selamanya.”
“Berapa imbalan yang mereka tawarkan?”
“Seratus kan.”

Sunyi sesaat. Lantas lohara berkata, “kalau begitu, kami
akan memberimu 100 kan juga. Selama ini kami tidak
pernah membuatmu merasa tidak nyaman, kan?” lohara
menambahkan.

“Sudah sembilan tahun. Saya tidak mau jadi orang tak
berguna terus-menerus. Saya ingin menaklukkan benteng.”
“Kau pikir bisa menaklukkan benteng dengan strategi
perang yang kau pelajari di atas meja?”

“Bisa saja!” kata Kansuke geram, lohara kembali terdiam
beberapa saat, seperti sedang berpikir.
“Jadi kau tetap akan melayani mereka. Aku akan
membicarakannya dengan Tuanku.”
“Meski dibicarakan berkali-kali pun, hasilnya tetap akan
sama saja. Jelas bahwa kau tak ingin melepas saya, tetapi
kau juga takut mempekerjakan saya di klanmu.”
“Bicaramu kelewatan!” bentak lohara.
Kansuke berkata, “Tapi benar, kan? Kau takut pada
Yamamoto Kansuke? Saking takutnya sampai tak bisa
mempekerjakan saya?”

Mendadak Kansuke mengubah nada bicaranya,
“Bagaimanapun, kau telah memberiku makanan dan
pakaian selama sembilan tahun. Untuk itu saya tetap
merasa berhutang budi, karenanya saya hanya akan
menjual diri pada Takeda, tetapi hati saya tetap tinggal di
Sunpu.”

Bersamaan dengan itu Kansuke tertawa kecil. Tawa yang
aneh.
lohara tiba-tiba membalikkan badan, menghadapkan
wajahnya ke arah Kansuke. Mata lohara yang biasanya
menunjukkan ketidakpedulian, kini berkilat dingin.
“Apa maksudmu?”
lohara mengamati Kansuke, mencoba menyingkap
maksud Kansuke.
“Imbalan dari Takeda akan saya terima, begitu juga
imbalan dari Imagawa.”
lohara terdiam.

“Sejak awal saya sudah meyakini masa depan Imagawa,
sehingga selama sembilan tahun rela tidak meninggalkan
tempat ini.”
lohara tidak menjawab.

“Keluarga Imawaga adalah keluarga terkuat di pantai
timur. Jadi, mengirim salah seorang pengikutnya ke Takeda
bukanlah hal buruk.”
Setelah melontarkan kata-kata tersebut, Kansuke tidak
bicara lagi.

Istri Imagawa Yoshimoto adalah puteri Takeda
Nobutora. Karena itulah kedua klan tersebut memiliki
hubungan kekerabatan, tetapi Nobutora diasingkan oleh
anaknya sendiri, Harunobu (nantinya dikenal sebagai
Shingen) yang berusia 23 tahun. Saat ini, Nobutora berada
di bawah perlindungan menantunya, Imagawa Yoshimoto.

Di permukaan, keluarga Takeda dan Imagawa tetap
bersekutu, namun perseteruan antara Nobutora dan
Harunobu makin memperlebar jurang antara Harunobu dan
Yoshimoto.

Bagi Imagawa, bukan ide buruk untuk tetap memberi
imbalan Kansuke secara diam-diam sekaligus mengirimnya
ke Takeda.

Kansuke berdiri. Caranya berdiri memberi kesan
mendadak, lohara memanggilnya kembali saat Kansuke
melangkah ke koridor.

Pada awal Maret, Kansuke dikawal oleh tiga orang
samurai dari Kai menu{u Kofu dengan menyusuri tepi
timur sungai Fuji. Lereng pegunungan yang mengapit dua
sisi sungai dipenuhi dedaunan hijau segar.

Mereka menginap selama dua malam di tengah
perjalanan. Kansuke benci melakukan perjalanan. Menurut
kabar burung, ia telah berkeliling Jepang mempelajari
keahlian berpedang, dan tidak ada satu tempat pun yang
belum dijejaki. Namun pada kenyataannya, tempat yang ia
ketahui hanya kampung halaman sendiri, yaitu Provinsi
Mikawa, dan sebagian Suruga. 

Kisah dirinya yang berkeliling Jepang tak lebih dari desas-desus belaka. 
Tapi ia tidak menyangkal kabar burung tersebut. Tidak perlu.
Dengan pengetahuannya yang hanya secuil, Kansuke tetap
mampu membayangkan seluruh kota benteng dari provinsi
barat hingga timur dengan sangat jelas, la memperoleh
pengetahuan ini dari bahan-bahan bacaan tentang gunung,
sungai, dataran, dan iklim setiap wilayah, la mampu
membayangkan setiap benteng, kota, dan kondisi geografis
di sekitarnya dengan sangat akurat, meski belum pernah ke
sana.

Setiap kali bertemu musafir dari daerah yang jauh, ia tak
pernah melewatkan kesempatan untuk menyerap segala
jenis pengetahuan dengan rinci, dan pengetahun ini tidak
akan pernah dilupakan. Daya ingatan dan imajinasinya
begitu kuat, sampai-sampai ia sendiri terpukau. Apa yang
pernah didengar tidak akan terlupakan. Dari secuil
informasi tersebut ia mampu mengembangkan menjadi
berbagai pengetahuan tak terbatas. Itagaki Nobukata
menjemput di tengah perjalanan, la membawakan
perlengkapan seperti pakaian, kuda, panah, dan tombak,
bahkan pelayan muda pun ia sediakan.

Kansuke merasa amat puas. Bukan hanya karena mereka
melayani dengan sangat baik, namun juga karena kondisi
alam dan geografis Provinsi Kai yang hampir sama dengan
apa yang dibayangkannya. Saat mereka memasuki kota
benteng Kofu, Kansuke melihat bahkan warna awan di
wilayah itu persis dengan yang ia bayangkan.
“Sudah berapa kali kau ke Kofu?” tanya Itagaki.
“Tiga kali,” jawab Kansuke. Dan tiga kali itu bukan
karangan, pikirnya.

Malam itu Kansuke menginap di rumah seorang samurai
kaya di sebelah utara kediaman Takeda. Keesokan harinya,
ia ditemani Itagaki bertemu dengan Harunobu di ruang
pertemuan kediamannya. Kediaman Takeda tidak
berbentuk benteng, tetapi seperti rumah pada umumnya.
Yang sedikit membedakan adalah keberadaan parit di
sekelilingnya.

Di dalam ruang pertemuan tersebut, Takeda Harunobu
yang berusia 23 tahun duduk di depan, di kanan kirinya
duduk berjajar beberapa pengikut utama Takeda. Kansuke
memberi hormat dengan canggung dari jauh. Saat diminta
mendekat oleh Harunobu, ia bangkit berjalan ke arah
Harunobu dengan membungkukkan badan.

Di sebelah Itagaki Nobukata duduk Obu Toramasa, dan
di sebelah Obu duduk Amari Torayasu. Kansuke maju ke
depan, melirik ketiga orang dekat Takeda itu. Saat
menundukkan wajah, tatapan dingin Amari tidak lekang
dari benaknya. Aku tak suka orang itu, pikir Kansuke.
Harunobu tidak berkata sepatah puri, tapi matanya terpaku
pada penampilan Kansuke yang aneh. Tiba-tiba Harunobu
berkata, “Kau tampak lebih tangguh dari yang kudengar.
Tidak mungkin kau puas dengan imbalan 100 kan. Aku
akan memberimu 200 kan”

Suaranya tidak keras, tetapi terdengar berat. Kansuke
mengangkat wajahnya sedikit, terperanjat.
Lalu Harunobu menambahkan, “Aku akan memberimu
satu huruf dari ‘Harunobu’. Mulai sekarang, kau dipanggil
dengan sebutan ‘Kansuke HaruyukT.”

Seorang jenderal muda yang sangat dermawan. Kansuke
membungkuk dalam diam.
Itagaki Nobukata mendekat dan berbisik, “Ucapkanl
terima kasih.”

“Terima kasih banyak. Untuk membalas penghormatan
ini, saya ingin berpartisipasi dalam pertempuran
menaklukkan benteng sesegera mungkin,” ujar Kansuke
tanpa intonasi.

“Kau berkata ‘menaklukkan benteng* begitu mudah,
akan tetapi…,” Harunobu mulai bicara, namun langsung
dipotong oleh Kansuke.

“Ya, ada prinsip-prinsip rahasia dalam menaklukkan
benteng.”
“Apakah kau telah menguasai prinsip-prinsip rahasia
itu?”
“Ya.”
Jawaban pendek Kansuke terdengar angkuh bagi siapa
pun. Lalu terdengar tawa lepas Amari.
“Berapa jumlah pertempuran yang telah kauikuti?” tanya
Amari.
“Belum satu pun.” Ledakan tawa muncul dari tempat
duduk yang lebih rendah.

Kansuke tidak merasa terganggu sama sekali. Mendadak
ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya, membuat ia sulit
duduk diam. Sesuatu itu adalah kepercayaan diri dan
keberanian bahwa ia akan mampu menaklukkan berapa
pun banyaknya benteng dengan mudah.

Itagaki berkata, “Kau boleh pergi dan istirahat.”
Kansuke berlalu dari hadapan Harunobu.
Sepeninggal Kansuke, Amari maju ke hadapan
Harunobu dan berkata, “Tidak sekali pun pernah terlibat
dalam pertempuran, tetapi menyombongkan kemampuan
soal strategi militer. Ini memaksa kami yakin bahwa dia tak
lebih dari penipu yang hanya pintar bicara dan
menginginkan imbalan belaka.”

Obu Toramasa menambahkan, “Bagaimana jika kita
pekerjakan dia selama setahun untuk melihat
kemampuannya. Namun, karena Tuan memiliki
kemampuan setara dewa untuk menilai seseorang, apakah
ada pemikiran tersendiri mengenainya?”

Harunobu hanya menjawab demikian, “Sepuluh tahun
lalu, ketika aku masih berusia 13 tahun, aku pergi ke
Ushikubo di Provinsi Mikawa dan bertemu Kansuke.
Waktu itu kami sepakat menjadi majikan dan pengikut.
Sejak itu pula kubiarkan dia bertualang ke seluruh negeri.”
Tak ada ekspresi di wajah Harunobu.

Semua orang tahu bahwa pernyataan itu tidak benar,
tetapi karena yang mengatakan adalah Harunobu sendiri,
tak seorang pun berani menentang. Hanya Itagaki
Nobukata yang mengetahui alasan Harunobu melindungi
Kansuke.

Harunobu telah disia-siakan oleh ayahnya, Nobutora, dan
melalui masa kedi yang tidak bahagia. Itu sebabnya
Harunobu punya kecenderungan memihak samurai
berpenampilan aneh atau samurai yang tidak mendapatkan
kepercayaan dari orang lain.


Atas pengaturan Itagaki, Kansuke melewati malam
kedua di sebuah rumah samurai di depan kediaman
Takeda. Sore hari berikutnya, Kansuke menaiki sebuah
bukit kecil di belakang kediaman Takeda. Tepat di
belakangnya, ada kaki bukit yang landai. Sebelum sampai
di tengah lereng, Kansuke tidak hanya dapat melihat kota
benteng Kofu, melainkan juga sebagian wilayah Kai.

Tampaknya sangat mudah untuk menyerang dan
menghancurkan kediaman Takeda; Jika diamati dari atas
bukit, kediaman Takeda sama sekali tidak memiliki
pertahanan. Dengan kondisi seperti ini, yang menyebabkan
mereka bisa terus bertahan sampai sekarang tentulah karena
keluarga Takeda selalu berperang keluar dan tidak pernah
membiarkan musuh masuk ke wilayah mereka. Di pantai
timur, benteng seperti ini tidak akan bisa bertahan sehari
pun dalam situasi tanpa penjagaan.

Angin berhembus dari kaki bukit, membuat kulit
Kansuke yang berkeringat merasa nyaman. Kansuke duduk
di pematang sawah di lereng bukit dan terus memandangi
dataran luas di bawahnya. Kai disebut-sebut sebagai daerah
bergunung-gunung. Memang, di sekeliling lembah terlihat
jelas deretan pegunungan.

Tiba-tiba Kansuke melihat seorang penunggang kuda
menaiki bukit tempat ia duduk. Caranya menunggang kuda
tampak terampil. Ketika penunggang kuda berada dekat
Kansuke, ia turun dari kuda dan berjalan menghampiri
Kansuke. la bertanya, “Apakah Anda Tuan Yamamoto?
Tuan dipanggil ke benteng.”
“Bagaimana kau tahu aku berada di sini?”
“Ada yang melihat Tuan menaiki bukit ini.”

Kansuke berdiri dan berkata, “Aku akan segera ke sana.”
Samurai itu menaiki kudanya dan menghilang dengan
cepat.

Kansuke berpikir, pasti Harunobu yang memanggil.
Namun saat memasuki gerbang benteng, dilihatnya tiraitirai
bercorak merah putih dipasang mengelilingi lapangan
dan terdengar suara tetabuhan genderang. Beberapa
samurai berlari ke arahnya dan berkata, “Silahkan kemari.”

Kansuke dituntun masuk ke balik tirai.
Amari duduk di atas bangku kecil. Di sisi kanan kirinya
puluhan samurai duduk berderet. Kansuke dibawa
menghadap.

Amari berkata, “Yamamoto Kansuke, tunjukkan padaku
aliran pedang Gyoryu.”
“Permintaan yang tidak masuk akal. Saya datang ke sini
karena mengira Tuan kita yang memanggil.”
“Kudengar kau menguasai aliran pedang Gyoryu,
sayangnya tak seorang pun di Kai yang mempelajari aliran
tersebut. 

Tapi kami punya beberapa ahli pedang dari aliran
Shintoryu. Aku Kansuke tidak tertarik sama sekali pada
pertandingan. Kisah mengenai dirinya sebagai ahli pedang
Gyoryu dan perjalanannya ke seluruh penjuru negeri tak
lebih dari gosip belaka, la bahkan belum pernah memegang
pedang kayu. Satu-satunya pengalaman berpedang adalah
ketika ia membunuh Aoki Daizen di Suruga. la bahkan
tidak ingat lagi bagaimana menggunakan pedang ketika itu.
la hanya berpikir untuk membunuh. Jadilah ia melompat,
menyerang dahi, kaki, lalu bahu, dahi lagi, dan akhirnya
membelah bahu Daizen. la mampu membunuh Aoki

Daizen semata-mata karena berpikir untuk melakukanya;
tapi itu tidak bisa disebut keahlian pedang, la tidak tahu
apa-apa soal Gyoryu atau Shintoryu. la bahkan tidak tahu
tatacara memegang pedang.

Tiga orang samurai berlari ke arahnya dan menyerahkan
sebilah pedang kayu. Lalu mereka menggulung lengan
bajunya ke atas dan mengikatnya.
“Sungguh menjengkelkan!”

Baru saja Kansuke mengucapkan kata-kata itu, lima atau
enam orang menggiringnya ke tengah lapangan.
“Menjengkelkan!”

Kansuke berupaya melarikan diri ke sudut, tapi selalu
digiring kembali ke tengah. Lalu ia melihat seorang samurai
separuh baya pelan-pelan mendekati dengan pedang kayu
terhunus. Karena Kansuke tidak punya niat bertarung,
pertandingan hanya dimulai sepihak.
“Menjengkelkan!” teriaknya, lalu bahunya terkena
pukulan.
“Ini curang!” ulang Kansuke, lalu bahu yang sebelah lagi
terasa kebas. Pukulan-pukulan lawan membuat kedua
bahunya kebas beberapa saat. Sesaat kemudian kakinya
ditarik. Kedua kakinya tersungkur ke samping dan Kansuke
terjatuh di tanah dalam posisi aneh.

Sorak dan tawa terdengar riuh di sekeliling lapangan.
Kansuke terduduk di rerumputan di tengah lapangan.
Tiba-tiba hiruk-pikuk itu mereda. Sebagian tirai tersibak
dan Harunobu muncul diiringi pelayan. Kansuke dipanggil
menghadap Harunobu.
“Tampaknya kau sudah bertarung,” ujar Harunobu
dengan suara pelan namun berat.
“Saya menang,” jawab Kansuke. Sambil memegangi
bahu kiri yang terasa sakit, ia melanjutkan, “Lawan saya
tadi tidak akan berguna dalam pertarungan sungguhan. Dia
akan tersungkur dengan sekali sabetan.”
“Kenapa begitu?”
“Matanya mati. Mirip mata ikan yang mati. Dia dapat
dijatuhkan dengan mudah oleh prajurit rendahan tak
dikenal,” kata Kansuke.
Harunobu mengangguk dalam, entah percaya atau tidak.

Di lapangan, pertandingan baru telah dimulai. Kansuke
membungkuk lalu mundur dari hadapan Harunobu. Bahu
dan punggungnya dijalari rasa sakit luar biasa. Ini
malapetaka, pikirnya.

Amari mengejar dan mendekati Kansuke.
“Jangan mengatakan kebohongan tanpa malu setelah
kau ditumbangkan seperti tadi.”
“Apakah dia anak buahmu, Tuan Amari?”
“Aku baru saja mempekerjakannya. Seorang ronin dari
timur, tapi dia memiliki keahlian yang handal.”
“Tapi justru orang seperti itu tidak akan berguna dalam
pertarungan sesungguhnya. Dia akan memalukan Tuan.”
Kansuke tertawa pelan, menyibakkan tirai, lalu tubuh
kecilnya menyelinap di balik tirai.

Malam itu Kansuke diundang Harunobu untuk
berkunjung ke benteng. Selain Harunobu, hadir pula
Itagaki, Amari, dan empat atau lima panglima lain.
“Apakah samurai dan orang biasa berbeda di setiap
wilayah?” tanya Harunobu kepada Kansuke.
“Saya berkelana ke seluruh penjuru negeri dan
mempelajari tradisi-tradisi keluarga di berbagai provinsi.

Selain itu, saya juga mengamati rumah Tuan Yoshimoto
dan mengenal ronin dari berbagai tempat saat masih tinggal
di Suruga selama sembilan tahun. Menurut saya,
keseluruhan negeri dapat dibagi menjadi tiga kategori.

Kategori pertama adalah jiwa yang dimiliki orang-orang
wilayah timur. Dari wilayah Bishu hingga Izumi masuk ke
kategori kedua. Kategori ketiga meliputi Shikoku, Chugoku,
sementara Kyushu memiliki jiwa yang kurang lebih sama.”
“Apa perbedaannya?”
“Di atas Bishu, yakni wilayah timur, jarang ada orang
yang ramah. Mereka menunjukkan sikap arogan. Jika
hubungan terjalin baik, mereka akan memuji-muji orang
yang tidak layak mendapat pujian. Akan tetapi saat
hubungan tidak berlangsung baik, mereka akan menjelekjelekkan
orang yang lebih menonjol.”

Sekali Kansuke mulai bicara, ia amat fasih bercerita.
Apapun pertanyaan yang dilontarkan, ia jawab dengan
lancar. Entah dari mana ia memperoleh pengetahuan itu.
Itagaki, sebagai pelindung Kansuke, merasa puas dengan
kecakapan Kansuke, namun Amari tetap diam dengan
wajah masam. Baginya, kefasihan Kansuke terdengar
seperti kebohongan semata.

Kansuke menjawab dengan gamblang semua pertanyaan
tentang berbagai topik, mulai dari geografi, sifat manusia,
tradisi, hingga struktur militer berbagai provinsi.
“Apakah ada cara membuat musuh menghormatimu
hanya dalam satu atau dua tahun setelah menaklukkan
wilayahnya?” tanya Harunobu.
“Rekrutlah samurai-samurai terkenal atau terpandang
dari pihak musuh, beri mereka separuh atau semua
informasi— tergantung situasinya, dan aturlah pernikahan
mereka dengan pengikut-pengikut Tuan. Selain itu, panggil
para pemuka agama, warga kota dan pemimpin petani; ajak
mereka bicara dan tanyakan tentang kondisi negeri. Ide
untuk menjamu mereka masih perlu dipertanyakan. Mori

Motonari, penguasa Aki yang mulai belajar memanah sejak
muda, berhasil menaklukkan Chugoku dan memperluas
kekuasaan sampai Shikoku dan Kyushu. Untuk membawa
negeri-negeri itu ke bawah kekuasaannya, dia selalu
menggunakan cara ini.”

Kansuke terus bicara dari jam tujuh sampai jam sepuluh.
Ketika mendengar suara angin kencang di luar, mereka
keluar dari benteng. Kansuke meninggalkan benteng
mendahului Itagaki dan Amari, la keluar dari gerbang timur
benteng, dan menyeberangi jembatan di atas parit.

Sekelilingnya gelap gulita. Saat berjalan sepanjang parit dan
berbelok ke arah pondok para samurai, sekonyong-konyong
dari kegelapan, sebilah pedang putih dihunuskan ke ujung
hidung Kansuke. Sungguh kejadian tak terduga.

Kansuke dengan cepat melompat mundur. Pedang itu
terus mengikutinya. Kansuke mundur selangkah demi
selangkah, dan terus mundur sampai mendekati tembok
benteng, namun pedang itu masih tetap mengikuti. “Siapa
kau?” untuk pertama kalinya Kansuke membuka mulut
“Karena kau menginginkan pertandingan dengan pedang
sungguhan, maka aku datang kemari.”
“Menjengkelkan!” kata Kansuke. la menyadari bahwa
orang di hadapannya itu adalah lawan pertandingan sore
tadi. Lalu berkata, “Hasil pertandingan siang tadi sudah
jelas; Kau lebih kuat.”
“Apa! Aku tak ingin dengar ocehanmu!”

Dalam sekejap Kansuke melompat satu meter ke
belakang dan berkata, “Menjengkelkan!”
Lalu ia melanjutkan, “Jangan bertindak gila. Aku hanya
memenuhi undangan Tuan….”

Kansuke mendengar tawa lawannya.
“Aku akan membunuhmu lalu melarikan diri. Apakah
nyawa berharga bagimu? Sayang sekali, aku tak peduli
seberapa penting itu bagimu, aku tetap akan
membunuhmu.”
“Lalu melarikan diri?”
“Ya, tentu.”
“Kau begitu ingin membunuhku?”
“Ya, ingin sekali.”
Mendengar ini, Kansuke memantapkan niat.
“Kalau begitu, aku juga akan membunuhmu.”
Kansuke menghunus pedang dan berkata, “Kemarilah!”

Kansuke terus merapat. Begitu ia menapak maju satu
langkah, ujung pedangnya merobek bagian di antara kedua
mata musuhnya itu.
“Ugh!” Kali ini lawannya mundur selangkah. Kansuke
terus memperpendek jarak, la maju lagi selangkah. Karena
kaki kanannya yang lebih pendek berada di depan,
tubuhnya bergerak dengan kuat.

Tiba-tiba lawannya memekik.
“Aaah!” Suara itu terdengar seperti teriakan burung
malam. Bahu kanannya terkena sabetan pedang.
Kansuke terus melangkah maju.
“Tunggu! Tunggu dulu.”
Kansuke tidak menunggu, la terus mendesak.
“Tunggu!”
Tiba-tiba suara lain muncul dari kegelapan. Ada
bayangan dua atau tiga orang bergerak. Lalu obor
menerangi tempat itu. Tahu-tahu, mereka yang sedang
bertarung sudah berada di depan gerbang benteng. Tampak
wajah Itagaki, Amari, dan beberapa orang lain.
“Tunggu! Tunggu sebentar!” seseorang berseru. Kansuke
tak mengindahkan sedikit pun, terus merangsek maju.

Teriakan burung malam kembali keluar dari mulut
lawan. Kansuke dengan tenang menarik pedang,
menempatkan diri dalam kegelapan, dan terus berdiri.

Dalam lingkaran obor, lawannya yang lebih besar itu berdiri
selama beberapa saat, lalu jatuh tersungkur ke belakang.
Tengkorak ahli pedang aliran Shintoryu itu terbelah dua.
Amari melirik tubuh kaku itu, lalu mengalihkan
pandangan ke arah Kansuke. Matanya menunjukkan
ekspresi seolah melihat sesuatu yang mengerikan dan tidak
ia mengerti.
“Kau Yamamoto Kansuke?”
“Ya.”
“Kau yang membunuhnya.”
“Ya.”
“Kau benar-benar yang membunuhnya?”
“Ya.”
Amari tiba-tiba menghilang dari temaram cahaya obor,
berjalan sendirian. Lalu berbalik dan berteriak, “Yamamoto
Kansuke!”. Karena tidak mendapat balasan, ia berjalan
kembali dengan langkah cepat. Di mata Amari, kini
Kansuke tak beda dengan monster.

Kansuke berjalan menuju kediaman para samurai
bersama Itagaki Nobukata. “Selain dalam pertempuran,
tidak baik menghilangkan nyawa seseorang,” ujarnya.
“Ya,” angguk Kansuke, sambil mendengarkan suara
angin yang menderu mengerikan. Seperti saat usai
membunuh Aoki Daizen, kali ini pun ia merasakan sedikit
lelah di sekujur tubuh. Kansuke tidak heran dengan
kenyataan bahwa sekali ia mencabut pedang dan berniat
membunuh, pasti berhasil membunuh lawan tanpa gagal.

Kansuke merasa memiliki kekuatan itu dan termasuk dalam
golongan manusia semacam itu.
“Mulai bulan depan, kita akan terus menghadapi
pertempuran. Karena kau akan mendapat 25 orang pasukan
infanteri, maka tunjukkanlah kesetiaanmu.”

Hanya itu kata-kata Itagaki yang masuk ke telinga
Kansuke. La tidak mendengar apa-apa sebelum dan
sesudahnya.
“Pemimpin pasukan infanteri adalah…,” suara Itagaki
terdengar lagi.
Kansuke tidak tertarik mendengar jabatan barunya.
“Penaklukan benteng, penaklukan benteng,” gumamnya
berulang-ulang di dalam hati. La yakin bahwa dalam setiap
pertempuran akan mampu menaklukkan benteng. Betapa
menyenangkan rasanya berangkat ke pertempuran bersama
seorang jenderal muda seperti Takeda Harunobu dan
menaklukkan benteng satu persatu, pikirnya. Barangkali
karena belum pernah mengalami pertempuran yang
sesungguhnya, Kansuke merasa pertempuran sebagai
sesuatu yang sangat hening. Suara senjata apa pun tidak
terdengar. Bayangan benteng dan gerakan prajurit yang
mengelilingi seperti gambar sunyi baginya.
Setelah meninggalkan Itagaki, Kansuke berjalan sendiri
menuju kediamannya. Pasir bertiup dari bawah lereng, la
melindungi matanya yang normal dengan tangan kanan
yang tidak berjari tengah. Wajahnya diangkat sedikit untuk
melihat bintang-bintang dingin kebiruan yang belum pernah
ia saksikan di pantai timur. Bintang-bintang itu tampak
begitu dekat, seolah berada dalam jangkauannya. Kansuke
terus menuruni lereng selangkah demi selangkah.
0-odwo-0
Tiga
Pada Februari tahun Tenbun ke- 13, Takeda Harunobu
mendirikan perkemahan dengan dua puluh ribu pasukan di
gunung Misa di dataran Shinano. la berniat menyerang klan
Suwa Yorishige yang berpengaruh kuat di wilayah Suwa.
Bagi klan Takeda, rencana penyerangan Suwa sudah
dipikirkan sejak pemerintahan Nobutora, dan sebagai
langkah pertama adalah menguasai provinsi Shinano.
Namun karena disibukkan oleh pengiriman pasukan ke
provinsi Suruga dan Sagami, Nobutora sengaja menunda
menyatakan perang terhadap Suwa. Bahkan ia
mengirimkan anak perempuan keenamnya kepada
Yorishige untuk dipersunting, menjadikan Suwa berada di
bawah pengaruhnya. Puteri Nobutora yang dikirim kepada
Yorishige tersebut bernama Nene dan terkenal akan
kecantikannya. Akan tetapi dua tahun lalu, ia meninggal
dunia di usia enam belas tahun.
Harunobu berbeda dengan ayahnya, Nobutora. la
bertekad menguasai Suwa sepenuhnya dan sedang mencari
alasan pembenaran untuk menyerang Yorishige dalam satudua
tahun ini. Secara kebetulan ia mendapat informasi dari
penguasa benteng Takato, Takato Yoritsugu, bahwa
Yorishige berniat memberontak. Memanfaatkan hal ini
sebagai alasan, Harunobu memutuskan untuk menyerang
Suwa.
Namun entah mengapa, sejak mendirikan kemah perang
di gunung Misa, hati Harunobu terasa berat, la merasakan
hal yang sama ketika mengejar ayahnya ke Sunpu. Firasat
mengatakan bahwa pertempuran ini akan meninggalkan
bekas yang tidak mengenakkan. Walaupun Nene telah
meninggal, Yorishige tetaplah adik ipar bagi Harunobu. la
berusaha menyingkirkan seorang anggota keluarga dengan
alasan yang belum terbukti. Tidak mungkin hatinya tetap
merasa tenang soal ini.
Perkemahan mereka dikelilingi banyak pohon plum.
Bunga-bunganya yang berwarna putih bermekaran di udara
bersih dataran tinggi. Warna putih bunga plum itu merasuk
ke jiwa Harunobu yang berusia 24 tahun, menimbulkan
perasaan gelisah. Sungguh aneh, batinnya tidak menyimpan
keinginan untuk berperang saat ini.
Malam itu, ketika mereka berkemah di gunung Misa,
seorang utusan Takato Yoritsugu datang dan melaporkan
bahwa tentaranya akan menyerang benteng Uehara,
kediaman Suwa, melalui puncak Tsuetsuki dalam dua atau
tiga hari mendatang. Oleh karena itu, Takato meminta
Harunobu mendukung penyerangan tersebut dengan
mengirimkan pasukan utamanya dari sisi timur.
Setelah utusan Takato pergi, Harunobu memanggil para
panglima perang dan pasukannya untuk mematangkan
strategi. Harunobu menunjuk kakaknya, Samanosuke
Nobushige, sebagai panglima perang, la sendiri
memutuskan tetap berada di perkemahan gunung Misa
bersama pasukan cadangan.
“Untuk menaklukkan satu atau dua benteng kecil di tepi
danau, tidak perlu mengirim 20 ribu pasukan,” ujar
Harunobu. Pernyataan seperti ini tak lazim dikemukakan
oleh seorang Harunobu yang menyukai pertempuran.
“Tetapi, saya rasa Tuan tetap perlu pergi ke desa
Miyakawa atau dekat Kuil Yasukuni,” saran Itagaki. Para
jenderal lain sepakat dengannya.
Dari arah kursi yang lebih rendah, terdengar pendapat
yang sama sekali berbeda. “Menurut saya, karena keluarga
Takeda dan Suwa masih memiliki hubungan kekerabatan,
mungkin apa yang saya katakan akan terdengar aneh, tapi
saya merasa bahwa kita tidak perlu melanjutkan
pertempuran. Membangun kemah perang di wilayah ini
sudah cukup menjadi ancaman terhadap Suwa. Jika kita
bisa melakukan perjanjian damai tanpa menumpahkan
darah, saya pikir tidak ada cara lain yang lebih baik,” ujar
Yamamoto Kansuke.
Keheningan tiba-tiba menyelimuti seluruh ruangan.
Pertempuran yang sudah di depan mata baru saja ditentang
oleh seseorang. Bahkan Itagaki Nobukata, yang biasanya
mendukung ide Kansuke, berubah pucat.
“Apa katamu! Yamamoto Kansuke!” gertak Nobushige.
Kemarahan yang ditunjukkan sang jenderal muda
mengisyaratkan ketidaksudian untuk memaafkan perkataan
Kansuke.
“Tidak apa-apa,” kata Harunobu menengahi. Hanya ia
seorang yang merasa lega mendengar kata-kata Kansuke.
Sama seperti yang dikatakan Kansuke, ia pun merasa tidak
perlu lagi untuk melanjutkan pertempuran ini. la sudah
diselamatkan oleh Kansuke yang telah mengatakan apa
yang ia pikirkan di dalam benaknya.
“Apa kau punya ide?” tanya Harunobu kepada Kansuke.
“Ya. Apakah Tuan bisa mengirim saya ke Suwa sebagai
utusan? Saya akan menjelaskan situasinya kepada mereka
secara baik-baik dan bernegosiasi agar mereka mau
bersumpah setia kepada Tuan.”
Jika Yorishige memiliki perasaan kurang simpatik
terhadap Harunobu, itu disebabkan oleh peristiwa
pengusiran Nobutora, ayah Harunobu, ke Sunpu. Namun
jika dijelaskan bagaimana situasi yang sebenarnya,
Yorishige tentu akan paham. Inilah pendapat Kansuke.
Semua jenderal yang ada di ruangan itu pasti tidak
sependapat dengan ide Kansuke, namun Harunobu berkata,
“Penaklukan Benteng Suwa adalah pekerjaan sepele.
Bahkan bila kita tidak melakukannya sekarang, kita masih
dapat melakukan kapan pun kita mau. Meski aku telah
datang jauh-jauh kemari, aku tidak begitu antusias
melakukan penyerangan terhadap pasukan Suwa.
Bagaimana jika kita kirim Kansuke sebagai utusan untuk
bertemu dengan Yorishige? Jika dia mampu mencapai
kesepakatan dengan syarat yang juga memuaskan pihak
kita, bukankah itu hal yang bagus?”
Karena Harunobu yang bertitah, tak seorang pun berani
membantah. Semua yang hadir tahu bahwa begitu
memutuskan sesuatu, Harunobu akan selalu melaksanakan
sesuai keinginannya. Keputusan mengirim Kansuke sebagai
utusan sudah final.
“Kansuke, kapan kau berangkat?” tanya Harunobu.
Kansuke menyimak kata-kata Harunobu dengan tetap
duduk menghormat di tempatnya.
“Saya akan segera berangkat,” jawab Kansuke. Kansuke
menyukai jenderal muda yang diabdinya itu. Harunobu
adalah satu-satunya manusia yang disukai Kansuke di
dunia ini. la benci semua manusia yang ada di muka bumi,
kecuali Harunobu. la rela berkorban nyawa demi
Harunobu. Kansuke tidak tahu di mana letak pesona
jenderal muda itu, namun yang jelas, hanya terhadap
Harunobulah ia merasakan sesuatu yang berbeda sama
sekali.
Ada kalanya Harunobu mengolok-olok Kansuke secara
langsung di hadapannya dengan sebutan ‘si pincang
Kansuke’. Tetapi hal itu tidak membuat Kansuke marah.
Tidak pernah sedikit pun terdengar nada penghinaan dalam
suara Harunobu. Kansuke, yang sejak kecil dibesarkan
dalam penolakan dari lingkungan sekitar karena keanehan
fisik, bertemu dengan Harunobu dan untuk pertama kalinya
mengetahui ada orang yang mau melihatnya seperti
manusia normal.
Kansuke tidak mengemukakan pendapat yang
bertentangan itu dengan sengaja tanpa dasar, apalagi
pertempuran sudah di depan mata. Saat berlangsung
pertemuan membahas strategi perang, Kansuke merasakan
sikap pasif Harunobu atas pertempuran tersebut. Sebuah
sikap yang tidak biasa. Mencerminkan adanya keraguan
serta kecemasan dalam diri Harunobu. Apa yang
membuatnya demikian? Duduk di kursinya yang lebih
rendah, Kansuke terus memikirkan hal tersebut. Lalu,
ketika ia mengangkat wajah, matanya bertemu pandang
dengan mata Harunobu. Saat itulah, dari mulut Kansuke
meluncur kata-kata tersebut bagai digerakkan oleh sesuatu.
Usulan Kansuke bukanlah saran yang tepat pada saat ini
karena bisa membahayakan diri sendiri, la sendiri tidak
yakin apakah usulan itu berasal dari idenya sendiri atau
karena Harunobu yang merasuki pikirannya dan membuat
Kansuke menyuarakan keinginan tersebut, la hanya tahu
bahwa ia harus mengatakannya.
Saat Harunobu menyepakati ide tersebut, alih-alih
bangga, Kansuke merasa lebih puas karena menganggap
dapat membaca pikiran Harunobu yang terdalam.
Sambil memandang kagum pada jenderal muda berdahi
lebar dengan sinar mata tajam, Kansuke berkata, “Tidak
perlu bagi seorang jenderal bergegas mengirimkan
tentaranya untuk hal yang sia-sia. Biarkan saya, Yamamoto
Kansuke, berangkat sekarang sebagai utusan dan berupaya
sekuat tenaga untuk merebut Suwa tanpa kehilangan
seorang prajurit pun.”
Kata-katanya terdengar seperti menyombongkan diri dan
merendahkan semua jenderal di ruangan itu, kecuali
Harunobu.
Kansuke meminta Harunobu mengirim utusan ke Takato
Yoritsugu yang merupakan sekutu Harunobu dalam perang,
untuk menyampaikan pesan tentang pembatalan
penyerangan, la sendiri meninggalkan perkemahan di
Gunung Misa malam itu juga, bersama tiga orang
penunggang kuda.
Keesokan harinya, setelah menuruni dataran tinggi»
rombongan Kansuke tiba di Lembah Suwa. Mereka
melewati jalan yang tidak dijaga tentara musuh untuk
menghindari serangan, dan tiba dekat Benteng Uehara,
kediaman Penguasa Suwa, pada petang hari.
Setiba di dekat kubu lapis pertama pasukan Suwa,
mereka memacu kuda saling berdampingan secepat
mungkin.
“Kami membawa pesan yang sangat mendesak. Kami
ingin bertemu dengan Tuan Suwa,” teriak Kansuke ke
segala penjuru arah sambil memutar-mutarkan kuda
tunggangan di depan benteng. Tiga samurai yang
menyertainya meneriakkan pesan serupa. Mereka langsung
dipaksa turun dari kuda dan dikepung banyak samurai.
Kansuke digiring masuk ke dalam benteng dan ditahan
sekitar satu jam sebelum akhirnya dibawa menghadap Suwa
Yorishige yang tengah duduk di sebuah kursi kecil. Api
obor menyala terang. Yorishige adalah seorang jenderal
yang usianya sedikit lebih tua dibandingkan Harunobu.
Sekilas tidak tampak ada yang menonjol pada dirinya,
selain bahwa ia memiliki kecantikan fisik seperti seorang
wanita.
Ketika Kansuke menyampaikan pesan Harunobu, tibatiba
Yorishige tertawa keras. Tawanya terdengar histeris.
Lalu berhenti.
“Beritahukan kepada tuanmu bahwa aku akan mematuhi
semua kehendaknya,” kata Yorishige. Rasanya seolah-olah
hukuman mati yang akan dijatuhkan kepadanya hari ini
atau besok dicabut dengan tiba-tiba. Lalu Yorishige tertawa
histeris lagi.
“Kami ingin menetapkan batas wilayah sekarang juga,
agar tidak ada kesulitan di kemudian hari.”
“Kami akan menjadikan tanaman rambat sebagai batas.
Kami tidak akan mengambil sebulir padi pun yang tumbuh
di sebelah timur batas tersebut,” kata-kata bernada resmi
meluncur dari wajah pucat Yorishige.
“Kami ingin Tuan berdamai kembali dengan ipar Tuan.”
“Aku sependapat. Sebagai adik, aku harus segera
menemuinya ke Kofu.”
Jelas bahwa Yorishige pun tidak menyukai pertempuran
ini. Semua persyaratan yang diajukan diterima dengan baik.
Setelah menikmati jamuan makan dan sake, Kansuke
undur diri dari hadapan Yorishige.
Berbeda dengan saat Kansuke tiba, kali ini
rombongannya dikawal dengan sopan. Yorishige sendiri
mengantar mereka ke gerbang utama benteng. Yorishige
juga didampingi anak perempuannya yang berusia 14
tahun, dikelilingi dayang-dayang. Paras gadis itu amat
rupawan, mewarisi wajah ayahnya.
“Apakah dia puteri Tuan?” tanya Kansuke kepada
Yorishige, yang mengiyakan pertanyaan tersebut. Tentu
saja bukan puteri dari Nene yang meninggal dunia dua
tahun lalu, melainkan puteri dari selirnya, Omiji.
Hanya Sang Puteri yang memandangi Kansuke dengan
sorot tak bersahabat tergambar jelas. Bahkan samuraisamurai
lain pun merasa senang atas negosiasi damai
tersebut, tetapi Kansuke mendapat kesan bahwa hanya
gadis ini yang menunjukkan ketidaksetujuan. Ini justru
membuat Kansuke merasakan suatu sensasi yang
menyegarkan.
Pada siang hari berikutnya, Kansuke kembali ke
perkemahan di Gunung Misa dan menyampaikan jawaban
Yorishige kepada Harunobu.
Harunobu merasa puas atas upaya Kansuke dan segera
menemui utusan Suwa yang datang bersama Kansuke.
Malam itu sake dihidangkan kepada semua prajurit. Tiga
hari kemudian Harunobu kembali bersama pasukannya ke
Kofu.
0=odwo=0
Pada akhir Maret, Yorishige tiba di Kofu dan bertemu
dengan Harunobu untuk memperbaiki hubungan mereka.
Harunobu menyambut dan menjamu Yorishige dengan
hangat. Dan pada bulan April, Yorishige mengunjungi
Harunobu untuk kedua kali. Seperti sebelumnya, Harunobu
menyelenggarakan jamuan besar-besaran untuk
menyambutnya, la mengadakan pertunjukan Noh dan
mengundang para samurai penting untuk ikut menyaksikan.
Setelah kepergian Yorishige, Harunobu menanyai
pendapat para jenderalnya tentang Yorishige. Para jenderal
klan Takeda memiliki kesan baik terhadapnya. Mengatakan
bahwa Yorishige bermartabat, ramah, dan bijaksana.
“Saya pikir ia sangat berani datang ke Kofu dengan
hanya membawa beberapa pengikut. Meskipun Tuan masih
sekerabat dengannya, namun saat ini kita berada dalam
masa perang,” ujar Nobushige, adik Harunobu, dengan
kagum.
“Pastilah dia seorang jenderal muda yang langka,”
Amari turut memuji.
“Apa pendapatmu, Nobukata?”
“Saya percaya kelak ia bisa menjadi sekutu Tuan,” ujar
Nobukata.
“Bagaimana denganmu, Kansuke?”
Kansuke ditanyai paling akhir.
“Saya tidak dapat mengemukakan pendapat sebelum
Tuan meminta yang lain meninggalkan ruangan ini” jawab
Kansuke.
Alih-alih melakukannya, Harunobu berkata, “Kansuke,
mari kita keluar ke taman.” la bangkit dari tempat
duduknya lalu berjalan menuju taman.
Pohon pasania ditanam di sekelilingnya. Setelah tiba di
bawah pepohonan tersebut, Harunobu berkata, “Tonggerettonggeret
sedang mengerik.” Walaupun udara hari itu
panas dan lengket, namun hawa di bawah bayangan
pepohonan cukup sejuk. Setelah pengiriman pasukan ke
Gunung Misa, musim semi berlalu tanpa ada pertempuran
baru dan musim panas hampir tiba.
“Apakah Tuan akan membunuhnya?” tanya Kansuke
tiba-tiba.
Terguncang oleh kata-kata itu, Harunobu berbalik arah
memandang Kansuke.
“Siapa?”
“Tuan Suwa.”
“Apakah kau mau membunuhnya?”
“Lebih baik begitu…,” sahut Kansuke.
“Bukankah kau yang mengusulkan negosiasi damai
dengannya? Jika kita membunuhnya sekarang….”
“Kita tidak bisa menghindari apa yang akan dikatakan
orang-orang. Akibatnya pun juga akan buruk. Tapi bila kita
tidak membunuhnya sekarang….”
“Kurasa tidak ada jalan lain. Bunuh dia!”
“Serahkan padaku,” jawab Kansuke tanpa mengubah
ekspresi wajah.
Harunobu tidak mengerti bagaimana Kansuke memiliki
pikiran yang persis sama dengan dirinya. Sejak pertama kali
Yorishige berkunjung, Harunobu sudah sangat berambisi
membunuhnya. Harunobu punya firasat, jika Yorishige
dibiarkan hidup, kelak akan terjadi malapetaka.
Adapun Kansuke, sama ketika menyarankan negosiasi
damai di Gunung Misa, kali ini pun ia menangkap
kegelisahan pada ekspresi Harunobu saat Tuannya itu
meminta orang-orang di sekelilingnya untuk menganalisa
watak Yorishige. Kansuke menyadari ada sesuatu yang
janggal dalam hatinya, sama seperti waktu itu.
Kansuke bertanya-tanya tentang ‘sesuatu’ tersebut. Dan
ketika Harunobu mengucapkan, “Kansuke, apa
pendapatmu?” Kansuke mendongak ke arah Tuannya dan
tanpa sadar kata-kata, “meminta yang lain meninggalkan
ruangan” meluncur begitu saja. Lalu ide untuk membunuh
Yorishige, yang diam-diam tersembunyi dalam pikiran, saat
itu pula muncul ke permukaan.
Pada pertengahan Juni, Yorishige mengunjungi Kofu
untuk ketiga kalinya. Kali ini pertunjukan Noh kembali
digelar di benteng sebagai hiburan. Di tengah pertunjukan
Noh, seorang samurai berpangkat menengah bernama
Ogiwara Yaemonnojo berjalan mendekati tempat duduk
Yorishige dan berkata, “Atas perintah Tuan kami, saya
akan mencabut nyawamu.”
Kata-katanya terdengar santun, namun ia langsung
menikamnya. Yorishige berusaha mencabut pedang
pendeknya, tetapi kemudian tersungkur oleh tusukan kedua
dari pedang Ogiwara.
Semua yang menonton pertunjukan Noh serempak
berdiri begitu melihat kejadian tak terduga ini. Tidak ada
yang bisa langsung menilai apakah tindakan Ogiwara
Yaemonnojo tersebut atas perintah Harunobu atau tidak.
Kansuke yang berada di pojok ruangan perlahan
menyibak kerumunan orang dan berjalan mendekati mayat
Yorishige. la memandanginya selama beberapa saat, lalu
memberi perintah pada Ogiwara, “Tusuk dia di leher.”
Ogiwara yang tidak menyadari bahwa pandangan mata
Kansuke tertuju padanya, diam tak bergeming beberapa
saat Kansuke membentak, “Ogiwara! Tusuk dia di leher!”
Maka Ogiwara pun membungkukkan tubuh dan
melaksanakan perintah Kansuke.
Satu jam kemudian Kansuke muncul di hadapan
Harunobu.
“Mengapa kau ingin membunuhnya?” Harunobu
kembali menanyai Kansuke.
“Meskipun negosiasi damai telah selesai, dia pasti sudah
memikirkan dengan matang mengenai dua kali
kunjungannya kepada Tuan, yaitu pada bulan Maret dan
April. Saya percaya dia punya rencana untuk membuat kita
lengah. Sebagai tanda penghormatan, Tuan pun sesekali
harus mengunjungi Suwa. Saya merasa bahaya menunggu
Tuan di sana.”
Harunobu tergelak. “Menyelamatkan nyawanya,
kemudian membunuhnya, benar-benar menyusahkan, ya.”
“Mulai saat ini kita akan disibukkan oleh banyak hal.
Karena situasinya sudah terlanjur seperti ini, kita perlu
mengambil alih Suwa dengan kekuatan militer.”
“Perlukah kita mendirikan kemah di Gunung Misa
malam ini?”
“Saya rasa itu terlalu cepat. Lebih baik kita melihat
situasi dulu. Jika kita segera mengirim tentara ke Suwa
setelah membunuh Yorishige, akan memberi kesan bahwa
kita bermain curang. Bagaimana kalau menunggu sampai
mereka datang menyerang kita? Kita diamkan saja mereka
untuk sementara ini.”
Harunobu berpikir sejenak lalu berkata, “Baiklah.
Panggil Itagaki. Mungkin ia sedang bersiap diri untuk
berperang.”
Tepat seperti perkiraan Harunobu, Itagaki menghadap
dengan bersenjata lengkap, siap bertempur.
“Kenapa berpakaian seperti itu?”
“Karena kita telah membunuh Penguasa Suwa, maka
tidak ada pilihan lain.”
“Kenapa tidak kita tunggu mereka menyerang kita?”
Itagaki merenungkan ide Harunobu, lalu melirik
Kansuke dan berkata dingin, “Seharusnya kita menyerang
Suwa di Gunung Misa pada waktu itu. Kita sudah
menunda-nunda hal ini tanpa alasan.”
Itagaki berbicara dengan nada menuduh Kansuke yang
dianggap telah turut campur sehingga membuat penaklukan
Suwa memakan waktu lebih lama. Biasanya Nobukata
selalu membela Kansuke, tetapi kali ini ia melihat ke arah
Kansuke dengan pandangan dingin.
Kansuke duduk menegakkan tubuhnya yang kecil.
Seperti biasa, tidak ada yang tahu arah pandangnya. Saat
itu Kansuke tengah membayangkan Benteng Uehara yang
pernah dikunjungi sekali, berikut kondisi geografisnya, la
tidak mengindahkan tuduhan itagaki sama sekali. Kansuke
asyik memikirkan strategi penaklukan Benteng Uehara.
Pikirnya, benteng itu pasti bisa dikuasai dalam tiga hari.
Begitu Benteng Uehara jatuh, Benteng Takashima yang
berjarak dua mil dari sana akan bisa direbut dalam waktu
satu hari. Rencana itu harus dilaksanakan pada musim
dingin, ketika Danau Suwa beku.
“Pertempuran harus dilaksanakan pada musim dingin,”
Kansuke berbicara sendiri, tidak ditujukan kepada
Harunobu maupun Itagaki. Suaranya begitu keras.
0=odwo=0
Pada 19 Januari tahun Tenbun ke-14, Harunobu
mengirim pasukan untuk menaklukkan Suwa.
Nobushige memimpin seluruh pasukan sebagai panglima
perang, Itagaki Nobukata memimpin garis depan,
sementara Hyuga Masaharu bertanggung jawab di garis
belakang. Pasukan itu terdiri dari 3700 orang prajurit.
Pasukan Suwa mendirikan perkemahan di Kuil Fumonji di
luar Benteng Uehara.
Pasukan Takeda begitu dominan sehingga dalam waktu
sehari mereka mampu meninggalkan Kuil Fumonji
sekaligus menaklukkan Benteng Uehara, dan segera
mengepung kediaman Penguasa Suwa, yaitu Benteng
Takashima, yang berada di tepi Danau Suwa. Pasukan
Itagaki membunuh lebih dari 300 orang prajurit Suwa.
Dengan ini keluarga Suwa yang besar pun akhirnya takluk.
Pada pertempuran tersebut, Kansuke melaksanakan
strategi perang di bawah komando Itagaki.
Mereka memasuki benteng pada malam hari. Kansuke
masuk ke sana dengan membawa tombak besar yang
tampak tidak sesuai untuk ukuran tubuhnya. Semua
penjaga benteng telah melarikan diri, tidak ada seorang pun
musuh di dalam benteng. Begitu Kansuke menaiki menara
benteng, ia melihat puluhan api unggun di sekeliling danau
dengan cahaya memantul di permukaan air. Sebuah
pemandangan yang tidak biasa. Bahkan tampak seperti
mimpi. Gelora pertempuran siang hari tadi masih membara
dan para prajurit terus bersorak gembira di tengah udara
malam yang menusuk.
Kansuke turun dari puncak menara benteng, melewati
sebuah ruangan besar di menara tersebut, melangkahkan
kaki ke ruangan sebelah. Langkah Kansuke tiba-tiba
terhenti dan ia terperangah. Di salah satu sudut ruangan itu,
seorang perempuan muda berpakaian mewah duduk
bersama dua orang pelayan. Pelayan yang satu masih
muda, yang seorang lagi sudah berumur.
Ketika Kansuke beranjak mendekat, dayang yang lebih
muda berkata, “Jangan mendekat.”
Anehnya, Kansuke terhenyak mendengar suara
perempuan itu sampai tidak bisa bergerak mendekat.
Pelayan muda itu berteriak lagi, “Mohon tinggalkan tempat
ini.”
Kansuke merasa bahwa keberadaannya mengganggu
mereka.
“Apakah dia puteri Penguasa Suwa?” tanya Kansuke
dengan suara parau.
“Ya. Jangan mendekat.”
“Jika kau melarangku mendekat, aku tidak akan
mendekat. Tapi apa alasannya?”
“Jangan biarkan orang lain masuk sampai kami
melakukan seppuku.” Kali ini pelayan yang lebih tua
berbicara.
Kansuke mengarahkan pandangan ke anak perempuan
Yorishige yang pernah dilihatnya tahun lalu. Waktu itu,
saat mengantar kepergian Kansuke dari Benteng Uehara,
api kebencian menyala di mata perempuan itu, namun kali
ini ia seperti orang yang sama sekali berbeda, raut wajahnya
begitu tenang.
“Jika Tuan Puteri hendak melakukan seppuku, kenapa
tidak dari tadi? Waktunya pasti cukup banyak.”
Salah seorang pelayan menjawab, “Kami berusaha
menghentikan beliau. Sungguh kasihan, kami bahkan tidak
sanggup meyaksikan. Tapi sekarang….”
Anak perempuan Yorishige bangkit terhuyung-huyung
dan tertawa dingin. Kansuke tercengang mendengarnya.
“Aku terus melarikan diri karena tidak ingin mengakhiri
hidup. Aku tidak ingin melakukan seppukuI”
“Tuan Puteri bicara apa?”
Kedua pelayan mengikuti sang puteri yang beranjak dari
ruangan.
“Tidak, tidak, aku tidak ingin melakukan seppuku!”
Sang puteri berjalan terhuyung mengitari ruangan.
Lalu, mereka mendengar suara keras. Banyak samurai
menerobos masuk ke ruangan besar itu. Kansuke yang sejak
tadi memandangi puteri dengan kagum, tiba-tiba bangkit,
memegang lengan sang puteri dan berkata, “kenapa Tuan
Puteri tidak mau melakukan seppuku?”
Anak perempuan Yorishige berusaha memberontak dan
mendongakkan wajah ke arah wajah Kansuke. Tatapannya
sarat rasa permusuhan. Tatapan yang pernah dilihatnya
sebelum ini.
“Semua orang sekarat. Hanya aku yang masih ingin
hidup,” katanya. Kata-kata jujur ini menyimpan keindahan
yang belum pernah didengar Kansuke sebelumnya. Anak
perempuan samurai manapun akan ragu mengucapkan
kata-kata itu, tetapi kejujurannya menyentuh hati Kansuke.
“Apa yang akan terjadi bila aku mati? Aku ingin hidup
dan melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang akan
terjadi dengan benteng ini dan Danau Suwa. Aku tidak mau
mati. Bagaimanapun susahnya, aku memilih hidup. Aku
tidak mau membunuh diriku sendiri!” Kata-kata itu
terlontar dari mulut Sang Puteri seperti orang kesurupan.
“Lepaskan aku!” teriaknya, la memberontak dari
dekapan Kansuke. Kansuke melepaskannya dan sang puteri
pun terjerembab, la nampak seperti rantai manik-manik
yang jatuh berhamburan. Perempuan cantik itupun
kehilangan kesadarannya.
“Bawa dia!” Kansuke menyuruh kedua pelayan. Kedua
perempuan yang tampaknya telah kehilangan semangat
untuk melakukan seppuku itu membawa Sang Puteri
keluar, menuruti perintah Kansuke.
Kansuke berjalan lebih dulu di ruangan besar yang
dipenuhi para samurai yang sedang berkeliaran mencari
barang-barang berharga untuk dijarah. Mereka berjalan
melawan arus para samurai. Sosok Kansuke—dengan tubuh
kecil pincang membawa tombak besar—memancarkan aura
yang menunjukkan bahwa ia tidak akan memaafkan siapa
pun yang berani menyentuh kulit para wanita yang
diiringinya. Samurai paling kejam pun beringsut
menghindari rombongan Kansuke.
0=odwo=0
Putri Yuu, anak perempuan Yorishige, langsung dibawa
ke Kofu, tapi tak lama kemudian kembali ke Suwa dan
dititipkan untuk sementara di Kuil Suwa.
Sebulan setelah pertempuran Suwa, Kansuke diundang
Itagaki Nobukata untuk datang ke kediamannya.
Pembicaraan mereka berkisar pada sesuatu yang tidak ia
duga sebelumnya.
“Tuan kita ingin menjadikan Puteri Yuu sebagai selir.
Bisakah kau menghentikannya?” kata Itagaki.
Pernyataan itu tidak mengherankan. Puteri Yuu adalah
anak perempuan Yorishige. Semua jenderal utama dan
senior menentang keinginannya, tetapi Harunobu tidak
mau mendengar. Para jenderal berpikir, jika dibujuk oleh
Kansuke yang amat dipercaya, mungkin ia mau mengerti.
Karena itulah Kansuke dipanggil menghadap.
“Jika Tuan kita memang suka, kenapa tidak bisa
mengambil Puteri Yuu sebagai selir?” jawab Kansuke cepat.
Di dalam dada Kansuke, membuncah keinginan aneh
untuk menyatukan kedua orang tersebut, la teringat kembali
kata-kata Putri Yuu, tentang keinginannya untuk tetap
hidup, walaupun orang-orang lainnya sekarat.
Jika Putri Yuu dan Harunobu kelak memiliki anak lakilaki,
garis darah Suwa akan terus berlanjut. Jika anak
berdarah Suwa ini menjadi ahli waris Klan Takeda, rakyat
Suwa akan melupakan dendam mereka terhadap Takeda
dan mungkin kelak akan menunjukkan kesetiaan pada
Takeda. Boleh jadi Harunobu memikirkan hal yang sama.
Kansuke mengutarakan pendapatnya kepada Nobukata.
“Jika mereka tidak punya anak, orang-orang akan
mengatakan bahwa Takeda sengaja membunuh Yorishige,
merebut wilayahnya dan memaksa anak perempuannya
menjadi selir. Ini tidak akan bagus terdengar di telinga
penguasa provinsi lain, dan kebencian rakyat Suwa tidak
akan lenyap selamanya,” kata Nobukata.
“Ya, tapi jika kita tidak melakukan apa-apa, rakyat Suwa
pun tidak akan melupakan dendam mereka. Jika Harunobu
mengambil Putri Yuu sebagai selir, setidaknya ada secercah
harapan.”
“Perlukah kita berdoa khusus mengharapkan kelahiran
anak laki-laki?” kata Nobukata, yang tampaknya sudah bisa
menerima Puteri Yuu.
“Masalahnya sekarang, apakah Puteri Yuu mau
menerima lamaran itu atau tidak.”
“Takdir telah membuat saya menyelamatkan Puteri Yuu.
Jadi, biar Kansuke juga yang mencoba meyakinkannya.”
Sebulan kemudian Kansuke bertolak ke Suwa. Puteri
Yuu telah dipindahkan ke Kuil Kan-non-in yang terletak di
selatan danau, dan Kansuke memacu kuda ke selatan
sepanjang danau tersebut dari Benteng Takashima.
Dari puncak bukit tempat Kuil Kan-non-in berada, ia
bisa melihat Benteng Takashima di kejauhan di sisi danau.
Es di danau telah mencair dan musim semi telah tiba.
Kansuke bertemu dengan Puteri Yuu untuk ketiga
kalinya.
“Saya datang hendak menjemput Tuan Puteri,” ujar
Kansuke. Puteri Yuu hanya diam dan mengangguk dengan
ekspresi tenang.
Keesokan hari, Itagaki yang berada di Benteng
Takashima mengirim tiga usungan untuk Puteri Yuu dan
dua orang pelayannya. Kansuke dan 10 penunggang kuda
lain mengawal mereka menuju Kofu.
Desa-desa yang mereka lewati penuh dengan bunga
sakura yang bermekaran.
“Aku lelah, tolong berhenti dulu.” Kira-kira sejam sekali
mereka berhenti atas permintaan sang puteri. Saat mencapai
puncak bukit mereka berhenti; tiba di dasar bukit pun
mereka berhenti. Puteri Yuu bersikap begitu manja dan
keras kepala.
Ketika turun dari tandu di puncak bukit, Puteri Yuu
bertanya, “Kapan aku bisa kembali ke Suwa?”
“Setelah anak laki-laki Tuan Puteri lahir, maka Kansuke
akan mengantarkan Tuan Puteri pulang,” ujar Kansuke.
Mendengar itu, rona wajah Puteri Yuu berubah, la
memasuki usungan dan tak pernah membuka tirai lagi.
Setelah itu arak-arakan terus bergerak tanpa henti melalui
padang rumput luas dengan deretan bukit-bukit kecil.
Kansuke terus memimpikan kelahiran bayi keturunan
Harunobu dan Puteri Yuu. Bagi Kansuke yang belum
pemah dicintai atau mencintai sepanjang hidupnya, telah
menemukan pasangan yang dapat ia layani dengan sepenuh
hati.
Ini semua akan baik-baik saja. Kini Kansuke
menyingkirkan semua pikiran tentang Puteri Yuu dan
memutuskan untuk menyarankan Harunobu agar ia
merebut seluruh wilayah Shinano dengan Suwa sebagai titik
tolak.
0o-=dw=-o0
Empat
Puteri Yuu yang telah dipindahkan ke Kofu, dibawa ke
kediaman Itagaki Nobukata.Meskipun sudah menjadi tugas
Kansuke untuk meyakinkan Puteri Yuu agar bersedia
menjadi selir Harunobu, namun ternyata hal tersebut sangat
sulit untuk dilakukan. Sudah satu bulan sejak sang puteri
tiba di Kofu. Kendati sudah beberapa kali mengunjunginya,
namun Kansuke belum mampu mengubah pikiran Sang
Puteri.
Puteri Yuu yang sedang duduk di beranda dan
memandangi taman yang dikelilingi pohon-pohon besar
dengan tatapan menerawang, segera menyisir rambut
hitamnya yang panjang ketika melihat Kansuke. Belum
sempat Kansuke berkata apa-apa, Sang Puteri mendahului,
“Jika keberadaanmu di sini untuk meyakinkanku mengenai
hal yang kau katakan terakhir kali dulu, pikiranku masih
belum berubah. Tidak ada hal baru yang akan kukatakan
padamu.”
“Saya tidak ingin memaksa, jika Tuan Puteri memang
tidak tertarik.” jawab Kansuke sambil berlutut di depan
Sang Puteri. Puteri Yuu melanjutkan, “Tuan Harunobu
telah membunuh ayahku, karena itu dia adalah musuhku.
Seperti yang kau katakan, benar bahwa kita hidup di masa
di mana kalau bukan kita yang membunuh maka kita yang
akan terbunuh. Jika dia tidak membunuh ayahku, pasti
ayahku yang membunuhnya. Ini hanya ketidakberuntungan
ayahku saja, dan aku tidak membenci Tuan Harunobu
karena itu. Namun untuk menjadi selirnya, aku tidak bisa
menyerahkan diriku ke dalam siksaan seperti itu.”
Mendengar ucapan Sang Puteri, Kansuke merasa bahwa
anak ini cukup dewasa untuk ukuran gadis berusia 15
tahun.
“Tapi karena Tuan Puteri selamat tanpa melakukan
seppuku…”
“Maka aku harus terima penghinaan itu. Aku tahu itu.”
Mata indahnya berkilat penuh kemarahan, dan dia
melanjutkan, “Karena aku selamat tanpa membunuh diriku
sendiri sebagaimana adat yang berlaku, aku malah semakin
ingin menjalani hidupku sebagaimana yang kuinginkan.
Kalau saja aku tahu akan menjadi selir dari musuh ayahku,
niscaya aku lebih memilih untuk mati.”
“Saya mengerti,” Kansuke begitu senang dapat
berbincang dengan gadis cerdas ini.
“Maafkan saya mengatakan ini, namun bagaimanapun
juga, Tuan puteri hanya seorang perempuan; tidak peduli
seberapa menantangnya perjalanan hidup, tetap ada batasbatas
yang harus dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat.
Tetapi jika Tuan Puteri kelak mengandung anak laki-laki,
maka dia akan memiliki darah Takeda dan darah Suwa
dalam tubuhnya. Jika demikian, saya yakin anak tersebut
akan menjadi anak yang cerdas. Jiwa seperti apa yang
ditumbuhkan dalam dirinya akan bergantung kepada Tuan
Puteri. Mohon pikirkan hal ini baik-baik.”
Kansuke menatap Sang Puteri. Mata Puteri Yuu tiba-tiba
berkilat, namun tidak melihat ke arah Kansuke.
“Saya akan mengunjungimu lagi, beberapa hari dari
sekarang.” Hanya itu yang dikatakan Kansuke hari itu, lalu
meninggalkan kediaman Sang Puteri.
Hari berikutnya Harunobu menanyai Kansuke,
“Bagaimana dengan urusan persetujuan Puteri Yuu?”
“Dia terlihat begitu antusias untuk menjadi selir Tuan,”
jawab Kansuke, namun kemudian menambahkan, “tapi
serahkan dulu urusan ini kepada saya untuk sementara,
karena Tuan harus menjaga perasaan istri.”
Harunobu memiliki seorang istri berusia 26 tahun. 10
tahun lebih tua dibanding Puteri Yuu. Istri utama ini
bernama Sanjo-no-Uji. Harunobu mempunyai dua anak
darinya; Yoshinobu, berusia 9 tahun, dan Ryuho, berusia
enam tahun. Karenanya Harunobu tidak bisa leluasa
bercerita tentang Puteri Yuu.
Kansuke tidak menyukai istri dan anak-anak Harunobu.
Anak laki-laki Harunobu yang resmi, Yoshinobu, memiliki
paras pucat dan gugup,serta tidak berpotensi untuk menjadi
pemimpin masa depan yang hebat seperti ayahnya. Sekali
waktu, ketika Yoshinobu melihat Kansuke di koridor
istana, Yoshinobu mengikutinya kemana pun sambil
menirukan cara berjalan Kansuke. Wajar jika Kansuke
membenci anak itu karena perangainya yang sombong.
Adik laki-lakinya, Ryuho, memiliki kepribadian yang lebih
baik, namun sayangnya terlahir buta.
Kansuke menganggap hubungan antara Harunobu dan
Puteri Yuu dalam sebuah perkawinan, penting untuk
dilaksanakan. Seorang anak yang lahir dari puteri yang
cerdas akan menjadi pewaris ideal bagi keluarga Takeda.
Masalahnya kini adalah apakah ia bisa meyakinkan Sang
Puteri atau tidak. Namun Kansuke yakin bahwa pada
akhirnya nanti ia mampu merubah pikiran Sang Puteri.
0=odwo=0
Beberapa hari kemudian, Kansuke kembali mengunjungi
Puteri Yuu.
“Apakah Tuan Puteri sudah mengambil keputusan?”
tanya Kansuke.
Sang Puteri menjawab tegas dengan sebuah pertanyaan,
“Kau berada di pihak Takeda atau Suwa? Di pihak mana
kau berada?” Sang Puteri melihat ke arahnya dengan sinis,
lalu menambahkan dengan dingin, “Karena aku merasa
tidak enak badan hari ini, maka aku minta kau pergi dari
sini,” Sang Puteri kemudian masuk ke ruangannya,
meninggalkan Kansuke di luar. Kansuke mulai merasa
bahwa meyakinkan Puteri Yuu bukanlah perkara mudah.
Ketika Kansuke keluar dari gerbang kediaman Itagaki, ia
melihat istri Harunobu, Sanjo-no-Uji. Kansuke segera
berwaspada, karena tampak jelas alasan mengapa istri
Harunobu berada di sana. Kansuke berhenti di gerbang,
membungkuk hormat.
“Kansuke, aku bertemu denganmu di tempat yang tepat
Aku dengar kau membawa seorang perempuan berdarah
Suwa ke kota ini dan menyembunyikannya di sini. Benar
begitu?”
“Ya, itu benar,” jawab Kansuke pelan.
“Jika dia seorang tawanan, maka kau harus
memperlakukannya sebagai seorang tawanan. Aku tidak
akan membiarkanmu memperlakukannya lebih dari itu.”
Kansuke melihat kilatan cemburu di mata istri
Harunobu, lalu berkata, “Jika yang Tuan Puteri maksud
adalah apakah dia seorang tawanan dari Suwa, ya, dia
memang seorang tawanan. Saya yang menjaganya.”
“Apa aku boleh menemuinya?”
Kansuke merasa tidak boleh membiarkan hal tersebut
terjadi, dan dengan cepat berkata, “Karena halaman belum
dibersihkan pagi ini, maukah Tuan Puteri menunggu
sebentar?”
Kansuke membungkuk dan kembali ke kediaman di
mana Puteri Yuu berada, lalu bertanya terburu-buru.
“Puteri Yuu, bersediakah bersembunyi untuk
sementara?”
“Mengapa aku harus sembunyi?” jawab Puteri Yuu
pelan.
“Istri Tuan Harunobu ada di sini. Sekarang.”
“Kalau begitu aku akan menemuinya.”
“Akan lebih baik jika tidak, Tuan Puteri.”
“Mengapa tidak? Bukankah dia yang seharusnya merasa
bersalah bertemu denganku? Karena ayahkulah yang telah
dibunuh oleh suaminya.”
Kansuke sadar tidak akan dapat mengubah pikiran Sang
Puteri. Meski keluarganya sudah dihancurkan, warisan
karakter yang kuat masih mengalir dalam diri gadis itu.
Matanya bersinar dan pipinya dipenuhi keceriaan. Kansuke
mengamatinya dengan kagum. Mendadak sadar apa yang
memunculkan kekuatannya itu; persaingan dengan istri
Harunobu.
“Baiklah, saya akan membawa istri Tuan Harunobu
kesini,” kata Kansuke tanpa mengubah ekspresi.
Kansuke pergi dan tidak lama kemudian kembali
bersama Sanjo-no-Uji beserta para pelayannya. Sanjo-no-
Uji mendekat ke beranda.
“Apakah dia puteri penguasa Suwa?” kata Sanjo-o-Uji
mencemooh dan memandang rendah Puteri Yuu yang
duduk sambil sedikit membungkuk hormat. “Jadi dia jauhjauh
datang dari Suwa berharap untuk menjadi selir dari
laki-laki yang membunuh ayahnya! Hmm, aku senang
bahwa bukan keluarga kita yang dihancurkan!” Sambil
berkata demikian, Sanjo-no-Uji berbalik dan langsung pergi.
Puteri Yuu tetap berada di posisi yang sama beberapa
saat, bahkan setelah Sanjo dan para pengikutnya pergi; lalu
mengangkat wajah dan berkata kepada Kansuke, “Ya, dia
beruntung karena bukan keluarganya yang dihancurkan.”
Setelah beberapa saat, ia melanjutkan dengan penuh tekad,
“Kansuke, seperti saranmu, aku akan mencampurkan darah
Suwa ke dalam keluarga Takeda. Aku sama sekali tidak
tahu apa akibatnya kelak, namun mungkin justru itu yang
menjadi alasan mengapa aku bertahan.” Tiba-tiba, airmata
mengalir di pipinya. Kansuke diam mengamati dalam
keterkejutan.
0=odwo=0
Setelah sukses menghancurkan keluarga Suwa,
Harunobu mulai menyerang wilayah-wilayah di sekitarnya
dengan menjadikan Suwa sebagai basis. Pada bulan Maret
tahun Tenbun ke-I5, Harunobu mulai melakukan operasi
militer untuk menyerang Benteng Toishi di Provinsi
Shinano sekaligus menghadapi pasukan Murakami
Yoshikiyo. Murakami adalah pemimpin dari keluarga yang
sangat berkuasa di Shinano bagian utara dan tinggal di
Benteng Katsurao, yang juga memiliki Benteng Toishi.
Harunobu meninggalkan kota benteng Kofu pada hari
ke-8 di bulan Maret, sekitar jam 8 pagi. Bunga-bunga sakura
sudah berguguran dan sinar matahari musim semi yang
sejuk, perlahan mulai terasa gerah; menandakan datangnya
awal musim panas.
Sudah menjadi tradisi Takeda untuk mengusung dua
panji saat memasuki pertempuran besar. Keduanya
merupakan harta berharga keluarga tersebut; yang satu
disebut Suwa Hossho dan yang lain Sonshi Niryu.
Kedua panji tersebut berkibaran ditiup angin musim
semi. Panji Suwa Hossho berwarna merah dan terdapat
tulisan berwarna emas: “Suwa, keturunan dewa yang
agung.” Adapun panji Sonshi Niryu juga memiliki tulisan
emas, namun dilatari warna biru gelap: “Menjadi secepat
angin, sebijak hutan, menyerang sekuat api, dan menjadi
setenang gunung” (Fu-Rin-Ka-Zan). Keduanya memiliki
lebar sekitar empat meter, dan para prajurit membawa
replika kedua panji tersebut di belakang mereka. Pasukan
berjalan siang malam, melintasi Danau Suwa, lalu menuju
utara. Dua hari kemudian, mereka tiba di Komuro.
Dalam persiapan penyerangan ke Benteng Toishi,
Harunobu membagi pasukan menjadi empat kelompok dan
menempatkan mereka di tempat-tempat strategis untuk
menghindari serangan mendadak dari empat musuh di
sekeliling mereka. Harunobu sendiri, bersama 4.000
orang samurai yang tersisa, bergerak menyerang benteng
tersebut.
Benteng Toishi berukuran kecil, terletak di wilayah
pegunungan, dan cukup mudah untuk dihancurkan, namun
pasukan Murakami segera tiba untuk membantu
mempertahankan benteng tersebut Karena itulah,
Harunobu membagi pasukannya ke dalam empat
kelompok, satu pasukan akan menyerang benteng, dan yang
lainnya akan menghentikan pasukan tambahan.
Tepat sebelum penyerangan ke benteng Toishi
dilakukan, pasukan Harunobu mendengar berita tentang
kedatangan 76.000 samurai di bawah pimpinan Murakami.
Setiap kelompok yang dipimpin oleh para jenderal Takeda;
Amari, Oyamada, dan Yokota, berjuang menghentikan
pasukan Murakami di sisi utara benteng tersebut. Tanpa
banyak waktu mempertimbangkan tindakan, Harunobu
memulai serangan dengan memimpin pasukan utama ke
bagian barat benteng.
Yamamoto Kansuke ditempatkan di pasukan utama
Harunobu dengan 25 orang samurai untuk menguasai
tempat itu.
Begitu pertarungan dimulai, Kansuke merasakan bahwa
keadaan tidak berada di pihak mereka. Sungguh perang
yang sulit. Apalagi mengingat bahwa pasukan kecil mereka
terbagi dua.
Jika Jenderal itagaki, ada di sana, Kansuke pasti akan
memintanya untuk menyarankan kepada Harunobu agar
mundur; sebagai jalan terbaik bagi mereka. Namun Itagaki
sibuk memimpin pasukan melindungi Suwa. Jika saja
Harunobu meminta pendapat Kansuke, niscaya ia akan
menyarankan untuk mundur. Namun karena Harunobu
tidak meminta pendapat, pertempuran terus berlanjut.
0=odwo=0
Pasukan Amari, Yokota dan Oyamada yang semuanya
berada di posisi bertahan sejak awal, kalah jumlah dengan
perbandingan dua banding satu.
Salah seorang samurai di antara pasukan musuh adalah
Kojima Gorozaemon yang sangat terkenal, bahkan di
wilayah Kai—Provinsi Takeda—sebagai seorang prajurit
tangguh dan pemberani, la mengendarai seekor kuda besar
dan dengan enteng membawa sebilah tombak besar.
Meskipun berstatus musuh, pasukan Takeda mengakui
kehebatannya. Seorang samurai muda dari pasukan Takeda
memacu kuda menuju samurai pemberani itu.
Dibandingkan Kojima, ia tampak sangat kecil. Samurai
muda itu adalah anak angkat Yokota Bichu-no-kami,
bernama Hikojiro yang berusia 23 tahun. Mereka saling
menyerang beberapa kali dan saling beradu sampai
keduanya terjatuh dari kuda masing-masing. Setelah duel
yang singkat namun sengit, salah seorang samurai yang
berlumuran darah tampak bangkit. Dari jarak yang dekat,
jelaslah bahwa samurai itu adalah sang pemuda Hikojiro.
Sungguh duel luar biasa. Tidak seorang pun menyangka
bahwa Hikojiro akan menang.
Prestasi luar biasa itu segera dilaporkan ke markas
utama.
“Dia membunuh Kojima Gorozaemon!”
Berita ini tampaknya sangat memikat hati Harunobu,
dan ia menganggap itu sebagai pertanda baik.
“Apa manfaatnya bagi kita dengan hanya membunuh
Kojima Gorozaemon?” tanya Kansuke kepadanya. Bagi
Kansuke, merupakan tindakan bodoh memuji duel satu
lawan satu itu. Bahkan seorang samurai yang terkenal
reputasinya bisa mati dengan begitu cepat dalam
pertempuran seperti ini. Bagaimana mungkin seseorang bisa
mengandalkan kemampuan bertarung individual? Kansuke
merasa bahwa semua orang tidak menyadari satu hal
terpenting dalam pertempuran.
Perkataan Kansuke terdengar sombong bagi Harunobu.
“Membunuh Kojima Gorozaemon layaknya membunuh
seratus orang prajurit,” kata Harunobu.
“Ini justru berbahaya,” jawab Kansuke. Tidak ada yang
paham makna kata-kata tersebut.
“Apanya yang berbahaya?” tanya Harunobu.
“Baik Jenderal Amari dan Yokota sedang menghadapi
bahaya.”
“Bagaimana mungkin kau bisa melihat formasi mereka
dari sini?”
“Saya bisa melihat kedua formasi pasukan mereka dari
sini.”
Saat Kansuke berkata demikian kepada Tuannya, sikap
sinisnya lenyap dan Harunobu melihat kecerdasan dan aura
keagungan yang melingkupi sosoknya.
Satu jam kemudian, mereka mendengar berita kematian
Amari dan Yokota. Hampir pada saat yang bersamaan,
formasi kedua pasukan mereka juga ikut jatuh. Kelompok
penyerang di Benteng Koseki sangat terpengaruh dengan
berita tersebut dan mulai terpecah. Harunobu mencoba
menyatukan kembali pasukan tersebut, namun sia-sia.
Kekalahan tak terelakkan sudah di depan mata. Harunobu
mengajukan usul bahwa ia akan mengirim pesan kepada
pasukan Oyamada dan Morozumi, dan membuat semua
pasukan menyerang pasukan Murakami bersama-sama
dengan taktik frontal langsung. Pada titik ini Harunobu
sudah putus asa dan ingin memimpin seluruh pasukannya
sendiri.
“Apakah Tuan pikir sudah tepat jika komandan perang
sendiri yang memimpin pasukan kita?” Kansuke bertanya
kepadanya.
“Apakah ada jalan lain?”
“Apakah Tuan sudah siap mati di medan tempur?”
Harunobu tidak menjawab. Bagi Kansuke, Harunobu
terlihat begitu muda setiap kali tidak mampu memutuskan
sikap. Kansuke berkata dengan tenang, “Ya, memang kita
perlu mendapatkan kemenangan dengan mengorbankan
hidup. Namun saat ini Tuan sedang kecewa karena
sebagian besar pasukan tewas. Kalau sedang marah, orang
cenderung bertindak gegabah.”
Harunobu melihat ke bawah, pada sosok kecil Kansuke
di posisi duduknya di atas kuda. Sulit mengatakan apakah
Kansuke bodoh atau cerdas, dan ia tampak begitu buruk
rupa, namun begitu tenang. Meski begitu, ia merasa dapat
memercayai Kansuke lebih dari siapa pun juga.
“Apakah kau punya ide lain untuk sebuah serangan
balasan?”
“Ya, saya punya.’”
“Apakah mungkin bagi kita melewati semua kekacauan
ini?”
“Hanya ada satu strategi yang mampu membawa kita
pada kemenangan. Mohon beri saya 50 orang pasukan
berkuda,” ujar Kansuke.
0=odwo=0
Begitu Kansuke mengumpulkan mereka, ia membuat
putaran balik, memacu kudanya dengan kecepatan penuh
sejauh dua mil dan tiba di belakang pasukan Murakami.
Kemudian ia meneriakkan perintah pada pasukan berkuda
tersebut, “Aku ingin kalian memacu kuda dengan
kecepatan penuh menerobos pasukan Murakami dengan
taruhan nyawa. Yang harus kalian lakukan hanya memacu
kuda dengan kecepatan penuh. Tidak perlu membunuh
siapa pun. Aku akan memimpin di depan.”
Pasukan berkuda Kansuke berlari dengan kecepatan
penuh menerobos pasukan Murakami dari belakang,
berusaha memecah musuh menjadi dua. Mereka memacu
kuda dengan kecepatan tinggi tanpa sedikitpun keluar dari
garis lurus yang membelah formasi tersebut.
Kansuke yakin bahwa yang perlu dilakukan hanya
menghancurkan formasi pasukan musuh. Jika itu berhasil,
Harunobu muda yang cerdas akan punya peluang
menyatukan kembali formasi pasukannya yang terpecahbelah
dan menyerang.
Sambil memimpin pasukannya, Kansuke memacu kuda
dengan kecepatan penuh. Tubuh setengah membungkuk
mengayun pedang maju mundur, la menengok ke belakang
begitu berhasil menyerang titik tengah formasi pasukan
musuh. 50 orang pasukan berkuda mengikuti di belakang
laksana gelombang hitam.
Tiba-tiba, Kansuke mendengar teriakan perang, dan
menyadari bahwa formasi pasukan yang diterobosnya
berada dalam kekacauan; seperti sarang lebah yang diserang
tepat di pusat. Bendera besar berwarna biru di atas markas
Takeda berkibar ditiup angin di puncak bukit, la tidak tahu
jam berapa saat itu, namun huruf-huruf emas yang
menghiasi bendera itu berkilauan di bawah sinar matahari.
Teriakan perang tersebut berasal dari pasukan Takeda.
Kansuke lalu memacu kuda menembus seluruh formasi
pasukan musuh dan membuat putaran balik kembali ke
kancah pertempuran dengan kecepatan penuh. Tidak perlu
menyerang satu pun dari musuh; yang perlu dilakukan
hanya menebas siapa pun yang menghalangi. Kembali
teriakan-teriakan perang, tiupan terompet dan tabuhan
genderang terdengar dari segala penjuru. Dentuman senjata
terdengar jelas dibanding suara-suara lainnya.
Dengan memanfaatkan strategi yang dilakukan oleh
Kansuke, pasukan Takeda beralih dari posisi bertahan
menjadi menyerang. Pasukan berkuda Takeda menyerang
dan menghancurkan kekuatan pasukan Murakami yang
tercerai-berai, dan membuat mereka mundur. Selama
pertempuran tersebut, pasukan Takeda kehilangan 720
orang, dan pasukan musuh kehilangan 193 orang. Kendati
pihak Takeda memiliki jumlah prajurit gugur yang lebih
besar, namun teriakan kemenangan kini menggema dari
markas Takeda.
Kansuke dihadiahi 800 kan dan diberi kenaikan pangkat
dengan memimpin 75 orang prajurit infanteri.
Satu setengah bulan setelah pertempuran di Benteng Toishi,
Puteri Yuu melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu, Sang
Puteri tinggal di rumah pribadi di kaki bukit di belakang
benteng. Tidak seorangpun, kecuali Kansuke, yang
mengunjungi.
Kansuke dibawa masuk ke kamar Sang Puteri yang
sedang berbaring. Tanpa memberi kesempatan pada
Kansuke untuk memberi ucapan selamat, Puteri Yuu
berkata, “Sesuai perintahmu, seorang bayi laki-laki yang
memiliki darah Takeda dan Suwa telah lahir. Siapa yang
tahu takdir macam apa yang dimilikinya kelak, namun saat
ini dia sedang tidur dalam damai.”
Kansuke tertawa sekilas dan berkata, “Sekarang
Penguasa Suwa telah lahir. Ini sebuah peristiwa bahagia.
Selamat.”
Sang Puteri malah balik menyalahkan, “Kau yang
merencanakan penyerangan tiba-tiba terhadap ayahku.
Sekarang merasa berbahagia dengan kelahiran ini?”
“Ya,” Kansuke merasa kesulitan melanjutkan katakatanya.
Sang Puteri memang benar. Sampai detik ini ia
tidak tahu bahwa Puteri Yuu sudah mengetahui perihal
dirinya yang merencanakan pembunuhan terhadap ayah
Sang Puteri. Kansuke tidak siap menerima kejutan ini.
Sang Puteri melanjutkan, “Aku hanya menyebutkan saja.
Tidak menyimpan rasa dendam kepadamu. Kau tidak perlu
khawatir. Yang ingin kutanyakan adalah, bersediakah kau
menjaga anak ini?” Puteri Yuu menghadapkan wajahnya
pada Kansuke.
“Ya,” jawab Kansuke.
“Kau mengerti maksudku?”
“Maaf, apa maksud Tuan Puteri?” beratnya tanggung
jawab yang dipikul membuat tubuh Kansuke gemetar.
Lututnya bergetar dan ia bisa melihat kedua tangan yang
berada di atas lututnya juga ikut bergetar.
“Suatu hari nanti aku ingin anak ini menjadi pewaris
klan Takeda,” Puteri Yuu menyatakan keinginan tanpa
sedikitpun rasa takut. Kansuke takjub dengan
keterbukaannya, dan melihat ke sekeliling dengan waspada.
“Kubiarkan hidupku berada di bawah kendalimu. Kau
suruh aku tetap hidup; karena itulah aku masih hidup. Kau
suruh aku datang ke Kai; aku lakukan juga. Kau suruh aku
menjadi selirnya; aku menurut. Kau suruh aku
mengandung anaknya; sekarang sudah kulaksanakan.”
Sang Puteri berhenti bicara sejenak. Lalu melanjutkan,
“Aku mohon, jagalah anak ini.”
0=odwo=0
Setelah meninggalkan kediaman Puteri Yuu, Kansuke
berjalan menuruni lereng bukit dan tiba di sisi timur
benteng. Pada sisi yang berlawanan dengan hamparan
persawahan, terdapat ladang yang ditumbuhi oleh bunga
azalea; seluruh pegunungan terlihat seperti ditutupi oleh
bunga yang bermekaran. Semilir angin yang hangat
berhembus dari barat ke timur. Bulan tanpa perang yang
langka ini tampaknya akan segera berakhir.
Hari itu, Kansuke mengunjungi Harunobu untuk
memberi ucapan selamat atas kelahiran puteranya. la
berkata kepadanya, “Kelahiran putera Tuan akan
menghilangkan kemarahan rakyat Suwa. Akan sangat baik
bila Tuan membuat anak ini menjadi penguasa wilaya Ina
dan Provinsi Suwa.”
Kansuke merasa, sangat penting kiranya menempatkan
anak laki-laki Puteri Yuu di wilayah Ina dan Suwa demi
keselamatan anak itu sendiri, sekaligus demi
menghilangkan kegelisahan dan sikap kurang bersahabat
rakyat di wilayah tersebut.
Anak laki-laki Puteri Yuu bernama Shiro. Harunobu
memiliki dua orang putera dari istrinya. Karena anak Puteri
Yuu merupakan anak ketiga Harunobu, maka seharusnya ia
dipanggil dengan sebutan Saburo; namun entah kenapa ia
justru dinamakan Shiro.
Ketika Itagaki Nobukata datang dari Suwa, ia
menanyakan Harunobu alasan mengenai hal tersebut.
Harunobu tertawa penuh arti, namun tidak menjelaskan;
setelah beberapa saat ia berkata, “Kansuke merupakan
orang yang paling tepat menjawab pertanyaanmu jika kau
memang ingin tahu jawabannya.”
Itagaki mengundang Kansuke ke kediamannya di Kofu
dan bertanya, “Mengapa kau menyarankan nama Shiro
kepada tuan kita?”
“Karena saya pikir penting bagi Tuan kita untuk
memiliki anak laki-lak i yang ketiga,” jawab Kansuke.
“Anak-laki-laki ketiga?”
“Ya, cepat atau lambat, Takeda akan dipaksa
mengadopsi seorang putera.”
“Mengadopsi seorang putera? Dari mana?”
“Saya juga tidak tahu. Mungkin dari klan Uesugi atau
Hojo. Ini akan membuat perbedaan besar menempatkan
seorang anak laki-laki adopsi di atas putera selirnya, tanpa
terkait masalah umur. Kita harus senantiasa berpikir ke
depan di masa perang ini.”
Kansuke jelas ingin mengadopsi seorang anak tersebut
demi kepentingan politis.
“Mungkinkah anak itu dari klan Hojo?” tanya Itagaki.
“Hmm…”
“Kalau begitu dari klan Uesugi?”
“Hmm…”
“Hmm, dari mana Takeda Saburo berasal?”
“Saya pikir, dari salah satu klan tersebut juga baik,”
Kansuke menjawab tanpa mengubah posisi duduk. Kali ini
giliran Itagaki yang merasakan sensasi dingin dan
mengganggu di belakangnya, karena strategi berani dari
Kansuke.
Sebulan kemudian, Kansuke pergi mengunjungi lohara
di kota benteng Imagawa di mana dulu ia pernah tinggal.
Di tengah serangan gelombang cuaca panas, Kansuke
sudah meminta untuk libur, mengatakan alasan bahwa ia
akan mengunjungi gurunya di masa lampau. Kansuke pergi
menuju Provinsi Suruga. Tak ada yang tahu bahwa ia
menyimpan maksud rahasia tersendiri ke sana.
0o-d.w-o0
Lima
Sudah tiga tahun berlalu sejak Yamamoto Kansuke
terakhir kali memasuki kota benteng Sunpu. Kansuke
mengunjungi kediaman lohara Tadatane. Cara lohara
memperlakukan Kansuke sedikit lebih sopan dibandingkan
dulu.
“Berita tentang keberhasilanmu di Kai sudah terdengar
hingga ke provinsi kami. Kau beruntung bekerja untuk
seorang tuan yang baik,” kata lohara dan menambahkan,
“Bagaimana menurutmu tentang kemampuan Harunobu?”
lohara masih memperlakukan Kansuke seperti salah
seorang pengikutnya yang dikirim ke Kai; namun
bagaimanapun juga, Kansuke sudah berubah sama sekali, ia
bahkan tidak percaya bahwa dirinya pernah berpikir untuk
mengambil keuntungan dari kedua pihak, baik Takeda
maupun Imagawa.
“Tuan Harunobu adalah seorang jenderal yang cerdas
dan jujur. Jenderal yang hebat tidak membutuhkan pujian,
ataupun peduli pada bagaimana penampilan fisik
pengikutnya. Dia menilai para samurainya dari keberanian
dan kemampuan mereka. Aku diangkat ke sebuah posisi
dengan bayaran 800 kan dalam waktu tiga tahun. Bukankah
ini membuktikan apa yang baru saja aku jelaskan
tentangnya?”
Terlihat jelas bahwa Kansuke tidak menghargai klan
Imagawa yang tidak juga mempekerjakannya, meskipun ia
telah mengabdi kepada mereka selama sembilan tahun.
Suatu hari nanti, Kansuke akan menaklukkan Imagawa
dengan kekuatan Takeda. Namun hingga saat itu tiba,
Takeda harus memiliki hubungan baik dengan Imagawa.
“Alasan aku kemari bukanlah untuk membanggakan
tuanku. Tuan Harunobu memiliki dua orang putera,
Yoshinobu dan Ryuho. Sejujurnya, Yoshinobu tidak
memiliki kualitas kepemimpinan dan Ryuho buta. Tuan
Harunobu perlu untuk mengadopsi seorang anak untuk
menjadi pewaris yang sebenarnya.”
“Kau ingin mengatakan bahwa dia menginginkan
seorang anak dari klan Imagawa?”
‘Tidak peduli berapa pun usianya. Kami ingin
membesarkan anak tersebut sebagai putera ketiga.”
“Sayangnya, klan Imagawa tidak memiliki anak,” kata
lohara.
“Bahkan tidak dari selir-selirnya?”
“Tidak, tidak satupun.”
Kansuke tahu pasti bahwa tidak ada seorang anak pun
yang cocok untuk diadopsi dari keluarga Imagawa, bahkan
bila anak tersebut berasal dari seorang selir. Kansuke
berpikir, mungkin sebenarnya ada calon yang cocok dan
lohara bisa menunjukkan.
“Apakah itu satu-satunya alasan kau datang kemari?”
tanya lohara dan tertawa.
Kansuke tidak menjawab pancingan tersebut.
0=odwo=0
Kansuke meninggalkan kediaman lohara dan menginap
di kuil dekat sungai Abe yang dulu pernah dia tinggali
selama sembilan tahun.
Seorang samurai muda, yang dulu juga ingin menjadi
pengikut Imagawa ketika Kansuke masih di sana, diamdiam
mendatanginya. Saat memasuki kamar, ia terperanjat
mendapati Kansuke sedang duduk di tengah ruangan
sambil bermeditasi.
“Tuan, apa yang sedang Tuan pikirkan saat ini?” tanya
samurai muda itu tanpa basa-basi.
Kansuke berkata tanpa ragu, “Dalam waktu sepuluh
tahun mendatang, klan Hojo, Imagawa, dan Takeda harus
menjadi sekutu. Bagaimana kiranya hal tersebut bisa
diwujudkan?”
“Hmm…” Samurai muda merenungkan pertanyaan
tersebut beberapa waktu, lalu bertanya, “Mengapa harus
sepuluh tahun?”
“Tidakkah kau mengerti? Takeda harus berperang
melawan Uesugi. Imagawa akan segera menyerang provinsi
bagian barat, sementara Hojo sedang bertarung di wilayah
Kanto.”
“Dan sepuluh tahun dari sekarang?”
“Kemudian, kami bertiga harus bertarung satu sama lain.
Hingga saat itu tiba, bagaimana caranya kami bisa menjaga
perdamaian di antara ketiga pihak tersebut dalam jangka
waktu sepuluh tahun?”
“Saya tidak tahu.”
“Sebenarnya mudah. Klan Takeda, Imagawa, dan Hojo
semuanya memiliki anak laki-laki dan perempuan. Ketiga
keluarga tersebut harus terhubung dalam ikatan
perkawinan.”
“Apakah itu mungkin?”
“Yoshinobu dari Takeda, Ujimasa dari Hojo, dan
Ujizane dari Imagawa semuanya berusia sembilan atau
sepuluh tahun. Untuk Yoshinobu adalah puteri Imagawa,
untuk Ujimasa adalah puteri Takeda, dan untuk Ujizane
adalah puteri Hojo…” ujar Kansuke dengan ekspresi datar,
lalu mendadak teringat kemungkinan putera ketiga diadopsi
dari klan Hojo. Jika Takeda mengirimkan puterinya kepada
Hojo, maka seorang putera harus diadopsi dari Hojo
sebagai seorang tawanan.
“Dalam beberapa tahun, hal ini bisa diatur,” kata
Kansuke. Semakin cepat, semakin baik. Keluarga Takeda
harus bersekutu dengan keluarga Imagawa dan Hojo, dan
sementara itu Takeda harus mengalahkan Uesugi. Perang
dengan keluarga Imagawa dan Hojo akan tiba setelahnya.
Anak dari Puteri Yuu yang akan melaksanakan itu.
Samurai muda meninggalkan Kansuke beberapa saat
kemudian. Tidak ada gunanya untuk tetap tinggal di sana.
Di mata samurai muda, Kansuke terlihat begitu beda dari
sosok yang dikenal tiga tahun lalu. Pada usia 54 tahun,
Kansuke menjadi lebih pendiam dan tidak banyak bicara.
Namun Kansuke merasa bahwa sekarang ia punya lebih
banyak kebebasan, la tidak menyesal jika kelak harus mati
dalam pertempuran. Rasa takut terhadap kematian tidak
ada dalam benaknya, la mencintai Tuan Harunobu, selir
tuan Harunobu yaitu Puteri Yuu, dan puteranya yang baru
lahir, Katsuyori. Impiannya adalah untuk dapat berkuda
melintasi hamparan padang dan pegunungan di seluruh
penjuru wilayah Kai dan Shinano. Sebuah impian yang
hanya Kansuke—seseorang yang terlahir cacat—yang
mengetahuinya.
Malam itu, Kansuke tidur lelap dan bermimpi. Mimpi
tentang sosok seorang anak kecil, Katsuyori, yang melekat
dengan kuat di gendongan tangannya.
Sejak pertempuran benteng Koseki di bulan Maret, dan
Takeda mengalahkan pasukan Murakami Yoshikiyo,
mereka menikmati hari-hari tenang yang langka di kota
benteng Kofu. Siang dan malam berlalu dalam hening,
berganti dari musim semi ke musim panas, dari musim
panas ke musim gugur tanpa ada perang. Kedamaian tidak
hanya terasa di kota benteng, namun juga di desa-desa,
pegunungan, dan lembah-lembah di sekitarnya.
Meski pertempuran tidak terjadi, namun ada begitu
banyak bencana alam yang muncul. Hujan lebat, mulai di
awal pagi tanggal 5 Juli, tidak berhenti selama tiga hari dan
menyebabkan banjir besar di seluruh wilayah Provinsi Kai.
Banyak sawah yang rusak. Di Kofu, di bukit di belakang
kediaman Harunobu, terjadi tanah longsor. Sepuluh hari
kemudian, angin hebat bertiup pada malam hari,
menyebabkan tanaman padi di wilayah itu mengalami
kerusakan hebat. Pagi hari berikutnya, begitu banyak petani
yang kaget saat mengunjungi sawah mereka.
Akibat dua bencana alam besar tersebut mulai tampak
pada musim gugur. Banyak orang meninggal dunia karena
kelaparan dan kekurangan gizi. Harga barang-barang
meningkat drastis. Meski tidak ada perang, rakyat di
Provinsi Kai sangat menderita.
Pada 9 September, pada Festival Bunga Krisan, pasukan
Takeda berkumpul di kediaman Kofu. Di lantai ruang aula
utama, bunga krisan diatur sedemikian rupa. Para samurai,
yang duduk di baris di kedua sisi dari bunga-bunga tersebut
menikmati sajian minuman sake dan semangkuk nasi
dengan kastanye. Seperti halnya pada Hari Tahun Baru,
para jenderal Takeda duduk di ujung meja menghadap para
prajurit. Namun kali ini, setelah pertempuran benteng
Koseki, dua orang jenderal, Amari Toyayasu dan Yokota
Takatoshi, yang gugur dalam pertempuran tersebut, tidak
hadir. Hanya ada tiga orang jenderal di sana; yaitu Obu
Toramasa, Oyamada i Masatatsu, dan Itagaki Nobukata.
Ini membuat semua orang merasa sedih.
Sejak pertempuran di benteng Koseki, dua orang
jenderal, Obu dan Oyamada, ditempatkan di Shinano utara
untuk menghadapi pasukan Murakami. Namun keduanya
datang ke Kofu menghadiri acara tersebut. Itagaki juga
datang jauh-jauh dari posnya di Suwa. Anggota lain dari
klan Takeda yang menghadiri acara tersebut adalah
Samanosuke Nobushige, Sonroku Nobutsura, Emontayu
Nobutatsu, dan Anayama Nobuyoshi. Beberapa wajah baru
adalah Baba Nobuharu, Yamagata Masagake, Naito Shuri,
dan Akiyama Nobutomo yang dipromosikan menjadi
jenderal kelas menengah. Masing-masing merupakan
pewaris muda dari keluarga-keluarga terkenal yang sudah
bekerja untuk Takeda selama beberapa generasi.
Jenderal Obu dan Oyamada memberi informasi kepada
Harunobu mengenai pergerakan musuh utama mereka saat
ini, yaitu Murakami Yoshikiyo.
Murakami masih tetap berdiam diri sejak kekalahan di
pertempuran Benteng Toishi, namun sudah menjadi ciri
khasnya bahwa ia bukan tipe orang yang mudah menyerah;
tampak jelas bahwa Murakami akan menggerakkan
pasukannya dalam waktu dekat, kemungkinan besar di
musim semi berikutnya ketika salju mulai mencair. Baik
Obu maupun Oyamada punya pendapat yang sama
mengenai hal tersebut.
“Saya kira tidak akan ada pertempuran hingga musim
semi berikutnya. Hingga saat itu tiba, kita sudah harus
bersiap, dan kali ini kita harus berhasil memenggal
kepalanya untuk menghindari masalah di masa depan,” ujar
Obu. Semua setuju, dan mereka terus mendiskusikan
tentang bagaimana mempersiapkan pasukan masingmasing.
Kansuke duduk di tengah barisan di sebelah kanan,
menghadap ke Harunobu. Tiba-tiba ia membungkukkan
badan dan berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu. Saya
yakin pertempuran akan terjadi tahun ini, atau bahkan esok
hari.”
Perhatian semua orang tertuju pada tubuh kecilnya.
“Jika menyangkut pergerakan pasukan Murakami, tidak
seorang pun yang mengetahui lebih baik daripada Obu dan
saya sendiri,” ujar Oyamada kepada Kansuke dengan nada
mencemooh.
“Saya tidak bicara tentang pasukan Murakami.”
“Saya tidak bisa membayangkan orang lain di keempat
provinsi tetangga kita yang lebih pantas untuk
dikhawatirkan selain Murakami.”
“Saya, Kansuke, juga tidak mengenal seorang pun yang
mampu melakukan gerakan seperti itu. Namun saya tahu
bahwa pasti ada seseorang yang percaya bahwa inilah
kesempatan paling baik untuk menyerang Takeda. Benar
bahwa kita telah mengalahkan Murakami musim semi ini,
namun kedua jenderal Amari dan Yokota telah gugur
dalam pertempuran dan semua orang di seluruh penjuru
negeri pasti sudah mendengar bahwa kita kehilangan lebih
dari 3.000 prajurit. Kita semua mengetahui perihal
keberanian Jenderal Obu dan Oyamada yang sudah begitu
melegenda, tetapi mereka tidak bisa pindah dari ujung utara
Provinsi Shinano untuk berjuang melawan pasukan
Murakami. Jaraknya sangat jauh. Selain itu, maafkan Saya
karena mengatakan hal ini: Samurai-Samurai lain yang
tersisa tingkatannya jauh lebih rendah dan tidak memiliki
lebih dari seratus orang pasukan berkuda. Dan yang paling
parah dari semuanya, kita menderita akibat dari bencana
alam akhir-akhir ini. Jika ada yang nekad menyerang kita,
Provinsi Kai, dengan kekuatan militer mereka yang
besar…” Kansuke mengangkat wajah menatap Harunobu
tanpa menyelesaikan kalimat. Maksudnya sudah jelas.
Kansuke sedang bicara kepada Harunobu. Tidak tertarik
mendengar pendapat samurai lainnya.
Harunobu tertawa, menyelesaikan kalimat Kansuke
dengan berkata, “Jadi kita sama sekali tidak punya
harapan?”
“Tidak, Tuanku.”
“Apakah Takeda akan hancur?”
“Ada musuh-musuh yang ingin berpikir demikian;
makanya mereka mati-matian menyerang kita.”
“Siapa yang akan menyerang kita kalau begitu?”
“Saya tidak tahu. Saya bahkan tidak tahu ada atau
tidaknya pihak yang mungkin mempertimbangkan semua
fakta-fakta ini. Jika ternyata ada beberapa dan mereka
berharap untuk menghancurkan Takeda…”
Tiba-tiba seseorang berteriak, “Siapa yang akan berpikir
seperti itu!” Itu adalah suara Anayama. “Baik Imagawa
maupun Hojo berbagi batas wilayah dengan kita, namun
tidak mungkin bagi mereka untuk berpikir mampu
menyerang kita.”
Tiba-tiba Harunobu berdiri dan mulai berkata, “Jika ini
mungkin terpikirkan…” Kemudian ia berhenti dan berjalan
masuk ke ruang sebelah dalam. Wajahnya tidak tampak
kecewa. Kansuke yakin bahwa Harunobu pasti sedang
berusaha memikirkan siapa yang ingin menyerangnya?
Sepeninggal Harunobu, tidak seorang pun angkat bicara.
Pada pertempuran Benteng Toishi, Kansuke telah sukes
membalikkan perang yang berujung buntu menjadi
kemenangan dengan strateginya. Semua mengakui
keberhasilan tersebut, namun tidak seorang pun menghargai
gagasannya yang tidak biasa. Bagi telinga mereka, gagasan
Kasuke terdengar seperti ungkapan kesombongan.
Seperti biasa, Itagaki mencoba menengahi.
“Mungkin kau minum terlalu banyak sehingga membuat
analisa seperti itu, Kansuke. Jangan tersinggung, itu adalah
analisa yang menarik. Jika benar terjadi perang tahun ini,
aku akan memberimu salah satu pengikut terbaikku, yang
boleh kau pilih sendiri. Tapi jika kau kalah, apa yang akan
kau berikan padaku?”
Itagaki mencoba mengubah kata-kata Kansuke menjadi
sesuatu yang tidak terlalu serius. Namun, Kansuke memberi
jawaban yang langsung tanpa keraguan sedikit pun. “Akan
kuberi nyawa saya!” Ini bukanlah lelucon; tidak ada
senyuman di wajahnya. Tidak hanya kepada Itagaki saja
Kansuke berkata begini, namun dengan maksud agar semua
samurai mendengarnya.
“Dasar orang bodoh, pikiranmu sudah dipengaruhi
sake!” Itagaki memaksakan senyuman.
Kansuke tidak menganggap ini sebagai lelucon, la bisa
mendengar dentingan pedang saling beradu, bunyi terompet
perang, tabuhan genderang dan ratusan prajurit berkuda
berlari melintasi bukit.
Kansuke berpikir bahwa seseorang yang berniat
menjatuhkan Takeda tidak akan melewatkan kesempatan
yang sangat baik ini. Tidak ada kesempatan lain yang lebih
bagus. Pasti ada seseorang yang berpikiran sama
dengannya, pada perang sipil yang sedang berlangsung saat
ini, di masa antara hidup dan mati, saat ketika wilayah
berulang kali dimenangkan dan dikalahkan ini.
Pasti akan ada perang lain dalam waktu dekat. Namun
Kansuke sendiri sulit menemukan siapa yang akan menjadi
musuh mereka, la tidak akan terlalu terkejut jika salah satu
dari Imagawa, Hojo, Nagao Kagetora, atau Murakami
Yoshikiyo menyerang mereka.
Belum Satu bulan sejak Kansuke meramalkan akan
terjadi perang, sudah terlihat 23.000 pasukan di bawah
pimpinan Uesugi Norimasa bergerak dari Puncak Fuefuki.
Berita pertama tentang penyerangan itu datang dari
Sanada Yukitaka di Provinsi Shinano. Pembawa pesan
membawa berita bahwa salah satu pasukan Uesugi telah
meninggalkan Provinsi Joshu saat hujan musim gugur. Si
pembawa pesan segera dikawal masuk oleh beberapa orang
samurai Takeda begitu turun dari kudanya. Tidak lama
kemudian, kuda kedua tiba tanpa penunggang, dengan anak
panah menembus bagian belakang kuda itu dan berlari
tunggang langgang menuju kediaman Takeda. Gawatnya
situasi langsung terasa.
Dalam waktu kurang dari satu jam, tabuhan genderang
terdengar di setiap pos penjagaan di kota tersebut,
memanggil semua pengikut untuk angkat senjata.
Api unggun dinyalakan di setiap sudut jalan, para
penunggang kuda mulai berdatangan di benteng satu
persatu. Penunggangnya berasal dari benteng-benteng di
berbagai wilayah seperti Aiki, Shibata, dan Unno.
Sungguh situasi yang sangat genting. Tidak sedikit pun
waktu terbuang. Serangan Uesugi sungguh tidak diduga
oleh Harunobu maupun Kansuke. Keluarga Uesugi telah
lama berperang melawan keluarga Hojo di wilayah Kanto
pusat, bahkan sering mengalami kekalahan. Mereka pasti
mengubah tujuan secara mendadak dengan menyerang
keluarga Takeda agar bisa kembali berkuasa.
Sayangnya, saat itu Harunobu terserang demam tinggi.
Pertemuan dengan para jenderal terpakasa diadakan di
samping tempat tidur Harunobu.
“Siapa yang akan memimpin perang melawan Uesugi?”
tanya Harunobu. Baik Nobushige dan Anayama bersedia
menerima tanggung jawab tersebut dengan segera. Hal itu
tampaknya sudah menjadi keputusan yang pasti di benak
semua orang karena tiga orang jenderal tertinggi, Obu,
Oyamada, dan Itagaki tidak bisa pindah dari posisi mereka
dan tidak ada orang lain selain kedua orang tersebut yang
bisa memimpin pasukan. Harunobu mengarahkan
pandangan kepada Kansuke.
Kansuke menjawab tanpa ragu, “Bagaimana jika
menempatkan Jenderal Itagaki untuk bertanggung jawab
dalam perang ini dan menggunakan Anayama serta
Samanosuke untuk mempertahankan Provinsi Suwa?”
“Apakah ada alasan mengapa aku harus melakukan itu?”
“Jenderal Itagaki telah ditempatkan di Suwa selama tiga
tahun terakhir, maka dari itu dia lebih mengetahui pikiran
dan perilaku orang-orang di Shinano. Selain itu, dia pasti
punya banyak pengikut yang memiliki pengetahuan yang
baik tentang keadaan alam di wilayah tersebut.”
“Baiklah, aku akan memerintahkan Itagaki untuk
memimpin.”, Harunobu menetapkan keputusan dengan -
segera. Pada saat-saat genting seperti ini, Harunobu
senantiasa membuat keputusan cepat.
Itagaki Nobukata ditugaskan menjadi komandan perang
melawan serangan pasukan Uesugi, dan untuk mengisi
posisinya di Suwa, Anayama dan Nobushige dikirim
bersama empat kelompok pasukan infanteri.
Kansuke berpikir bahwa dalam keadaan krisis,
seharusnya prajurit terbaik seperti Jenderal Itagaki yang
ditugaskan. Tentu saja, Harunobu akan menjadi pilihan
yang lebih baik sebagai pemimpin, namun karena sedang
sakit, tidak ada orang selain Itagaki yang pantas
menggantikan posisinya. Anayama dan Nobushige punya
kelemahan yang bisa membahayakan mereka dalam perang.
Kansuke meminta izin Harunobu untuk bergabung
dengan kelompok Itagaki. Izin ini diberikan. Kansuke
meramalkan bahwa pertempuran ini akan menjadi
pertempuran yang amat penting, dan ia menyadari
kelemahan-kelemahan Itagaki saat berada dalam
pertempuran. Sebelum turun ke lapangan, Kansuke ingin
menemui Itagaki untuk memberi beberapa nasehat.
0=odwo=0
Malam itu, Kansuke meninggalkan kota benteng Kofu
bersama beberapa prajurit berkuda menuju Provinsi Suwa.
Para samurai yang ikut bersamanya adalah penunggangpenunggang
kuda yang masih berusia muda dan mahir,
namun Kansuke yang berusia 54 tahun sama sekali tidak
merasa rendah diri. Cara Kansuke menunggang kuda agak
aneh: tubuh kecilnya duduk di punggung seekor kuda besar,
membungkuk begitu dekat dengan leher kuda sampai nyaris
tampak seolah sedang mengunyah rambut di leher kuda
tersebut.
Kelompok penunggang kuda tersebut berlari kencang
seperti angin dan keesokan paginya memasuki kota benteng
Suwa. Saat turun dari kuda masing-masing di dalam
benteng, Kansuke terduduk di atas tanah dan tidak mampu
berdiri. Semua penunggang kuda muda yang lain sulit
memercayai bahwa Kansuke bisa mengikuti mereka
sepanjang perjalanan menuju Suwa, apalagi dengan cara
menunggang yang tidak terlatih seperti itu.
Kansuke berkata, “Aku ingin kalian membawaku masuk
ke dalam benteng.” Lalu ia masuk ke dalam benteng
dengan sebuah tandu dan langsung di bawa menghadap
Itagaki.
Itagaki sudah berpakaian dan bersenjata, siap terjun ke
medan tempur.
“Sebelum mereka mendaki Puncak Fuefuki…” Kansuke
menggumamkan kata-kata ini, lalu tersenyum dan berkata,
“Saya lelah.”
“Itukah yang ingin kau katakan padaku?” tanya Itagaki.
“Ya, ini yang ingin saya sampaikan.”
“Apakah ini caramu dalam membalas bantuanku yang
telah rekomendasikanmu kepada Takeda?”
“Benar, Tuan.”
“Kau tidak perlu datang jauh-jauh kemari hanya untuk
itu. Aku sendiri sudah tahu.”
“Saya sadar itu, namun Tuan tidak tahu sebanyak yang
saya ketahui. Tuan kurang sabar dan gigih saat menghadapi
[pertempuran yang penting.”
“Jangan bercanda!”
“Tuan selalu begitu di beberapa pertempuran
sebelumnya.”
“Jangan bercanda,” ulang Itagaki, tersinggung.
Meskipun Itagaki senantiasa memperlihatkan pengertian
terhadap Kansuke yang bertampang menyeramkan itu,
melebihi orang lain, sebagian disebabkan oleh karena dialah
yang merekomendasikan Kansuke bekerja kepada Takeda.
Bukan karena benar-benar peduli pada Kansuke;
sebaliknya, ia sering merasa benci padanya.
Tetapi, bagaimanapun juga, ia mendapatkan keyakinan
atas kejujuran, kepercayaan diri dan cara berpikir positif
Kansuke.
“Maukah kau menemaniku ke medan pertempuran?”
“Jika Tuan menyerang sebelum mereka mencapai
puncak, tidak perlu sama sekali bagi saya menemani Tuan.”
“Jangan khawatir, aku tahu itu! Kalau begitu tinggallah di
sini dan beristirahat sejenak,” kata Itagaki dengan wajah
yang pucat.
Malam itu, sebagian pasukan Itagaki meninggalkan
Suwa sebagai pasukan pendahuluan. Kansuke kembali
secepatnya ke Kofu.
Itagaki sendiri berangkat Pada empat Oktober dengan
pasukan pribadi untuk bergabung dengan pasukan utama
dari Kofu.
Pada lima Oktober, Harunobu sudah merasa sedikit lebih
sehat dan meninggalkan Kofu sekitar jam sebelas bersama
4.500 orang pasukan cadangan untuk bergabung dengan
pasukan utama.
Pertukaran informasi terus berlangsung antara Itagaki
dan Harunobu melalui pembawa pesan berkuda. Pada
tanggal 6, jam sebelas, ia menerima berita bahwa mereka
telah melewati Oiwake di Komoro. Setelah itu, hubungan
terputus untuk sementara. Pembawa pesan selanjutnya
mengatakan bahwa pasukan Itagaki telah bertempur
melawan pasukan Uesugi di Puncak Fuefuki dan
memperoleh kemenangan besar. Mereka berhasil
menangkap 1.219 orang prajurit utama dan meneriakkan
kemenangan pada jam dua siang. Keesokan paginya, begitu
Harunobu tiba di medan tempur, ia memerintahkan
pasukan Itagaki untuk mundur ke garis belakang, lalu
menempatkan pasukan cadangan ke garis depan dan
bertarung melawan 16.000 pasukan musuh yang
membentuk formasi kedua di Puncak Fuefuki. Kemenangan
hari sebelumnya oleh pasukan Itagaki membawa
momentum dan semangat buat pasukan cadangan
Harunobu; mereka menangkap 4.306 prajurit dan Takeda
memperoleh kemenangan untuk kedua kali.
Malam itu di markas utama, mereka mencatat namanama
para samurai yang gugur dan mengadakan ritual
perayaan untuk kemenangan mereka. Saat itu adalah
malam yang berangin. Api unggun dinyalakan dan
kobarannya tertiup ke arah para samurai yang duduk dalam
satu barisan.
Harunobu memimpin upacara, duduk di sebuah kursi.
Obu membawakan pedang Harunobu. Di sisi kanan
Harunobu adalah Itagaki, yang bertugas membawa kipas.
Di sisi sebelah kiri adalah Hara Mino-no-kami yang duduk
membawa sebuah busur dan anak panah terbuat dari bulu
burung gagak. kKansuke bertugas membawa terompet
perang besar. Di tmata Kansuke, tuannya, Harunobu, yang
duduk dengan punggung kaku dan tegak, tampak begitu
tampan, maskulin, dan berani.
Suara tabuhan genderang yang dimainkan oleh Obata
Oribenosho bergema sepanjang udara malam di medan
tempur tersebut. Seruan “Oh” keluar dari mulut semua
samurai; sebuah seruan kuat penuh kemenangan.
Semuanya masih berusia muda; hanya Kansuke yang
sudah berumur. Kansuke menarik napas, berpikir bahwa
tuan mudanya yang tercinta itu akan mengalahkan
Murakami Yoshikiyo dan kemudian Nagao Kagetora
(nantinya dikenal sebagai Uesugi Kenshin) di wilayah
seberang Murakami. Namun sebelum itu, mereka akan
menghadapi banyak pertempuran-pertempuran kecil seperti
yang baru saja terjadi, pikir Kansuke sambil memegang
terompet perang. Di pandangan semua orang, wajah
Kansuke tampak seperti bola api. Kemarahan memancar
keluar, bagaikan dewa penjaga gerbang kuil dalam kobaran
api unggun.
0=odwo=0
Puteri Yuu kembali ke Suwa di penghujung bulan
November di tahun Tenbun ke-15. Hampir dua tahun
berlalu sejak mekarnya bunga sakura (bulan Maret) di tahun
Tenbun ke-14 ketika ia harus berangkat ke Kai. Selama itu,
Puteri Yuu sudah melahirkan seorang anak, bernama
Katsuyori, yang di tubuhnya mengalir darah Takeda
maupun Suwa.
Orang-orang sering membicarakan perjalanan pulang
Puteri Yuu. Sebagian mengatakan bahwa itu skenario yang
disusun oleh istri Harunobu, Sanjo-no-Uji, dan lainnya
mengatakan bahwa itu adalah skenario politik untuk
mengurangi kebencian rakyat Suwa terhadap Takeda.
Apapun kebenarannya, Puteri Yuu tidak mengetahui
sama sekali alasan kepulangannya. la hanya mengikuti
saran Kansuke saat lelaki itu berkunjung dan mengatakan
bahwa sudah tiba saatnya untuk menunjukkan Danau Suwa
kepada puteranya, sebelum cuaca menjadi sangat dingin.
Tidak lama setelah Kansuke menerima pesan dari Itagaki
Nobutaka bahwa semua persiapan sudah dilakukan untuk
menyambut kepulangan Puteri Yuu, maka Sang Puteri dan
Katsuyori pun meninggalkan Kofu. Semenjak takluknya
keluarga Suwa, Itagaki lah yang memimpin wilayah
tersebut.
Iring-iringan panjang bersama beberapa ratus pelayan
dan delapan usungan yang membawa Puteri Yuu,
Katsuyori dan pelayan-pelayan mereka, berjalan menuju
Provinsi Shinano dari Kai melewati pegunungan dan
ladang yang mulai menunjukkan tanda-tanda datangnya
musim dingin.
Puteri Yuu berada di usungan kedua, usungan ketiga
berisi pengasuh Katsuyori yang menggendong bayi.
Serjumlah samurai tangguh membentuk lingkaran di
sekeliling kedua usungan tersebut untuk melindunginya.
Seorang penunggang kuda yang tampak berbeda sedang
mengendarai kudanya di dekat usungan Katsuyori. la
adalah Yamamoto Kansuke.
Terakhir kali Puteri Yuu datang dari Shinano ke Kai,
perasaannya selalu berubah-ubah dan sering menghentikan
jalannya iring-iringan, namun kali ini berbeda. Tidak sekali
pun Sang Puteri mengangkat tirai penutup usungan. Duduk
dalam diam di atas usungan. Dalam waktu kurang dari dua
tahun, tSang Puteri sudah kehilangan sifat gadis muda
dalam dirinya idan kini tumbuh menjadi perempuan
dewasa. Kecantikan alaminya semakin bercahaya seiring
dengan bertambahnya usia, dan memiliki ketenangan diri
yang baru dan istimewa. Wajah putih mulus, pipi bersemu
merah muda, mata hitam nan indah dan hidung mancung
terpahat apik, merupakan warisan turun-temurun keluarga
Suwa yang istimewa, yang kini telah berakhir.
Pada hari kedua, iring-iringan berjalan di sisi Sungai
Kamuna yang mengalir deras. Sekitar siang hari, mereka
beristirahat sejenak di pinggiran sungai dekat Nirasaki. Saat
itulah Kansuke, sambil berlutut di samping usungan Sang
Puteri, bertanya, “Maukah Tuan Puteri keluar sebentar?”
“Tidak, aku ingin istirahat di dalam usungan,” jawab
Sang Puteri dengan suara jernih. “Apakah Tuan Puteri
lelah?” “Tidak, tidak juga, aku baik-baik saja.”
“Sudikah kiranya Tuan Puteri membuka tirai usungan
itu sedikit? Ini mungkin pemandangan paling indah di
seluruh penjuru wilayah Kai, sekaligus merupakan daerah
yang strategis. Suatu hari kelak, ketika putera Tuan Puteri
membangun bentengnya, ini akan menjadi tempat yang
paling ideal.”
Puteri Yuu pasti sangat tersentuh mendengar penuturan
Kansuke, karena kemudian ia menyingkap tirai dalam
diam. Kansuke menatap pergelangan tangannya yang pucat
dengan takjub.
“Di mana kau akan membangun benteng itu?”
“Di dataran tinggi itu.”
Wilayah yang ditunjuk Kansuke adalah dataran tinggi
yang tampak seperti sebuah pulau di hamparan hijau yang
luas, yang oleh penduduk setempat disebut sebagai Batu
Tujuh Mil.
“Dataran tinggi itu dikelilingi oleh Sungai Kamuna dan
Sungai Shio, serta tiga puncak pegunungan; Yakushi,
Kannon, dan Jizo. Satu sisi menghadap ke pegunungan dan
ketiga sisi lainnya menghadap ke dataran luas itu. Saat
putera Tuan Puteri kelak mencapai usia dewasa, para
samurai akan bertempur menggunakan senjata. Jadi tidak
perlu memiliki benteng di sebuah tempat yang tidak dapat
ditembus. Ini lokasi yang ideal untuk membangun
bentengnya. Lagipula, dataran tinggi seperti itu, dibatasi
empat tebing di keempat sisinya yang akan mempersulit
siapa pun untuk mencapainya.”
Kansuke merasa bahwa tempat ini memang tepat untuk
membangun sebuah benteng, la sering melewati tempat ini
dengan kuda, dan selalu terlintas gagasan untuk
membangun sebuah benteng di sini. Sepuluh hingga dua
puluh tahun yang akan datang, tempat ini akan menjadi
pusat negeri Kai. Tidak peduli mereka suka atau tidak,
Takeda akan memindahkan markas utamanya ke sini.
Orang yang akan membangun benteng tersebut
kemungkinan besar adalah Katsuyori. Ya, harus dia
orangnya.
Puteri Yuu melihat ke sekeliling pemandangan yang
seolah tak berujung.
“Indah sekali warna dedaunan di sini,” katanya.
Memang, dataran tinggi yang ditunjuk oleh Kansuke
ditutupi oleh daun-daun musim gugur yang akan berakhir
berwarna merah menyala.
“Apakah pohon-pohon berwarna itu pohon haze?”
“Ah…”
Kansuke tidak tahu apa-apa soal pepohonan dan bungabunga.
Bagi Kansuke, adalah hal yang aneh dan
menakjubkan bahwa perempuan tertarik dengan nama
pepohonan.
“Tidak ada pohon haze di Kofu, namun ada banyak
yang tumbuh di Suwa,” ujar Puteri Yuu pelan.
“Tuan Puteri suka pohon haze?”
“Sejak kecil aku suka memandangi pohon-pohon itu. Di
musim gugur, aku selalu ingin melihat daun-daun pohon
haze yang berwarna merah.”
“Tuan Puteri akan bisa melihat pohon haze mulai saat
ini.” kata Kansuke.
“Apa?” Puteri Yuu tersentak kaget; kemudian menyibak
tirai dan keluar dari usungannya, lalu berdiri tegak.
“Kansuke, apa yang kau katakan? Apa kau mengatakan
bahwa mulai saat ini aku akan tinggal di Suwa?” dia
bertanya dengan tajam. “Apa kau mengatakan bahwa aku
akan tinggal di Suwa dan jauh dari tuanku? Apakah ini
semacam siasat?”
Ekspresi wajahnya tenang, namun kata-katanya tajam
menusuk hati Kansuke seperti sebilah pedang.
“Ah…mmm…” Kansuke tidak menjawab. Tidak
sanggup menjawab.
“Kansuke!”
“Ya, Tuan Puteri.”
“Kau tidak akan meninggalkanku bersama Itagaki di
Suwa, kan?”
“Tidak, tidak akan!”
“Kalau begitu, baiklah.”
Kansuke berlutut, tangan kanan menyentuh tanah dan
tidak mengangkat kepala. Kaget mendengar betapa
cepatnya ia menyetujui rencana itu.
Perjalanan Puteri Yuu ke Suwa sudah diputuskan di
antara Harunobu, Itagaki dan Kansuke. Itagaki akan
menjadi penjaga Puteri Yuu dan Katsuyori di Suwa.
Tujuan utamanya adalah untuk membiasakan Katsuyori
dengan rakyat Suwa dan mencoba menghilangkan
kebencian mereka kepada Takeda. Kansuke juga merasa
bahwa dengan melakukan hal ini, nyawa Katsuyori akan
terlindungi, la sangat menyadari kenyataan bahwa karena
bayi tersebut memiliki darah Suwa, orang-orang Takeda
akan sangat mengawasi. Selama Katsuyori tinggal di Kofu,
hidup bayi yang baru lahir itu tidak akan pernah aman.
0=odwo=0
Ketika iring-iringan Puteri Yuu memasuki perbatasan
Suwa entah tahu dari mana, para petani Suwa menyambut
iring-iringan dengan berlutut di pinggir jalan sepanjang
lahan persawahan yang kosong di awal musim dingin.
Kepala mereka menyentuh tanah.
Puteri Yuu mengangkat tirai saat mendengar suara
Kansuke berkata, “Tuan Puteri, kita bisa melihat danau.”
Permukaan danau berwarna biru kelam, dengan riak-riak
kecil dan tajam, memasuki pandangan Puteri Yuu.
“Bukankah ini indah, Tuan Puteri?”
“Benar, indah sekali!”
Puteri Yuu duduk sambil memandang ke arah danau
beberapa saat, lalu gemetar sambil berkata, “Oh, dingin
sekali!” seraya menutup tirai.
Iringan-iringan kembali melanjutkan perjalanan, tanpa
istirahat sepanjang pinggiran danau, ditingkahi burungburung
air yang terbang sesekali, menuju Benteng
Takashima.
Itagaki sudah memutuskan bahwa Puteri Yuu akan
menjadikan Kuil Kan-non-in sebagai tempat tinggal, bukan
di Benteng Takashima di mana dulu Sang Puteri pernah
menetap. Itagaki pikir, dengan demikian Sang Puteri tidak
akan menderita terkenang kehidupan lampau di Benteng
Takashima, saat masih menjadi Puteri Suwa.
Kuil Kan-non-in berada di desa Kosaka sekitar satu mil
dari Benteng Takashima. Wilayah kediaman di kuil tersebut
baru saja direnovasi sehingga mereka tidak mengenali. Di
desa kecil Kosaka, di mana penduduknya hidup dari
perikanan dan pertanian, banyak rumah dan bangunan baru
yang dibangun khusus buat para samurai yang akan tinggal
di sana untuk menjaga dan melindungi Sang Puteri serta
anaknya. Puteri Yuu akan tinggal di benteng selama tiga
malam kemudian pindah ke kuil.
Keesokan pagi, salju pertama turun di wilayah Suwa.
Pegunungan Yatsugatake berubah menjadi warna putih,
dan daerah pinggiran danau serta persawahan di sekitarnya
juga dihiasi serpihan-serpihan salju. Sekitar siang hari,
usungan yang membawa Puteri Yuu dan bayinya Katsuyori
meninggalkan Benteng Takashima, bergerak sepanjang sisi
timur danau. Kansuke, yang sudah berada di desa Kosaka
sejak malam sebelumnya, sedang menunggu kedua usungan
bersama beberapa samurai di bawah Kuil Kan-non-in.
Usungan sudah tampak dari kejauhan, namun butuh
waktu lama bagi mereka untuk tiba di sana; karena jalanan
berlumpur, sehingga sulit untuk dipakai berjalan. Akhirnya,
usungan memasuki desa dan berhenti tepat di depan
Kansuke dan kelompoknya.
“Aku harap kamar Tuan Puteri sudah dihangatkan,”
Kansuke memastikan beberapa kali, lalu berkata kepada
Sang Puteri, “ini pasti perjalanan yang berat di tengah
cuaca dingin seperti ini.”
Tidak ada jawaban dari dalam usungan.
“Tuan Puteri, kita sudah tiba. Silahkan keluar.”
Kansuke mengulangi permintaan, namun tetap tidak ada
jawaban. Dari usungan yang kedua, keluarlah sang bayi
Katsuyori, digendong pengasuh yang berdiri di atas salju.
Kansuke langsung merasa khawatir, la mengangkat tirai
usungan pertama itu sedikit, dan mendadak pucat pasi.
Kansuke tidak melihat Puteri Yuu, melainkan salah seorang
pelayan yang dulu bersama Puteri Yuu ketika diselamatkan
dari Benteng Takashima di malam kejatuhan Suwa.
Pelayan muda itu tergeletak dengan wajah berlumuran
darah. Kedua tangan menggenggam sebilah pisau yang
ditusukkan ke tenggorokan.
Kansuke menutup tirai dalam diam, menyelipkan tangan
ke dalam usungan, memegang dahi perempuan itu. Masih
terasa hangat. Kansuke memerintahkan para samurai
membawa usungan ke dalam kuil Kan-non-in. Kansuke
membawa Katsuyori ke dalam, lalu memerintahkan semua
orang meninggalkan mereka. Setelah yakin tidak ada lagi
orang lain di sana, Kansuke kembali menyibak tirai
usungan.
“Apa yang terjadi dengan Tuan Puteri?”
Kansuke memasukkan setengah tubuh bagian atas ke
dalam usungan, mengangkat dan mengguncang tubuh
perempuan itu sekuat tenaga sambil berkata, “Di mana
Tuan Puteri, di mana dia?”
Perempuan malang itu tidak membuka mata. Tidak ada
tanda-tanda kehidupan. Kansuke menyerah, berdiri di pintu
masuk. Salju yang sangat indah kembali turun.
0=odwo=0
Kansuke tidak ingin ada yang tahu tentang lenyapnya
Puteri Yuu, maka ia memutuskan untuk membawa usungan
keluar dari kuil Kan-non-in, dengan alasan ada hal darurat
telah terjadi malam itu dan Puteri Yuu harus kembali ke
Benteng Takashima. Salju masih terus turun. Kali ini hanya
dua pelayan yang membawa usungan, dikawal oleh
Kansuke sendiri dengan menunggang kuda. Kansuke
menuruni lereng dari Kuil Kan-non-in memasuki jalan
sepanjang sisi danau. Untuk menuju Benteng Takashima,
Kansuke mengambil jalan berlawanan dari yang mereka
lalui siang tadi. Salah seorang pembawa usungan
berkomentar bahwa jalan itu lebih jauh; namun Kansuke
tidak mengindahkan. Malah berseru memerintah,
“Teruskan!”
Sekitar setengah mil kemudian, Kansuke menghentikan
usungan dan berkata, “Puteri Yuu sedang kedinginan, jadi
pergilah kalian kembali ke Kuil Kan-non-in dan bawakan
penghangat kaki.”
Kansuke memandang ke arah mereka beberapa saat.
Setelah mereka hilang dari pandangan dan merasa yakin
tidak ada seorang pun di dekat mereka, ia turun dari kuda
dan bekerja secepatnya.
la berada di jalan keluar dari danau Sungai Tenryu.
Sungai Tenryu yang besar itu berawal dari Danau Suwa dan
mengalir melalui Lembah Ina sampai ke Totomi.
Kansuke mengangkat tirai usungan, menarik keluar
mayat perempuan yang sudah terasa dingin, lalu dibawa ke
pinggiran danau melalui salju tebal setinggi lutut. Kansuke
berdiri di sana, sambil memandangi aliran air yang
menderu di bagian mulut sungai dengan seonggok mayat di
lengannya, lalu ia lemparkan mayat tersebut ke dalam air.
Bersamaan dengan terlepasnya tubuh tersebut dan
kemudian hanyut ditelan air, Kansuke pun ambruk ke
belakang. Salju yang lembut mengubur tubuhnya sampai ke
pinggang, la meraih daun-daun bambu yang mencuat dari
tumpukan salju, lalu mengangkat badan. Beberapa meter
dari tempat Kansuke berada, beberapa ekor angsa terbang
menjauh. Suara kepakan sayap mereka berbaur dengan deru
air. Tiba-tiba, Kansuke merasa begitu kesepian.
ia harus menyingkikan mayat pelayan itu. Tidak seorang
pun kecuali dirinya yang tahu bahwa sang pelayan sudah
melakukan ritual bunuh diri. “Tapi di mana Puteri Yuu?” la
harus menemukannya sebelum orang lain menyadari Sang
Puteri telah menghilang, la tidak ingin Harunobu atau
Itagaki Nobukata mengetahui hal ini. Kansuke tidak
bermaksud untuk menutupi kecerobohannya, bahkan tidak
memikirkan soal itu sama sekali. Tidak ada hubungannya
dengan Harunobu ataupun Itagaki. Memangnya mereka
bisa apa kalau pun tahu? Kansuke merasa, hanya ia yang
bisa memahami dan membicarakan kesedihan Sang Puteri I
seperti masalahnya sendiri, la harus mencari sendiri Puteri r
Yuu. Kansuke memikirkan gadis itu layaknya seperti
seorang ayah mencemaskan puterinya yang melarikan diri.
Ketika dua orang pembawa usungan itu kembali,
Kansuke memasukkan penghangat kaki yang mereka
bawakan ke dalam usungan, yang sebelumnya sudah ia isi
dengan beberapa batu berat. Usungan kembali berjalan.
Dari sini, Kansuke kembali mengambil jalan yang biasa
dilalui menuju Benteng Takashima.
Kansuke berpikir, jika para pembawa usungan sampai
tahu bahwa usungan tersebut kosong, ia sudah siap
membunuh mereka. Saat mereka berjalan, salju menumpuk
di kepala dan bahu Kansuke.
Puteri Yuu pasti berusaha kembali ke Kai, merasa takut
dijauhkan dari Harunobu. Meskipun pelayan itu sudah
mengikuti perintah Sang Puteri, ia pasti sudah menyadari
konsekuensi berat yang akan ditanggungnya, lalu
memutuskan untuk bunuh diri. Hanya ini yang dapat
disimpulkan Kansuke.
Saat itu sekitar jam sepuluh malam ketika usungan
memasuki Benteng Takashima. Begitu mereka memasuki
gerbang, Kansuke memerintahkan para pembawa usungan
untuk kembali ke Kuil Kan-non-in, mengeluarkan batu-batu
berat itu sendiri, dan memerintahkan para samurai di
benteng untuk membawa pergi usungan itu.
Bagian pertama dari pekerjaan sudah selesai. Dalam
ruangan kerja di pintu masuk, Kansuke menulis sehelai
surat pada Itagaki, berisi pesan pendek yang mengabarkan
bahwa Puteri Yuu sedang menderita flu dan saat ini sedang
beristirahat. Dan karena Kansuke berniat menjaga, tidak
seorang pun diizinkan menjenguk.
“Tolong bawa surat ini kepada Jenderal Itagaki besok
pagi tanpa ditunda sedikit pun dan pastikan surat ini sampai
ke tangannya.” Setelah perintahnya diikuti, Kansuke naik
ke atas kuda, meninggalkan Benteng Takashima.
Salju masih turun saat itu. “Di manakah Tuan Puteri
dalam cuaca bersalju seperti ini dan apa yang dia lakukan?”
Kansuke tidak tahu kapan dan di mana Sang Puteri
melarikan diri. Ketika keluar dari pintu gerbang benteng, ia
berhenti sebentar. Tidak pasti arah mana yang harus
diambil. Biasanya Kansuke bisa memikirkan segala sesuatu.
Namun kali ini, pikirannya seperti terperangkap kabut tebal.
Sama sekali tidak punya ide di mana Puteri Yuu berada.
Kansuke memacu kuda sepanjang jalan menuju Kai. Inilah
jalan yang tadi dilalui bersama Puteri Yuu empat hari yang
lalu. Sekarang semuanya terlihat beda. Dengan turunnya
hujan salju pertama ini, pemandangan di sekitar sudah tidak
dapat dikenali lagi. Dengan meninggalkan Benteng
Takashima di belakang sana, Kansuke tiba di desa pertama
yang disebut Miyakawa. la mengetuk setiap pintu rumah
yang ditemui.
“Apakah kau melihat Tuan Puteri? Apakah dia datang
mencari tempat untuk menginap? Jika kau tidak
mengatakan yang sebenarnya padaku, seluruh anggota
keluargamu akan dihukum mati.” Kansuke berseru
demikian di setiap pintu.
Di setiap rumah tersebut, siapapun yang membuka pintu
akan menciut ketakutan. Di hadapan mereka, berdiri
monster yang menunggangi seekor kuda dengan pedang
terhunus di tangan. Bahkan meski sudah berusaha bersikap
seramah mungkin, wajah Kansuke tetap saja menakutkan.
Namun malam ini, wajahnya menunjukkan ekspresi yang
tidak dapat dijelaskan. Seperti kerasukan roh jahat.
Saat melakukan pencarian di desa itu, fajar terbit. Salju |
sudah berhenti sejak subuh. Sambil menunggang kuda di
tengah hamparan salju sedalam dua kaki, Kansuke bergerak
ke tenggara melintasi dataran luas. Setiap kali tiba di sebuah
desa, Kansuke mengetuk pintu setiap rumah di sana.
Seiring waktu, ia mulai putus asa.
“Tuan Puteri, Tuan Puteri!” Kansuke mengulang-ulangi
namanya dalam hati, ia mengarahkan kudanya tanpa
harapan. Sekitar siang hari, Kansuke berhenti untuk
pertama kali. Begitu kudanya berhenti, Kansuke ambruk
dengan kepala lebih dulu ke rimbunan bambu yang tertutup
salju, saking lelah dan putus asa.
Menaklukkan benteng ataupun wilayah perang sudah
tidak berarti apa-apa lagi baginya saat ini. Tiada lagi mimpi
untuk menghabisi wilayah sekitar seperti ulat sutera
menghabisi daun-daun murbei. Karena puteri yang cantik
sudah hilang dari dunia ini, Kansuke sudah tidak memiliki
lagi keinginan untuk hidup. Untuk pertama kalinya
Kansuke menyadari betapa kuat ikatan batinnya dengan
Sang Puteri.
“Tuan Puteri, Tuan Puteri!”
Bagi Kansuke, Sang Puteri adalah mimpinya, sama
seperti Harunobu yang juga menjadi mimpinya. Kedua
orang itu adalah mimpi terbesar dan satu-satunya yang
dimiliki di dunia ini. Harunobu adalah alasan hidupnya,
dan Puteri Yuu juga penting baginya. Mimpi besar Kansuke
tidak akan menjadi nyata jika sampai kehilangan salah satu
dari kedua orang tersebut.
0=odwo=0
Saat itu hampir jam tujuh pagi. Kansuke sudah melewati
beberapa desa di pegunungan dan kini kembali ke desa
Miyakawa, di mana ia berada malam sebelumnya. Lebih
dari satu hari semenjak menghilangnya Sang Puteri.
Di malam hari, salju yang menumpuk di jalan akan
membeku menjadi es. Karena kudanya sulit berjalan dalam
keadaan seperti itu, Kansuke memutuskan kembali ke
benteng dan menceritakan semuanya kepada Itagaki.
Tampaknya tidak ada jalan selain mengeledah setiap rumah
penduduk menggunakan prajurit Itagaki.
Ketika tiba di sebuah tempat antara desa Miyakawa dan
benteng Takashima, Kansuke menatap ke rimbun
pepohonan dan merasa melihat seberkas cahaya. Kansuke
menghentikan kudanya, memandang melalui pepohonan.
Cahaya itu menghilang, la kembali mengendarai kuda,
melintasi hutan, namun insting mencegahnya meneruskan
perjalanan. Kansuke membalikkan kuda dan kembali ke
tempat pertama kali ia merasa melihat seberkas cahaya tadi.
Kali ini ia bisa melihat cahaya berpendar dalam
rimbunan pepohonan tersebut dan kembali mengarahkan
kuda ke dalam hutan. Tidak lama kemudian, ia tiba di
sebuah jalan setapak yang sempit, terus mengikuti jalan itu
sampai ke sebuah kuil kecil; dimana Cahaya tersebut
berasal.
Kuil itu sudah tua, lapuk dan begitu kecil sampai hanya
mampu menampung dua atau tiga orang saja. Jika dilihat
pada siang hari, bangunan itu seperti reruntuhan, namun
tertutup salju, dan setidaknya masih berbentuk seperti kuil.
Kansuke berteriak dari punggung kuda, “Ada orang di
sana?”
Tiba-tiba cahaya di dalam kuil padam.
“Ada orang di sana?” kembali ia berteriak. Tidak ada
jawaban dari dalam. Dari atas kudanya, Kansuke mengetuk
pintu kuil dengan gagang pedang. Lalu, sebuah suara jernih
dan indah menjawab, “Siapa itu?”
“Tuan Puteri?” Kansuke berteriak; beberapa saat
kemudian ia mendengar suara yang begitu tenang.
Suara jernih Puteri Yuu menjawab, “Kansuke!?”
Kansuke turun dari kuda, berlari menaiki tangga batu
kuil, berlutut di depan pintu dan bertanya, “apakah Tuan
Puteri baik-baik saja?”
Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, ia malah balik
bertanya dengan suara sedikit menuduh, “Mengapa kau
kemari? Bukankah sudah kubilang padamu, Kansuke, tidak
peduli apapun yang kau katakan: aku hendak kembali
kepada Tuan Harunobu. Aku tidak mau tinggal di Suwa.”
“Baik, Tuan Puteri.”
“Kau paham maksudku, Kansuke?”
“Paham, Tuan Puteri,” kansuke begitu ingin masuk ke
dalam kuil dan melihat Sang Puteri dengan mata kepalanya
sendiri. ‘Saya berjanji melakukan apapun keinginan Tuan
Puteri.”
“Kalau begitu, kau boleh membuka pintu.”
Kansuke membuka pintu, menciut dalam kegelapan, lalu
mengambil pemantik api, kemudian menyalakan piring di
lantai yang berisi minyak. Puteri Yuu duduk di atas lantai
basah. Rambut panjangnya tergerai di punggung dan baju
panjangnya terhampar di lantai. Bahkan dalam kuil tua
tertutup salju ini, kecantikan dan keanggunannya tetap
terpancar.
“Tuan Puteri, demi Tuhan, saya ingin Tuan Puteri
kembali ke Suwa. Di sana saya akan mendengarkan semua
permintaan Tuan Puteri,” kata Kansuke.
“Aku sudah tidak bisa berjalan lagi,” jawab Puteri Yuu.
“Apa Tuan Puteri yakin?”
“Kakiku kedinginan, aku bahkan tidak bisa bergerak
barang satu langkah.”
“Saya mengerti, tapi apakah itu berarti Tuan Puteri tidak
dapat berjalan sampai ke Kai di mana Tuanku berada?”
Puteri Yuu tidak menjawab.
“Tuan Puteri sudah makan?”
“Aku belum makan apa-apa sejak kemarin pagi.”
Kansuke menyadari bahwa terakhir kali ia makan adalah
saat bersama Sang Puteri. ia tidak merasa lapar; namun bisa
merasakan betapa lapar Sang Puteri. Kansuke tidak bisa
tahan membayangkan Sang Puteri kelaparan.
“Ayo kita kembali Ke Suwa secepat mungkin dan makan
sesuatu yang hangat, Tuan Puteri.”
Kemudian, Puteri Yuu berkata dalam suara tenang luar
biasa, “Kaki yang dingin atau kelaparan tidak ada
hubungannya dengan penderitaan manusia. Kansuke, kau
tidak mengerti sama sekali.”
“Tentu saja saya mengerti. Saya mengerti semua
penderitaan yang Tuan Puteri alami.”
“Tidak, kau tidak mengerti,” Puteri Yuu menghela napas
dengan keras.
“Tuan Puteri bicara tentang kesedihan berada jauh dari
Tuan Harunobu, bukan?”
“Itu salah satunya, tapi bukan hanya itu,” tambah !
Puteri Yuu, lalu berkata, “Apakah kau mengerti mengapa
aku melarikan diri dan pergi ke tempat seperti ini? Apakah
kau benar-benar mengerti mengapa aku begitu ingin
kembali?”
Kansuke merasa sedikit cemas mendengar nada suara
Puteri Yuu dan segan menjawab.
Sang Puteri melanjutkan, “Itu karena aku ingin
membunuhnya.”
“Apa?” Kansuke tidak dapat memercayai apa yang baru
saja ia dengar. Belum pernah ia terkejut seperti ini
sepanjang hidupnya.
“Tuan Puteri bicara apa?”
“Akan kuulangi sebanyak yang kau inginkan. Aku ingin
membunuhnya!”
Kansuke langsung membayangkan puteri cantik ini
memenggal kepala Harunobu, dan rasa dingin menjalari
punggungnya.
“Jangan khawatir, Kansuke. Kalau sekarang aku hanya
ingin menemuinya, itu saja.”
Kansuke menarik napas lega. Namun tidak bertahan
lama.
“Tapi besok, aku mungkin ingin membunuhnya.”
“Tuan Puteri!”
‘Tapi esok lusa, aku mungkin hanya ingin menemuinya.”
“Tuan Puteri!”
Kansuke tidak mampu berkata apa-apa saking
terperangah dengan kata-kata Sang Puteri. Kansuke tidak
mampu menahan situasi kacau ini lebih lama lagi. Dia
merasa bahwa jika dia tidak mengulangi satu kata itu, Tuan
Puteri, maka Kansuke akan hancur.
“Aku akan senantiasa berada di antara perasaanperasaan
ini selama aku hidup. Aku membenci tuanku
karena dia telah membunuh ayahku dan membuatku
menjadi miliknya, lalu mencoba melepaskanku lagi.
Bagaimanapun, dia tetap ayah Katsuyori dari diriku, dan
berkali-kali mengatakan kepadaku bahwa dia mencintaiku.”
Sang Puteri terisak dalam diam, bahunya bergetar.
Kansuke merasa sangat berduka menyaksikan sosok kecil
Puteri Yuu bergetar sambil terbaring di atas lantai basah
dan dingin.
Kansuke belajar untuk pertama kalinya bahwa cinta dan
kebencian bisa muncul pada saat bersamaan tanpa logika
sama sekali. Pengetahuan ini berada di luar
pemahamannya, dan ia tidak tahu bagaimana
menyikapinya.
Jika Kansuke menahan Puteri Yuu di Suwa, maka
kebenciannya pada Harunobu bisa meningkat. Itu yang
harus ia hindari. Sedangkan, jika ia membawanya kembali
ke Kai dan meninggalkan di sisi Harunobu, tidak ada
seorang pun yang bisa menebak pengkhianatan seperti apa
yang akan muncul darinya. Belum lagi sikap iri dari istri
resmi Harunobu dan kerabat dekat Takeda. Ini dapat
mengancam keselamatannya. Mungkin hal terbaik yang
bisa dilakukan adalah menahan Sang Puteri di Suwa
dengan alasan keamaan, sekaligus berusaha menjaga cinta
Harunobu kepada Sang Puteri.
Satu hari setelah membawa Sang Puteri ke kuil Kan-nonin,
Kansuke pergi menemuinya. Sang Puteri terbaring di
tempat tidur, mengatakan bahwa ia sedang menderita sakit
kepala.
“Bagaimana dengan kaki Tuan Puteri, sudah tidak sakit
lagi?”
“Ya, masih terasa sakit.”
“Sayang sekali. Tuan Puteri tidak seharusnya berbuat
nakal seperti kemarin. Bagaimana dengan badan Tuan
Puteri?”
“Aku hanya lapar.”
“Tuan Puteri bilang lapar, tapi saya dengar malah tidak
mau makan apa pun.”
“Tidak.”
“Itu tidak baik, Tuan Puteri,” ujar Kansuke
mengingatkan.
“Apakah kau tidak ingat janjiku padamu bahwa aku
tidak akan makan hingga aku berada di dalam usungan
yang akan membawaku kembali ke Kai?”
“Ya, Tuan Puteri sudah berjanji, tapi…”
“Aku selalu menepati janji.”
Tampaknya tidak ada yang mampu menggoyahkannya.
“Tuan Puteri, bolehkah saya bertanya? Begitu Tuan
Puteri kembali ke Kai nanti, Tuan Puteri akan menyadari
harus hidup terpisah dari Katsuyori. Tuan Puteri mengerti
hal ini, bukan?”
“Ya, aku mengerti.”
“Apakah Tuan Puteri tidak akan merindukannya?”
“Tidak ada ibu yang tidak mencintai dan merindukan
anaknya.”
“Itulah sebabnya. Tuan Puteri harus tinggal di sini
bersama Tuan Katsuyori. Biar Tuan Harunobu yang
berkunjung kapan saja.”
“Aku tidak bisa mengandalkannya. Dia tidak akan
meninggalkan Kofu kecuali terjadi perang.”
“Tapi jika Tua Puteri kembali ke Kai, berarti harus
meninggalkan Tuan Katsuyori di sini.”
“Aku akan membawa Katsuyori bersamaku.”
“Tidak, Tuan Puteri. Itu tidak mungkin!” kata Kansuke.
Inilah saatnya Kansuke harus memberitahu Sang Puteri
segalanya secara terbuka dan jujur. “Tuan Katsuyori tidak
akan hidup lama di Kofu. Tuan Puteri tidak akan pernah
tahu bahaya seperti apa yang akan dihadapinya.
Mengertikah, Tuan Puteri? Tuan Katsuyori memiliki darah
Suwa. Beberapa keluarga Takeda yakin bahwa darah Suwa
merupakan kutukan bagi Takeda. Oleh karena itu, sesuatu
mungkin saja terjadi dengan bayi Tuan Puteri…”
“Apakah ada rencana seperti itu?”
“Oh, tidak, mungkin tidak sekarang. Kami belum
melihat ada rencana ke arah itu. Tapi sekali lagi, Tuan
Puteri tidak akan pernah tahu siapa yang akan berpikir
begitu. Inilah alasan mengapa kita harus meninggalkan
Tuan Katsuyori di Suwa. Selama berada di Suwa, beliau
akan aman.”
Puteri Yuu menerawang dengan wajah pucat, lalu
berkata “Aku mengerti itu… Meski aku ingin membunuh…
tuanku.”
“Tuan Puteri!” Kansuke segera memotong.
“Kita tidak lagi berada di dalam hutan, di mana kita
benar-benar sendirian. Ada hal-hal yang bisa dikatakan dan
ada yang tidak.”
Mendengar kata-kata Kansuke, Puteri Yuu menutup
rapat mulutnya dengan patuh. Kemudian berpikir sejenak
dan berkata dengan suara rendah, “Kalau begitu, aku akan
meninggalkan Katsuyori di sini.”
“Itu gagasan bagus. Saya jamin, bahwa semua penduduk
Suwa akan menjaganya dengan tulus.”
“Tapi, aku masih ingin pergi ke Kai.”
“Bukankah akan sama artinya jika Tuanku sering
berkunjung kemari, walaupun Tuan Puteri tidak pergi ke
Kai?”
“Apakah dia pasti datang? Apakah kau bisa memastikan
dia akan datang?”
“Jika kita berperang di Wilayah Shinano, maka Tuanku
akan berada di Suwa sepanjang waktu. Akan ada perang
terus menerus selama bertahun-tahun. Kita harus berperang
melawan Murakami Yoshikiyo. Setelah kita
mengalahkannya, kita harus bertarung dengan Nagao dari
Echigo. Untuk itu, markas utama Tuan Harunobu akan
ditempatkan di Suwa.”
Kansuke benar-benar memercayai hal itu. Selama
bertahun-tahun Takeda akan mengalami perang yang sulit
di Shinano bagian utara. Dan demi Puteri Yuu, Kansuke
berpikir untuk terus mengarahkan strategi Takeda menuju
utara sepanjang waktu. Tidak peduli apakah mereka akan
menyukainya atau tidak.
0-o=d.w=-0
Enam
Sebagaimana telah diramalkan Kansuke, Harunobu
harus berperang melawan musuh-musuhnya di wilayah
utara setelah kejadian Puteri Yuu. Melawan Murakami
Yoshikiyo yang pemberani dan selalu berambisi menyerang
wilayah selatan, Harunobu harus terlibat dalam perang
antara hidup dan mati yang terus berulang.
Murakami, yang mengalami peperangan yang keras
melawan Takeda selama perebutan Benteng Toishi, secara
teratur menyusun ulang dan menyiapkan pasukannya, dan
pada tahun Tenbun ke-I6, para prajuritnya mulai
menunjukkan kesiapan mereka di seluruh wilayah Shinano
bagian utara. Menanggapi pergerakan ini, Harunobu juga
memposisikan kembali pasukannya, dan membuatnya
sering berdiam di Provinsi Suwa.
Dalam keadaan seperti itu, Tuan Harunobu dan Puteri
Yuu melanjutkan kehidupan mereka tanpa hambatan.
Kansuke mengunjungi Puteri Yuu sesekali di Kuil Kan-nonin.
“Saya senang mendengar Tuan Puteri baik-baik saja.”
Di saat yang sama Kansuke memandang wajah Puteri
Yuu lekat-lekat. Ketika melihat wajah cantiknya tampak
bahagia dan tenang, Kansuke merasa lega.
“Mohon Beri tahu saya jika ada sesuatu yang tidak
memuaskan,” ujar Kansuke.
“Aku tidak punya keluhan apapun, kecuali memikirkan
Katsuyori yang tidak begitu sehat dan agak sensitif akhirakhir
ini. Aku heran, apakah cuaca Suwa tidak cocok
dengannya.”
Memang benar. Jika diamati, Katsuyori tampak jelas
seorang anak yang lemah. Sering menangis untuk alasan
yang tidak penting. Anehnya lagi, tidak peduli seberapa
keras ia meraung, Katsuyori tidak pernah mengeluarkan
airmata. leski menangis, bergetar dan meliukkan tubuh
sampai ?ajah pucat; ia tidak pernah benar-benar terisak.
Kansuke agak menyukainya karena hal itu. la merasa
bahwa itu menunjukkan kepribadiannya yang kuat, yang
berbeda dengan anak lain.
“Janganlah cemaskan dia, Tuan Puteri. Saat dewasa
nanti, dia akan menjadi seperti Dewa Perang atau Dewa
Api karena memiliki sesuatu yang berbeda dari anak-anak
lain,” Kansuke memberitahu Sang Puteri. la benar-benar
meyakini ucapannya sendiri.
Namun, hanya kepada Puteri Yuu ia berkata demikian.
Di hadapan orang lain, ia berkata bahwa Tuan Katsuyori
benar-benar sakit dan tidak memiliki kepribadian sebagai
samurai yang kuat. Cara ini jauh lebih aman demi
Katsuyori. Hanya Itagaki Nobukata yang melihat topeng
Kansuke. Mungkin karena ia yang menjaga Puteri Yuu dan
Katsuyori, Itagaki perlahan mulai menyukai mereka
berdua. Saat itu bulan Agustus tahun Tenbun ke-I 7.
Harunobu menghancurkan Benteng Shiga di wilayah
Shinano kemudian memasuki dan tinggal di Benteng
Komuro bersama 10.000 prajurit.
Murakami mendapati hal ini sebagai peluang langka, di
mana Harunobu tinggal di Shinano bagian utara, lalu
mengambil keuntungan untuk menentukan pemenang dari
konflik mereka. Bersama 7.000 pasukan ia meninggalkan
Benteng Katsurao menyeberangi Sungai Chikuma. Saat
angin lembut musim gugur terasa, Dataran Uedahara
menjadi lokasi dari perang yang menentukan.
Harunobu keluar dengan sebuah strategi unik yang
diinspirasi dari gagasan Kansuke. Sebuah formasi tidak
biasa yang disebut Shimarino sonae. Itagaki Nobukata
memimpin pasukan pertama. Obu Toramasa, Oyamada
Masatatsu, dan Takeda Nobushige memimpin formasi
kedua. Formasi ketiga dipimpin pengikut Itagaki, Baba
Nobuharu dan Naito Shuri. Satu mil di belakang mereka,
Hara Toratane memimpin formasi terakhir dengan 300
pasukan berkuda.
Perang dimulai pada jam delapan pagi pada tanggal 24
Agustus. Pasukan Itagaki yang terdiri dari 3.500 orang
membentuk enam barisan, maju menuju garis depan, berdiri
menghadapi musuh. Dengan segera mereka mulai
menembakkan anak panah dan senjata api melawan
pasukan Murakami.
Kansuke merasa tenang dengan Itagaki yang memiliki
kepemimpinan yang baik. Ketika tiba saatnya perang yang
tidak teratur, Itagaki akan menunjukkan kelemahannya,
namun di masa awal perang, ia memiliki kekuatan yang
tidak tertandingi, la selalu mendapatkan keuntungan di
awal pertempuran dan membuat serangan luar biasa
terhadap musuh. Hal serupa juga terjadi di perang ini.
Dalam waktu beberapa jam, Itagaki menghancurkan
formasi Murakami dan memimpin pasukannya menyerang
musuh. Sebuah pemandangan yang sangat mengesankan
melihat bagaimana Itagaki menangani pertempuran itu.
Pada akhirnya, medan pertempuran menjadi hening.
Jauh di dataran luas itu, mereka bisa melihat kelompokkelompok
prajurit bergerak terpisah di bagian bukit yang
iterbuka, pasukan Murakami yang dikalahkan dan prajuritjurit
Itagaki yang mengejar mereka. Saat itu agak hening,
‘lak seperti perang yang biasa. Kurang dari satu jam,
Kansuke yang duduk di sebelah Harunobu di puncak bukit
di mana markas utama mereka berada, tiba-tiba berdiri.
“Jenderal itagaki gugur!” Kansuke yakin seseorang
meneriakkan hal itu. Tidak, tidak mungkin! Namun suara
itu semakin mendekat.
“Jenderal Itagaki gugur!”
Kansuke melihat seorang penunggang kuda berlari
menaiki lereng bukit menuju mereka. Kansuke seketika
merasakan angin kencang dingin berhembus tepat ke
jantung. Merasa seolah-olah Puteri Yuu, anaknya
Katsuyori, dan dirinya sendiri terasing dari dunia dan
sendirian di tengah padang yang luas.
“Jenderal Itagaki gugur!”
Penunggang kuda itu mendekat, meneriakkan kata
terakhir itu, lalu jatuh dari kudanya dengan suara
berdebum.
0=odwo=0
Kansuke berdiri tegak di bukit dengan kaki terbuka,
pedang tergenggam di tangan kanan, sembari memandangi
Dataran Uedahara yang membentang di hadapannya.
Prajurit Itagaki, yang sudah kehilangan pemimpin
mereka, mundur ke arah berbeda-beda, mendaki bukit atau
menuruni lembah, tampak seperti gelombang naik-turun.
Kansuke juga melihat kekuatan utama pasukan Murakami
yang memotong formasi pasukan Itagaki menjadi dua dan
sedang menyerbu ke arah posisi Kansuke laksana awan
badai. Seratus atau dua ratus pasukan berkuda membentuk
masing-masing kelompok, dan banyak kelompok seperti ini
sedang menuju arah Kansuke, membentuk gelombang yang
tampak seperti garis hitam. Mereka sudah tidak lagi
memperhatikan pasukan Itagaki yang tercerai berai. Jelas
sekali bahwa tujuan mereka adalah menyerang markas
utama Takeda.
“Dapatkah kita menghentikan mereka dengan formasi
kedua?”
Harunobu, yang mengawasi dataran itu sambil duduk di
sebuah kursi, menanyakan pertanyaan yang sama, yang
juga ditanyakan Kansuke pada diri sendiri. Karena pasukan
Itagaki sudah terpatahkan, maka formasi kedua yang
dipimpin oleh Obu, Oyamada, dan Nobushige, harus
menghadapi musuh.
“Hmm…” Kansuke tidak mampu menjawab.
“Mereka tampaknya tidak bergerak, ya?” kata Harunobu
akhirnya. Prajurit Takeda, yang membentuk konfigurasi
kedua di kaki bukit, di mana markas utama berada, tetap
diam seperti orang menahan napas. Tidak seorang pun
samurai yang bergerak. Harunobu tampak cemas melihat
mereka tidak segera bertindak.
“Aku cukup yakin Jenderal Obu memiliki beberapa
gagasan,” kata Kansuke. Ketika saatnya tiba untuk
menghentikan musuh yang menyerang dengan agresif, Obu
Toramasa bertempur dengan sangat baik. la menunjukkan
kekuatan yang hebat dalam situasi seperti ini. Itulah
sebabnya Kansuke menempatkannya di formasi kedua.
Tiba-tiba, mereka mendengar teriakan perang di kaki
bukit Baik pasukan Oyamada maupun Nobushige
menggerakkan formasi tepat di depan musuh. Di saat
bersamaan, kelompok pasukan berkuda Obu melakukan
serangan di kedua sisi pasukan musuh. Panji-panji Takeda
bersinar seperti pucuk-pucuk rumput ilalang. Teriakan
perang, suara genderang an deru terompet perang bergema
dengan jelas dalam pertempuran yang tengah berlangsung
di bawah sana.
Dalam waktu singkat, dataran tersebut berubah menjadi
ladang pembantaian. Ribuan prajurit dan kuda saling
bertubrukan satu sama lain. Sambil melihat dari atas bukit
di mana markas utama berada, sulit membedakan mana
kawan dan lawan. Sesekali, beberapa pasukan berkuda Obu
bergabung ke dalam perang berdarah itu.
“Tampaknya kita memiliki peluang 50-50 untuk menang.
Namun pasukan kita pasti menang. Mereka akan menang
tapi…” Kansuke mulai berkomentar, dan tiba-tiba dia
berdiri, wajahnya pucat seketika.
“Yoshikiyo akan menyerang ke sini!”
Ya, pasukan Yoshikiyo sedang menuju tempat mereka.
Pasukannya memang kalah dalam pertempuran, namun
ada kelompok terpisah yang datang dari arah berbeda.
Sekitar 300 pasukan berkuda sedang mencoba untuk
membagi formasi pasukan Oyamada menjadi dua. Mereka
terus mendesak, dengan harapan dapat membuka jalan.
Jelas sekali tujuannya adalah markas utama di atas bukit.
“Bagaimana kalau Tuan pindahkan pasukan Tuan tiga
perempat mil?” saran Kansuke, namun Harunobu tidak
menjawab. Harunobu jelas lebih ingin menyerang
ketimbang mundur.
“Tuan harus memindahkan pasukanmu sedikit!” kata
Kansuke lebih keras. Sambil mempertimbangkan situasi,
mereka masih punya formasi ketiga yang dipersiapkan oleh
Baba Minbu dengan Naito Shuri di bagian belakang.
Harunobu tetap diam. la mungkin sedang berpikir bahwa
betapa memalukannya sebagai seorang pemimpin perang,
sampai dikejar-kejar oleh musuh yang hanya terdiri dari 300
pasukan berkuda.
“Jika Tuanku mundur sekarang, kelompok Murakami
Yoshikiyo bisa diserang.”
“Oleh siapa?”
“Pasukan berkuda kita, atau pasukan Naito. Pasukan itu
ada di sana untuk tujuan ini. Tuanku, ini kesempatan yang
bagus untuk mereka menyerang Yoshikiyo.”
Kansuke merasa putus asa. 300 pasukan berkuda sedang
berpacu mendaki bukit dengan sangat cepat. Jika mereka
mundur, kelompok pasukan berkuda mereka, yang terkenal
memiliki keahlian paling baik di antara prajurit Takeda,
akan menyerang musuh dari sisi kanan sementara prajurit
Naito akan menyerang dari sisi kiri, sehingga mereka dapat
mengalahkan semua pasukan musuh.
“Tidak bisakah kita menyerang mereka di sini, di markas
utama?” kata Harunobu.
“Tentu saja bisa, namun apa untungnya? Kemudian, apa
gunanya strategi yang sudah dijalankan? Kita membentuk
formasi ketiga justru untuk tujuan ini. Pasukan berkuda dan
prajurit Naito lah yang seharusnya menyerang mereka.
Tuanku tidak akan mendapatkan kehormatan apapun jika
menyerang mereka.”
“Baiklah, kita akan mundur!” Akhirnya Harunobu
menyetujui dengan setengah hati.
Genderang ditabuh untuk mengumumkan gerak maju
pasukan Naito. Di saat bersamaan, panji Furin Kazan
berkibar dan panji-panji di belakang para prajurit di markas
utama, mulai bergerak perlahan ke lereng bagian timur
bukit tersebut, kansuke ingin bergerak secepat mungkin.
Harunobu malah bergerak lambat dan enggan.
Kansuke, yang sempat melihat ke dataran rendah di
bawah sana, terkejut, la melihat sekelompok pasukan
berkuda berlari di kaki bukit. Itu kelompok pasukan musuh.
Pasukan cadangan sekutu mulai berpindah ke posisi
mereka.
“Tuanku!” Kansuke memacu kudanya tepat di sebelah
kuda Harunobu. “Kita terlambat untuk mundur. Musuh
sudah mematahkan formasi di kaki bukit. Yoshikiyo jelas
sekali sudah menetapkan keputusan untuk bertarung
langsung dengan pasukan Tuanku. Dalam situasi seperti ini,
Tuanku harus melakukan apa pun yang saya sarankan, atau
kita akan berada dalam masalah.”
Setelah mengatakan hal itu, Kansuke memerintahkan
pasukan Hatunobu untuk bersiap menyerang kembali
pasukan musuh, la tidak dapat lagi memberi perhatian
kepada Harunobu. Kansuke tetap berada di sebelah
Harunobu, berdiam diri sejenak.
Di puncak sebuah bukit kecil, sekitar dua setengah mil
jauhnya, pasukan berkuda musuh muncul berlari menuruni
lembah. Mereka akan segera mendaki ke tempat Harunobu
berada. Hanya ada sedikit waktu sebelum pasukan berkuda
cadangan dan pasukan Naito tiba dari formasi ketiga.
Segera, teriakan perang dan suara derap kuda muncul.
Tempat itu berubah menjadi ladang pembantaian dan
pertempuran mematikan.
Kansuke mencoba menuruni bukit dengan 100 orang
pasukan berkuda yang mengelilingi Harunobu. 60 orang
pasukan berkuda musuh mengelilingi Harunobu; di saat
yang sama, 100 orang pasukan berkuda di sekitar mereka
tercerai berai. Setelah itu, pertempuran berkembang
menjadi kekacauan sepenuhnya.
Kansuke tetap tinggal di samping Harunobu dan
bertarung dengan dua orang penyerang, menjatuhkan
mereka dari kudanya, la berkeliling mencari-cari Harunobu
yang pada saat itu, sudah bergerak menjauh. Kemudian ia
melihat Harunobu tengah bertarung pedang dengan seorang
pasukan berkuda musuh. Harunobu berada sekitar 150 kaki
jauhnya, menunggang seekor kuda hitam dan baju perang
putih bergaris biru—wama dari bunga unohana—dan helm
perang Suwahosho. Kedua prajurit bertarung dengan
anggun seperti sedang menari Noh, sambil mengendarai
kuda dengan tenang. Ketika mereka mendekat satu sama
lain, mereka terlibat dalam pertarungan kuat. Keduanya
mendapat kemenangan dan kekalahan yang sama.
Kansuke berpikir, penunggang kuda musuh itu pastilah
pemimpinnya, Murakami Yoshikiyo. Gaya bertarung yang
berani dan khas itu jelas sekali milik Murakami. Mereka
bukan lagi pemimpin dari masing-masing pasukan. Sematamata
dua petarung yang mengincar nyawa musuh. Tampak
seolah terasing dari pertempuran yang sedang berlangsung,
jauh dari ladang pembantaian, hanya mereka berdua
bertarung mempertaruhkan nyawa tanpa gangguan.
Di antara Kansuke dan kedua petarung itu, ratusan
prajurit musuh dan samurai sekutu terlibat dalam
pertempuran. Kansuke menunduk rendah di punggung
kudanya lalu ^mengarahkan kepala kuda menuju kedua
pemimpin perang ?tersebut. Rasa sakit menjalar di bahunya,
la pasti kena Hbrang dari samping.
Sementara Kansuke menenangkan diri, banyak prajurit
mereka dan musuh yang mengelilingi Harunobu dan
Yoshikiyo kembali. Pasukan berkuda cadangan baru saja
tiba di tempat tersebut. Kuda Yoshikiyo melompat tinggi,
dan Kansuke melihat Yoshikiyo terjatuh ke tanah. 60 orang
pasukan berkuda musuh berlari dan berusaha
mengangkatnya kembali. Dengan cepat mereka
membopong ke atas kuda mereka dan berlari menuruni
bukit dalam satu kelompok. Begitu cepatnya mereka
menyerang, sedemikian cepat pula mereka mundur.
“Tuanku,” Kansuke mendekat ke Harunobu.
“Sial! Aku kehilangan dia!” kata Harunobu.
“Dia juga pasti berpikir hal yang sama, Tuanku.”
Kansuke mengumpulkan pasukan Harunobu di
sekelilingnya, lalu berlari menuruni bukit. Teriakan perang
yang sama terdengar. Pasukan berkuda cadangan dan
prajurit Naito pasti sudah mulai melakukan pengejaran.
Ketika pertempuran berakhir, hujan mulai turun. Di
tengah rinai hujan, penghitungan kepala-kepala yang gugur
dicatat. Pihak musuh tercatat 2919 orang, dan dari pihak
mereka 700 orang.
Tidak lama setelah pertempuran, seluruh pasukan
berkumpul bersama meneriakkan jeritan kemenangan;
Kansuke maju ke depan Harunobu dan berkata, “Tuanku!”
“Jangan bicara dulu,” Harunobu memotong. Mengira
bahwa Kansuke akan menasehati, walaupun Kansuke tidak
bermaksud berbuat demikian.
“Yoshikiyo tidak akan pernah kembali lagi. Aku
berharap perang Tuanku berikutnya adalah melawan
pemimpin besar di sisi lain wilayah Murakami.”
“Siapa itu?”
“Nagao Kagetora,” kata Kansuke.
“Kenapa begitu?”
“Saya yakin Murakami melakukan serangan finalnya
hari ini. Jelas bukan serangan biasa. Namun kini, setelah
kalah strategi, dia tidak akan menyerang kita sendirian lagi.
Dia akan datang dengan pasukan Nagao Kagetora, dan
sasarannya adalah Tuanku.”
Hanya itu yang ingin disampaikan, lalu Kansuke mohon
diri dari hadapan Harunobu, membawa kepala Itagaki di
lengannya, menaiki kuda dan meninggalkan medan
pertempuran tersebut untuk kembali ke Suwa, sambil
memimpin sisa pasukan Itagaki. Kesedihan atas kehilangan
Itagaki, yang terlupakan selama berlangsungnya perang
dahsyat itu, telah kembali dan merasuk ke dalam jiwa
Kansuke bersama angin yang membawa bau darah
kematian.
Pertempuran Uedahara menciptakan jurang perbedaan
yang begitu besar antara Takeda Harunobu dan Murakami
Yoshikiyo. Baik wilayah Nishina dan Sarashina menjadi
wilayah Harunobu, sehingga semua benteng di wilayah
terebut seperti Kosaka, Inoue, Men-nai, Suda, Takanashi,
dan Seba jatuh ke tangan Harunobu. Takeda juga
menguasai Benteng Kotani, dan kekuatan Takeda
meningkat secara signifikan.
Di pihak lain, kekuatan Murakami menurun tajam
setelah pertempuran Uedahara dengan gugurnya para
samurai tingkat tinggi yang dimilikinya, dan membuatnya
tidak bisa lagi mengumpulkan kekuatan atau berdiri di atas
kaki sendiri.
Harunobu mendapat dua luka dari perang ini tapi
kemudian sembuh dengan cepat. Kansuke menambahkan
beberapa sayatan pada sosoknya yang sudah unik itu,
namun sayatan tersebut juga sembuh dengan cepat.
Di akhir September, satu bulan setelah pertempuran
Uedahara, upacara kematian besar-besaran untuk Itagaki
diadakan di Suwa. Putera resmi Itagaki, Itagaki Yajiro
Nobusato, mewarisi posisi ayahnya dan mulai memerintah
wilayah Suwa. Angin musim gugur di tahun Tenbun ke-17
terasa begitu dingin bagi jiwa Kansuke. la tinggal di
Benteng Takashima setelah pertempuran tersebut tanpa
kembali ke Suwa untuk persiapan pemakaman Itagaki dan
upacara-upacara keagamaan yang mengikutinya.
Kematian Itagaki merupakan pukulan besar bagi Kansuke.
Itagaki tidak hanya selalu berada di sisi Kansuke, dialah
yang membantu Kansuke untuk bekerja pada Harunobu,
maka ia bukan musuh bagi Kansuke. Itagaki adalah satusatunya
orang yang memahami kepribadian Kansuke
sebagai seorang perencana maupun penyendiri yang tidak
mau berkompromi. Puteri Yuu adalah orang yang juga
mendapat pukulan terberat atas kematian Itagaki. Hanya
Itagaki, Harunobu dan Kansuke yang mengetahui alasan
sebenarnya ia mau menjadi selir Harunobu dan pindah ke
Kuil Kan-non-in di Suwa. Jadi, wajar jika Kansuke merasa
benar-benar terasing dan kesepian tanpa itagaki.
0=odwo=0
Pada 11 Oktober, tiga orang pembawa pesan tiba satu
persatu dalam jangka waktu yang berdekatan. Mereka
dikirim dari kediaman Harunobu di Kofu dan membawa
perintah sebagai berikut: “Nagao Kagetora dari Echigo
sedang merencanakan untuk pergi ke wilayah Shinshu
bersama satu pasukan besar, setelah menerima permintaan
dari Murakami Yoshikiyo. Besok, pada tanggal 12, jam 4
sore, aku akan meninggalkan Kofu dengan pasukan
utamaku. Pada tanggal 15 atau 16, kami akan tiba di
Komuro di mana kami akan mendirikan kemah dan
menyambut pasukan Kagetora di Un-no-Daira. Pasukan
Itagaki Yajiro di Suwa harus berangkat menuju Komuro
bersama dengan Kansuke.”
Apa yang telah dikatakan Kansuke kepada Harunobu
tepat setelah kemenangan mereka di Dataran Uedahara
menjadi kenyataan dalam waktu dua bulan.
Kagetora baru berusia 18 tahun, namun sudah terkenal
dengan keberaniannya sebagai Penguasa Echigo. Hingga
saat itu, karena Murakami berada di antara mereka,
Harunobu dan Kagetora belum punya kesempatan bertemu.
Sekarang Murakami telah ditaklukkan, dan dua pasukan
besar Kagetora dan Harunobu harus bertarung dalam
pertempuran yang menentukan, tidak peduli apakah ia
menyukainya atau tidak. Kansuke sudah lama tahu bahwa
mereka akan menghadapi situasi ini suatu hari nanti,
namun tidak pernah menyangka hari itu akan datang
secepat ini.
Benteng Takashima, setelah kedatangan pembawa l
pesan tersebut, berubah menjadi kota persiapan. Kansuke
Imemimpin keseluruhan prosesnya, menyemangati Jenderal
muda baru Yajiro Nobusato. Mereka putuskan untuk
berangkat keesokan paginya, tanggal 12, saat fajar.
Malam itu, sekitar jam 8, Kansuke merasa ingin
mengunjungi Puteri Yuu. la sendiri tidak tahu mengapa, di
tengah kesibukan ini, di malam persiapan menuju medan
tempur, Kansuke memiliki firasat harus menemui Puteri
Yuu, namun khawatir untuk membawa kudanya menuju
Kuil Kan-non-in.
Begitu gagasan tersebut terbersin di pikirannya, Kansuke
tidak dapat menunggu lebih lama lagi. la membawa
kudanya keluar dan memacunya seorang diri sepanjang
tepian danau Suwa. Sama halnya ketika Kansuke datang ke
Benteng Takamatsu sebagai pembawa pesan, api unggun
dipasang di sekitar danau dan nyala api terpantul di airnya.
Angin musim gugur terasa dingin di pipinya.
Kansuke tetap memacu kencang kudanya tanpa istirahat
dan tiba dengan cepat di Kuil Kan-non-in Kosaka.
Kediaman di antara pepohonan yang lebat itu tampak
hening, dan sepertinya semua orang sudah tidur. Kansuke
mengendap-endap ke pos jaga di sebelah rumah pendeta.
Dua orang samurai, yang bertugas jaga malam tampak
terkejut.
“Tidak ada perkembangan baru?” tanya Kansuke.
“Tidak, Tuan.”
“Pastikan kalian berkeliling di sekitar rumah.”
“Ya, akan kami lakukan, Tuan.”
“Bagaimana dengan Tuan Puteri?”
“Dia sudah beristirahat di dalam kamarnya, Tuan.”
“Baiklah kalau begitu.”
Kansuke bersiap untuk kembali, la sangat ingin
menengok ke dalam ruangan Sang Puteri, hanya untuk
melihat, namun karena mendengar Sang Puteri sudah
masuk ke kamar tidurnya, maka Kansuke memutuskan
untuk pulang tanpa bicara dengan Sang Puteri. Tidak ada
hal khusus yang harus disampaikan, la juga tidak memiliki
alasan untuk datang, la hanya ingin bertemu saja. Para
samurai mengantar sampai ke kaki bukit, di mana Kansuke
kemudian menaiki kudanya.
“Pastikan kalian menjaga Tuan Puteri,” kata Kansuke
dan kembali melalui jalan yang sama ketika datang.
Saat memasuki sebuah desa kecil sekitar dua mil dari
kuil, ia melihat sebuah iring-iringan sekitar 20 orang
melewatinya. Mereka terlihat seperti para samurai tangguh
membawa sebuah usungan bersama sejumlah pelayan
perempuan di antara mereka.
Karena para samurai mengelilingi usungan itu, biasanya
orang yang berada di dalam usungan itu pasti berstatus
tinggi. Melihat pelayan perempuan menandakan bahwa ada
perempuan di dalam usungan. Kansuke merasa aneh. Jika
seseorang dengan status seperti itu lewat, Kansuke yang
tinggal di Benteng Takashima harusnya diberitahu.
Lagipyi^ saat itu sudah tengah malam. Sepertinya ini
merupakan perjalanan yang dirahasiakan.
Siapa dia? Kansuke mengikuti mereka di atas kudanya
dari jarak yang aman untuk bisa mengawasi, sekitar seratus
meter di belakang, menjaga agar tidak terlalu dekat atau
tertinggal jauh.
Iring-iringan tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah
pertanian. Usungan tersebut dibawa masuk ke dalam
halaman depan rumah pertanian yang letaknya sedikit jauh
dari jalan.
Kansuke turun dari kuda, mengikatnya ke sebuah pohon
pdi sisi jalan, lalu memasuki bangunan tersebut dari pintu
samping. Ketika mendekati rumah utama, di mana cahaya
bersinar dari dalam, pintu masuk bergeser membuka.
Seorang perempuan muda sedang duduk di atas lantai kayu
yang lebih tinggi. Beberapa langkah di belakang, tiga orang
samurai dan seorang perempuan tua berlutut di lantai
tanah. Orang-orang di dalam rumah itu semuanya
berkumpul di sudut ruangan berlantai kayu, dan seorang
perempuan yang tampak seperti istri dari pemilik pertanian
sibuk menghidangkan teh kepada perempuan muda yang
duduk di lantai kayu yang lebih tinggi.
Kansuke mengamati perempuan muda itu. Tampak lebih
tua dua atau tiga tahun dari Puteri Yuu. Mungkin berusia
kurang-lebih 20 tahun. Kansuke merasa bahwa perempuan
itu tenang dan lembut. Setiap kali menghirup teh, matanya
melihat ke sekeliling rumah dengan rasa ingin tahu.
Perempuan itu tidak memiliki kecantikan atau keanggunan
seperti Puteri Yuu, namun tetap saja Kansuke terpesona
oleh kecantikannya. Pipinya yang bersemu merah tampak
penuh, dan mata besarnya yang polos membuatnya seperti
sedang bermimpi. Kecantikan yang berlawanan dengan
Puteri Yuu. Kecantikan Puteri Yuu menggairahkan,
sementara kecantikan perempuan itu penuh keceriaan.
“Tuan Puteri, sudah siap untuk berangkat?”
“Ya.”
“Atau Tuan Puteri ingin tinggal sedikit lebih lama?”
kembali ia ditanyai oleh si perempuan tua.
“Ya,” ia mengulangi tanpa mengubah ekspresi. Sambil
memandangi dengan penuh kekaguman, Istri pemilik
rumah telah beberapa kali menawari teh segar. Puteri muda
tersebut mengangkat cangkir teh segarnya, ia memegang
beberapa saat dengan kedua tangan, seperti hendak
menghangatkan, namun tidak diminum. Kemudian, Sang
Puteri kembali menaruh cangkir di lantai dan berkata,
“Sudah cukup, terima kasih.”
la tersenyum penuh terima kasih kepada istri si pemilik
rumah pertanian itu.
Siapakah dia? Dia pasti berasal dari keluarga yang cukup
berkuasa, tapi ke mana dia hendak pergi?
Tidak lama kemudian, ketika tiga orang samurai dan
perempuan tua itu berdiri, perempuan muda itu pun berdiri
perlahan. Hanya si perempuan tua yang tertinggal di
belakang.
“Saya mohon maaf sudah mengganggu tanpa
memberitahu, namun karena Tuan Puteri ingin minum teh
hangat, kami tidak punya pilihan lain. Ini sekedar
mengungkapkan rasa terima kasih kami,” kata si
perempuan tua sambil meletakkan uang yang dibungkus
lembaran kertas kecil di atas lantai. Si perempuan pemilik
pertanian itu menolak menerima, namun si perempuan tua
tidak mengindahkan dan malah bertanya, “Apakah ada
jalan lain menuju Nirasaki tanpa melalui Benteng
Takashima?”
Saat si istri petani menjelaskan bagaimana menuju ke
sana, Kansuke tidak menyimak, namun pertanyaan
perempuan tua itu “tanpa melalui Benteng Takashima”
menarik perhatiannya. Kansuke beranjak pergi dengan
segera melalui pintu tersembunyi di sebelah ruang
penyimpanan dan keluar kembali ke jalan. Iring-iringan
sudah mulai berjalan kembali, dan si perempuan tua yang
keluar terakhir harus berlari-lari untuk menyusul sekitar
seratus meter di depan. Kansuke meninggalkan kuda,
berlari menyusul perempuan tua itu.
“Tunggu sebentar,” panggil Kansuke. Perempuan itu
menoleh terkejut. Tiba-tiba Tangan Kansuke meraihnya,
lalu ia terjatuh ke dalam rengkuhannya. Kansuke membawa
perempuan tidak berdaya itu ke tempat berumput, lalu
memaksanya duduk di tanah yang basah oleh embun
malam. Kemudian Kansuke mengguncang tubuh
perempuan itu dengan keras.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu, namun aku ingin
menanyaimu beberapa pertanyaan,” kata Kansuke.
“Siapa kau?” Walaupun perempuan itu tampak
ketakutan, namun nada suaranya terdengar tegas.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Kansuke bertanya,
“Kemana kau akan pergi?”
“Kami menuju Kai.”
“Di mana di Kai?”
“Aku tidak bisa memberitahu, karena kami disuruh oleh
majikan kami.”
“Siapa yang ada dalam usungan itu?”
“Aku tidak bisa memberitahu.”
“Pasti perempuan, kan?”
“Tidak, kau salah.”
“Tidak ada gunanya berbohong padaku. Aku sudah
melihat dengan mata kepalaku sendiri.”
Kansuke merasa tidak mudah berurusan dengan
perempuan ini, sehingga ia berkata, “Jika kau tidak
mengatakan yang sebenarnya, dengan sangat menyesal aku
akan membunuhmu.”
“Demi Tuhan, siapa kau?” si perempuan tua kembali
bertanya. “Apa kau ingin uang?”
Sungguh pertanyaan yang tidak terduga bagi Kansuke,
namun gagasan itu tampaknya terdengar baik baginya.
“Ya, kau benar.”
“Berapa yang kau inginkan?”
“Setelah aku tahu siapa yang berada di dalam usungan
itu, aku akan menentukan berapa.”
Begitu menyadari bahwa Kansuke adalah seorang
pemeras, tiba-tiba perempuan tua itu berubah sikap
memperlihatkan kekuasaan.
“Dia adalah puteri dari Aburagawa Gyobu-no-kami.”
Nada suaranya akan membuat siapa pun menjadi enggan
untuk menyakiti keluarga besar ini. Kemudian ia
memerintahkan Kansuke, “Pergi_ lalu berdiri untuk
menegaskan betapa serius dirinya.
Puteri dari Aburagawa Cyobu! Aburagawa dulunya
merupakan keluarga ternama dan berkuasa di wilayah
Shinano. Namun klan tersebut pasti sudah hancur sekarang.
Kansuke duduk beberapa saat. Puteri Aburagawa sedang
dalam perjalanan menuju Kai, pada malam hari dengan
membawa 20 orang samurai. Dan mereka menghindari
jalan yang akan melalui Benteng Takashima.
Kansuke berlutut dengan tegang. Apa maksudnya ini?
“Tunggu!” Kansuke berteriak kepada perempuan tua itu,
yang bersiap untuk pergi. “Tidak peduli apakah dia seorang
Aburagawa atau bukan. Tidak seorang pun diizinkan
melewati wilayah Suwa tanpa izin, meski jelas sekali kau
memanfaatkan malam yang gelap.”
Perempuan tua itu menjawab dengan keheningan.
“Ketauilah, ini wilayah yang kujaga atas perintah
Tuanku.”
“Kalau begitu, apakah kau berasal dari Benteng
Takashima?” ia mengubah nada bicaranya yang arogan dan
berkata, “Aku sarankan kau agar berhati-hati. Karena kami
juga berada di sini atas perintah dari Tuanmu.”
“Apa?”
“Kami hendak menuju Kofu, atas perintah dari Penguasa
Kofu. Pergilah!”
Kali ini perempuan tua itu mulai berjalan pergi, la
hendak menuju Kai atas perintah Harunobu! Kansuke juga
berdiri, namun tidak memanggil perempuan itu kembali,
ataupun mengejarnya.
Kansuke kembali ke tempat ia mengikat kuda, lalu
menunggangi, menghela dan memacu kudanya, la terus
menambah kecepatannya sampai akhirnya tiba di Benteng
Takashima.
Jumlah api unggun di sekitar Benteng Takashima sudah
bertambah. Ketika ia bisa melihat mereka, Kansuke merasa
harus menenangkan diri. la kemudian berbalik kembali dan
memacu kudanya sekitar satu mil dari benteng, lalu balik
kembali dan berjalan pelan menuju Benteng Takashima.
Ini tidak mungkin! Kansuke dikuasai oleh satu gagasan.
Tubuhnya bersimbah keringat. Tidak, tidak mungkin
Harunobu mengambil puteri Aburagawa sebagai selir
barunya, dan mengabaikan Puteri Yuu yang cantik!
Namun, hanya itu alasan yang bisa dipikirkan. Kalau tidak,
kenapa puteri Aburagawa pergi ke Kai di kegelapan malam?
Jika itu yang sebenarnya, maka Kansuke akan
membunuh perempuan cantik itu. Aku harus
membunuhnya demi Puteri Yuu, Katsuyori dan Takeda!
Tanpa sadar, Kansuke sudah berada di gerbang Benteng
Takashima. Halaman benteng dipenuhi para samurai
berperisai yang berdiri bersisian hingga mereka sulit
bergerak. Api unggun yang tak terhitung jumlahnya
menyala-nyala dan genderang ditabuh terus menerus.
Ketika melewati itu, Kansuke terkenang wajah dan tubuh
Harunobu saat berusia 28 tahun yang muda dan enerjik,
lalu merasa kagum. Apakah ada yang bisa ia lakukan untuk
mencegah perempuan lain selain Puteri Yuu mendekatinya?
Mungkinkan Harunobu memasuki kehidupan rahib? Itu
tidak akan cukup. Apakah ada cara membuatnya
bersumpah menjalani kehidupan sederhana? Kansuke
memikirkan hal tersebut dengan serius. Hingga saat itu,
kilatan mata Harunobu dan tubuh kuatnya, yang seolah
tidak pernah mengalami kelelahan, menjadi sesuatu yang
dikagumi Kansuke. Itu adalah kualitas dalam diri
Harunobu yang senantiasa dirasakan Kansuke. Begitu
menjanjikan dan dapat diandalkan. Namun kini sebaliknya,
kualitas tersebut menjadi masalah yang mengganggu.
Ketika Kansuke berkuda melewati kerumunan yang sesak
itu dan tiba di halaman dalam benteng, dua atau tiga
samurai tiba-tiba memegang tali leher kudanya; salah satu
dari mereka berkata, “Sekarang waktunya ke medan
tempur, Tuan. Pergi dan bersiaplah!”
“Aku tahu!” kata Kansuke sambil meluncurkan tubuh
kecilnya ke atas tanah.
“Ya, aku harus menyingkirkan kehidupan itu, aku harus
mengakhirinya dengan kedua tanganku,” Kansuke berkata
begitu keras hingga orang-orang di sekitarnya terkejut.
Dalam pandangan Kansuke, Penguasa muda Echigo,
Nagao Kagetora, yang wajahnya belum pernah ia lihat, dan
wajah puteri Aburagawa, saling bercampur. Membuatnya
bingung; siapakah di antara mereka yang akan segera
menjadi musuhnya?
0o-d^w-o0
Tujuh
Saat itu waktu sore di hari ke-16 ketika prajurit Itagaki di
Suwa tiba di perkemahan di Komuro. Pasukan utama dari
Kofu sudah menempatkan panji pertama di kaki bukit
sebelah utara pada hari sebelumnya, menunggu pasukan
sekutu dari kota benteng lainnya.
Begitu Kansuke tiba di Komuro, ia langsung mendatangi
Harunobu.
“Terima kasih sudah datang. Apa yang kau katakan pada
pertempuran di Uedahara benar adanya.”
Cara Harunobu berkata tampak beda dari biasanya.
Tidak ada intensitas normal dalam suaranya. Terdengar
sungkan dan lembut.
Ketika Kansuke melihatnya, begitu banyak yang ingin ia
sampaikan pada Harunobu. la ingin menanyakan
perbuatannya menyangkut Puteri Aburagawa, melupakan
tanggung jawabnya dari Puteri Yuu dan Katsuyori.
“Tuanku, saya harus menginagtkan bahwa sangat
penting untuk hanya memikirkan perang ini saja sementara
waktu.”
“Memang Cuma itu yang aku pikirkan” jawab Harunobu
tanpa berkedip.
”Tidakkah Tuanku memikirkan hal lain”
”Tidak sama sekali”
”Tuan Aburagawa ..” Kanasuke memulai. dan pada saat
yang sama mengangkat wajah menatap Harunobu lekat
lekat.
”Ada apa dengan Aburagawa.?”
“Puteri dari Aburagawa Gyobu-no-kami…”
“Apa!?”
Dari ekspresinya, tampak jelas bahwa Harunobu belum
pernah mendengar tentang puteri itu sebelumnya.
“Jadi, ada apa dengannya?”
“Tuanku tidak mengenalnya?”
“Tidak sama sekali.”
“Tidak pernah bertemu dengannya?”
“Tidak.” Kemudian menambahkan dengan tenang, “Ada
apa denganmu hari ini, Kansuke?” lalu tertawa.
Keraguan yang menyelimuti Kansuke sejak malam itu
hilang seperti kabut yang lenyap saat matahari terbit.
Kansuke tiba-tiba merasa gembira.
“Apa istimewanya Puteri Aburagawa?” tanya Harunobu
lembut.
“Oh, tidak, tidak ada sama sekali, saya hanya mendengar
sesuatu tentangnya, itu saja.”
“Aku sering berpikir bahwa aku harusnya bertemu
dengan keluarga Aburagawa. Aku kadang memikirkan hal
itu namun mikir tempat melakukannya, Jika dia punya «om
«mg putni. aku tidak keberatan bertemu dengannya”
Tidak, tentu Saja tidak pikir Kansuke yang mengetahui
dengan pasti apa yang akan terjadi jika Haronobu
berkesempatan bertemu perempuan muda yang begitu
cantik.
“Hmm. kita akan sibuk berperang selama beberapa lama.
Tuanku,” Kansuke mencoba mengubah arah pembitaraan
saat memandangi jenderal muda yang dipenuhi oleh
kekuatan itu.
“Jadi, akhirnya, kita akan berperang melawan Nagao
Kagetora. Dari mana kita mulai?” Kansuke bertanya
kepada Harunobu.
“Bagaimana kalau Un-no-Daira?”
“Itu tempat yang bagus.”
Kansuke merasa bangga dengannya. Bahagia mendengar
Harunobu mengatakan Un-no-Daira tanpa sedikit pun
keraguan.
Karena ini merupakan pertempuran di wilayah Shinano,
wajar baginya menginginkan untuk pertama kali menyerang
musuh, namun sebaliknya, Harunobu jelas sekali ingin
membiarkan musuh memulai gerakan pertama dan
kemudian menghentikan mereka di Un-no-Daira. Ini
membuktikan bahwa Harunobu punya keyakinan pada
kemampuan tempurnya.
Dalam pandangan orang lain, Kawanakajima adalah
lokasi yang paling tepat untuk perang tersebut. Pertempuran
di Kawanakajima bisa menjadi hal yang menentukan bagi
kedua belah pihak karena kondisi geografisnya. Bagi
Harunobu, menghindari pertempuran di Kawanakajima
membuktikan bahwa ia bersikap hati-hati. Mengatur
pertempuran di Un-no-Daira adalah pilihan yang bagus,
karena akan menguntungkan kedua belah pihak untuk
mundur, jika terpaksa.
Meski persiapan sudah ttlesai dilakukan untuk
menyongsong perang yang akan segera meletus, Harunobu
tidak menggerakkan pasukan Mereka habiskan hari ke 16,
17, 18 dan 19 di Komuto tanpa melakukan apa apa
Pada malam ke 18, mereka mendengar terompet perang,
Rervana mereka adalah untuk segera memulai pertempuran
begitu tiba di Un-no Daira. Pada saat yang bersamaan
dengan tibanya pasukan Kai. pasukan musuh dan Echigo
seharusnya juga muncul di tempat yang sama.
0=odwo=0
Menjelang fajar, tiga orang samurai; Kansuke, Obata
Toramori dan Hara Toratane meninggalkan perkemahan
dan memacu kuda ke garis depan untuk mengumpulkan
informasi mengenai musuh. Inilah pertama kalinya
Harunobu memerintahkan tiga samurai tingkat tinggi untuk
bergabung bersama dalam satu misi Mereka berkuda dalam
keheningan, saling menjaga jarak sekitar dua meter di
antara kuda masing-masing. Kansuke berada di depan, la
tahu pasti apa yang dipikirkan samurai lainnya. Kansuke
berpikir bahwa mereka pasti bertanya-tanya mengapa
Harunobu mengutus mereka bertiga untuk berpatroli,
padahal satu orang saja sudah cukup. Dua samurai selain
Kansuke memang tipe orang yang tidak merasa puas jika
tidak ditunjuk melakukan patroli seorang diri.
Namun Kansuke merasa sangat puas dengan tindakan
Harunobu yang berhati-hati.
“Tuan kita sudah memiliki pengalaman dalam
menghadapi siapapun musuhnya, bukan?” Kansuke
menghentikan kudanya, dan berbalik menghadap Hara
Toratane
“Kau benar. Jika menyangkut matalah strategi, tidak
seorang pun mampu menandingi kemampuan beliau,”
Jawab Toranate yakin. Kansuke, bagaimanapun juga,
berpikir bahwa dirinya jauh lebih unggul soal strategi,
Namun, melihat kewaspadaan Harunobu yang belum
pernah tampak sebelumnya, Kanseke merasa puas dengan
perkembangan Ini.
Saat fajar merekah, mereka berpencar. Kansuke memacu
kudanya kencang-kencang mengikuti Sungai Chikuma yang
tidak memiliki tempat berlindung. Jauh di depan sana, la
bisa melihat samar samar beberapa pasukan berkuda dalam
kabut. Mereka adalah patroli pasukan musuh. Kansuke
kadang memasuki kabut, seiring suara derap kaki kudanya
menggema di bebatuan. Ketika kabut menghilang, tidak
terlihat seorang pun. Mereka pasti sudah mundur kembali.
Kansuke mendaki bukit dari pinggir sungai. Dan sana ia
bisa melihat sebaris hitam orang-orang dengan kudanya
sedang menuju posisinya sekarang.
Kansuke menghentikan kuda dan mengawasi dengan
penuh minat. Mereka adalah pasukan Nagao Kagetora
yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh Kansuke. Inilah
musuh yang suatu hari nanti harus mereka kalahkan, pikir
Kansuke. Cara mereka menggerakkan pasukan begitu
hening jika dibandingkan dengan pasukan Kai. Teknik
mereka tidak umum dilakukan, di mana bagian utama
sebuah pasukan dibuat tidak terlihat. Kagetora membuat
bagian utama pasukannya bergerak dengan cara yang hebat
dan anggun dalam pandangan mata orang lain yang
melihatnya.
Komandan perang mereka, Tuan Kagetora, baru berusia
18 tahun. Satu dekade lebih muda dibanding Harunobu.
Kansuke mengawasi pasukan yang dipimpin jenderal muda
itu; melihat musuh berbaris dalam kegembiraan begitu
mereka bergerak maju, mengikuti kelokan yang sama
dengan sungai yang berliku. Karena aliran Sungai Chikuma
begitu alami, pasukan Echigo juga berbaris dalam garis
yang alami, dengan fleksibilitas dan kelembutan seperti air
sungai.
Sudah jam sepuluh pagi ketika Kansuke kembali ke
Harunobu. la berada di hutan cedar, sekitar 300 meter dari
dataran sungai Chikuma. Harunobu sudah turun dari
kudanya dan duduk di sebuah kursi. Baik Hara Toratane
dan Obata Toramori sudah tiba lebih dulu, duduk di depan
Harunobu, menunggu kedatangan Kansuke.
“Katakan padaku apa yang telah kau lihat, Kansuke,”
Harunobu bertanya sebelum Kansuke sempat mengatakan
apa-apa.
“Apakah engkau sudah mendengar dari Tuan Hara dan
Obata?”
“Ya, sudah.”
“Saya yakin itu sudah cukup. Mereka tidak akan
membuat kekeliruan. Jumlah pasukan musuh sekitar
6.000.”
“6.000. Tepat seperti yang mereka katakan,” jawab
Harunobu.
“Saya tidak kaget. Musuh kita makin dekat. Mereka
belum membentuk formasi apapun, namun sepertinya
berniat untuk berperang, karena mereka sudah mulai
bergerak. Mereka akan berperang dalam cara yang sangat
alami. Berbeda dari musuh kita sebelumnya. Struktur
pasukan mereka cukup ketat.”
“Toratane dan Toramori juga berpendapat bahwa
mereka akan memulai pertempuran dalam formasi yang
sama dengan barisan mereka sekarang,” komentar
Harunobu puas.
“Saya yakin akan berbeda dari mereka dalam satu hal—
mengenai bagaimana kita harus berperang melawan musuh
seperti ini. Keduanya akan berpendapat babvw® kita akan
menyerang lebih dulu karena kita memiliki pasukan lebih
besar; 15.000 orang. Namun aku yakin akan
menguntungkan bagi kita untuk menerapkan strategi
bertahan ketimbang menyerang. Jika kita bertahan lebih
lama, musuh dengan jumlah yang lebih sedikit itu akan
melemah dan kemenangan menjadi milik kita. Jika kita
serang mereka dengan memanfaatkan jumlah yang lebih
besar, pertempuran akan berubah menjadi pertarungan yang
kacau, dan kita akan kalah. Keberanian Kagetora sangat
terkenal. Jika pertempuran berubah menjadi huru-hara, dia
dan pengikutnya akan mencoba bertarung dengan Tuanku
dan pengikut Tuanku. Di mana Tuanku terpaksa beradu
pedang dengan komandan perang Echigo yang berusia 18
tahun, seperti terhadap Murakami Yoshikiyo dulu.” kata
Kansuke.
Ekspresi kemarahan menjalari wajah Harunobu saat
Kansuke menyebut pertarungan sebelumnya itu, namun ia
berkata, “Aku akan mengikuti saran Kansuke.” Setiap kali
pertempuran terakhir dengan Murakami disebut-sebut,
Harunobu tidak bisa berkutik dan inilah alasan mengapa dia
menyetujui gagasan tersebut.
“Menarik, bukan?” tanya Kansuke, yang begitu
terpesona melihat perang ini. la belum pernah ia melihat
pertempuran menarik seperti itu. Pasukan Oyamada
Masatatsu, yang baru saja menang akan segera dipukul
mundur oleh barisan pasukan musuh yang baru, dan
barisan depan pasukan musuh di sebelah kiri akan
mengalahkan pasukan Oyamada Nobuhige, namun juga
akan segera dipukul mundur oleh barisan baru dari pasukan
sekutu.
Teriakan perang menggemuruh terus-menerus
mengguncang udara di seluruh penjuru dataran itu. Suara
ringkikan kuda begitu liar menggema.
Matahari mulai merangkak terbenam. Ketika matahari
lenyap dari pandangan, dataran Un-no-Daira terasa begitu
menekan. Bukit-bukit bergelombang rendah ditutupi
belukar tinggi, angin musin gugur bertiup di antara mereka.
Kansuke menghela napas keras. “Tuanku,” panggil
Kansuke. Harunobu yang sedang mengawasi perang itu,
tidak menjawab.
la berbalik menghadap Kansuke dan berkata,
“Pertempuran ini belum menghasilkan apa-apa, ya?”
“Tepat sekali, Tuanku.”
“Bagaimana kiranya pertempuran ini akan berakhir?”
“Pasukan dengan jumlah yang lebih besar akan menang.
Jelas sekali lebih banyak pasukan kita yang tetap hidup.”
“Hmm!”
“Ini akan menjadi perang dengan jumlah kematian yang
besar. Musuh memiliki 6.000 prajurit dan kita 15.000. Jadi,
jika tiap pasukan kehilangan 6.000, mereka akan musnah,
sementara pasukan kita masih sisa 9.000 orang.”
Harunobu membuat ekspresi jijik. Jelas tidak menyukai
perang seperti ini.
“Bagaimanapun juga, aku tidak percaya bahwa akan
melakukan pertempuran tanpa pertimbangan seperti itu.
Semakin cepat dia menarik pasukan, baginya. Saksikanlah,
Tuanku. Tidak diragukan lagi dia pasti; akan mundur.”
Kansuke bahkan belum menyelesaikan kalimatnya,
ketika panggilan menakutkan terompet perang memenuhi
padang kelam Un-no-Daira. Pasukan Kai belum pernah
mendengar bunyi panggilan seperti itu. Ketika Kansuke
mendengar, ia berkata cepat, “Permisi, Tuanku,” setelah
membungkuk sedikit kepada Harunobu, ia menaiki dan
memacu kuda menuruni bukit. Bergegas menuju medan
pertempuran.
Bunyi terompet perang masih bergema naik-turun. Itu
pasti tanda untuk menarik mundur pasukan mereka.
Kansuke ingin melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana pasukan Echigo akan mundur. Bukan hal
mudah bagi setiap prajurit untuk mundur dengan cepat di
tengah pertempuran, sementara mereka masih memegang
tombak dan pedang. Inilah yang ingin dilihat oleh Kansuke.
Ketika kuda Kansuke mendaki dataran tinggi kecil, bunyi
terompet berhenti tiba-tiba. Kendati masih berada dalam
jarak sekitar 100 meter dari medan pertempuran ia hentikan
kudanya di sana. Dari dataran tinggi itu, akan lebih , efektif
melihat ke medan pertempuran.
Pada saat itu, Kansuke bisa melihat dua batalion
pasukan berkuda mulai berlari dari perkemahan musuh.
Pergerakan mereka yang penuh keahlian itu sangat
memesona. Setiap pasukan memegang sebatang tongkat.
Sambil memainkan tongkat dengan mahir, mereka memacu
kuda di sekitar medan pertempuran dengan membentuk
setengah lingkaran besar, lalu berlari seperti anak panah
menuju markas mereka dengan kekuatan penuh. Dalam
sekejap, sosok mereka menjadi semakin kecil, hingga
akhirnya lenyap dari pandangan.
Salah seorang penunggang kuda yang memimpin
manuver tersebut pasti komandan perang, Nagao Kagetora,
pikir Kansuke. Dan yang mengikutinya pastilah sang
jenderal yang terkenal berani itu, Usami Suruga-no-kami.
Kansuke tidak dapat memikirkan orang lain lagi yang
mampu memimpin dengan keahlian seperti itu.
Kansuke menyadari bunyi terompet perang yang
menandakan penarikan pasukan juga menggema dari
perkemahan Takeda. Harunobu pasti telah memberi
perintah itu. Menilai dari kepribadiannya, Harunobu pasti
sangat ingin menyerang pasukan musuh yang menarik diri
namun menahan diri dan memerintahkan peniupan
terompet perang. Karena mengenal Harunobu dengan
sangat baik, Kansuke cukup terkejut, namun memang
begitu cara terbaik menanggapi situasi saat ini. Kita harus
menunggu kesempatan lain untuk menyerang Kagetora,
pikir Kansuke. Jika terburu nafsu menyerang musuh yang
mundur, bisa-bisa kehilangan 100 atau 200 orang prajurit.
Itu sama saja menyia-nyiakan nyawa prajurit.
Kemudian dari markas utama Harunobu, di mana
Kansuke baru saja pergi, ia dapat melihat beberapa prajurit
berkuda berlari menuruni bukit. Setiap orang menunduk
rendah di balik leher kuda, berpegang dengan sangat kuat
dan mengangkat belakangnya sehingga tidak terjatuh dari
kuda. Kuda-kuda itu berlari kencang menuruni bukit
bagaikan hembusan angin yang keras. Di kaki bukit, mereka
berpencar ke arah berlainan. Dua penunggang di antara
mereka berlari melewati. Kansuke dengan kecepatan luar
biasa. Karena rendah sejajar dengan leher kuda, panji yang
punggung mereka berkibar oleh angin. Semua penunggang
kuda tersebut dinamai mukade no sashimono, Mereka dari
kelompok khusus samurai yang disebut mukade atau
kelabang. Satu kalimat yang dapat menggambarkan dia
adalah “satu prajurit sama dengan seribu prajurit.” Mereka
dipilih dari kelompok prajurit muda yang sangat terampil
untuk memberikan perintah kepada setiap batalion agar
tidak menyerang musuh yang menarik diri.
Kansuke tetap di sana selama beberapa saat, mengawasiproses
penarikan mundur tersebut. Teriakan perang masih
bergema, namun perlahan menghilang. Sekarang, perang
berakhir dengan cara yang aneh. Matahari masih berada
dibalik awan. Tidak peduli ke mana mata memandang,
dataran itu masih berada dalam keremangan.
Mulai saat ini, Harunobu akan mengalami perang yang
sangat menyakitkan melawan Kagetora, yang mungkin
agak berbeda dari perang-perang sebelumnya. Perang bisa
berlangsung lima atau bahkan sepuluh tahun. Tidak peduli
berapa lama perang ini berlangsung, yang jelas akan
menjadi pertempuran yang sangat bagus. Harunobu 28
tahun, melawan Kagetora yang berusia 18 tahun. terdapat
perbedaan usia yang besar, keduanya sekuat harima; tidak
seorang pun yang lebih kuat yang lain. Selama aku
mendampinginya, Harunobu pasti akan menang, pikir
Kansuke. Beberapa tahun dari sekarang klan Takeda akan
membunuh sang jenderal muda itu. Kansuke membalikkan
kuda, membiarkan berjalan perlahan kembali ke
perkemahan.
0=odwo=0
Pertemuan dua kekuatan dimulai pada pukul dua malam
dan berakhir pada pukul dua siang. Sebuah pertempuran
yang singkat Dalam peristiwa ini, pasukan Echigo
kehilangan 236 prajurit; sementara pihak mereka hanya
kehilangan 132 prajurit. Setelah jumlah kematian dicatat,
pada jam empat sore teriakan kemenangan berkumandang.
Harunobu tetap berdiam diri sampai semua pasukan
berkumpul di medan pertempuran itu; seolah-olah
pertempuran pertama dengan Kagetora telah membuatnya
menjadi seorang pemimpin yang sangat bijaksana.
Pasukan Takeda tetap berada di dataran Un-no-Daira
hingga tanggal 23. Alasannya adalah karena pasukan
Echigo belum mundur dari wilayah itu dan tidak
menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Keesokan harinya,
Harunobu menerima beberapa pesan yang dikirim oleh
kurir para jenderal yang melindungi benteng-benteng
mereka. Masing-masing memberitahukan kemenangan
mereka terhadap musuh dalam pertempuran-pertempuran
kecil. Mereka memanfaatkan perang besar Un-no-Daira,
dan para prajurit yang melindungi benteng yang tuannya
sedang bertempur dengan Takeda Harunobu juga terlibat
dalam pertempuran di wilayah sekitar. Tentu saja, ini
dilakukan atas perintah Harunobu.
Akiyama Nobutomo, misalnya, bertugas
melindunginbenteng dari Ina dan mengalami pertempuran
kecil dengan pasukan Ina. la berhasil menangkap 17 prajurit
berkuda, 25 prajurit lain dan mendapatkan wilayah senilai
3.000 kan. Dua orang jenderal, Amari dan Tada, yang
ditempatkan di Shimo Suwa dan Shiojiri Guchi, dilaporkan
telah menyerang klan Ogasawara di tengah malam dan
menangkap 93 pasukan Ogasawara. Jenderal Komiyama
dan Jenderal Asari, yang ditempatkan di Puncak Fuefuki,
terlibat pertempuran melawan pasukan Uesugi dan
menangkap 33 orang prajurit.
Setelah semua berita itu diterima, seorang pembawa
pesan tiba dari Kofu pada tanggal tanggal 23, di pagi hari.
Pesan tersebut berasal dari orang yang menjadi penanggung
jawab kediaman Takeda, Yamashita Ise-no-kami.
Dikatakan bahwa pada siang hari tanggal 19, terjadi
kebakaran dt . bangunan utama kediaman Takeda, namun
semua orang . bekerja keras mencegah api menyebar, dan
hanya terjadi kerusakan di sebagian kecil bangunan
tersebut. Sebagai tambahan laporan, Yamashita juga
menyebutkan bahwa ketika terjadi kebakaran, dua ekor
burung elang putih besar muncul secara tiba-tiba, dan
hinggap di atap rumah. Burung itu tetap berada di sana
selama tiga hari tiga malam, meskipun api sudah
dipadamkan.
Harunobu menyakini bahwa itu sebagai perlindungan
dewa dari Kuil Iwashimizu di Suwa, bahwa rumahnya
mengalami kebakaran saat ia sedang tidak ada, dan tidak
sampai mengalami kerusakan parah. Dua ekor elang putih
tersebut mungkin jelmaan para dewa. Harunobu
memerintahkan semua orang menghadap ke arah Suwa dan
memanjatkan doa.
Setelah melakukan upacara itu, Harunobu memanggil
dua samurai muda yang sangat mahir berkuda dan
menyuruh mereka untuk menengok kediamannya di Kofu,
dengan membawa surat dari Harunobu. Mereka segera
meninggalkan Un-no-Daira menuju Kai.
Tiba-tiba Kansuke merasa gelisah. Tidak tahu apa
penyebabnya. Beberapa saat setelah kedua samurai muda
Itu pergi, Kansuke melihat sepintas wajah Harunobu.
Tidak ada yang salah dengan mengirim sebuah surat ke
Kofu, tapi kenapa sampai butuh dua orang untuk membawa
dua buah surat? Kansuke merasa ada yang ganjil.
Begitu Kansuke pamit dari hadapan Harunobu, dengan
tenang ia naik kuda dan mengejar kedua samurai yang telah
berangkat ke Kofu. Setelah memacu kudanya selama sekitar
satu jam, dua sosok kecil yang menunggang kuda tampak di
kejauhan.
“Hei,” Kansuke berteriak sekeras mungkin dan mencoba
menyusul mereka. Kedua kuda tersebut tiba-tiba berhenti.
Begitu Kansuke mendekat, kedua penunggang kuda turun
dari kuda, menunggu Kansuke.
“Perlihatkan padaku surat yang diberikan Tuan
Harunobu kepada kalian,” kata Kansuke.
“Baik, Tuan.”
Tanpa ragu mereka menyerahkan surat yang mereka
sampirkan di pinggang.
“Kalian akan memberikan ini pada Yamashita Ise-nokami,
benar begitu?”
“Benar Tuan.”
“Pastikan kalian tidak melakukan kesalahan,” kata
Kansuke sambil melirik kedua amplop tersebut. Satu surat
ditujukan untuk istri resminya, namun satu lagi untuk orang
lain. Ditujukan “kepada Tuan Aburagawa.” Ternyata tepat
seperti yang ia duga’ Harunobu telah berpura-pura
mengatakan tidak pernah bertemu dengari’ Puteri
Aburagawa, bahkan mengaku tidak mengenalinya. Wajah
Kansuke mulai pucat, namun dengan tenang ia
mengembalikan surat itu kepada mereka dan berkata
“Tuanku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, sekarang
kalian boleh pergi dengan hati-hati.”
Kedua samurai membungkuk hormat dan kembali naik
kuda. Ketika bunyi derap kaki kuda menghilang, Kansuke
baru sadar tengah berdiri di tengah padang ilalang setinggi
pinggang. Di sisi sebelah kanan ada gunung, dan lerengnya
menurun ke arah Kansuke yang sedang berdiri di lembah
itu. Angin bertiup dari lembah, dengan lembut membelai
pucuk-pucuk ilalang. Gadis yang malang, namun Kansuke
berpikir harus segera membunuhnya tanpa diketahui oleh
siapa pun. Tapi di mana Puteri Aburagawa berada?
Mulai sekarang aku harus mengawasi Tuanku siang dan
malam agar tidak lagi mendekati perempuan lain. Aku tidak
akan melepaskan mataku darinya sekejap pun. Dia terlibat
dalam perang yang begitu cerdas, dan sepertinya bukan
hanya dalam perang saja dia bermain dengan cerdasi.
Kansuke mengingat kembali wajah Harunobu pada hari
ketika mereka mendirikan perkemahan di Komuro. Hari
itu, harunobu mengkhianati Kansuke dengan wajah tak
berdosa seolah bahkan tidak akan mampu membunuh
seekor serangga. Akan tetapi, pikir Kansuke, bagaiman aku
dapat menyingkirkan gadis itu?
Kansuke mulai berjalan menyusuri padang ilalang sambil
menarik tali leher kuda. Ini jauh lebih sulit dibandingkan
perang. Ini kesalahanku menyebut nama Puteri Aburagawa
hari itu. Jika aku membunuhnya, Harunobu pasti akan
segera tahu kalau akulah pembunuhnya. Tidak peduli
seberapa mahir aku melakukannya, kecurigaan akan
ditimpakan kepadaku. Kansuke harus lebih serius
menyusun strategi dalam intrik romantis kecil ini
dibandingkan pertempuran yang pernah dihadapi
sebelumnya.
Keesokan paginya, mereka menerima berita bahwa
pasukan Uesugi sudah menarik diri kembali ke Echigo dan
meninggalkan perkemahan mereka di Kawanakajima. Oleh
karena itu, Harunobu memutuskan kembali bersama
pasukannya ke Kofu. Meskipun pertempuran Un-no-Daira
tidak lebih dari sekedar pertempuran kecil yang pertama,
tetapi akibatnya masih terasa dahsyat. Sebelum
pertempuran ini, para penguasa di Shinano bagian utara
seperti Nishina, Un-no, Urano dan lainnya, belum merasa
yakin dengan siapa mereka harus bersekutu, namun kini
setiap penguasa mengirim seorang tawanan kepada
Harunobu dan tunduk kepadanya.
Harunobu mengeluarkan perintah mundur dan berangkat
menuju Kofu pada tanggal 25. Kansuke memposisikan diri
di sebelah Harunobu dalam pasukan utama, bergabung
dengan iring-iringan yang penuh kemenangan. 16.000
pasukan membentuk iring-iringan panjang menuju utara,
melintasi ladang dan pegunungan Shinano di awal musim
dingin.
Karena Kansuke menuju Suwa bersama pasukan Itagaki,
maka ia harus meninggalkan Harunobu di tengah
perjalanan. Saat itu tiga hari setelah mereka meninggalkan
Un-no-Daira.
“Saya akan segera mengunjungi Tuanku di Kofu,” kata
Kansuke kepada Harunobu.
“Aku akan menunggumu. Lain kali jika kita bertemu,
aku ingin mendengar pendapatmu yang lebih mendalam
mengenai strategi terhadap Nagao Kagetora,” ujar
Harunobu dengan riang.
Kansuke, bersama pasukan Itagaki, berpisah dari
pasukan yang sedang menuju Kai di wilayah pegunungan.
Sekitar satu jam setelah Kansuke meninggalkan pasukan
utama, ia berkata kepada pasukan Itagaki bahwa ia lupa
mengatakan suatu hal penting pada Harunobu; karena itu
harus menyusul pasukan utama.
“Apakah Tuan butuh beberapa prajurit untuk
menyertai?” tanya Itagaki. Kansuke menolak dengan sopan.
“Oh, tidak perlu. Aku kira lebih baik berangkat sendiri»
Tapi tolong pastikan untuk menjaga Puteri Yuu.”
Begitu selesai mengatakan hal ini, Kansuke
meninggalkan iring-iringan pasukan Suwa. Saat itu mereka
berada di pinggir sebuah hutan oak kecil di mana daundaun
cokelatnya berdesir dalam tiupan angin.
Begitu sendirian, Kansuke menyembunyikan semua
peralatan berat yang dipakai atau dibawa ke semak belukan
la harus memacu kuda ke Kofu dan memasuki kota benteng
itu paling tidak satu hari sebelum pasukan utama Harunobu
tiba. Tujuannya adalah untuk membunuh Puteri
Aburagawa Gyobu-no-kami.
Kansuke sengaja menghindari jalan utama begitu
memacu kuda dengan kencang, la berada di jalan sempit di
kaki pegunungan kecil. Kansuke tidak bertemu seorang pun
sampai matahari terbenam, la terus memacu kuda,
menginjak dedaunan gugur. Saat hampir mencapai dataran
tinggi yang sepertinya ke selatan, kegelapan musim dingin
telah bersiap menelannya. Sementara Kansuke memacu
kuda, ia mendengar derap kaki kuda di kejauhan, yang
berbeda dari bunyi kudanya. Kansuke turun dari kuda dan
bersembunyi dengan menggunakan kuda sebagai perisai.
Tidak lama kemudian ia melihat tiga penunggang kuda
berlari seperti angin kencang dengan jarak tidak sampai tiga
meter dari kudanya. Agak jelas siapa salah satu pengendara
kuda tersebut, la memiliki gaya menunggang kuda yang
khas; membungkuk ke depan dan menyentuhkan wajah ke
sisi kanan leher kuda. Tidak ada yang mengendarai kuda
seperti itu selain Harunobu. Itu pasti Harunobu. Namun
sulit dipercaya bahwa komandan perang 16.000 pasukan
mengambil tindakan bebas seperti itu. Sungguh tidak
mungkin!
Tetapi Kansuke yakin bahwa penunggang kuda tersebut
pasti Harunobu. Kiranya Harunobu juga berusaha tiba di
kota benteng Kofu lebih dulu dari pasukannya sendiri.
Jenderal muda ini mungkin sudah mencium rencana
Kansuke. La berpikir sejenak dan memutuskan mengambil
jalan lain. Tidak peduli bagaimanapun caranya, Kansuke
harus mencapai Kofu sebelum ketiga orang tersebut. Kalau
tidak, Harunobu akan menyembunyikan Puteri Aburagawa
di mana Kansuke tidak akan menemukannya.
Karena mengenal Harunobu, maka Kansuke khawatir ia
akan melakukan apapun untuk dapat mewujudkannya.
Kansuke selalu merasa tidak sia-sia mengorbankan hidup
demi Tuannya, namun terkadang Tuannya ini juga
menyusahkan. Kansuke kembali berkuda, dan untuk
pertama kalinya menyadari suara jangkrik begitu riuh
memenuhi seluruh penjuru padang luas tersebut.
0o-d.w-o0
Delapan
Hari sudah menjelang pagi ketika Kansuke memasuki
kota benteng Kofu, setelah sehari-semalam memacu kuda
melintasi padang. Seluruh wilayah tersebut masih ielapr
dalam tidur.
la menuju bagian yang lebih rendah di daerah itu, di
mana para pengrajin dan pedagang tinggal, memasuki
kawasan tempat tinggal para samurai. Di tengah kawasan
tersebut, ada jalan lebar mendaki dengan lereng yang tidak
teriaki tajam. Di ujung jalan utama itu terdapat kediaman
Takeda yang sudah berdiri selama beberapa generasi.
Kansuke mengambil jalan kecil sepanjang parit yang
mengelilingi rumah dan tetap mengendarai kudanya pelanpelan
sampai bagian belakang yang letaknya agak tinggi di
atas bukit. Dari puncak bukit, angin dingin langsung
menghempas tepat di wajahnya. Saat lereng semakin terjal,
ia merasakan kudanya melambat. Binatang itu mencoba
berjalan susah-payah dan napasnya berat. Tidak heran, pikir
Kansuke, ia sudah memaksa kudanya untuk berlari
sepanjang jalan dari Shinano ke Kai tanpa memberi makan
atau pun istirahat.
Kansuke tiba di kaki bukit Yogai yang puncaknya
dikelilingi benteng pertahanan, dan terus mendaki
sepanjang lereng bukit. Di tengah perjalanan menuju bukit,
ada sebuah kuil kecil bernama Sekisui, yang seolah sengaja
dibangun tersembunyi di tengah hutan. Kansuke menduga,
pasti di dekat sinilah puteri dari Yukawa Gyobu-no-kami
disembunyikan. Harunobu sering berkuda di kaki bukit ini
sejak kecil. Tidak ada alasan buat siapa pun untuk
mencurigainya, setiap kali ia berkuda di sini; apalagi
wilayah ini berada di arah berlawanan dengan kota benteng,
maka meskipun diam-diam meninggalkan rumah di malam
hari, tidak akan ada yang memperhatikannya. Kansuke
menduga, pasti ada bangunan baru di kawasan kuil
tersebut, dan baru saja selesai dikerjakan, sehingga
Harunobu bisa menempatkan seorang puteri cantik di sana.
Tebakan Kansuke terbukti benar. Bukan di pintu masuk
kuil Sekisui, tapi di arah yang berlawanan, lebih jauh di atas
pegunungan, terdapat sebuah gerbang baru yang tampaknya
seperti pintu belakang menuju kuil. Kansuke pernah
berkuda beberapa kali di sekitar kawasan itu sebelumnya
namun tidak pernah melihat sebuah gerbang pun. Tidak ada
alasan membangun gerbang di sini.
Kansuke turun dari kuda. Suara aliran sungai terdengar
di sekeliling. Kansuke menuntun kuda ke dalam hutan di
arah yang berlawanan dengan kuil Sekisui, berjalan menuju
sumber suara. Sungai itu cukup dangkal, namun air yang
mengalir melalui lereng curam jatuh menghempas ke
bebatuan. Ini bagian hulu dari sungai Ai. Kansuke
membiarkan kudanya memuaskan dahaga, sementara
mengikat tali kekang kuat-kuat ke sebuah pohon di pinggir
sungai, la berpaling ke timur, melihat matahari mulai
merekah dan memecah kegelapan di awal pagi.
Kemudian, Kansuke kembali ke gerbang belakang kuil
Sekisui, mencoba mendorong gerbangnya. Pintu gerbang
dikunci rapat dari dalam. Sambil meraih ke puncak tembok
tanah liat, Kansuke cepat-cepat memanjat. Setelah
melompat kembali ke tanah, ia menyelinap diam-diam di
antara bangunan kuil sampai tiba di bangunan kecil yang
terhubung dengan kediaman utama para rahib melalui
sebuah koridor kecil.
Kansuke mengelilingi bangunan kecil itu satu kali.
Sambil menghindari pintu masuk kecil ke arah bangunan, ia
berdiri di depan beranda yang terbuka.
Kansuke mengetuk pintu dua kali pelan-pelan,
memanggil dengan suara rendah, “Tuan Puteri.”
Tidak ada jawaban dari dalam. Kembali ia mengetuk
pintu dua kali.
“Tuan Puteri.”
Lalu ia merasakan seseorang berdiri bangkit, disusul
suara gesekan kimono sutera. Setelah beberapa saat, sebuah
suara jernih yang berkata, “Jiiya?”
Kansuke tidak menjawab.
“Jiiya?” Bersamaan dengan suara tersebut, pintu bergeser
membuka dari dalam.
“Ini saya, Tuan Puteri.” ujar Kansuke sambil berlutut di
lantai.
“Ah?!” perempuan itu menjerit kaget dan. berkata,
“betapa cerobohnya aku, kupikir kau Jiiya!”
Kansuke mengangkat wajah menatap Sang Puteri. Tidak
salah lagi inilah puteri dari Yukawa Gyobu-no-kami. la
pasti sedang merasakan dinginnya udara pagi karena
merapatkan kimononya dan memegangnya kuat-kuat
dengan kedua tangannya yang lembut.
“Ini saya,” ulang Kansuke.
“Rasanya aku tidak mengenalmu sama sekali. Apakah
kau pembawa pesan dari Tuanku?”
“Benar, Tuan Puteri. Pesan yang sangat penting.”
“Oh, maafkan sudah menyusahkanmu. Biar aku
bangunkan seseorang. Silahkan masuk dari pintu sebelah
sana karena di luar sangat dingin.”
Kansuke bermaksud menebas batang leher Sang Puteri
saat itu juga. la memiliki banyak kesempatan, namun tidak
bisa; karena Sang Puteri tidak memiliki sedikit pun rasa
tidak percaya padanya. Benar-benar sangat lugu.
“Tidak, lebih baik saya bicara di sini saja. Tolong jangan
bangunkan siapa pun,” ujar Kansuke dengan suara serak
yang terkontrol.
“Baiklah, kalau begitu aku tidak akan membangunkan
orang,” kata Sang Puteri. Tangan Kansuke perlahan
berpindah ke gagang pedang. Mendadak ia mendengar
suara tangis anak kecil.
“Sepertinya puteriku terbangun. Dia agak sakit akhirakhir
ini dan terus menangis.”
“Apa?”
Kansuke terhenyak. Tidak terbayang sebelumnya sudah
ada anak dari hasil hubungan Sang Puteri dengan
Harunobu.
“Kapan dia lahir?” tanya Kansuke.
“Anak yang sedang menangis sekarang adalah yang
paling tua.”
“Apa katamu!” Kansuke hampir tidak bisa memercayai
apa yang baru saja didengar. “Yang lebih tua? Berarti…”
“Ya, anak yang lebih tua lahir musim semi lalu, dan
yang lebih muda lahir pada musim panas ini, jadi kami
menamai mereka Puteri Haru dan Puteri Natsu.”
Kansuke sulit percaya bahwa Sang Puteri yang sedang
berdiri di hadapannya saat ini adalah ibu dari dua orang
anak.
“Apakah mereka benar-benar anak Tuan Puteri?” tanya
Kansuke dalam keterkejutannya.
Sang Puteri tertawa dan berkata, “Kau ini ada-ada saja,
Jiiya.”
Sesaat kemudian, Kansuke seperti pelayan tua Sang
Puteri. Karena hari masih gelap, ia tidak dapat melihat
wajah Kansuke dengan jelas; namun dapat merasakan dari
cara Kansuke bicara dan bergerak, bahwa Kansuke seorang
yang berumur.
“Aku kedinginan, ingin menutup pintu. Jiiya, pergilah ke
pintu sebelah sana. Udara dingin tidak bagus untuk bayi
dalam kandunganku ini.”
Mendengar itu, Kansuke tersentak untuk ketiga kalinya.
“Bayi dalam kandungan?”
“Kali ini aku harus melahirkan anak laki-laki, kau tahu.
Karena itu, aku harus baik-baik menjaga diri.”
“Baiklah, kalau begitu saya akan masuk melalui pintu
sebelah sana.”
Kansuke benar-benar kehilangan keinginan untuk
membunuh puteri itu, dan ia sendiri merasa bingung. Tidak
mungkin memaksa dirinya untuk membunuh perempuan
muda yang cantik ini.
Kansuke tidak tahu harus berpikir bagaimana tentang
Harunobu. la sudah membuat puteri Yukawa menghasilkan
dua anak perempuan, dan sekarang sedang mengandung
anak lagi. Harunobu sungguh menyimpan rahasia besar
dari Kansuke dan Puteri Yuu.
Kansuke terpaksa menunggu di depan pintu sebentar,
lalu seorang pelayan membawanya masuk. Kansuke duduk
di lantai kayu di pintu masuk ruangan tersebut. Sang Puteri
muncul dan duduk menghadap Kansuke.
“Oh, demi Tuhan, apa yang telah terjadi dengan
wajahmu?” Sang Puteri bertanya dalam keterkejutan, ketika
melihat wajah Kansuke untuk pertama kalinya. “Apakah
terasa sakit?”
“Tidak, ini tidak sakit. Ya, saya terluka beberapa kali,
namun semua luka ini sudah sembuh. Saya memang
terlahir dalam keadaan, sebagian besarnya, sudah seperti
ini.”
“Kau terlahir seperti itu? Oh, menyedihkan sekali!”
katanya terhenyak, lalu menambahkan, “Oh, aku turut
bersedih karena kau dilahirkan dalam keadaan seperti itu.”
“Tuan Puteri dilahirkan dalam keadaan cantik,
sementara aku dilahirkan dalam keadaan jelek,” kata
Kansuke lembut dan tenang. Anehnya, tidak peduli apa
kata Sang Puteri, Kansuke tidak tersinggung. Rasanya
seperti dihukum cambuk dengan kelopak bunga tanpa rasa
sakit sama sekali. “Puteri!” Kansuke mengangkat wajah dan
berkata dengan tegas, “Mohon suruh semua orang
meninggalkan ruangan ini.”
Sang Puteri berteriak ke ruangan di sebelahnya. “Aku
perintahkan kalian semua meninggalkan rumah ini untuk
sementara.” Kembali, Sang Puteri memperlihatkan
kepercayaan totalnya pada Kansuke.
Ketika dua orang pelayan hendak meninggalkan
ruangan, Kansuke berkata, “Biarkan gerbang dan pintu
gesernya terbuka.”
Dari beranda di mana pintu-pintu terbuka lebar, cahaya
putih pagi hari memasuki ruangan. Dinding kertas juga
terlihat putih. Kansuke memastikan tidak ada seorang pun
bersembunyi di ruangan lain. Setelah cukup yakin mereka
tinggal berdua, ia berbisik, “Tuan Puteri mengaku hamil.
Apakah kali ini, Tuan Puteri mengharapkan seorang
putera?”
“Karena dua anak yang lebih tua adalah puteri, aku
berharap kali ini seorang putera.”
“Tuan Puteri akan sangat menderita jika memiliki
seorang putera.”
“Mengapa begitu?”
“Istri Harunobu yang resmi, Sanjo, memiliki dua orang
putera. Pangeran Yoshinobu dan Ryuho.”
“Ya, aku sadari itu, tapi…” Sang Puteri mengangkat
kepalanya sedikit. Sekilas tampak ragu, lalu berkata, ‘Tapi
aku ingin mempunyai seorang putera yang kuat. Seorang
putera yang akan mampu membawa nama keluarga
Takeda.”
“Saya mengerti.”
“Tuanku juga mengatakan bahwa ia setidaknya
menginginkan satu orang putera yang kuat.”
“Tapi beliau sudah memiliki satu orang putera yang
kuat,” kata Kansuke dengan tajam. “Tuan Puteri tahu
tentang Puteri Yuu?”
“Tidak.” Sang Puteri terkejut mendengar pertanyaan
Kansuke.
“Puteri Yuu sudah memberi seorang putera, bernama
Pangeran Katsuyori kelak ia akan menjadi ksatria terkuat di
seluruh Jepang.”
“Tidak, itu tidak mungkin!” kata Sang Puteri marah.
“Siapa Puteri Yuu itu?”
“Dia adalah puteri mendiang Penguasa Suwa.” Kansuke
ingin menceritakan semuanya kepada Sang Puteri,
mengambil kesempatan itu, meskipun merasa bahwa ini
tindakan kejam. “Saat ini, dia menetap di kuil Kan-non-in
di Suwa. Tuan Puteri mungkin satu-satunya yang tidak
mengetahui mengenai dia.”
“Oh, tidak.” Sang Puteri menanyai Kansuke, wajahnya
pucat pasi, “Apakah dia lebih cantik dibanding aku?”
Kansuke tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan
itu.
“Sulit mengatakan mana yang lebih cantik. Kalian
berdua sangat cantik.”
“Secantik itukah dia? Tapi Tuanku bilang, akulah
perempuan tercantik di dunia.”
“Ya, Tuan Puteri memang cantik. Tapi Puteri Yuu juga
sama cantik.”
Sang Puteri tiba-tiba membungkukkan badan meringkuk
di lantai. Tubuhnya berguncang sedih.
“Apakah Tuan Puteri akan membenci Tuanku?”
Sang Puteri menggeleng. Isakannya tidak terdengar.
“Kenapa Tuan Puteri tidak membencinya?”
Sang Puteri mengangkat kepala. Dengan ekspresi kosong
ia menjawab, “Karena aku mencintainya.”
“Meskipun kau mencintainya…”
“Ya, aku mencintainya melebihi siapa pun. Aku sudah
tahu tentang keberadaan istrinya, Sanjo. Meskipun tahu
bahwa dengan mengandung anaknya bisa menimbulkan
masalah dalam keluarga Takeda, aku tetap
menginginkannya. Sekarang aku baru tahu bahwa Tuanku
memiliki perempuan lain yang tidak kukenal. Namun tetap
tidak akan mengubah cintaku padanya. Aku sadar bahwa
aku akan sangat menderita mulai saat ini. Namun semua itu
sepenuhnya salahku; aku tidak bisa melakukan apa pun
selain bersedih.”
Wajah putihnya yang cantik tidak menunjukkan
ekspresi, seperti topeng Noh.
“Apakah Tuan Puteri tahu mengapa saya di sini?” tanya
Kansuke.
“Tidak, aku tidak tahu. Namun aku merasakan sesuatu
yang negatif dan menakutkan.”
“Saya datang untuk membunuh Tuan Puteri.”
Kansuke mengira perempuan itu akan terkejut, namun
ternyata tidak.
“Rasanya aku bisa merasakan itu.”
“Lantas, kenapa tidak bersikap lebih hati-hati?”
“Karena aku merasa bahwa jika hal tersebut adalah
keinginan dari Tuanku, maka aku rela mengorbankan
hidupku untuknya.”
Perempuan memang memiliki perasaan-perasaan yang
aneh, pikir Kansuke. Sikap pengorbanan diri sendiri seperti
itu adalah sesuatu yang bahkan Kansuke sendiri tidak
mampu membayangkannya.
“Ini tidak ada hubungannya dengan Tuanku. Saya
datang kemari untuk membunuh atas keinginan sendiri,
tanpa diketahui Tuanku.”
“Lalu, kenapa kau tidak membunuhku?”
Untuk pertama kalinya, nada suara Sang Puteri
terdengar berapi-api. Matanya yang indah menatap wajah
Kansuke.
“Karena saya merasa bahwa kedua puteri kalian, juga
anak yang Tuan Puteri kandung, semuanya akan menjadi
hal penting bagi keluarga Takeda. Anak-anak Tuan Puteri
akan menjadi kakak laki-laki dan perempuan yang baik bagi
anak laki-laki Puteri Yuu, Katsuyori.”
“Aku tidak yakin tentang itu. Mereka mungkin akan
menimbulkan masalah yang mengancam kedamaian
keluarga Takeda.”
“Tidak, jika anak-anak tersebut dibesarkan oleh Tuan
Puteri, mereka akan menjadi harta karun keluarga Takeda.
Saya yakin,” lalu Kansuke menambahkan, “Saya bernama
Yamamoto Kansuke.”
“Aku tahu. Ketika kau memasuki ruangan ini, aku pikir
kamu pastilah orangnya.”
“Mulai sekarang, saya akan menolongmu. Saya akan
melindungi kalian semua, kedua puteri dan anak dalam
kandungan Tuan Puteri, dengan seluruh hidupku. Tetapi
mohon sadari satu hal, karena Pangeran Katsuyori
dilahirkan setahun sebelum puteramu, Tuan Puteri harus
mengakuinya sebagai kakak laki-laki puteramu.”
Sang Puteri menatap Kansuke, kesedihan merayap di
matanya.
“Jika bisa menerima itu, maka saya akan melindungi
putera Tuan Puteri.”
Sang Puteri tetap diam beberapa saat, lalu dia bicara
dengan suara rendah, “Aku akan menurutimu,” dan
membungkukkan badan sekilas.
“Akan lebih baik jika Tuan Puteri tidak mengatakan
pada Tuanku tentang kedatangan saya ke sini. Setidaknya
untuk sementara waktu.”
“Aku mengerti.”
“Saya ada satu permintaan lagi; tolong jangan…”
Kansuke ingin mengatakan kepada Sang Puteri agar jangan
memenggal kepala Harunobu ketika tidur, namun rasanya
saran seperti itu tidak perlu diutarakan kepadanya. “Tolong
jangan membenci Tuanku. Ini… ini hanya karena tubuhnya
yang bermasalah. Saya harus melakukan sesuatu tentang
itu.”
“Membenci Tuanku…” meski ekspresinya
menampakkan kesedihan, tidak terlihat kebencian di sana.
“Maafkan saya, tapi siapakah namamu, Tuan Puteri?”
“Namaku Ogoto,” katanya.
“Puteri Ogoto. Nama yang indah.”
Kansuke tinggal selama kurang lebih satu jam di sana,
kemudian pamit dari kediaman rahasia Puteri Ogoto.
Dalam perjalanan pulang, Kansuke tidak memacu
kudanya. Puteri Ogoto tidak menunjukkan perasaannya
lebih banyak di depan Kansuke, namun bagaimana pun
juga ia tetap seorang perempuan. Kansuke berpikir bahwa
puteri tersebut kadangkala bisa menjadi orang yang sangat
sulit diatur, namun kepada Puteri Yuu ia akan menghadapi
tantangan yang lebih sulit. Jika Sang Puteri sampai
mengetahui hal ini, ia tidak akan membiarkan Harunobu
ataupun Puteri Ogoto hidup. Namun suatu hari nanti, ia
pasti akan mengetahui tentang Puteri Ogoto. Akan lebih
baik bagi Kansuke untuk mengatakan hal ini di waktu yang
tepat, demi menghindari kejutan yang tidak perlu.
Sekarang, Kansuke berada di posisi menjaga dua orang
selir, Puteri Yuu dan Puteri Ogoto, dari istri resmi
Harunobu, Sanjo-no-Uji. Namun Kansuke tidak
menganggap hal tersebut sebagai masalah besar. Jika ia
mampu mengendalikan situasi ke posisi yang
menguntungkan bagi Pangeran Katsuyori dengan
menunjukkan pada Puteri Ogoto bagaimana cara
membesarkan anak-anaknya, jelas akan sangat berguna bagi
Sang Pangeran.
Kansuke berhenti sejenak di sebuah rumah petani untuk
mengisi perut, lalu kembali ke jalan yang tadi dilaluinya.
Kudanya berlari kencang sejauh tujuh mil tanpa istirahat,
kemudian memasuki desa Nirasaki. Saat tiba di sisi lain
desa itu, ia melihat tiga ekor kuda terikat di tepi sungai
Kanna. Penunggangnya tidak terlihat; mereka pasti sedang
mencari makan. Kansuke membawa kudanya ke arah
berlawanan, menjauh dari tepi sungai. Sadar bahwa ini
berarti mengambil jalan memutar, namun Kansuke tidak
ingin bertemu Harunobu di sini. Suatu hari nanti, Kansuke
akan bicara baik-baik pada Harunobu untuk memintanya
mengendalikan nafsu.
Jarak dari Nirasaki ke Benteng Takashima sekitar tiga
puluh dua mil. Kansuke tetap memacu kuda tanpa istirahat
sepanjang sisa perjalanan, la tidak sabar untuk bertemu
dengan Puteri Yuu dan puteranya Katsuyori. Selain itu, ia
juga harus memimpin pasukan Benteng Takashima yang
baru saja kembali dari Un-no-Daira, menuju wilayah
Takato sebelum mereka melepaskan baju perisainya.
Kansuke bermaksud menjadikan wilayah itu sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan Takeda.
Dan begitu mereka memenangkan wilayah Takato, ia
berpikir menempatkan Puteri Yuu dan Katsuyori di sana.
0=odwo=0
Ada begitu banyak pertempuran dalam skala kecil sejak
akhir tahun Tenbun ke-17 hingga awal tahun Tenbun ke-18.
Sebelum bertemu dengan Nagao Kagetora dari Echigo,
mereka harus membasmi semua musuh Takeda di wilayah
Shinshu. Kansuke turut serta di berbagai pertempuran
sepanjang wilayah Ina, Kiso, dan Matsumoto, sekaligus
mengantisipasi proses stabilisasi kekuasaan keluarga Takeda
di wilayah-wilayah tersebut.
Di awal Agustus, Kansuke memiliki kesempatan
beberapa hari untuk istirahat dan bebas dari baju zirah. Saat
itulah, seorang pembawa pesan Puteri Yuu datang
kepadanya, dan menyampaikan permintaan kunjungan
mendadak ke Kuil Kan-non-in. Kansuke sudah tidak
bertemu Puteri Yuu selama kurang lebih tiga bulan, maka ia
cepat-cepat mengambil kudanya dan buru-buru menuju
kediaman Sang Puteri.
Saat menjejakkan satu kaki di pintu gerbang kuil Kannon-
in, Kansuke merasa ada yang lain dari biasanya, la
langsung menuju ruangan sebelah; ruang tamu Puteri Yuu;
dan duduk di sana.
“Tuan Puteri!” panggil Kansuke.
“Silahkan masuk.”
Kansuke lalu membuka pintu. Puteri Yuu sedang duduk
di lantai dengan wajah pucat pasi. Begitu melihat wajah
Kansuke, Sang Puteri berkata, “Bisakah engkau melihat
langsung ke wajahku?”
Suaranya bergetar.
“Maaf, apa maksud Tuan Puteri?” jawab Kansuke, tanpa
sadar mengarahkan pandangannya ke bawah. Kansuke
tidak menyimpan rahasia apa pun dari Puteri Yuu, kecuali
mengenai masalah Puteri Ogoto. Dan ia yakin Puteri Yuu
tahu tentang Puteri Ogoto.
“Bisakah kau tatap langsung ke mataku? Jawab!”
Kansuke tidak menjawab, namun menatap langsung ke
mata Sang Puteri.
“Aku tidak tahu apakah kau melihatku atau tidak dengan
kedua matamu itu,” kata Puteri Yuu menyindir, kemudian
melanjutkan, “Apakah kau mengetahui sebuah fakta bahwa
di Kofu, Tuanku memiliki seorang selir bernama Ogoto dan
dia melahirkan seorang anak laki-laki sekitar satu bulan
yang lalu?”
Itulah pertama kalinya Kansuke mendengar tentangnya.
Meskipun Ogoto sudah mendekati masa kelahiran, ia belum
sempat menjenguknya di Kofu karena pertempuran yang
berlangsung secara terus-menerus.
“Saya tidak mengetahui tentang fakta tersebut.”
“Apa artinya itu? Apakah itu berarti kau baru
mendengarnya?”
“Ya, artinya seperti itu.”
“Kalau begitu, aku harus menanyakan apakah kau tahu
atau tidak mengenai fakta bahwa Ogoto akan melahirkan
seorang bayi? Sekarang katakan yang sebenarnya. Jika kau
bohong, aku tidak akan pernah memaafkanmu.”
Kansuke masih terdiam.
“Apa kau tahu seorang perempuan bernama Ogoto?”
Karena Puteri Yuu sudah tahu nama, Kansuke merasa
tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. Namun,
tetap saja penasaran dari mana Puteri Yuu mendapatkan
informasi ini. Sungguh aneh dan mistrius. Kansuke
akhirnya berkata, “Ya, saya telah bertemu dengan Puteri
Ogoto.”
“Mengapa kau menyimpan rahasia itu dariku?” Puteri
Yuu menimpali keheningan Kansuke dengan pertanyaan
lain, “Bisakah kau katakan alasannya?”
“Saya lebih tertarik mengetahui siapa yang memberitahu
Tuan Puteri tentang dia.”
“Tuanku sendiri yang memberitahukannya.”
Kansuke menahan napas beberapa detik dalam
keterkejutan.
“Tuan Harunobu benar-benar mengatakan begitu ya…”
“Apa menurutmu dia tidak akan mengatakan padaku hal
seperti itu?”
Puteri Yuu tidak mengubah ekspresinya sama sekali.
Lalu dengan senyum dingin di bibir, ia berkata, “Aku
tanyakan ini langsung kepada Tuanku, sama seperti aku
tanyakan langsung padamu sekarang.”
Kansuke tetap diam. Mendadak merasa harus berhatihati
dengan apa yang akan dikatakan.
“Dia lebih jujur dibanding kau, Kansuke. Dia juga
memberitahu tentang kunjunganmu ke tempat
persembunyiannya di Kuil Sekisui.”
“Oh-,” erang Kansuke, “Tuanku mengetahui hal itu!”
“Itu bukan masalahku.”
“Bagaimana ia bisa tahu perihal Puteri Ogoto?”
“Kau ingin tahu?” Tiba-tiba tubuh Puteri Yuu tampak
membesar dalam penglihatan Kansuke. Setidaknya, ia
merasa seperti itu. “Kau bahkan tidak akan mengira
bagaimana aku bisa mengetahuinya. Itu karena aroma
dupa. Aku sudah mendengar bahwa istrinya tidak
menyukai dupa. Namun, aku selalu mencium aroma dupa
yang kuat.”
“Wah….” Kansuke tak mampu berkata-kata.
“Aku hanya mengirim seseorang ke Kofu dan
menyuruhnya mengikuti aroma dupa tersebut.”
Kansuke belum pernah merasakan ketakutan di depan
Puteri Yuu seperti ini sebelumnya.
“Kansuke!”
“Ya.”
“Aku punya permintaan padamu. Tolong bawa Puteri
Ogoto kemari.”
“Jika saya lakukan, Tuan Puteri hendak berbuat apa?”
“Belum terpikir sekarang. Aku akan memikirkannya
nanti. Aku hanya ingin kau membawanya kemari.”
Kansuke tetap diam cukup lama.
“Jika kau tidak melakukan apa yang kuminta, maka aku
akan melakukannya sendiri.”
Kansuke percaya. Gadis ini termasuk orang yang selalu
melakukan keinginannya, sesulit apa pun itu.
“Saya mengerti. Akan saya bawa dia kemari,” Kansuke
menjawab.
“Kapan?”
“Hmm.”
“Kuberi waktu satu bulan,” gertak Sang Puteri.
“Saya mengerti,” Kansuke berkata lagi.
Hari itu, setelah meninggalkan Kuil Kan-non-in,
Kansuke menginap semalam di Benteng Takashima dan
pergi menuju Kofu keesokan paginya untuk menemui
Harunobu. Sesampainya di sana, tidak ada pilihan selain
membicarakan hal tersebut dengan Harunobu, yang
bertanggung jawab atas semua yang terjadi, la harus
memutuskan apa yang akan dilakukan. Kansuke akan
mengambil kesempatan ini untuk menyarankan Harunobu
mengendalikan nafsunya. Begitu tiba di Kofu, Kansuke
langsung menuju kediaman Harunobu untuk menemuinya.
Tidak seperti biasanya, Harunobu tampak bahagia.
“Tuanku harus menyadari mengapa saya datang
kemari,” kata Kansuke masam.
“Ini pasti mengenai kapan kita seharusnya menyerang
Kagetora.”
“Tidak sama sekali.”
“Lalu mengenai apa?”
“Saya kira Tuanku tahu. Karena semua ini ulah
Tuanku.”
“Aku tidak paham apa yang kau bicarakan.”
“Ini mengenai Puteri Yuu dan Puteri Ogoto.”
“Kau tahu tentang itu!” kata Harunobu terkejut dan
mendadak malu, “Itu tidak baik, ya?”
“Ini bukan lelucon, Tuanku. Tidakkah Tuanku sadar
bahwa saya dalam masalah?”
“Aku tidak tahu apa pun tentang masalahmu.
Bagaimana kau dapat mengetahuinya? Apa yang harus
kulakukan?” kata Harunobu.
“Harus bagaimana? Tuanku sendiri yang mengatakan
kepadanya. Saya benar-benar dimarahi gara-gara itu.”
“Oh, tidak. Pasti ada kesalahpahaman. Aku tidak pernah
mengatakan apa pun pada Puteri Yuu.”
“Tapi ketika beliau menanyakannya langsung pada
Tuanku, dia bilang Tuankulah yang telah menceritakan
semua kepadanya.”
“Kau pikir aku bodoh!” kata Harunobu. Melihat
ekspresinya, Kansuke tidak menemukan adanya
kebohongan.
“Dia memperdayamu, Kansuke.”
“Saya kira tidak, tapi…” Kansuke mulai merasa lemas.
“Apakah Tuanku yakin tidak mengatakan apa pun
padanya?”
“Ada hal-hal yang memang harus dikatakan dan ada
yang tidak. Aku masih bisa membedakan.”
“Hm, kalau begitu, ini mumi salah saya sendiri,” ujar
Kansuke giras, “namun beliau juga tahu bahwa saya
mengunjungi Puteri Ogoto.”
“Kau ke sana!?”
“Ya.”
“Kapan dan kenapa kau ke sana?”
“Apa Tuanku yakin tidak tahu sedikit pun soal itu?”
“Tidak, aku tidak tahu apa pun tentang itu.”
“Hmm, aku dalam masalah.”
“Akulah yang berada dalam masalah,” kata Harunobu.
“Puteri Yuu memerintahkan saya membawa Puteri
Ogoto kepadanya.”
“Hmm, itu urusan antara kau dan Puteri Yuu. Jangan
libatkan aku.” Harunobu tertawa keras, kemudian
menambahkan, “Katakan padanya bahwa aku telah
mengembalikan Ogoto ke keluarga Yukawa di Shinano.
Gampang, kan?” Harunobu kembali tertawa.
Kansuke sulit membedakan mana perkataan yang benar
dan mana yang dusta, namun tidak ada yang bisa dilakukan
kecuali memercayai Harunobu untuk sementara ini.
“Katakan saja kepadanya seperti itu. Kujamin,
masalahmu pasti beres.”
Sepertinya situasi sudah berbalik terhadap Kansuke, dan
sekarang Harunobulah yang sedang membantu Kansuke,
bukan sebaliknya. Kansuke bermaksud menanyai tentang
Puteri Ogoto sekaligus menasehati tentang perilakunya di
masa depan. Namun tidak diberi kesempatan.
“Begitu kita putuskan mengembalikan Puteri Ogoto ke
Shinano, aku harus memintamu menjaga ketiga anaknya,
Kansuke, karena aku tidak tahu orang lain selain kau yang
bisa merawat anak-anaknya.”
“Ya, saya akan merawat anak-anaknya.”
“Besok kau tinggalkan tempat ini bersama ketiga
anaknya.”
Hari itu, Kansuke meninggalkan kediaman Harunobu
dalam keadaan bingung dan bertanya-tanya.
Hari berikutnya, ketika kembali ke benteng, tiga buah
usungan menunggu di pintu gerbang. Dua puteri kecil dan
seorang bayi yang baru lahir masing-masing berada dalam
gendongan tiga orang pelayan yang duduk dalam usungan.
Kansuke meninggalkan Kofu bersama dua puluh orang
samurai untuk menjaga mereka. Matahari musim panas
bersinar begitu terik. Kansuke pernah menjaga usungan saat
berangkat menuju Suwa dengan Puteri Yuu di dalamnya,
dan kini kembali menuju Suwa bersama tiga anak dari ibu
yang berbeda.
Ketika ia memikirkannya, sulit bagi Kansuke untuk
menemukan alasan mengapa harus pergi ke Kofu. Tanpa
sempat menyampaikan nasehat kepada Harunobu, Kansuke
malah harus membereskan akibat skandal Harunobu. Jika
menyangkut masalah penaklukan benteng atau
pertempuran, ia mampu melihat segala sesuatunya dengan
jelas, layaknya kabut pagi menghilang seiring terbit mentari.
Namun jika sudah soal laki-laki dan perempuan, ia tidak
mampu melihat apa pun di hadapannya. Yang terpikir saat
ini adalah bahwa ia harus menaklukkan empat benteng.
Benteng Suwa untuk Katsuyori, benteng di Takato untuk
sang bayi dalam usungan, atau mungkin juga sebaliknya.
Para puteri juga berhak memiliki benteng. Oh, aku bakal
sibuk sekali. Sementara merenung, seekor kuda melintasi
kelompok Kansuke dari belakang, membuat suara keras dan
berisik di seputar mereka. Tidak lama kemudian, kuda
kedua juga melintas. Ketika kuda ketiga muncul, Kansuke
memacu kudanya tepat di samping kuda tersebut.
la berteriak kepada si pembawa pesan, “Apa yang
terjadi?”
“Nagao Kagetora akan menyerang Shinano bagian utara.
Tuan Takeda akan meninggalkan Kofu malam ini.”
“Baik, pergilah!” kata Kansuke, lalu mundur kembali.
Tubuh kuda yang melintas berkilat karena keringat, seolah
habis disiram seember air padanya. Kuda dan
pengendaranya dengan cepat menghilang dari pandangan.
Kansuke sedikit gemetar. Tapi ini tidak akan menjadi
perang besar, pikir Kansuke, karena pasukan Kagetora akan
lemah di musim panas. Tidak seperti beberapa menit lalu,
otaknya kini kembali jernih begitu ia memikirkan perang
yang akan segera terjadi.
0o-=dw=-o0
Sembilan
Dari tahun Tenbun ke-18 hingga ke-19, armada perang
Takeda terus-menerus berada dalam peperangan, sampai
tidak memiliki waktu untuk mengistirahatkan kuda atau
bahkan diri mereka sendiri. Mereka menghadapi Nagao
Kagetora beberapa kali di wilayah Shinano bagian utara,
namun pertempuran-pertempuran kecil ini tidak pernah
berubah menjadi perang besar. Kerap kali dalam
pertempuran itu Kagetora menarik mundur pasukannya
pada saat yang tepat. Caranya menarik mundur pasukan
selalu terlihat begitu ahli dan sangat indah diamati.
Di tahun ke-18, ketika kedua pasukan saling bertempur
di dataran Un-no-Daira, seorang pembawa pesan dikirim
oleh Kagetora, membawa sepucuk surat untuk Harunobu.
Isi surat tersebut:
Alasanku mengirim pasukan jauh-jauh dari Echigo ke
wilayah Shinano bagian utara bukan disebabkan oleh
ambisi menaklukkan wilayah kekuasaanmu, namun karena
aku diminta oleh Murakami Yoshikiyo. karenanya, aku
menantangmu semata-mata demi memenuhi jalan samurai.
Namun, jika kau mau menerima kembali Murakami
Yoshikiyo yang telah kau usir dari Shinano bagian utara,
aku tidak akan menyerang wilayah ini.
Harunobu segera mengambil kuas tulis, membalas surat
tanpa berkonsultasi dulu dengan Kansuke:
Tidak mungkin bagiku mengajak Murakami Yoshikiyo
kembali ke wilayah Shinano bagian utara, dan aku tidak
akan pernah melakukan itu selama aku hidup. Oleh karena
itu, aku harus menolak usulanmu. Jika kau ingin bertempur
dengan kami, kami siap kapan saja.
Selesai menulis surat tersebut, Harunobu memanggil
Kansuke dan menyerahkan surat balasan itu untuk dibaca.
Setelah membacanya, Kansuke berkata, “Ini bagus, namun
saya ingin menyarankan Tuanku untuk menambahkan
sebaris kalimat setelah ‘Jika kau ingin bertempur dengan
kami’ dengan menuliskan ‘Aku ingin kau yang memulai
peperangan.’” “Mengapa?” tanya Harunobu dengan nada
kurang puas. “Lebih baik tidak memprovokasi Kagetora
saat ini. Penting untuk memberikan kesan padanya bahwa
kita tidak punya keinginan berperang dengannya. Tuanku
harus menekankan hal ini berulang-ulang.”
“Maksudmu, kita tidak punya cukup kekuatan untuk
berperang melawan dia?”
“Tidak, saya sama sekali tidak bermaksud begitu. Kita
tentu saja memiliki cukup kekuatan untuk mengalahkan
Kagetora saat ini. Namun jika kita mengalahkannya,
sebagian besar jenderal Takeda akan terbunuh dalam
perang itu. Yang saya takutkan adalah apa yang akan
terjadi selanjutnya. Harusnya kita mencoba tidak
memprovokasi dia sekarang dan lebih berusaha menjaga
stabilitas keseluruhan wilayah Shinano. Itu artinya kita
harus menaklukkan Kiso agar tidak ada penyesalan setelah
perang berakhir; setelah itu kita bisa menantang Kagetora
dan mencoba untuk memenangkan pertempuran besar,
sesuatu yang belum pernah kita coba.”
“Kapan itu akan terjadi?”
“Saya belum tahu pasti.”
Harunobu tertawa dan berkata, “Kansuke, memangnya
kau akan hidup selamanya?”
“Saya?” tanpa sadar, Kansuke sudah berumur 58 tahun.
Tujuh tahun masa perang sudah berlalu sejak ia mulai
bekerja untuk Harunobu.
“Saya tidak akan mati sebelum mencapai tiga hal.”
“Tiga hal?”
“Pertama, melaksanakan pertempuran penentuan
dengan Nagao Kagetora. Saya ingin mempersembahkan
kepalanya ke hadapan Tuanku dengan tangan saya sendiri.
Meskipun tidak tahu kapan hal itu terjadi, saya sangat
menantikan kesempatan itu.”
“Apa hal yang kedua?”
“Yang kedua adalah kampanye perang pertama
Pangeran Muda Suwa.” Kansuke merendahkan suara
ketika mengatakan hal ini, karena berbahaya jika ada yang
mendengarnya. Pangeran Muda Suwa tentu saja anak lakilaki
Puteri Yuu, yaitu Katsuyori. Harunobu tidak
berkomentar. Pandangannya malah menerawang.
“Yang ketiga?”
“Yang ketiga, hmm…sulit dikatakan,” kata Kansuke,
sedikit memberi petunjuk.
Harunobu mulai tertawa. “Ohoho….aku tahu. Aku tahu
yang kau maksud. Kau harus menunggu paling tidak dua
atau tiga tahun untuk itu.”
“Dua atau tiga tahun terlalu lama. Tuanku perlu
memutuskan lebih cepat.”
Hal ketiga yang ingin dicapai oleh Kansuke adalah
membuat Harunobu meninggalkan keduniawian dan
menjadi seorang rahib. Setiap kali Kansuke melihat
Harunobu, ia selalu meminta hal tersebut. Maksud Kansuke
adalah bahwa dirinya juga akan meninggalkan keduniawian
dan mencukur kepala sebagai rahib. Oleh karena itu,
Harunobu seharusnya melakukan hal yang sama.
sebenarnya ini bukan tawaran yang adil bagi Harunobu;
Ada perbedaan sangat signifikan antara Harunobu yang
baru saja melewati usia 30 tahun dengan Kansuke yang
sudah berusia 58 tahun; untuk mencukur kepala dan
meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian.
Harunobu menolak permintaan ini dengan berbagai
macam alasan dan tidak mau mendengar Kansuke, namun
tetap tidak bisa menolak begitu saja karena ia sudah
membuat Kansuke menjaga Puteri Yuu, Puteri Ogoto, serta
keempat anak mereka.
Meskipun Kansuke mengatakan tidak akan mati sebelum
mewujudkan ketiga hal tersebut, sebenarnya ia masih
menyimpan satu keinginan tambahan sebelum meninggal
dunia. Tentu saja yang satu ini tidak bisa dikatakan kepada
orang lain karena bersifat sangat pribadi dan tidak bisa
seenaknya diceritakan pada siapa pun. Keinginan terakhir
ini adalah menyingkirkan putera sah Harunobu, yaitu
Yoshinobu. Selama Yoshinobu menjadi pewaris keluarga
Takeda, Katsuyori tidak akan memiliki masa depan untuk
itu.
Kansuke tidak menyukai Yoshinobu maupun kelompok
pendukungnya. Kelompok di sekelilingnya terhitung jenis
kelompok yang akan segera menghilang seperti kabut begitu
Yoshinobu tidak lagi menjadi pewaris. Orang-orang aneh
yang digerakkan oleh posisi Yoshinobu dalam masyarakat.
Tujuan pertamanya adalah membuat Harunobu
meninggalkan keduniawian; kedua, menyingkirkan Putera
Mahkota yang sah, Yoshinobu; kemudian membantu
Katsuyori memenangkan kampanye perang pertamanya.
Dan, jika semua keinginan tersebut sudah terpenuhi,
barulah ia akan membunuh Uesugi Kenshin. Kansuke tidak
tahu mana yang akan terjadi lebih dulu; pembunuhan
Kagetora atau kampanye perang pertama Katsuyori. Satu
hal yang pasti: menghancurkan Kagetora bukan hal mudah,
seperti yang dikira Harunobu.
Karena itulah Kansuke selalu mencoba membuat kedua
jenderal perang itu tidak saling berhadapan dalam
pertempuran langsung. Perang antara Harunobu dan
Kenshin harus ditunda sampai hari ketika kekuasaan
Takeda mencapai puncak kekuatan. Di tahun Tenbun ke19,
ketika Kenshin menyiapkan kemah perangnya di
gunung Zenkoji, Kansuke berusaha menahan Harunobu,
yang sangat ingin memulai perang, dengan memaksanya
menulis surat kepada Uesugi Kenshin dan mengirimkannya
lewat kurir. Isi surat tersebut adalah:
Kita tidak punya dendam pribadi, jadi sia-sia buat kita
berdiri saling berhadapan di medan tempur. Bagaimana
menurutmu? Jika seseorang mencoba menyerang
wilayahku, Kai, aku tidak akan sungkan memulai perang
besar, tidak peduli siapa pun yang menyerang, namun aku
tidak bermaksud memaksamu berperang.
Sehari setelah sang kurir meninggalkan kemah
Harunobu, sekitar jam dua pagi, Kagetora segera
membongkar kemahan dan mengirim pasukannya kembali
ke Echigo.
Kansuke merasa was-was dengan tindakan Kagetora
muda ini. Ini bukan tindakan yang lazim dilakukan oleh
seorang jenderal muda berusia 20 tahun. Sepertinya
Kagetora mencoba memanas-manasi Harunobu dengan
menyiapkan kemah di Shinano bagian utara berkali-kali,
memprovokasi Harunobu agar tidak punya pilihan selain
mengirim pasukan melindungi wilayahnya. Oleh karena itu,
Kagetora sepertinya menunggu kesempatan yang paling
tepat untuk memulai perang.
0=odwo=0
Pada Januari tahun Tenbun ke-20, Kansuke
mengunjungi kuil Kan-non-in setelah mendapat undangan
dari Puteri Yuu. Sudah satu setengah tahun berlalu sejak
Sang Puteri menginterogasi dan mempermalukannya
mengenai Puteri Ogoto di musim panas. Sang Puteri tidak
pernah lagi menanyakan Puteri Ogoto sejak itu.
Memanfaatkan kesempatan ini, Kansuke juga tidak pernah
lagi mengungkit soal puteri satu itu di hadapan Puteri Yuu.
Namun kali ini, Puteri Yuu mengungkit hal tersebut.
“Bagaimana keadaan Puteri Natsu dan Haru serta Pangeran
Nobumori? Apakah mereka sehat?”
“Ya, mereka baik-baik saja,” jawab Kansuke. Tidak
berani memberitahu Puteri Yuu bahwa ia sendirilah yang
merawat ketiga anak Puteri Ogoto, kendati menduga bahwa
Puteri Yuu pasti juga sudah mengetahui, Kansuke tidak
akan kaget bila Sang Puteri bertanya.
“Bisakah kau beri Katsuyori kesempatan untuk bertemu
mereka sekali waktu? Kau sendiri yang mengatakan bahwa
mereka akan menjadi teman baik bagi Katsuyori, maka aku
memercayai hal itu.”
Kansuke tidak menyangkal, namun tak urung merasa
sedikit gelisah karena ekspresi wajah Sang Puteri dan cara
mengatakan kalimatnya. Penilaian Kansuke terbukti benar,
karena Puteri Yuu kemudian melanjutkan, “Aku sudah
sangat menderita setahun ini. Sudah cukup aku mengalami
penderitaan; aku tidak bisa lagi menahannya. Dulu, aku
sering berpikir memenggal kepala Tuanku, namun sekarang
sudah tidak lagi.”
Kansuke mengangkat kepala melihat Puteri Yuu, namun
tidak mampu memahami apa gejolak pikirannya.
“Aku cukup yakin Puteri Ogoto juga merasakan hal yang
sama,” kata Sang Puteri.
“Karena itulah,” lanjut Puteri Yuu, “baik aku maupun
Puteri Ogoto telah memutuskan untuk tidak lagi menjadi
selir Tuanku. Dan aku berpikir untuk tinggal bersama
dengan Puteri Ogoto dengan damai di kuil Kan-non-in.”
“Apa pendapat Puteri Ogoto mengenai ide ini?”
“Aku sudah mengirim pembawa pesan kepadanya dan
dia sudah setuju.”
“Apa?!” Pernyataan Sang Puteri sering mengejutkan
Kansuke. Kali ini pun begitu.
“Apakah Tuan Puteri mengirim seorang pembawa pesan
kepada Tuan Yukawa?”
“Tuan Yukawa?”
Puteri Yuu tertawa kecil.
“Kansuke, apa kau betul-betul yakin Puteri Ogoto sudah
dikembalikan kepada keluarganya?”
“Ya, saya yakin.”
“Kau betul-betul lugu, Kansuke!”
Puteri Yuu kembali tertawa, lalu tiba-tiba berhenti dan
berkata, “Tidak masalah buatku. Tapi aku ingin kau
beritahu Tuan Harunobu tentang keputusan kami.”
“Baik, Tuan Puteri.”
Tidak ada cara lain bagi Kansuke untuk menjawab, la
tidak mengerti situasinya dengan baik. Bagaimanapun juga,
ia merasa kagum pada kelihaian Puteri Yuu mendapatkan
semua informasi tersebut, meski berada di dalam kuil Kannon-
in.
“Jadi Tuan Puteri berdua akan tinggal bersama di sini?”
“Ya, kami bermaksud demikian.”
“Pasti akan sulit.” Kansuke tidak bisa membayangkan
hal ini bisa terjadi.
“Kau tidak perlu khawatir dengan kami, karena kami
berdua akan menjadi rahib.”
“Apa!?”
“Ya, sudah kami putuskan.”
“Kenapa? Apa yang membuat Tuan Puteri memutuskan
perubahan begitu drastis, dengan begitu tiba-tiba?”
‘Tuanku sudah begitu terobsesi pada gagasan
menaklukkan Kiso. Kau mungkin tidak akan mengerti
kenapa dia begitu terlibat dengan gagasan ini.”
“Itu karena aku yang menyarankan kepada beliau.”
“Ya, kau mungkin benar, namun Tuanku menyimpan
maksud lain,” kata Sang Puteri seperti menyembunyikan
sesuatu. Setelah terdiam beberapa menit, ia melanjutkan,
“Aku mendengar ada seorang perempuan Sangat cantik
yang merupakan sepupu dari istri penguasa Kiso.”
“Mungkin ada perempuan seperti itu, namun apa
hubungannya dengan Tuan Harunobu?”
“Sasaran utamanya bukan Kiso, tapi perempuan itu!”
“Tidak mungkin,” kata Kansuke. Namun kemudian,
teringat sifat Harunobu, ia tidak bisa benar-benar
menyangkal perkataan Sang Puteri. Setelah direnungkan
kembali dengan pengetahuan yang baru ini, memang ada
antusiasme yang berbeda dalam cara Harunobu menangani
pertempuran kali ini dibandingkan pendekatan sebelumnya
saat menaklukkan wilayah lain.
Meski menyadari kebenaran tersebut, Kansuke masih
mencoba menyangkal pada Puteri Yuu. “Saya mengenal
Tuan Harunobu dengan sangat baik. Sejauh mengenai
penyerangan Kiso, saya percaya itu adalah……kecurigaan
yang tidak beralasan, begitukah yang akan kau katakan?”
“Saya tidak menyebut tidak beralasan, namun saya kira
Tuan Puteri hanya terlalu khawatir.”
Tanpa mengomentari perkataan itu, Puteri Yuu berkata,
“Hmm, memangnya apa yang Tuanku lakukan ketika
ayahku kehilangan wilayahnya? Kau sangat mengerti situasi
saat itu. Jadi, kurasa kau akan ke Kiso untuk mengambil
perempuan lain lagi. Ya kan? Kau pasti sangat Sibuk.”
Kansuke tidak mampu berkata apa-apa ketika Sang
Puteri mengacu pada pengalamannya sendiri.
“saya akan bicara dengan Tuan Harunobu mengenai hal
ini. Namun tidak seharusnya Tuan Puteri bermain-main
dengan gagasan menjadi rahib.” Kansuke khawatir jika
Puteri Yuu dan Ogoto menjadi rahib, Harunobu pasti akan
mencari selir baru.
“Baiklah. Dalam hal ini, pilihan ada di tangannya;
apakah dia akan menghentikan penyerangan ke Kiso atau
kami akan menjadi rahib.”
“Menghentikan penyerangan Kiso, itu…”
“Tidak mungkin dilakukan?”
Mengambil alih Kiso adalah kepentingan sangat
mendesak yang akan menguntungkan klan Takeda. Tidak
mungkin dihentikan.
“Saya akan mendiskusikannya dengan Tuan Harunobu,”
jawab Kansuke.
Hari berikutnya, Kansuke berangkat ke Kofu untuk
menemui Tuannya. Berniat menyarankan agar
meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang rahib.
Harunobu harus mencukur kepalanya dan berjanji untuk
tidak lagi melakukan hubungan badani, agar Puteri Yuu
tidak meragukan tindakan Harunobu menyerang Kiso.
Tidak ada jalan lain, pikir Kansuke.
Saat itu sore hari ketika Kansuke bertemu dengan
Harunobu. la meminta bicara secara pribadi dengan
tuannya.
“Tuanku, ada sesuatu yang harus saya tanyakan,” kata
Kansuke. la hendak langsung ke titik permasalahan dan
menyelesaikan secepatnya.
“Di mana Tuanku menyembunyikan Puteri Ogoto?”
Wajah Harunobu menunjukkan ekspresi ketidaksabaran,
namun tetap menjawab tegas seperti biasa, “Masih berada
di kuil Sekisui.”
“Tuanku mengatakan kepada saya telah mengembalikan
dia ke rumahnya di Shinano. Saya ingat jelas, tapi ternyata
bohong, kan?”
“Hmm, aku memang bermaksud mengirimnya kembali,
namun Ogoto sendiri yang menolak pulang, jadi dia masih
di sini.”
“Baiklah, tidak apa kalau begitu. Namun Puteri Yuu
mengetahui hal ini, dan dia telah memutuskan untuk
menjadi rahib bersama Puteri Ogoto.”
“Hmmm.”
“Apa tindakan Tuanku soal ini?”
“Hmm, menyusahkan juga, ya?”
“Apa yang akan dikatakan oleh oleh orang-orang di
wilayah lain jika mereka mendengar bahwa kedua orang
selir Tuanku menjadi rahib?” Kansuke melanjutkan tanpa
sedikit pun melembutkan ekspresi. Tidak ada jalan lain bagi
Tuanku selain ikut menjadi rahib dan meninggalkan
keduniawian Jika Tuan bersedia melakukan itu, kedua tuan
puteri tidak akan membayangkan hal yang tidak-tidak.”
“Membayangkan hal yang tidak-tidak?”
Kansuke tidak langsung menjelaskan.
“Apakah hal yang tidak-tidak itu?”
“Ini bukan hanya demi para selir. Tuanku harus
meninggalkan keduniawian untuk membebaskan diri dari
kecurigaan umum…”
“Kecurigaan umum seperti apa?”
“Masyarakat umum selalu berpikir tentang hal-hal yang
bahkan Tuanku sendiri tidak bisa membayangkan. Mereka
bilang bahwa alasan Tuanku mencoba menaklukkan Kiso
adalah karena seorang perempuan cantik,” kata Kansuke
sambil mengangkat wajah menatap Harunobu. Kansuke
tetap berfokus di sana. Meski sulit, mata Kansuke yang
terlatih melihat perubahan air muka Harunobu.
“Mungkin itu bukan pendapat masyarakat umum,
Kansuke. Aku yakin itu pasti pendapat pribadimu sendiri.”
“Jika hanya pendapat saya semata, kedua selir Tuanku
tidak akan pernah memikirkan gagasan menjadi rahib.”
“Tapi aku tidak tertarik meninggalkan keduniawian,”
kata Harunobu hati-hati. Tidak seperti biasanya, ia berhatihati
untuk tidak memberi kesempatan pada Harunobu
menantang keputusannya.
“Aku ingin Tuanku memikirkan hal ini sampai besok,”
kata Kansuke, lalu pergi.
Malam itu, Kansuke menginap di rumah lama Itagaki
Nobukata, yang selalu ditinggali setiap kali datang ke Kofu.
Pada larut malamnya Kansuke mengunjungi seorang rahib
bernama Tosho-an di Katagawa. la memintanya untuk
memberikan saran kepada Harunobu agar mau
meninggalkan keduniawian dan menghentikan hasrat
badani. Kansuke punya hubungan persahabatan yang dekat
dengan rahib ini selama dua tahun terakhir, dan ia
memercayainya.
Tosho-an mengaku tidak mampu membujuk Harunobu
seorang diri, namun ia mengenal seorang rahib bernama
Choshuza di Ashikaga yang sangat dihormati, la
menyarankan Kansuke untuk memberi undangan pada
rahib tersebut dan memintanya memengaruhi Harunobu.
Hari berikutnya Kansuke menunggang kuda menemui
rahib Choshuza di Ashikaga. la merasa cara ini lebih cepat
dibanding mengirim pembawa pesan.
Saat itu awal Februari ketika kedua rahib, Tosho-an dan
Choshuza, mengunjungi rumah Harunobu di Kofu.
Choshuza berkata pada Harunobu, “Tuanku, kami ke sini
hendak memberitahu sesuatu yang penting. Kami baru saja
meramalkan masa depan Tuan, dan tampaknya nenek
moyang Tuan dilahirkan dari keluarga hebat dan kaya.
Namun, bagian selanjutnya menunjukkan kata ‘pertanda
buruk’. Inilah sebabnya kami kemari untuk memberitahu
agar berhati-hati mengenai ini.”
Kansuke yang juga hadir mengamati ekspresi wajah
Harunobu dalam diam. Harunobu menyimak kata-kata
kedua rahib dengan pandangan tidak senang.
Choshuza melanjutkan, “Bagian awal hari berarti bagian
awal hidup Tuan, dan bagian akhir hari berarti bagian akhir
hidup. Kami menganggap hidup manusia berlangsung 60
tahun; bagian awal hari berlangsung sampai usia 30 tahun.
Tuanku sekarang berumur lebih dari 30 tahun dan telah
memasuki bagian akhir. Jika datang ramalan yang
mengatakan akan ada kegagalan di bagian akhir hidup
Tuan, maka Tuan harus memikirkan tindakan selanjutnya
dengan sangat hati-hati.”
“Jadi apa yang kau sarankan?” tanya Harunobu.
“Inilah waktunya bagi Tuanku mengikuti kehendak
langit dan meninggalkan keduniawian. Jika Tuan melihat di
seluruh penjuru negeri, banyak keluarga yang memiliki
kehebatan di zaman dahulu telah tumbang. Bukan hai yang
aneh di zaman perang Gekokujo ini jika suatu ketika
keluarga Takeda juga ditumbangkan. Selama beberapa
generasi, keluarga Takeda berhasil menjaga kekuasaan
dengan busur dan panah; karena itulah di generasi Tuan…”
“Aku mengerti,” kata Harunobu.
“Tidak, Tuanku belum benar-benar mengerti,” kata
Kansuke.
“Ya, aku mengerti. Aku benar-benar mengerti.
Meninggalkan keduniawian, menjadi seorang rahib dan
menyerahkan diri pada kehendak langit. Cukup seperti itu,
kan?”
“Meskipun Tuanku meninggalkan keduniawian, namun
jika dilakukan untuk formalitas belaka dan tidak benarbenar
dijalani, tidak akan berguna. Begitu Tuanku
meninggalkan keduniawian, sangat penting untuk
menetapkan hati agar tidak lagi memiliki perempuan di
sekeliling Tuan.” Kansuke sangat ingin mengutarakan isi
hati kepada Harunobu.
0=odwo=0
Saat itu bulan Februari, sekitar jam empat sore, ketika
Harunobu meninggalkan keduniawian dan menamakan
dirinya Tokueiken Shingen, dengan nama religius Ikuzan.
Mulai saat ini Harunobu dikenal sebagai Shingen.
Para jenderal yang juga ikut mencukur kepala bersama
Takeda Shingen adalah Hara Toratane, Yamamoto
Kansuke, Obatayama Shiro-no-kami dan Nagasaka
Saemon-no-jo. Hara Toratane dinamai Nyudo Seigan,
Kansuke memiliki nama Doki, Obatayama Shiro-no-kami
bernama Nyoi, dan Nagasaka Saemon-no-jo diberi nama
Chokan.
Pada 15 Februari, Kansuke kembali ke Suwa. Dua-tiga
hari kemudian, ia mengunjungi Puteri Yuu di kuil Kan-nonin.
Kansuke duduk di hadapan Sang Puteri dan
memberitahukan bahwa Harunobu telah mencukur
kepalanya. Puteri Yuu mengamati Kansuke beberapa saat.
Ekspresinya seperti menahan tawa. Lalu berkata, “Terima
kasih untuk segalanya. Sayang sekali kau juga harus ikut
serta di dalamnya, Kansukei” kemudian tergelak.
“Nah, sekarang Tuan Puteri tidak perlu lagi menjadi
rahib.”
“Menjadi rahib? Astaga, kau benar-benar percaya
omonganku, ya?”
“Jadi, apakah Tuan Puteri berbohong ketika mengatakan
akan menjadi seorang rahib?”
“Tidak peduli bohong atau benar, aku tidak pernah
bermimpi untuk menjadi seorang rahib. Jika aku menjadi
rahib, berarti aku kalah oleh Tuanku, bukan begitu,
Kansuke?”
“Dan tentang Puteri Ogoto, apakah itu juga
kebohongan?”
“Aku tidak tahu apa-apa soal Puteri Ogoto, mungkin saja
sekarang dia sudah menjadi rahib.
“Apa? Dasar pembohong!” Kansuke ingin sekali berkata
begitu, namun yang keluar dari mulutnya malah, “Jika
Puteri Ogoto sudah menjadi rahib…”
“Kemungkinan besar sudah, karena aku yang
menyuruhnya.”
“Jadi Tuan Puteri memperdayainya!”
“Kansuke, di pihak mana kau berada?”
“Saya?” Kansuke tidak mampu menjawab.
“Kansuke!” Puteri Yuu berkata dengan intonasi agak
kuat, lalu berubah pikiran dan berkata pelan, “Kansuke,
maukah kau berjalan-jalan di luar? Ayo kita melihat bunga
persik yang bermekaran.”
Kansuke mengikuti Puteri Yuu saat Sang Puteri berjalan
menuruni tanjakan di depan kuil Kan-non-in ke sebuah
jalan. Pada pertemuan antara Sungai Tenryu dengan salah
satu anak sungainya, mereka menyusuri jalan setapak. Di
kawasan itu, ada begitu banyak pohon persik. Bunga-bunga
merah muda bermekaran di lembah-lembah hutan dan
pegunungan, meski udara dingin menandakan musim
dingin belum sepenuhnya pergi.
“Kansuke, rasanya aku tidak akan hidup lebih lama
lagi,” kata Puteri Yuu sambil terus berjalan, “Lihat,
lenganku semakin kurus.”
Ketika Puteri Yuu mengucapkan itu, Kansuke terpaksa
harus mengakui. Tangannya yang langsing tampak semakin
kurus. Kulitnya begitu pucat dan terlihat menyakitkan.
“Tuan Puteri tidak kedinginan?”
“Tidak, aku tidak kedinginan.” Lalu menambahkan,
“Apakah aku jahat telah membuat Tuanku dan kau
meninggalkan keduniawian, juga memperdaya Puteri
Ogoto untuk menjadi rahib?”
“Tidak, tidak pernah…” jawab Kansuke. la tidak pernah
berpikir Sang Puteri berbuat kesalahan. Apa pun yang ia
lakukan atau pikirkan, tidak mungkin bagi Kansuke untuk
menyalahkannya.
“Indah sekali bunga persik itu! Namun sepertinya ini
akan menjadi tahun terakhir aku menikmatinya.”
“Tuan Puteri, mohon jangan berpikir seperti itu.”
“Sejujurnya, aku benar-benar tidak ingin hidup lebih
lama lagi. Menjadi seorang perempuan sungguh sangat
menyedihkan. Aku sadari hal itu belum lama ini. Saat
mengetahui perihal Puteri Ogoto, aku merasa jijik pada
Tuanku. Lama-lama terbiasa dan menjalani hidup sampai
hari ini dengan berada di antara istrinya dan Puteri Ogoto.
Ketika Tuanku hendak mengambil seorang perempuan baru
di masa depan-dan aku yakin pasti akan terjadi, aku merasa
hidup dalam kesedihan dan penderitaan. Meski begitu,
setiap kali Tuanku berkunjung, aku masih berusaha
menyenangkannya. Aku hanya merasa sudah cukup
mengalami kehidupan seperti itu!” kata-kata terakhir
terdengar emosional.
“Tuan Puteri tidak perlu cemaskan hal itu lagi. Tuanku
sudah meninggalkan keduniawian.”
Puteri Yuu tertawa. Suara tawanya terdengar dingin di
udara awal musim semi. “Hanya karena sudah
meninggalkan keduniawian, kau pikir akan ada bedanya?
Paling-paling hanya bermakna perolehan gelar Daisojyo
dari negara. Seorang Daisojyo! Tuanku menjadi seorang
Daisojyo, lucu sekali!” Kali ini suara tawanya terdengar
sedikit beda dari sebelumnya.
“Tuan Puteri!” Kansuke mengira Puteri Yuu sudah gila.
Melihat gerak-geriknya, setiap orang pasti akan berpikir
demikian.
“Aku menyukai Tuanku hanya ketika dia bersiap
berperang. Aku menyukainya ketika dia tidak berpikir halhal
seperti istrinya, Puteri Ogoto, atau bahkan aku. Dia
paling baik ketika tidak memikirkan hal lain selain
bagaimana memenangkan perang. Selain itu aku tidak suka.
Aku ingin Katsuyori hanya mewarisi keberaniannya.
Kansuke, aku mohon bantulah Katsuyori menjadi jenderal
perang yang hebat sepeti ayahnya. Aku mohon padamu,
Kansuke.”
“Tuan Puteri tidak perlu cemaskan itu. Jelas sekali
bahwa Tuan Muda Katsuyori akan menjadi pemanah
terhebat di seluruh negeri. Dia akan menjadi jenderal
terhebat yang pemah ditemui orang. Bayangkanlah dirinya
sedang memakai helm perang Suwa.”
Ketika Kansuke membayangkan Katsuyori mengenakan
helm perang Suwa, ia hampir pingsan saking bahagia. Ini
juga merupakan mimpi terbesarnya: melihat Katsuyori di
awal masa kedewasaan.
Kansuke menyukai Harunobu dan Puteri Yuu.
Mencintai mereka melebihi siapa pun di dunia ini. Satusatunya
tujuan yang dimiliki mulai saat ini adalah
melindungi anak itu, yang mewarisi darah dari dua orang
yang dicintai melebihi siapa pun juga, dan menjadikan anak
tersebut seorang jenderal yang hebat.
“Kansuke, ayo kita kembali.”
Sebelum dipanggil oleh Puteri Yuu, mata Kansuke
terpaku pada lereng di bukit nun jauh di sana. Matanya
tidak melihat apa-apa ketika membayangkan masa depan.
Begitu banyak hal yang harus dipikirkan.
Saat itu, seorang samurai muda mendekat, kudanya
dipacu dengan kecepatan penuh. Tiba di dekat Kansuke,
samurai itu turun dari kudanya dan berkata, “Tuanku akan
segera tiba di sini.”
“Apa! Tuanku! Aku akan kembali secepatnya,” kata
Kansuke. Ini pasti tentang perang lagi, pikir Kansuke.
Berita tentang kunjungan Shingen dengan jelas
mengembalikan aura kehidupan ke wajah Puteri Yuu.
Perubahan tersebut tampak jelas bagi Kansuke.
“Kita harus kembali ke kuil Kan-non-in secepatnya,”
katanya kepada Sang Puteri.
“Kansuke, tolong ambilkan satu cabang pohon persik.
Aku tidak punya hadiah untuknya, yang sudah
meninggalkan keduniawian atas permintaanku. Paling
tidak, aku ingin menunjukkan bunga-bunga persik.”
Kansuke terpesona melihat kecantikan Sang Puteri yang
diliputi kebahagiaan. Kali ini bahkan tampak lebih cantik
dibanding Puteri Ogoto. Kansuke senang melihatnya.
Kansuke dan Puteri Yuu kembali ke kuil Kan-non-in.
Kansuke berpikir hal ini pasti mengenai perang lagi, namun
saat mereka tiba, Shingen sedang duduk di beranda
kediaman Puteri Yuu dan tidak seperti biasanya; ia tampak
rileks. Sambil memandangi bunga-bunga persik yang
dibawa oleh Puteri Yuu, Shingen berkata, “Bunga-bunga
persik. Apakah sudah bermekaran?”
“Bunga-bunga persik sudah bermekaran selama lebih
dari sebulan,” kata Puteri Yuu.
“Benarkah itu? Aku tidak memperhatikannya sama
sekali,” jawab Shingen. Siang dan malam ia habiskan
menyusun strategi perang, terlalu sibuk untuk
memperhatikan bunga-bunga persik yang bermekaran di
seluruh daerah pegunungan dan lembah wilayah Shinano
dan Kai.
Shingen, dengan kepalanya yang tercukur, tampak agak
bersikap dingin. Pasti kelihatan lucu di pandangan Puteri
Yuu, karena Sang Puteri tampak seperti menahan tawa,
namun tidak menyinggung soal itu di hadapan Shingen.
“Saya sempat mengira Tuanku hendak terjun ke medan
pertempuran kembali,” kata Kansuke.
“Terjun ke medan pertempuran? Biarkan aku istirahat
sejenak,” kata Shingen. Lalu melihat kepada Puteri Yuu
dan berkata, “Maukah kau menyiapkan jamuan minum
sake?”
Kansuke bermaksud meninggalkan mereka berdua,
namun Shingen berkata, “Bagaimana kalau kau minum
sake bersama kami, Kansuke?”
Inilah pertama kalinya mereka minum sake bertiga dan
hal tersebut merupakan permintaan mengejutkan yang
datang dari Shingen.
Permukaan danau menjadi gelap seiring hari yang
semakin sore. Tidak seperti biasanya, danau tampak tenang
tanpa satu riak pun yang merusak ketenangan itu.
“Hmm, kita berdua sudah meninggalkan keduniawian,
apa yang seharusnya kita lakukan sekarang?” tanya
Harunobu berkelakar. “Aku akan melakukan apa saja yang
kau minta, Yuu. Jika kau memintaku menyerang Kiso,
akan kulakukan. Jika kau menyuruhku menaklukkan
Echigo, akan kulakukan juga.”
“Kau bersedia melakukan apa yang aku minta!?” kata
puteri Yuu pelan, lalu menambahkan, “Kenapa berkata
manis kepadaku hari ini, Tuanku?”
“Itu bukan kata-kata manis. Karena aku selalu ragu
dalam setiap hal yang harus aku lakukan, aku ingin
memutuskan tindakan dengan mengikuti permintaanmu.
Aku sedang menghadapi saat paling sulit dalam hidup.
Akhir-akhir ini aku memikirkan berbagai hal dengan
sungguh-sungguh, tetapi tetap saja tidak memecahkan
masalah. Itulah sebabnya aku ingin mendengar
pendapatmu. Baik aku maupun Kansuke sudah sama-sama
lelah dengan pikiran kami.”
Nada suara Shingen lebih serius kali ini. Sambil
menyimak perkataan Tuannya, Kansuke menyetujui bahwa
sebagian ucapan Shingen benar. Ini memang saat paling
sulit bagi keluarga Takeda. Namun mengambil tindakan
berdasarkan saran Puteri Yuu, menurut Kansuke seolah
sedang berusaha menyingkirkan Kansuke.
Keinginan Shingen yang sebenarnya adalah
menghancurkan Kiso, Uesugi, dan siapa pun yang
menghalangi jalannya, dengan memanfaatkan kekuatan
besar, secepat mungkin.
Tidak peduli apa pun yang diminta oleh Sang Puteri,
jenderal muda yang telah meninggalkan keduniawian itu
masih tetap memegang kepercayaan diri memenangkan
perang tanpa mengalami kegagalan.
“Baik. Kalau begitu aku akan meminta…” Puteri Yuu
membuka mulut tanpa ragu. Kansuke mengangkat wajah
memandang Puteri Yuu.
“Mengapa kau tidak menaklukkan Kiso? Itu yang selalu
ingin kau lakukan, bukan? Mengalahkan Kiso.” Ada sedikit
nada sinis dalam suaranya.
“Kiso?” kata Shingen dengan kaku.
“Ya. Setelah menaklukkan Kiso, kenapa tidak coba
menikahkan puterimu dengan penguasa Kiso? Sampai
sekarang kau selalu mengambil seseorang dari keluarga
yang sudah ditaklukkan, seperti halnya diriku…” kata
Puteri Yuu tertawa sekilas, “tapi aku kira berbahaya untuk
membawa pulang hubungan darah dari keluarga yang
sudah kau taklukkan. Perihal aku, kau beruntung bahwa
akulah yang kau boyong pulang. Kau selesaikan masalah
dengan mencukur kepala. Jika itu orang lain, aku yakin kau
sudah kehilangan nyawa,” bentak Puteri Yuu.
“Jangan bercanda,” kata Shingen terkejut.
“Aku serius. Kansuke sangat mengerti perasaanku. Aku
tidak mengatakan ini lantaran cemburu pada perempuanperempuan
Kiso. Jika kau berencana untuk membawa
seorang perempuan cantik dari Kiso ke Kai dalam usungan,
maka kau akan menyesal. Kau akan segera kehilangan
nyawa. Tidak ada orang lain selain aku yang mengerti
perasaan ketika seluruh keluargamu dihancurkan.
Karenanya, aku menyarankan untuk memberikan seseorang
sebagai ‘tawanan’ kepada musuh.”
“Hmmm,” gumam Kansuke sambil berpikir. Gagasan itu
memang bukan hal yang lazim terpikir oleh seorang yang
memenangkan perang. Namun, sebagaimana saran Puteri
Yuu, ide ini bisa menjadi strategi efektif yang tidak
terpikirkan oleh orang lain sebelumnya. Sebuah gagasan
yang hanya bisa dipikirkan oleh seseorang yang pernah
merasakan menjadi ‘tawanan’.
“Hmmm,” kembali Kansuke bergumam.
Shingen tampak terkejut dengan perkataan Sang Puteri,
lalu dengan ekspresi seolah baru saja tersedak makanan, ia
berkata, “Baiklah, aku akan menaklukkan Kiso.”
Kemudian kepada Kansuke, ia berkata, “Kansuke, kau
tidak keberatan?”
“Aku setuju dengan gagasan Tuan menyelesaikan
masalah Kiso sebelum Echigo. Dan bersamaan dengan
penaklukan Kiso, penting kiranya untuk menjalin
persekutuan yang kuat dengan Imagawa dan Hojo.”
Didorong ucapan Puteri Yuu tadi, percik api dalam
benak Kansuke membesar dan menyebar ke seluruh
penjuru.
Untuk menetralkan persekutuan dengan Hojo, penting
untuk menikahkan puteri tertua Shingen dari istrinya yang
resmi dengan keluarga Hojo. Kemudian Hojo akan
menikahkan puterinya dengan Imagawa, dan puteri
Imagawa dengan keluarga Takeda. Strategi yang telah
disusun Kansuke beberapa tahun lalu, akan memberi
sebuah makna baru. Mata Kansuke mulai bersinar. Jika bisa
melaksanakan strategi ini, maka ketiga keluarga tersebut;
baik Takeda, Hojo, dan Imagawa; akan menjadi kerabat.
Dengan demikian, Shingen dapat menghadapi Kagetora
tanpa takut terhadap keluarga tersebut.
Pada Agustus tahun Tenbun ke-20, Nagao Kagetora
menerima gelar daimyo dan julukan baru Uesugi Norimasa.
Sejak saat itu ia dipanggil dengan sebutan Uesugi Kenshin
Kagetora.
Kansuke menjelaskan hal ini kepada Shingen dengan rinci.
Shingen merenung lama sekali dalam hening, dan tidak
segera menjawab.
Tiba-tiba, Shingen memerintahkan Puteri Yuu untuk
meninggalkan ruangan. “Puteri Yuu, bisa kau tinggalkan
kami sebentar?”
Puteri Yuu meninggalkan mereka dengan patuh.
Kansuke sendirian bersama Shingen. Tanpa sadar,
matahari sudah tenggelam di cakrawala dan kegelapan
mulai menyelimuti.
“Haruskah saya nyalakan pelita?” tanya Kansuke.
“Tidak usah,” Shingen menggelengkan kepala dan
bertanya dengan nada pelan, “apakah persekutuan antara
Imagawa, Hojo dan Takeda, akan berlangsung selamanya?”
“Hmm, saya tidak yakin akan berlangsung lama atau
tidak. Namun, jika Tuan mengikuti petunjuk yang telah
saya sampaikan, persekutuan itu akan terus berlangsung
setidaknya sampai kita hancurkan Uesugi Kenshin
Kagetora. Begitu kita mengalahkannya, maka meskipun
persekutuan itu pecah…”
“Tidak akan menjadi masalah, ya?” “Tidak, sungguh
bukan tugas yang sulit, dibanding menaklukkan Hojo dan
Imagawa.”
“Kansuke._ teriak Harunobu tajam. “Lalu, apa yang
akan terjadi dengan puteriku yang menikahi klan Hojo?
Juga puteraku Yoshinobu yang akan menikahi puteri
Imagawa?”
Kansuke sedikit gemetar. Sepertinya Shingen bisa
melihat makud dibalik rencana Kansuke. Shingen
melanjutkan, “Lalu bagaimana dengan puteri lainnya yang
akan pergi ke Kiso seperti saran Puteri Yuu? Dalam hal ini,
Yoshinobu dan kedua saudara perempuannya…” Kata-kata
Shingen menghilang. Kemudian menambahkan, “Kasihan
mereka.”
“Tuanku,” kata Kansuke cepat.
Shingen sekonyong-konyong menyela, “Jangan
khawatir. Aku hanya mengatakan bahwa hal ini bisa
menjadi salah satu kemungkinan. Namun bagi keluarga
Takeda, ini akan menjadi cara paling efektif menjalankan
rencana yang baru saja kau paparkan. Demi keberhasilan
keluarga Takeda di masa perang, gagasan ini harus
dijalankan. Aku ingin kau melaksanakan rencanamu
secepat mungkin.”
Saat itu, untuk pertama kalinya Kansuke merasa takut
terhadap Takeda Shingen. Melihat Shingen sebagai musuh
berbahaya bagi dirinya dan Puteri Yuu. Shingen sadar betul
akan kenyataan bahwa anak-anak dari istrinya yang resmi
sedang menghadapi bahaya. Tetapi ia tetap bersedia
mengambil resiko dan melaksanakan strategi Kansuke.
Sampai detik ini Kansuke menganggap Shingen sebagai
pemimpin muda yang tidak berpengalaman. Meskipun ia
menghormatinya sebagai jenderal perang yang luar biasa,
kenyataan bahwa Shingen jauh lebih muda dibanding
Kansuke senantiasa membayangi, dan karena itulah ia
selalu berpikir bahwa Shingen tetap belum sedewasa
dirinya. Namun hal tersebut telah terhapuskan saat ini.
Kansuke tidak yakin apakah Shingen mencintai Puteri
Yuu atau tidak. Bukan hanya tentang Puteri Yuu, namun
mengenai Kansuke sendiri ia juga tidak yakin. Kansuke
tahu bahwa Shingen memercayainya, namun tetap saja ada
sesuatu yang membuat Kansuke selalu waspada terhadap
Shingen. Selain itu, perasaannya terhadap Shingen juga
rumit. Kansuke tidak menyesal harus mempertaruhkan
nyawa demi Shingen. la rela melakukan apa saja demi
membantu Shingen menaklukkan seluruh negeri. Namun
saat Puteri Yuu masuk ke dalam hubungan mereka,
segalanya menjadi tidak mudah. Kansuke tidak bisa
menyangkal fakta bahwa ia mencoba melindungi Puteri
Yuu dan Katsuyori dari Shingen.
0=odwo=0
Tiga hari setelah Shingen kembali ke Kofu dari kuil Kannon-
in, Puteri Yuu dan Kansuke bertemu, kemudian Sang
Puteri bertanya padanya, “Kansuke, apa yang kau
bicarakan dengan Tuanku, setelah dia menyuruhku pergi?”
“Tidak ada yang istimewa. Dia memerintahkan saya
melaksanakan rencana membangun persekutuan dengan
ketiga keluarga; Imagawa, Hojo dan Takeda.”
“Aku percaya bahwa Tuanku sangat menyadari posisi
tidak menguntungkan yang akan dialami oleh istri resmi
dan anak-anaknya jika rencana ini dijalankan,” kata Puteri
Yuu.
“Bagaimana Tuan Puteri bisa tahu?”
“Oh, aku langsung tahu begitu melihat ekspresi
wajahnya saat itu. Tampak suram, namun sekaligus sadar
pentingnya keputusan itu demi keluarga Takeda, jadi dia
putuskan mengambil resiko dari rencana tersebut.” Lalu
Sang Puteri menambahkan, “Hal lain adalah, meski tidak
menyebutkan, dia juga menyadari bahwa hidupku tidak
akan lama lagi. Jika dia pikir aku akan hidup lebih lama,
keputusan ini tidak akan mungkin diambil. Tuanku bisa
melihat bahwa hidupku tidak akan lama lagi dan karenanya
tidak akan menjadi sumber malapetaka baginya. Itulah
alasannya mengapa Tuanku memutuskan mengambil
langkah ini.”
“Jika Tuan Puteri sehat, mengapa harus menjadi sumber
malapetaka?” tanya Kansuke.
Puteri Yuu menjawab dengan ekspresi sedih di
wajahnya, “Jika anak-anak dari istrinya yang resmi
mendapat posisi yang menguntungkan, aku tidak akan
membiarkan mereka menikmatinya. Aku mencintai anakku
sendiri, Katsuyori. Aku benci anak-anak dari istrinya yang
resmi, walaupun mereka memiliki darah Tuanku, aku tetap
membenci mereka. Oh, Kansuke, aku malu pada diriku
sendiri!”
“Tuan Puteri berbicara terlalu keras. Tidak semestinya
mengatakan hal-hal seperti itu.”
“Tapi itulah kenyataannya.”
“Jika memang itu kenyataannya, justru menjadi alasan
kuat bagi Tuan Puteri untuk tidak menyebutkan.”
“Tapi, Kansuke!” kata Puteri Yuu memotong, “aku blakblakan
begini semata-mata karena aku mencintai Tuanku.
Sebelumnya aku bahkan sering berpikir untuk
membunuhnya. Sekarang sudah tidak lagi. Sekarang aku
ingin membunuh anak-anaknya. Mereka yang terlahir di
antara Tuanku dan perempuan-perempuan lain.”
“Jangan berkata begitu, Tuan Puteri.”
“Tidak ada yang mendengarkan kita. Kansuke, aku
perempuan yang menakutkan, ya? Tentu saja. Tuanku pasti
mengetahui kepribadianku yang jahat. Dia takut padaku,
tapi sekali lagi, dia juga tahu bahwa aku tidak akan hidup
lebih lama lagi.”
Tiba-tiba ia berdiri dan mulai tertawa seperti orang gila.
“Tuanku tahu bahwa hidupku tidak akan lama lagi. Karena
itu dia tidak khawatir menghadapi situasi sesulit apa pun
yang kelak dihadapi oleh anak-anak dari istrinya yang sah.”
“Tuan Puteri tidak boieh membicarakan hidup segampang
itu. Tuan Puteri harus tetap sehat dan panjang umur, agar
bisa melihat Tuan Katsuyori…”
Kansuke sadar bahwa ia juga berharap sama kerasnya
dengan Puteri Yuu. Begitu berharap Puteri Yuu bisa hidup
lebih lama dari yang diperkirakan. Kansuke bahkan tidak
bisa membayangkan kematiannya. Tidak bisa
membayangkan dunia tanpa Puteri Yuu.
O0-^dw^-o0
Sepuluh
Pada akhir tahun Tenbun ke-21, Shingen menikahkan
putera resminya, Yoshinobu, dengan puteri Imagawa.
Setelah itu pada Juli tahun Tenbun ke-22, puteri dari Hojo
Ujiyasu menikahi putera Imagawa, sehingga penyatuan
kedua keluarga menjadi kenyataan. Kemudian pada bulan
Desember tahun itu pula, puteri tertua Takeda dikirim ke
Sooshuu untuk menjadi mempelai bagi putera Hojo
Ujiyasu, Shinkuroo. Hampir empat tahun waktu yang
dibutuhkan Kansuke dan Shingen melaksanakan rencana
yang telah mereka diskusikan di kuil Kan-non-in bersama
Puteri Yuu.
Iring-iringan pernikahan keluarga Takeda menuju
keluarga Hojo begitu megah. Lebih dari 10.000 orang ikut
serta dalam iring-iringan tersebut. Di antaranya adalah
3.000 pasukan samurai berkuda yang menjaga bagian depan
dan belakang rombongan. Pelana-pelana kuda, usungan
dan kotak-kotak besar, semuanya bertabur dan berhiaskan
emas, berkilauan di bawah cahaya lemah matahari musim
dingin. Di penghujung hari yang dingin, iring-iringan itu
memasuki kota benteng Odawara.
Kansuke juga bergabung bersama mereka. Semua yang
berasal dari Takeda tinggal di Odawara sampai Tahun
Baru. Semuanya, kecuali Kansuke. la kembali ke Kofu dan
melapor kepada Shingen tentang jalannya prosesi.
“Hmm, akhirnya kita tidak perlu mencemaskan apa-apa
lagi. Sekarang kita bisa merencanakan penaklukan Kiso.”
“Kapan saat yang tepat untuk menyerang Kiso?”
“Saya yakin sekitar bulan Agustus akan menjadi saat
yang paling tepat. Sungai Kiso akan dipenuhi air dari salju
yang mencair hingga bulan April,” jawab Kansuke.
Maka hingga bulan Agustus, dilakukan berbagai
persiapan untuk menaklukan Kiso.
Begitu kembali dari Kofu ke Suwa, Kansuke
mengunjungi Puteri Yuu. Tubuh Sang Puteri semakin
kurus, dan kulitnya semakin pucat sampai tampak seperti
transparan. Selain itu, mata hitamnya yang besar tampak
semakin besar. Melihatnya langsung dari bawah dengan
posisi berlutut seperti yang dilakukan Kansuke saat itu,
membuat kecantikannya begitu menakutkan. Kansuke
memberitahu, “Puteri dari istri resmi Tuanku sudah
menikah dengan keluarga Hojo.”
“Selanjutnya adalah perang melawan Kiso, kemudian
melawan Echigo. Aku ingin hidup sampai saat itu,” kata
Puteri Yuu murung.
“Tuan Puteri bicara apa? Tuan Puteri harus kuat. Begitu
kita taklukkan Echigo, kita akan menyerang Hojo, lalu
Imagawa.”
“Saat kau menyerang Hojo dan Imagawa, Aku sudah
tidak hidup lagi.”
“Berarti Tuan Puteri tidak akan menyaksikan Tuan
Katsuyori mewarisi Takeda.”
“Aku ingin melihat itu,” mata Puteri Yuu menerawang
sesaat.
“Tuan Puteri harus menegaskan pada diri sendiri bahwa
akan tetap hidup hingga saat itu tiba.” Akhir-akhir ini,
bahkan di mata Kansuke, kondisi Sang Puteri terlihat jelas
semakin menurun.
Pada akhir Agustus, Shingen memindahkan pasukan
pertamanya untuk menyerang Kiso. Dan saat kota benteng
Seba yang terletak tepat di pintu masuk ke wilayah Kiso itu
menyerah, Shingen menarik pasukannya kembali ke Kai
untuk sementara.
Tahun berikutnya, yaitu tahun Tenbun ke-24, pemimpin
Seba mengunjungi Kofu untuk menyampaikan selamat
Tahun Baru kepada Takeda dengan membawa 213 orang
pengikut. Namun Shingen menyerang dan membunuh
semuanya. Meskipun Sheba sudah menyerah, Kansuke
khawatir mereka akan mengkhianatinya dan berdiri di
pihak lawan, saat menyerang Kiso. Inilah alasan mengapa
Kansuke menyarankan pembunuhan itu, biarpun dianggap
kejam.
Pada 7 Maret, Shingen mengerahkan pasukannya
dengan kekuatan penuh untuk menyerang Kiso. Pasukan
Takeda melewati Sungai Kisonie, lalu Puncak Narai, dan
mendirikan kemah di Yanehara. Kansuke menyadari
bahwa tempat tersebut merupakan tempat terbaik
membangun pertahanan. Pada saat pihak Takeda
menyiapkan penyerangan ke Kiso, Uesugi Kagetora
memasuki wilayah Kawanakajima. Shlngen mengirim
pasukan ke Shinano bagian utara untuk me*ghambat
Kagetora, namun tidak ada hal serius. Begitu Kagetora
menarik mundur pasukannya, Shingen kembali
menempatkan pasukan di Yanehara dan sekail lagi mulai
menyiapkan penyerangan ke Kiso.
Amari ditugaskan sebagai komandan di garis depan.
Sedangkan Baba, Naito, Hara dan Kasuga ditugaskan
memimpin formasi kedua. Pasukan Takeda menargetkan
sebuah benteng di Pegunungan Ontake sebagal sasaran
penyerangan mereka yang pertama.
Sejak awal, pasukan Takeda mampu mengalahkan
musuh dengan mudah. Mereka berhasil menguasai semua
kota dan benteng yang terkenal sulit seperti Kokiso dan
Mizoguchi, kemudian bergerak menuju Benteng Kiso
Yoshimasa. Mereka bergerak maju secepat sambaran kilat,
dan angin taufan. Hanya dalam sehari pertempuran,
benteng itu pun jatuh. Kiso Yoshimasa yang telah lama
melawan Takeda, akhirnya menyerah.
Shingen memberikan puteri kedua dari istrinya yang
resmi kepada Kiso Yoshimasa untuk dijadikan istri dan
menjanjikan keamanan atas wilayahnya Pada bulan
November tahun itu, pasukan Takeda kembali ke Kai
dengan penuh kemenangan. Begitu tiba di Kai, Kansuke
langsung memimpin 500 orang pasukan menuju Shinano
bagian utara.
Lebih 10 tahun telah berlalu sejak Kansuke mulai
mengabdi kepada Takeda. Namun baginya, ekspedisi kali
ini merupakan saat paling menggembirakan dalam hidup.
Saat ini, Uesugi Kenshin Kagetora di Echigo menjadi satusatunya
musuh yang harus dihadapi dan dihancurkan oleh
Takeda. Begitu lama mereka bersikap waspada dan
menahan diri, mengambil strategi pasif terhadap pasukan
Uesugi, namun kini tidak perlu lagi. Kai dan seluruh
wilayah Shinano bagian selatan telah menyerah pada
pasukan Takeda yang kuat. Selain itu, Takeda |uga
memiliki persekutuan kuat dengan Hojo dan Imagawa, jadi
tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
Kansuke tetap memimpin pasukan ke Shinano bagian
utara, kendati tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa
Kagetora akan menyerang Takeda. Hal seperti itu baru
pertama kali dilakukan. Shingen akan menyambut
kedatangan Kagetora saat ia menampakkan diri di wilayah
Shinano bagian utara dan mempertaruhkan segalanya
dalam perang besar yang akan terjadi. Untuk itulah
Kansuke ingin melihat seluruh wilayah Shinano bagian
utara yang akan menjadi lokasi perang dari sudut pandang
yang benar-benar berbeda.
Ketika pasukan Kansuke memasuki Komuro dan
mendirikan kemah di lereng landai di wilayah tersebut,
seorang pembawa pesan tiba dengan mengendarai kuda dari
Benteng Takashima Suwa. la adalah utusan Puteri Yuu. Isi
pesan tersebut:
Kehadiranmu sangat diharapkan secepat mungkin.
Aku akan sangat menghargai jika kau bisa
menyempatkan diri untuk datang.
Kansuke baru saja tiba di Komuro, namun tanpa
membuang waktu ia putuskan untuk kembali ke Suwa
seorang diri. Kansuke tidak sedang mengharapkan terjadi
perang saat ini, dan tidak ada tanda-tanda pasukan Echigo
akan menyerang Shinano bagian utara, jadi tidak khawatir
meninggalkan pasukannya di sini. Tiga hari kemudian,
Kansuke tiba di Benteng Takashima. Puteri Yuu lalu datang
ke benteng tersebut dari kuil Kan-non-in, dan langsung
ditemui oleh Kansuke.
“Aku minta maaf telah memintamu datang jauh-jauh
dari Komuro,” kata Puteri Yuu pelan. “Sebenarnya tidak
ada hal khusus yang Ingin kusampaikan. Aku hanya ingin
bertemu denganmu.”
Minuman sake dibawa masuk. Begitu Kansuke, yang
tetap memakai pakaian perang, mengangkat cangkir, Puteri
Yuu segera menuangkan sake, yang langsung diteguk dan
mengalir dalam tubuh letih Kansuke. “Berapa usiamu
sekarang, Kansuke?”
“63 tahun.”
“Sudah 10 tahun berlalu sejak aku pertama kali
melihatmu di benteng ini,” kata Puteri Yuu penuh emosi.
“Tuan Puteri sendiri sudah usia berapa?”
“Aku 25 tahun.”
“Hmm, waktu begitu cepat berlalu, ya?”
“Katsuyori sekarang sudah 10 tahun.” Setelah
mengatakan itu, Puteri Yuu menyuruh pelayan memanggil
Katsuyori. Kansuke hanya melihat Katsuyori dua atau tiga
kali dalam setahun. Begitu sibuk mengurus pertempuran
yang silih berganti sampai tidak punya waktu menemani
anak itu.
Katsuyori masuk setelah dipanggil ibunya dan duduk
bersebelahan tanpa bicara. Parasnya tidak mirip Shingen,
kecuali matanya. Meski pemalu dan terlihat lemah, namun
di mata Kansuke, anak itu kelihatan bagus dalam segala
hal.
“Tolong jaga dia,” kata Sang Puteri. “inilah yang ingin
aku katakan padamu malam ini. Entah mengapa,
mendadak aku diburu keinginan tak tertahankan untuk
memberitahu hal ini. Aku mohon maaf telah meminta lakilaki
tua berumur 60 tahun lebih sepertimu datang jauh-jauh
kemari. Maafkan keegoisanku.”
“Saya sudah terbiasa dengan sikap tak terduga Tuan
Puteri,” jawab Kansuke tertawa. Sikap egois Puteri Yuu
justru menjadi hal yang membahagiakannya, meskipun
Kansuke tidak mengatakannya secara langsung. Sejak
pertama bertemu hingga hari ini, Sang Puteri selalu bersikap
seperti itu terhadapnya.
Malam itu, Sang Puteri tidak tampak sakit. Wajahnya
bersinar dan matanya cerah dan berbinar. Kansuke
menginap semalam di Benteng Takashima dan keesokan
paginya mengendarai kuda kembali ke Komuro, menyusul
pasukan yang ditinggalkan.
Tiba di Komuro, Kansuke merasa begitu lelah, la tidur
seperti orang mati di ruangan kecil sebuah kuil di lokasi
perkemahan.
Pagi hari berikutnya, kansuke terbangun. Di luar sudah
terang benderang. Cahaya matahari pagi mulai memasuki
kamar tersebut.
“Ada peringatan bahwa patroli musuh sedang menuju
kemari dari Un-no-Daira,” Kansuke mendengar sebuah
suara dari ruangan sebelah.
“Apa! Patroli musuh?”
“Ya, tampaknya pasukan Echigo.”
“Berapa banyak?”
“Kira-kira lebih dari seribu orang.”
“Baiklah.”
Ketika Kansuke keluar dari ruangan Itu, para pengikutnya
sudah berkumpul di halaman kuil. Hembusan napas mereka
mengepul putih di udara pagi bulan November yang dingin.
Walaupun hanya pasukan patroli, namun tetap saja
jumlahnya sangat besar. Jika mereka menuju ke sini dari
Un-no-Daira, maka sangat jelas tujuannya adalah untuk
ikut dalam pertempuran.
“Kita harus mundur secepatnya,” kata Kansuke. la tidak
mau pengikutnya terluka sia-sia atau terlibat pertempuran
kecil yang tidak berarti. Mereka membongkar perkemahan
di Komuro, lalu mulai menuju selatan. Kansuke yakin
bahwa se/ama pasukan mereka mundur, musuh tidak akan
mengejar.
Setelah berjalan sekitar tiga mil, sebuah panah melayang
ke bagian belakang pasukan. Kansuke marah melihat
desakan pasukan musuh, namun tetap tidak ingin
bertempur.
Mereka mempercepat langkah dan melanjutkan
perjalanan menuju selatan dengan menyusuri kaki
pegunungan. Seekor kuda menghampiri dari arah depan;
berlari kencang menuju Kansuke di tengah pasukan, dan
hampir terjatuh dari pelana ketika turun. Samurai
penunggang kuda tersebut berkata dengan ragu, berhenti
sebentar mengambil bernapas, “Tadi malam Puteri Yuu
meninggal dunia.”
Sungguh pesan tak terduga dari Suwa. Kansuke langsung
meragukan kebenarannya.
“Katakan sekali lagi ?!”
“Puteri Yuu…” ulang si samurai. *
“Puteri Yuu meninggal dunia, katamu!? Tuan Puteri
Yuu!?”
Kansuke hampir jatuh dari kuda yang tiba-tiba menendangnendang
kaki belakang dengan ringkikan tajam. Sebuah
anak panah bagian belakang kuda.
“Tuan Puteri meninggal dunia. Tuan Puteri Yuu!”
Sejumlah anak panah berdesing di sekeliling.
Suara-suara teriakan terdengar di kejauhan.
“Mundur!” Kansuke dengan tegas memerintahkan
pasukannya, sementara kudanya sendiri tidak bergerak.
Setelah berpikir beberapa lama, Kansuke turun dari kuda
dan menarik anak panah yang menancap di bagian
belakang kuda. Para pengikutnya mundur dengan
kecepatan penuh, dengan cepat melewati Kansuke.
“Mundur, mundur.’” Kansuke tetap berteriak. Saat
kembali menaiki kuda, tanpa diduga, dari sisi lain bukit,
muncul puluhan orang prajurit musuh. Mereka mendekat
dengan cepat dan masing-masing menghunus pedang.
“Ini tidak mungkin, Sang Puteri tidak mungkin… tidak,
ini tidak mungkin!” Kansuke tidak bisa menerima kematian
Puteri Yuu. Beberapa anak panah melewatinya. Teriakanteriakan
datang dari berbagai arah. Kansuke memacu kuda
ke arah barat, tapi mendadak berbalik arah. Sekelompok
prajurit musuh dengan cepat mendekat. Kansuke memacu
ke segala arah sambil meneriakkan kata-kata yang sama
berkali-kali, “Tuan Puteri, Tuan Puteri!”
Namun tiba-tiba, kesadaran bahwa para samurai musuh
berlari mendekat dari segala penjuru. Untuk pertama
kalinya Konsuke menyadari situasi di sekelilingnya, la lalu
berniat untuk segera meloloskan diri. Tidak mengindahkan
bahaya atau takut.
Yang dirasakan hanya kebencian teramat sangat
terhadap samurai musuh yang akan mengepungnya.
Dia ingin sendirian secepat mungkin.
Begitu memutuskan untuk keluar dari situasi sulit yang
dihadapi, Kansuke memutar kudanya ke arah yang dipilih
dengan tekad bulat tidak akan membiarkan satu pun musuh
menghalangi upaya meloloskan diri.
Beberapa samurai pengikut Kansuke yang mencemaskan
dirinya pasti kembali lagi ke tempat itu, karena di sekitarnya
ada beberapa orang saling bertarung.
Kansuke menusuk seorang musuh dan menendang yang
lain. Darah menyembur mengenai perut kuda. la
menendang dan menjatuhkan musuh-musuh di depannya,
mencari jalan keluar dari pertempuran; mengarahkan kuda
ke selatan, memacunya melintasi hamparan padang seperti
anak panah, naik-turun sepanjang perbukitan Shinano
bagian utara dan terus berkuda menuju selatan.
“Tuan Puteri!” saat meneriakkan kata yang sama
kembali, yang terus diulangi ratusan kali, kudanya
meringkik keras dan menekukkan kaki depan seperti hendak
jatuh ke tanah. Kansuke terlempar bergulung-gulung
beberapa kali di rerumputan, lalu berhenti di dekat semak
belukar.
Tuan Puteri!
Kansuke bangkit untuk duduk dan melihat ke
sekelilingnya. Mencari-cari si pembawa pesan yang datang
mengabarkan berita kematian Puteri Yuu. Tidak ada
sesosok manusia pun di padang luas itu. Kansuke
merasakan cahaya lemah matahari musim dingin di sekitar,
juga pada rumpun ilalang yang berwarna keemasan. Angin
pasti tidak sedang bertiup, karena ujung rerumputan berdiri
diam. Untuk pertama kalinya Kansuke menyuarakan katakat
dari mulutnya. Kata-kata yang tadi didengar dari si
pembawa pesan, “Tadi malam tuan puteri meninggal
dunia.”
la sudah mendengarnya. Puteri Yuu meninggal dunia.
Bahwa sudah berhenti bernapas dan jiwanya sudah tiada.
Tidak, tidak mungkin sosok cantik dan berharga itu lenyap
dari dunia ini! Tidak mungkin!
Tidak peduli seberapa keras mencoba, Kansuke tidak
bisa memercayai kejadian ini. Pantas saja tubuh Sang Puteri
begitu kurus sampai serasa bisa digenggam pinggangnya
dengan kedua tangan, dan kedua mata beliau yang biasanya
bersinar tampak lebih besar dibanding sebelumnya. Jelas
akan membuat orang yang melihatnya berpikir bahwa
hidupnya tidak akan lama lagi. Bahkan Kansuke sendiri
juga merasakannya. Tapi, Tuan Puteri.’ Tidak dengan
orang seberharga itu…
Kansuke bangkit dari rimbunan semak. Kudanya sudah
tidak bisa ditunggangi lagi. Dari jauh, terdengar tiupan
terompet pasukan yang memerintahkan untuk berkumpul;
bunyi terompet dari pasukan Kansuke.
Sepanjang hari itu Kansuke berjalan ke utara seperti
orang gila; kadang berjalan cepat, kala lain berjalan lambat.
Sejumlah desa dilewati. Desa-desa itu seperti tidak
berpenghuni. Tidak terlihat seorang pun. Pintu depan
rumahnya tertutup rapat. Selain burung-burung yang
terbang melintas, seluruh desa sangat hening seperti mati.
Semua desa yang dilalui selalu begitu. Setiap kali Kansuke
masuk, ia minum dari sumur penduduk desa dan terus
berjalan menggunakan pedang berlumur darah sebagai
tongkat.
Sekali waktu, saat melewati sebuah desa, Kansuke tibatiba
berteriak, “Tuan Puteri!”. Sebuah teriakan putus asa.
Ujung pedangnya menembus tanah berdebu sepanjang dua
inci. Tepat ketika itu, dari balik dinding di mana Kansuke
berdiri, seseorang memekik tertahan. Di saat yang sama,
Kansuke mendengar langkah kaki beberapa orang bergerak
menjauh. Desa itu bukannya tidak berpenghuni. Tidak
hanya di desa itu, namun juga di desa-desa lain yang
dilewati, semua orang bersembunyi di dalam rumah,
menutup pintu rapat-rapat, menghindari konfrontasi dengan
laki-laki tua menakutkan ini, yang punya wajah seperti
Ashura.
Tanpa disadari, malam menjelang. Kansuke berada di
bawah lindungan pepohonan. Cahaya biru bulan musim
dingin tampak menyebar saat ia memandang melalui
rimbun dedaunan. “Tuan Puteri!” teriak Kansuke, disusul
kepakan sayap sejumlah burung malam terbang menjauh.
Dua hari dua malam berlalu, Kansuke masih terus
berjalan.
“Ke mana tujuanmu?” Kansuke ingat seseorang bertanya
padanya, la tidak ingat kapan dan di mana. Hanya ingat
ada orang yang bertanya begitu. Ke mana ia harus pergi?
Dalam dunia yang sudah ditinggalkan oleh Puteri Yuu ini,
ke manakah dirinya harus pergi? Kansuke terus berjalan
tanpa henti.
Saat itu tengah malam ketika Kansuke terbangun, la
jatuh tertidur di tepi sebuah sungai kering. Ke manapun
memandang, yang tampak hanya batu-batu berwarna putih,
tersebar di mana-mana. Tidak tampak rerumputan di sana.
Di seberang kumpulan batu-batu putih itu, terdapat sebuah
aliran air berwarna biru, berkilau di bawah terang
rembulan. Dan di seberang aliran air, kembali terdapat
hamparan luas batu-batu putih.
“Hmmm.” Kansuke duduk di tepi sungai, meletakkan
kedua telapak tangan di matanya. Keinginan untuk
menangis tiba-tiba melanda, dan meski tidak mampu
menghentikan getaran tubuhnya, Kansuke mencoba
mengendalikan kesedihan.
Puteri Yuu meninggal dunia. Tidak ada lagi di dunia ini.
Tidak peduli ke manapun mencari, Kansuke tidak akan lagi
bisa menemukan sosok, wajah, tangan, mata, dan rambut
hitamnya yang indah. Untuk pertama kali Kansuke
menerima kematian Sang Puteri dan kesedihan mulai
membekukan tubuhnya.
…Tuan Puteri sudah tiada.
Airmata memenuhi pelupuk mata. Kansuke duduk
menyilangkan kaki dan meletakkan kedua tangan di lutut,
lalu mengangkat wajah membiarkan airmata melelehi pipi.
Kali ini ia terisak.
Malam berikutnya, Kansuke tiba di sisi barat Danau
Suwa. la tidak tahu ke mana atau arah mana ia telah
berjalan. Kakinya mengambil arah utara dan terus berjalan
menuju Benteng Takashima. Saat mendekati benteng, ia
melihat barisan api unggun di sepanjang pinggir danau.
Sekilas seperti barisan api unggun yang diletakkan
sepanjang jalan dari kota benteng Takashima menuju kuil
Kan-non-in. Setiap api unggun memantul di permukaan
danau dan pemandangan itu begitu indah, seolah berasal
dari dunia lain.
Kepada salah seorang samurai pertama yang ditemui
memasuki perbatasan Benteng Takashima, Kansuke
menanyakan.
”Kapan pemakaman akan dilaksanakan.
“Jam enam sore ini,” jawab si samurai dengan sopan,
menyadari bahwa orang di hadapannya itu adalah
Kansuke.
“Peti jenazah diberangkatkan dari Benteng Takashima
atau kuil Kan-non-in?”
“Petinya berangkat dari kuil Kan-non-in.” “Di mana
Tuanku?”
“Menurut berita, beliau berada di kuil Kan-non-in.”
“Bagus!”
Samurai itu berlari cepat ke arah benteng, la pasti telah
melaporkan kembalinya Kansuke. Karena begitu Kansuke
mencapai gerbang benteng, banyak samurai yang berdiri
menunggu.
“Aku akan langsung mengunjungi kuil Kan-non-in,” ujar
Kansuke kepada mereka, lalu berjalan ke kuil tanpa
memasuki benteng. Seseorang menawari seekor kuda,
namun ia tolak. Beberapa orang pengikutnya yang berkuda
datang dari belakang dan melintas. Kansuke berjalan
lambat menyeret kaki yang lelah, sepanjang pinggiran
danau di mana Sang Puteri biasa menikmati pemandangan.
Sepanjang lereng menuju kuil Kan-non-in, banyak
samurai menunggu kedatangan Kansuke. Kansuke tidak
menghiraukan mereka dan terus berjalan, bertumpu pedang
yang digunakan sebagai tongkat. Namun di tengah jalan,
Kansuke tersadar dan memanggil salah seorang samurai.
Dia serahkan pedangnya pada si samurai itu dan merapikan
jubah perang yang acak-acakan dengan kedua tangan.
Kansuke mendengar dengung rapalan mantera Buddha
dan merasakan getaran dari kuil Kan-non-in. kansuke
memasuki gerbang utama, berjalan melintasi lorong,
memasuki ruang terdalam yang merupakan kediaman
Puteri Yuu.
Banyak orang di ruangan itu. Setiap pengikut utama klan
Takeda hadir. Altar Buddha ditempatkan di atas sebuah
undakan kecil di salah satu sisi ruangan. Para pengikut
Takeda duduk di kiri-kanannya.
“Kau sudah kembali, Kansuke!” Itu suara Takeda
Shingen.
“Ya,” kata Kansuke sambil berlutut.
“Puteri Yuu sudah tiada, tapi aku yakin kau masih
kembali.”
“Ya.”
“Kau pasti sangat lelah. Lebih baik istirahat dulu.”
Kansuke bangkit berjalan menuju altar, lalu membakar
dupa. Pada sebilah kayu tertulis ‘Shukoin Koan Seigen
Daishi’, nama Sang Puteri setelah meninggal dunia, yang
dipilihkan oleh pendeta Buddha.
Kansuke melangkah mundur dari altar dan duduk di
hadapan Shingen. la ingin menyampaikan duka, namun
belum sempat membuka mulut, Shingen berkata, “Rakyat
Ina sedang melancarkan protes.”
“Ina? Kenapa tidak Tuanku perangi mereka?”
“Nagano Shinano-no-kami di wilayah Joshu dan Ota
Nyudo dari wilayah Bushu tidak akan membiarkan kita.”
“Perangi juga mereka.”
“Memerangi mereka?!”
“Ya, siapa pun yang menentangmu Tuanku, harus
diperangi.”
“Tapi itu akan menunda penyerangan ke Uesugi
Kenshln.”
“Saya tidak berpikir itu akan tertunda lama. Tekan Ina,
ancurkan joshu dan Bushu, dan segera setelah itu kita akan
mengakhiri Kagetora,” Kansuke mengangkat kepala dan
menatap Shingen lurus-lurus. “Dalam waktu tiga atau
empat tahun ke depan, kita harus membunuh orang itu.”
“Tiga atau empat tahun!? Kau terlalu terburu-buru,
Kansuke.”
“Jika Tuanku tidak melakukannya, saya yakin Tuanku
juga tidak akan pernah merasa aman,” kata Kansuke.
Shingen tidak menjawab. Untuk menghancurkan ina,
Joshu, dan Bushu dan pada akhirnya menghancurkan
musuh utama Kagetora memang menjadi tujuan utama
beberapa tahun ke depan, la tidak bisa memikirkan cara lain
yang lebih baik. Kansuke merasa, Shingen juga memiliki
tujuan yang sama.
“Kansuke, kau membuat wajahmu terluka lagi.
Memangnya berapa banyak luka yang kau miliki?”
“Saya yakin ada 36. Berapakah usia Tuanku sekarang?”
“Kau pasti sudah mulai pikun, melupakan usiaku.
Sebentar lagi umurku 36 tahun. Sama jumlahnya dengan
lukamu.”
Hanya orang-orang yang duduk di dekat mereka saja
yang bisa mendengar percakapan itu. Yang lain tidak bisa
karena tertelan suara-suara rapalan mantera.
Pada Oktober tahun Tenbun ke-24, telah terjadi
perubahan; era Tenbun berganti menjadi era Koji, dan
tahun pertama Koji tersebut akan berakhir dalam 15 hari.
Kansuke meninggalkan ruangan itu, menuju beranda.
Api unggun sepanjang tepi danau masih menyala terang, la
berpikir, tidak ada cara lain mengisi hari-hari yang kosong
tanpa kehadiran Puteri Yuu selain memerangi musuh.
Kansuke puas dengan kenyataan bahwa Shingen juga
menyetujui hal Itu. Kansuke pergi menuju kamar
Katsuyori. Anak itu tertidur kelelahan, seperti tidak istirahat
selama dua hari dua malam. Kansuke memasuki kamarnya
diam-diam.
“Siapa itu?” Bersamaan dengan suaranya yang bernada
tegas, Katsuyori yang berusia 10 tahun itu terbangun. Ini
cukup menenangkan Kansuke.
“Ini Kansuke.”
“Pak tua, kau masih hidup!”
“Bagaimana mungkin aku mati? Bagaimana bisa bahagia
di akherat sana jika aku mati sebelum melihat kampanye
perang pertama mu?”
“Pak tua yang keras kepala, ternyata kau masih hidup.
Sejak ibuku meninggal, kupikir kau juga mati. Jika kau
masih hidup, aku ingin kau hidup untuk setidaknya lima
tahun lagi.”
“Kenapa?”
“Aku akan berusia 15 tahun. Aku juga ingin kau melihat
kampanye perang pertamaku.”
“Oh!” luapan emosional menjalari tubuh tua Kansuke.
“Pak tuamu, Kansuke, akan…” ia tidak mampu
melanjutkan kata-katanya. Gelombang emosi menyapu
seperti luapan. Kansuke membayangkan Katsuyori dalam
kampanye pertamanya. Dalam bayangan Kansuke, seorang
gadis muda yang dilihatnya pertama kali sepuluh tahun lalu
di Benteng Takashima menggantikan wajah muda
Katsuyori. la tidak bisa membedakan kedua wajah tersebut.
Wajah Puteri Yuu dan Katsuyori bercampur dalam
imajinasinya. Seolah Sang Puteri yang sudah tiada kembali
lagi.
Puteri Yuu masih hidup. Masih hidup! Kini, seolah
menyebarkan cahaya indah kembali menyinari Kansuke
yang akan menyongsong hari-hari gelap peperangan mulai
esok hari.
O0---dw---0O
Sebelas
Meskipun masih diliputi kesedihan atas kematian Puteri
Yuu, Shingen tetap mengirim pasukan dengan cepat
menuju Ina pada Maret tahun Koji ke-2. Kansuke pun turut
ambil bagian dalam operasi tersebut.
Saat pertempuran melawan Kiso di pegunungan, mereka
masih bisa menggunakan kuda, namun dalam operasi kali
ini, kuda-kuda tidak bisa digunakan sama sekali. Para
prajurit berbaris dalam satu deret di jalan setapak
pegunungan yang curam, sepanjang jurang dalam yang
menampakkan aliran deras sungai Tenryu. Mereka mendaki
beberapa pegunungan yang belum pernah dilintasi orang
sebelumnya.
Satu demi satu pasukan Takeda menyerang dan
menaklukkan benteng-benteng kecil yang tersebar sepanjang
lembah Ina. Selama dua minggu operasi tersebut mereka
menerima laporan bahwa Uesugi Kenshin Kagetora di
Echigo juga sudah memulai operasinya sendiri di
Kawanakajima. Pasukan Takeda bertempat di sebuah desa
kecil, di mana beberapa rumah pertanian dibangun dengan
berdekatan satu sama lain di sebuah sudut pinggiran sungai
Tenryu yang luas dan kering. Begitu menerima informasi
tersebut, mereka secepatnya mengadakan pertemuan untuk
membicarakan bagaimana menangani perkembangan baru
ini.
“Aku yakin ini bukan keadaan serius. Kita acuhkan saja
mereka untuk saat ini dan melanjutkan penaklukan
benteng-benteng di wilayah Ina. Saat Kenshin mulai
bergerak ke selatan, kita bisa menarik semua pasukan dari
Ina dan memeranginya,” kata Shingen. Kepercayaan
kepada pasukannya jelas terlihat.
“Saya setuju dengan Tuanku,” kata Kansuke. Bagi para
jenderal yang lain, tanggapan Kansuke terhadap perkataan
Tuannya sungguh tidak terduga. Biasanya Kansuke selalu
menentang gagasan Shingen dan menawarkan strategi yang
lebih berhati-hati.
Obu Saburo merupakan orang pertama yang menentang
gagasan tersebut. “Untuk musuh-musuh selain Kenshin,
saya sependapat dengan Tuan. Namun, saya dengan tegas
menyarankan untuk tidak menggunakan strategi tersebut
melawan Kenshin,” ujar jenderal muda tersebut, yang telah
mencatat keberhasilan di berbagi perang. Akiyama Hoki-nokami
juga mendukung perkataan jenderal muda tersebut.
Shingen tampak ragu meninggalkan kegiatan penaklukan
wilayah Ina saat ini dan terintimidasi oleh berita kehadiran
Uesugi Kenshin.
“Baiklah,” Shingen berusaha untuk menyembunyikan
perasaan kecewa dengan menanyakan kepada Kansuke,
“Kansuke, bagaimana menurutmu?”
“Saya memahami pendapat Jenderal Obu. Saya juga
memiliki pemikiran yang sama dengan Tuanku, jika semua
menyetujui. Namun jika ada pendapat lain, kita juga harus
mempertimbangkannya.”
“Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan?”
“Menimbang perkataan Jenderal Obu, kita harus
mengirim setengah dari pasukan kita ke Shinano bagian
utara,” kata Kansuke fleksibel. Inilah yang
membedakannya dengan Shingen.
“Siapa yang akan pergi?”
“Saya yakin sebaiknya Tuanku sendiri yang seharusnya
pergi.”
“Bukan, jangan aku,” kata Shingen, “Ini hanya untuk
intimidasi; karena itu tidak akan ada pertempuran di sana.”
“Tuanku sepenuhnya benar. Kenshin memang tidak
akan menyerang, hanya karena seorang jenderal perang
yang memimpin pasukan.”
“Aku tidak tertarik untuk pergi. Biar yang lain saja.”
“Ya, tapi jika yang pergi orang lain, pasti akan terjadi
pertempuran. Kita bisa kesulitan sendiri. Jadi pasukan itu
harus dipimpin Tuanku sendiri.”
Kansuke yakin pada gagasan untuk tidak mengirimkan
seorang pun ke Shinano adalah baik. Namun jika memang
harus mengirimkan seseorang ke sana, maka haruslah sang
jenderal perang, Shingen.
Setelah pertemuan selesai, Shingen berangkat ke
Kawanakajima, meninggalkan sebagian pasukannya di Ina.
Sudah diputuskan bahwa Kansuke akan tetap tinggal di
sana dan melanjutkan upaya penaklukkan banteng-benteng.
Sesuai dugaan Shingen, tidak ada deklarasi perang di
Kawanakajima. Uesugi Kenshin tidak pernah pindah dari
perkemahannya di kuil Zenkoji, sementara Shingen
mendirikan perkemahan di gunung Chausu. Tanpa terjadi
apa-apa selama lebih dari sebulan, pada tanggal satu Mei,
Uesugi Kenshin akhirnya membongkar perkemahan dan
kembali Echigo. Mengikuti tindakan Kenshin, Shingen juga
memimpin pasukannya kembali ke Ina.
Sementara Shingen berada di Shinano bagian utara,
pasukan Takeda, di bawah pimpinan Kansuke,
menaklukkan seluruh wilayah Ina. Semua yang menyerah
diampuni, dan yang tidak mau menyerah dihukum mati.
“Tidak ada satupun wilayah di Ina yang tidak mengakui
Tuanku sebagai pemimpin.,” kata Kansuke.
“Bagaimana dengan Mizoguchi, Kurokawaguchi, dan
Odagiri?”
“Mereka semua dihukum mati.”
“Bagaimana dengan Miyata, Matsushima, Tonojima?”
“Saya juga menghukum mati mereka.”
“Bagaimana dengan Hanyu, Inabe, dan…?”
“Mereka juga…”
“Mati?”
Kansuke tidak mengubah ekspresi sama sekali. Membuat
Shingen merasa takut.
“Berarti kau membunuh mereka semua.”
“Ya, karena mereka memperlihatkan keraguan terhadap
kepemimpinan Tuanku, saya pikir akan lebih baik
membasmi kejahatan hingga ke akar-akarnya. Namun
mereka yang selamat, tidak aku sakiti sama sekali.”
Tetapi, bagaimnapun juga, jumlah yang tidak mereka
bunuh lebih banyak beberapa kali lipat dibanding pasukan
Kansuke, dan mereka berkumpul di tepian sungai Tenryu.
Baik Shingen maupun para jenderal yang lain mengalami
kesulitan memahami bagaimana cara Kansuke, sendirian
bersama pasukannya yang berjumlah sedikit, mampu
menaklukkan begitu banyak benteng pertahanan di Ina,
yang telah membangkang terhadap Takeda selama puluhan
tahun.
Malam itu, pasukan Takeda mengadakan pesta
merayakan kemenangan.
Akiyama, sebagai pemimpin 250 orang pasukan berkuda,
diperintahkan bertanggung jawab terhadap wilayah Ina dan
melindungi Benteng Takato. Obu Saburo diangkat menjadi
jenderal 500 orang pasukan samurai berkuda dan Kasuga
Danjo-no-Chu mejadi penerus nama keluarga terkenal di
wilayah Shinano, yaitu Kosaka. la menyebut diri sebagai
Kosaka Danjo-no-Chu dan dipindahkan ke Shinano bagian
utara sebagai pemimpin 450 pasukan samurai berkuda.
Lengkap sudah semuanya; Akiyama mengawasi Ina, dan
Kosaka mengawasi Uesugi Kenshin.
Sore itu hingga larut malam, Shingen dan Kansuke saling
berhadapan satu sama lain di ruang tamu rumah pertanian
di perkemahan mereka.
“Nah, selanjutnya apa yang akan kita lakukan?”
“Mari kita menyerang Joshu.”
“Bagaimana dengan Bushu?”
“Baiklah, kita juga akan menyerang Bushu.”
“Apakah menurutmu orang lain tidak akan sependapat
lagi dengan kita?”
“Saya tidak berpikir demikian.”
Mata mereka bertemu. Shingen tersenyum, namun tidak
demikian halnya dengan Kansuke. Beberapa saat lamanya
mereka saling pandang.
“Kau tidak adil, Kansuke,” kata Shingen tiba-tiba.
“Apa maksud Tuanku?”
“Pada saat penaklukan Ina, kau mengambil posisi lebih
baik.”
“Bukan salah saya. Memang begitu adanya.”
“Kali ini, aku yang akan bertarung. Kau tidak bisa lagi
mencegahku.”
“Saya tidak akan membantah. Saya juga akan ikut
bersama Tuanku. Jangan biarkan saya di sini menjaga
rumah; itu sangat membosankan.”
Mereka berdua mulai tertawa, namun tidak lama
kemudian mereka berhenti. Keduanya sama-sama
mendadak sedih atas ketiadaan Puteri Yuu. Seolah semilir
angin dingin baru saja memasuki ruangan itu.
0=odwo=0
Sejak musim gugur tahun itu, panji Furin Kazan tidak
pernah tinggal di Kofu lebih dari setengah tahun. Layaknya
harimau lapar yang sedang mencari mangsa, pasukan
Takeda terus melakukan invasi. Mereka berkuda ke segala
penjuru, bertempur, menang, dan kembali lagi ke Kofu.
Saat itu tahun Koji ke-3 ketika Shingen memimpin
pasukannya melintasi Puncak Fuefuki menuju wilayah
Joshu di mana ia menyerang pasukan besar Nagano
Shinano-no-kami dalam pertempuran Kamejiri. Bahkan
sebelum pertempuran itu berakhir, Shingen menerima
informasi tentang Kenshin yang muncul kembali di
Kawanakajima. Segera ia menggerakkan pasukan ke
Shinano bagian utara.
Seperti biasa, kedua pasukan menghindari konfrontasi
dan menghabiskan bulan-bulan musim panas dan musim
dingin tanpa saling mengganggu. Saat Kenshin menarik
mundur pasukannya, Shingen pun melakukan hal yang
sama.
Pada tahun Koji ke-4, terjadi kembali pergantian era
menjadi tahun Eiroku ke-1. Pada bulan April tahun itu,
Uesugi Kenshin memasuki provinsi Shinano bersama 8.000
prajurit dan membakar dataran Un-no-Daira, yang berada
di bawah kendali Takeda. Shingen bertempat di Benteng
Komuro saat itu, namun ia mengabaikan ancaman Kenshin
dan lebih memusatkan perhatian pada penguatan benteng.
Keheningan mencekam merasuki kedua pasukan. Bagi
semuanya, sangat jelas akan terjadi pertempuran besar
antara Kai dan Echigo.
Pada bulan Agustus, secara tak terduga Shingen
menerima surat rahasia dari Shogun Yoshiteru yang
menyarankan perlunya dibuat perjanjian damai antara
pasukan Kai dan Echigo. Surat tersebut berisi:
Apa gunanya mengirim pasukanmu setiap tahun
memerangi Uesugi Kenshin dan menghancurkan
kedamaian di perbatasanmu; ini tidak memberi apa-apa
kepada rakyatmu selain penderitaan.
Shingen memperlihatkan surat tersebut pada Kansuke.
Kansuke segera bertanya, “Tuanku sudah memberi
jawaban?”
“Ya, sudah.”
“Apa jawaban Tuanku?”
“Ini.” Shingen memperlihatkan Kansuke sehelai surat
panjang yang ditulis di atas kertas resmi dengan tulisan
bergaya cetak. Namun, isi surat tersebut bukan berupa
jawaban kepada Shogun Yoshiteru, melainkan doa untuk
keamanan provinsi Shinano yang didedikasikan untuk kuil
Togakushi.
Tidak ada yang lebih lucu dan tak berarti bagi Shingen
dibandingkan surat berisi saran dari Shogun tersebut.
Menilai bagian akhir surat yang mengatakan, “Aku juga
akan menyarankan Uesugi Kenshin hal yang sama,”
menandakan bahwa Shogun juga mengirim surat sejenis
kepada Kenshin. Namun tidak ada respon dari Kenshin
kepada Shingen. Tampaknya Kenshin juga merasa bahwa
surat tersebut lucu dan tidak berarti.
Pada akhir Februari tahun Eiroku ke-2, seorang pendeta
bernama Zuirin mengunjungi Kai sebagai pembawa pesan
dari Shogun Yoshiteru. Di saat yang sama, terdengar kabar
bahwa Oodate Harumitsu juga dikirim ke Kenshin di
Echigo atas perintah Shogun. Shingen tidak mengatakan
hal yang sebenarnya dan tetap bersikap baik hingga
kepulangan Zuirin.
Dua bulan setelah kedatangan sang pendeta, Shingen
tiba-tiba memanggil Kansuke. Sudah tengah malam ketika
Kansuke mengunjungi Shingen di kediamannya; Shingen
tersenyum dan berkata, “Aku baru saja menerima kabar
bahwa Uesugi Kenshin menuju Kyoto untuk menemui
Shogun.” Selesai mengatakan itu, tubuhnya bergetar sesaat,
menandakan betapa inginnya ia menyerang Echigo
secepatnya.
“Ini kesempatan langka. Kita harus memanfaatkannya
dengan baik. Namun, sekarang belum saatnya menggelar
perang penentuan,” kata Kansuke.
Kansuke percaya bahwa perang dengan Kenshin harus
diadakan di padang-padang wilayah Shinano bagian utara.
Mengingat bahwa mereka bisa menyerang Echigo sekarang;
saat Kenshin berada di Kyoto. Pasukan Takeda bisa saja
menimbulkan kerusakan cukup besar pada pasukan Echigo
hingga tidak dapat memulihkan diri kembali. Namun ini
akan menyulitkan usaha untuk membunuh Kenshin.
Kansuke mengemukakan pikiran itu kepada Shingen.
“Jadi, bagaimana cara kita memanfaatkan kesempatan
ini?” tanya Shingen.
“Saya ingin Tuanku memerintahkan Kosaka Masanobu
untuk menghancurkan semua musuh kita di wilayah sekitar
Kawanakajima. Kemudian, izinkan saya membangun
benteng di sana. Begitu benteng itu selesai dibangun, kita
akan siap bertempur dengan Kenshin kapan saja.”
“Apakah kita memang perlu membangun benteng?”
“Tentu saja perlu. Saya ingin mendirikan benteng di
wilayah strategis dekat Sungai Sai atau Sungai Chikuma.”
“Baiklah, kalau kau berpikir begitu, siiahkan,” kata
Shingen pelan. Tidak menanyakan mengapa Kansuke
membutuhkan sebuah benteng di sana.
Jika pertempuran nanti menjadi penentuan hidup dan
mati, maka benteng tidak begitu diperlukan dalam sebuah
strategi. Pertempuran itu bukanlah jenis pertempuran di
mana mereka bisa menyerang dari sebuah benteng atau
mundur ke dalam benteng. Namun Kansuke tetap
menginginkan sebuah benteng. Tidak perlu besar, asalkan
kuat dan mampu menampung 200-300 orang prajurit.
Pasukan Takeda berpeluang besar untuk menang.
Pasukan Uesugi Kenshin akan mulai melemah setelah
mereka diserang. Saat itulah, sejumlah kecil prajurit dari
benteng baru tersebut akan menyerang dari samping.
Serangan terakhir yang menentukan terhadap Echigo harus
berasal dari sekumpulan kecil prajurit ini, dan komandan
dari pasukan paling penting ini haruslah Katsuyori dalam
kampanye militernya yang pertama.
Kansuke menginginkan sebuah benteng untuk Katsuyori;
ia ingin sebuah benteng di tempat strategis untuk kampanye
pertama Katsuyori. Entah apakah Shingen mengetahui
rencana Kansuke atau tidak, ternyata ia menerima gagasan
Kansuke.
Dan malam itu, tanpa sedikit pun membuang waktu,
perintah untuk maju dikirim kepada Kosaka yang bertempat
di Shinano bagian utara. Kuda-kuda pembawa pesan
dikirim secepatnya dari Kofu.
Kosaka, yang berada di Benteng Amakazari, mengikuti
perintah itu secepatnya dan menuju perbatasan antara
Shinano dan Echigo. la dengan cepat mengalahkan dan
mengambil alih beberapa benteng pertahanan. Pada bulan
Mei, ia berhasil menaklukkan Benteng Takanashi, yang
merupakan basis pertahanan terpenting pasukan Echigo.
Begitu Kansuke dikabari hal tersebut, ia langsung
meninggalkan Kofu menuju Shinano bagian utara.
Ramalan bahwa kemungkinan posisi pertempuran yang ia
harapkan akan segera terjadi antara pasukan Kai dan
Echigo; Kansuke berharap dapat membangun Benteng
Katsuyori tepat di wilayah ini. la mengendarai kudanya
perlahan ketika melewati sebuah dataran tinggi sepanjang
perbatasan Kai dan Shinano yang sebelumnya sudah
berkali-kali dilewatinya. Dulu, ia sering mengendarai
kudanya sendirian, memacu dengan kecepatan tinggi,
namun kini usia Kansuke sudah 67 tahun. Di tengah
perlindungan lebih dari 20 orang samurai, ia melihat ke
sekeliling pemandangan musim semi dari padang dan
gunung di sekeliling, sambil sesekali mengistirahatkan kuda.
Sesekali Kansuke memasukkan kelingking ke telinganya,
namun tetap mendengar bunyi genderang, dan bagi
Kansuke suara itu terdengar seperti teriakan pertempuran di
kejauhan.
Sehari setelah kedatangannya di Ueda, bersama 20 orang
pengikut, Kansuke berjalan mengikuti aliran sungai
Chikuma. la bertemu Kosaka di persimpangan antara
Sungai Chikuma dan sungai Sai. Kosaka baru kembali dari
pertempuran yang dimenangkannya, la menempatkan
pasukan di pinggiran sungai Chikuma, dan segera menemui
Kansuke bersama beberapa orang samurai, yang kemudian
beristirahat di salah satu sudut di delta sungai tersebut.
Kansuke berdiri menyambut jenderal muda yang kira-kira
seusia dengan Shingen. Kosaka adalah seorang samurai
bertubuh dan berwajah kecil dengan tampang biasa-biasa
saja.
“Saya minta maaf Tuan telah jauh-jauh datang kemari
dengan tubuh sudah tidak muda lagi,” gumam Kosaka
dengan suara rendah.
“Sayalah yang telah merepotkan. Kau telah melakukan
tugas dengan baik. Kau pasti cukup lelah,” jawab Kansi-’
dengan kesopanan yang sama. Sekarang, semua wilayah
Shinano bagian utara menjadi miliki Takeda berkat kerja
keras Kosaka.
Mereka duduk di atas kursi, saling berdampingan. Sungai
Sai mengalir sekitar 4-5 meter di depan mereka, pinggiran
sungai ditumbuhi alang-alang air. Di arah yang berlawanan
dari tempat mereka duduk, mengalir sungai Chikuma.
Matahari musim semi menyinari batu-batu putih yang
tersebar di tepi sungai dan juga pada riak-riak kecil di
sungai Sai. Suasananya begitu damai.
Di depan kedua orang samurai hebat yang berdiam diri
itu disajikan minuman sake. Mereka tampak seperti ayah
dan anak.
Kansuke sebenarnya tidak begitu mengenal Kosaka
dengan baik, kecuali bahwa ia dengan sangat mengejutkan,
begitu mahir bertempur. Jenderal muda ini jarang bicara di
berbagai pertemuan yang membahas rencana ataupun
evaluasi pertempuran. Di mata siapa pun, Kosaka tampak
seperti tidak punya pendapat sendiri dan senang
membiarkan orang lain mengambil keputusan baginya, la
menerima semua perintah yang diberikan dan
menyelesaikan dengan sempurna.
Jenis kepribadian seperti ini bersifat menguntungkan
sekaligus merugikan bagi Kosaka. Orang-orang memercayai
samurai muda ini, namun tidak pernah menganggapnya
sebagai jenderal yang hebat. Bahkan Shingen merasakan hal
yang sama. Setiap kali ada pertempuran yang agak sulit,
Shingen hanya berkata, “Kirim saja Kosaka.” Pernyataan
ini menunjukkan 80 persen kepercayaan dan 20 persen
penghinaan. Banyak orang berpikir bahwa Kosaka akan
senang dan puas selama diberi kesempatan bertempur. Saat
Ini ia ditempatkan di Benteng Amakazari sebagai
komandan di garis depan menghadapi Echigo. Tentu saja,
tidak ada seorang pun selain Kosaka yang cocok
mengemban tugas penting ini, namun di saat yang sama,
kenyataan bahwa ia dikirim ke tempat terpencil dan
berbahaya ini menjadi bukti bahwa ia tidak dianggap
sebagai pemimpin penting di antara orang-orang Shingen
yang menghadiri dewan perangnya.
Kansuke sejak dulu menyukai Samurai muda ini,
meskipun pendapatnya tentang dia tidak banyak berbeda
dengan yang lain. Sangat menyenangkan bagi Kansuke
untuk minum sake bersama seseorang di mana ia tidak
perlu khawatir berdiam diri terlalu lama. Sesekali ia
mengangkat cangkir dan membiarkan Kosaka menuangkan
sake baginya, lalu langsung diteguk.
Tiba-tiba, Samurai pendiam itu membuka mulut.
“Saya ingin meminta pendapatmu tentang suatu hal,”
kata Kosaka sembari memerintahkan pengikutnya
menyingkir agar tidak mendengarkan pembicaraan mereka.
“Apakah itu?” Kansuke mengangkat wajah.
“Saya ingin membangun sebuah benteng sekitar dua atau
tiga mil dari sini.”
“Menarik,” kata Kansuke tenang, namun dalam hati
terkejut karena maksud kedatangannya ke sini juga hendak
mencari lokasi yang baik untuk membangun benteng.
“Sebuah benteng?” tanya Kansuke.
“Ya, benar. Saya ingin membangun sebuah benteng.
Saya berencana membangun benteng, namun ingin
mendengarkan pendapatmu lebih dulu.”
“Mengapa perlu membangun benteng?” tanya Kansuke.
Kosaka mengangkat wajah menatap Kansuke.
“Saya yakin bahwa pertempuran penentuan melawan
Echigo akan terjadi di wilayah ini.”
“Kau benar.”
“Dari Kuil Zenkoji hingga Uedahara…”
“Ya.”
“Di wilayah antara Sungai Sai dan Sungai Chikuma.”
“Betul.”
“Saya yakin bahwa pertempuran tersebut akan terjadi
akhir tahun ini, atau paling lambat musim semi tahun
depan. Dengan demikian, saya pikir kita punya cukup
waktu membangun sebuah benteng di sini.”
“Kenapa kau pikir kita membutuhkan benteng untuk
perang tersebut?”
“Hmm,” Kosaka berhenti sebentar, lalu melanjutkan
perlahan, “Saya ingin menempatkan Tuan Katsuyori di
benteng ini dan mendukungnya agar beliau bisa bertahan
melalui pertempuran ini. Kita harus mencegah keluarga
Takeda dimusnahkan dalam pertempuran ini.”
Tanpa sadar Kansuke menatap tajam pada Kosaka.
Tidak ada sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Kansuke
juga menginginkan sebuah benteng untuk menempatkan
Katsuyori. Namun bagi Kansuke, gagasan membangun
benteng ini lebih sebagai antisipasi menyambut
kemenangan. Benteng itu untuk menempatkan sekelompok
kecil prajurit yang akan menyelesaikan serangan terakhir
mengalahkan pasukan Echigo, dan memberi Katsuyori
kesempatan untuk meraih kemenangan besar dan
kehormatan. Namun Kosaka punya pikiran yang
berlawanan. Gagasan itu dilontarkan untuk mengantisipasi
kekalahan Takeda.
“jadi, kau pikir sekutu-sekutu kita akan dikalahkan?”
tanya Kansuke.
“Kemungkinannya delapan atau sembilan banding
sepuluh. Sulit untuk menang,” kata Kosaka tanpa ragu.
“Dengan alasan apa?”
“Dalam pertempuran ini, tidak diragukan lagi bahwa
baik pasukan Takeda maupun pasukan Echigo akan
bertarung hingga samurai terakhir. Menilai konfrontasi
yang tiada akhir dan kepribadian Tuan Kita dan Uesugi
Kenshin, tidak terdapat kemungkinan bahwa salah satu dari
mereka akan menarik pasukannya dari perang ini.”
“Hal itu cukup jelas. Aku yakin kau benar.”
“Salah satu pihak harus menang dan yang lain harus
kalah. Dan pihak yang kalah itu…”
“Adalah pihak kita, menurutmu.”
“Ya.”
“Takeda kita akan dikalahkan?!”
“Takeda belum memiliki pengalaman dalam peperangan
yang sulit. Sejauh ini kita salalu memenangkan
pertempuran melalui strategi di mana pasukan yang lebih
kecil menang melawan pasukan yang lebih besar dan
menghancurkan mereka dengan sedikit kerugian di pihak
pasukan kita. Bagaimanapun juga, dalam pertempuran
penentuan melawan Echigo, hasil akhirnya tidak bisa
ditebak. Kedua pihak akan kehilangan semua prajurit, dan
semua perkemahan dan benteng akan jatuh dalam
kekacauan dan kebingungan total. Di sana-sini,
kemenangan atau kekalahan akan ditetapkan. Strategi tidak
akan berarti lagi. Pertempuran akan menjadi
pertarungan satu lawan satu antara hidup atau mati.
Pasukan Echigo terbiasa dengan pertempuran jarak dekat
melawan para pengikut Ikko Buddhisme. Mereka akan
menang, sementara pasukan kita yang tidak berpengalaman
dengan pertempuran jarak dekat ini akan kalah.”
Kosaka berhenti bicara. Perkataannya terdengar tidak
sopan, namun Kansuke justru mengagumi karena berani
mengatakan hal itu.
Kansuke merenungkan kata-kata Kosaka dalam diam.
Merasa seolah-olah jenderal muda itu, yang sebelumnya
belum pernah diperhatikan, secara mengejutkan telah
menyentuh titik sensitif. Kosaka melanjutkan, bergumam
dengan suara rendah tanpa ekspresi, “Jika Takeda kalah,
maaf jika saya mengatakan ini, maka pasti Tuan Kita, Tuan
Yoshinobu dan semua anggota keluarganya akan mati
dalam pertempuran. Agar keluarga Takeda tidak musnah,
maka anggota keluarga yang muda harus tetap hidup. Tuan
Katsuyori harus diselamatkan. Tidak ada yang akan
menyalahkannya atas kekalahan itu. Untuk membuat beliau
lolos dari jangkauan musuh, kita butuh sebuah benteng
untuk menghindar dari musuh, sekaligus memberi waktu
pada Tuan Muda kita untuk meloloskan diri.”
“Aku mengerti,” kata Kansuke dengan pasti. “Aku akan
membantumu sekuat tenaga membangun benteng seperti
yang kau inginkan.” Kemudian ia terdiam. Kansuke
sesekali mengisi cangkir sake Kosaka, demikian pula
sebaliknya.
Di tepi sungai yang luas, para prajurit tersebar di manamana,
terbagi menjadi beberapa kelompok. Rasa puas
dirasakan oleh para prajurit yang baru pulang dari
pertempuran yang mereka menangkan. Itulah pertama
kalinya Kansuke merasa bahwa ia bukan tandingan
Kosaka.
Perkataan Kosaka dengan sangat jelas menggambarkan
kelemahan pasukan Takeda. Shingen sudah mengalahkan
wilayah-wilayah di sekitarnya lewat strategi ulung, dan
karena itulah Takeda kini berada dalam posisi berbahaya.
Tidak seorang pun yang melihat kemungkinan ini, namun
ternyata tergambar jelas di mata Kosaka.
Perkataan Kosaka juga menyakitkan bagi Kansuke.
Tanpa ampun jenderal muda itu mengkritik strategi
Kansuke yang sudah dijalankan selama ini oleh Klan
Takeda. Strategi yang tidak akan mempan lagi menghadapi
perang melawan Kenshin. Sebagai seorang ahli strategi,
Uesugi Kenshin juga sangat hebat. Sejauh menyangkut
masalah strategi, baik Shingen maupun Kenshin sama-sama
hebat. Kenyataannya, yang akan menetukan pemenang
pada akhirnya adalah kekuatan samurai terakhir dalam
pertempuran penentuan. Itu tergantung pada kemampuan
bertarung. Seperti dikatakan Kosaka, Shingen dan
puteranya yang resmi, Yoshinobu, mungkin saja akan gugur
dalam pertempuran. Kansuke sendiri, seperti pengikut setia
lainnya, mungkin akan gugur dalam pertempuran di
Kawanakajima. Kansuke tidak pernah berpikir tentang
kekalahan. Di semua perang sebelumnya ia hanya
memikirkan kemenangan. Kepercayaan diri itu tiba-tiba
menghilang dari tubuhnya yang berusia 68 tahun, seolah
roh jahat yang menguasainya selama ini tiba-tiba
menghilang. Di bawah cahaya matahari musim semi,
jamuan kecil minum sake itu berlangsung hingga satu jam
lebih lama. Tidak satu pun dari mereka berbicara Dari sana,
Kansuke menuju Benteng Amakazari bersama Kosaka.
Kansuke ingin berada di dekat jenderal muda ini lebih lama
lagi.
0=odwo=0
Kansuke balik ke Kofu setelah itu, dan kali ini ia
membawa cukup orang untuk membangun sebuah benteng
dan kembali menuju Shinano bagian utara. Saat itu bulan
Juni.
Namun di tengah proses pembangunan benteng tersebut,
Kansuke terpaksa kembali ke Kofu lantaran menerima
kabar bahwa sementara Uesugi Kenshin berada di Kyoto
dalam rangka mengunjungi Shogun, Nagai Masakage yang
tinggal di Benteng Kasugayama menyerang wilayah
Togakushi di perbatasan wilayah Klan Takeda. Shinano
bagian utara, yang baru saja ditaklukkan oleh Kosaka, akan
menjadi medan pertempuran lagi.
Pada pertengahan Juli, Kansuke meninggalkan Kofu dan
mengambil posisi di Benteng Komuro bersama Shingen dan
para prajuritnya. Sementara itu, Uesugi Kenshin kembali
dari Kyoto dan bergabung dengan mereka yang berada di
Benteng Kasugayama. Di saat seperti ini, tampaknya akan
membuat pertempuran antara kedua bangsawan yang kuat
itu tidak dapat dihindari lagi.
Namun Kansuke tidak melupakan perkataan Kosaka.
Sebelum konfrontasi antara kedua pasukan, sebuah benteng
harus dibangun di wilayah Shinano bagian utara. Meskipun
Shingen ingin memindahkan markas ke Komuro daripada
tetap tinggal di Kofu, Kansuke menahan agar tetap berada
di sana. la cemas hal itu akan memprovokasi Kenshin.
Pada tahun berikutnya, Tahun Baru di tahun Eiroku ke-3,
sebuah jamuan tahun baru diadakan di Kofu. Para jenderal
dari semua provinsi berkumpul di sana. Pada kesempatan
itu, untuk pertama kalinya Shingen mengumumkan rencana
untuk memindahkan markasnya ke Komuro. Dalam situasi
persiapan menghadapi perang penentuan melawan
Kenshin, gagasan tersebut tampak masuk akal bagi banyaki
pihak.
Hanya Kansuke yang tidak setuju.
“Cepat atau lambat, kita memang harus memindahkan
markas, tapi Tuanku harus menunda pemindahan itu lebih
lama.”
“Berapa lama?” tanya Shingen. Seperti biasa, ia tampak
tidak senang.
“Tunggu sampai pembangunan benteng selesai. Jika
benteng itu selesai bulan Maret, Tunaku bisa melakukannya
bulan itu juga.”
Begitu Kansuke bicara, ia tidak akan berubah pikiran.
Bagi orang lain yang mendengarkan percakapan mereka,
sekilas tampak jelas sifat keras kepala khas orang lanjut
usia.
Seperti biasa, Kosaka duduk tanpa berkomentar.
Kansuke berharap ia mau mengatakan sesuatu untuk
mendukung sarannya, namun tidak demikian.
Akan tapi, setelah pertemuan itu, Kosaka menemui
Kansuke dan berkata, “Terima kasih banyak, Tuan,” lalu
melanjutkan dengan merendahkan suara, “Ada sebuah desa
di Matsui bernama Gokobuchi. Saya rasa itu tempat terbaik
untuk membangun benteng. Saya ingin Tuan berkunjung ke
sana dan melihat tempat itu barang sekali.” ia
menambahkan, “Wilayahnya berada di sepanjang Sungai
Chikuma.”
“Begitukah?”
‘Tempat itu paling ideal untuk pertahanan.”
“Kalau untuk menyerang, bagaimana?”
“Hmm, rasanya tidak ideal untuk itu.”
“Kalau memang baik untuk pertahanan…”
“Ya, Tuan tidak akan menemukan tempat lain sebagus
itu dalam hal pertahanan.”
“Kalau begitu, kita pilih tempat itu.”
Setelah diskusi singkat tersebut, mereka berpisah.
Akan tapi, melewati musim semi dan memasuki musim
panas, pasukan Echigo sesekali menyerang Shinano bagian
utara. Tidak ada waktu untuk membangun benteng.
Kansuke bisa membangun benteng itu kapan saja,
namun ia ingin mendiskusikan berbagai gagasan dan
rencananya lebih dahulu dengan Kosaka. Akan tetapi,
Kosaka tidak punya waktu untuk itu.
Kansuke melakukan perjalanan ke Shinano bagian utara
sebanyak dua kali, meninjau desa Gokobuchi di Matsui.
Sesuai saran Kosaka, memang tidak mungkin menemukan
tempat lain sebaik ini jika menyangkut pertahanan.
Tempat itu merupakan wilayah perbukitan sepanjang
Sungai Chikuma yang ikut membantu untuk
mempertahankan benteng. Mengalir dari barat laut, sungai
itu melewati tebing-tebing curam dan membentuk
penghalang besar bagi siapa pun yang akan menyerang dari
Kawanakajima. Melewati wilayah bagian utara dan timur
laut, pegunungan seperti Gunung Kanai, Senbyo, dan Ugen
saling berkumpul membentuk penghalang alami. Selain itu,
ada kemungkinan membuat jalan belakang untuk mundur
ke Benteng Amakazari. Di bagian timur, Gunung Kimyo,
Gunung Horikiri dan Gunung Tate-ishi menjulang di
sekitar bakal tempat pembangunan benteng, yang akan
menghalangi setiap prajurit berkuda untuk melintas.
Dimungkinkan juga untuk dapat pergi ke Komuro, markas
utama mereka, melalui pegunungan ini. Di bagian utara,
tanahnya tinggi dan bergunung-gunung. Satu-satunya
bagian terbuka adalah sisi sebelah barat laut yang mengarah
ke Kawanakajima, melintasi Sungai Chikuma.
Kansuke tidak keberatan membangun benteng di wilayah
ini. Yang harus dilakukan sekarang adalah menunggu
pertempuran di Shinano bagian utara mereda, sehingga
Kosaka akan punya cukup waktu luang. Saat Kansuke
melihat wilayah ini, ia berpikir untuk menamainya dengan
nama Benteng Kaizu; karena aliran Sungai Chikuma
mengalir deras, luas seperti samudera, dan benteng itu akan
dibangun di sepanjang aliran tersebut.
Pada bulan September tahun itu, mereka membangun
fondasi benteng. Kansuke berniat menyelesaikan
pembangunan benteng dalam tiga bulan, bekerja siang dan
malam. Situasi saat itu sangat genting, sehingga mereka
harus berlomba dengan waktu.
Sesuai rencana, mereka mampu menyelesaikan
pembangunan benteng tersebut di bulan November.
Benteng itu terdiri dari benteng utama, benteng bagian luar,
dan lima menara. Bangunannya dikelilingi Sungai Chikuma
dan parit besar yang memiliki lebar 47 kaki di bagian paling
dangkal. Di ujung sebelah timur laut, mereka juga
membangun sebuah kuil dan memohon restu pada dewa
Kuil Hachiman di desa dekat tempat itu.
Karena Kansuke yang bertanggung jawab terhadap
pembangunan benteng tersebut, maka Shingen
menyuruhnya memberi nama. Seperti yang sudah ia
pikirkan, Kansuke menamainya Benteng Kaizu. Begitu
selesai dibangun, Kosaka pindah ke sana dari Benteng
Amakazan sebagai perwakilan. Oyamada Masatatsu
menggantikan Kosaka di Benteng Amakazari.
Pada hari Kosaka memasuki Benteng Kaizu, Takeda
Shingen, yang sudah tinggal di Komuro selama sebulan
lebih, amper berkunjung bersama Kansuke. Kosaka
bertindak sebagai pemandu, membawa Shingen dan
Kansuke naik ke menara pengamat di sudut barat laut
benteng utama. Padang yang mengelilingi Kawanakajima,
yang dianggap sebagai bakal lokasi pertempuran
menentukan antara Kai dan Echigo, terhampar di hadapan
mereka. Aliran sungai Sai membagi padang tersebut
menjadi dua dengan kelokan kecilnya.
Di akhir musim gugur itu, mereka bertiga melepaskan
pandangan ke padang tersebut, masing-masing dengan
perasaan berbeda. Kansuke tahu betul arah tatapan Kosaka.
Padang itu, yang terpantul di matanya, tidak membawa
pikiran positif ke benaknya.
Kansuke menyimpan pemikiran yang berbeda. Saat
membangun benteng ini, gagasannya sama dengan Kosaka,
tapi begitu benteng tersebut amper selesai, gagasannya
berubah.
Tiba-tiba, pertanyaan tentang apa yang akan dipikirkan
oleh jenderal perang musuh, Uesugi Kenshin, tentang
benteng ini, memasuki benaknya. Kenyataan bahwa
Takeda membangun benteng ini tepat sebelum perang
dimulai pasti telah menimbulkan reaksi pada diri Kenshin.
Dibangunnya benteng di sini telah pula mengubah makna
setiap pohon dan rumput yang tumbuh di padang tersebut.
Mata Kansuke mulai berbinar seperti yang senantiasa
terjadi ketika berdiri di menara benteng, la harus menang,
pikirnya.
Tiba-tiba Shingen berkata, ‘Tidak satu pun benteng di
negeri ini yang mampu menyamai benteng ini,” katanya
pelan.
“Maaf, Tuanku?” tanya Kansuke.
“Ini akan menjadi benteng ideal untuk menyaksikan
rembulan. Ya, rembulan. Bagaimana kalau kita adakan
pesta di sini setiap tahun di bawah cahaya bulan.”
Jika direnungkan, memang benar bahwa pemandangan
bulan dari tempat ini pasti menjadi pemandangan paling
indah yang pernah mereka lihat. Kansuke merasa begitu
bangga dengan Tuannya. Kagum, karena Haronobu sempat
memikirkan hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan
perang, yaitu menyaksikan rembulan, sementara semua
orang mengharapkannya berfokus semata-mata pada
strategi.
Kosaka memikirkan bagaimana memanggil para prajurit
untuk menyampaikan berita kekalahan. Kansuke berpikir
soal strategi, tidak peduli bagaimana situasi akhir yang akan
terjadi kelak, ia harus mengakhiri perang ini dengan
kemenangan. Di pihak lain, Shingen sedang memikirkan
pesta di bawah cahaya bulan.
0o---dw---o0
Dua belas
Saat itu tahun Eiroku ke-4. Kenshin menunda
pertempuran melawan Shingen dan mengarahkan
serangannya kepada Hojo di Odawara. Pada saat Tahun
Baru, Kenshin berada di garis depan di Benteng
Umabayashi dan mengirim perintah tidak hanya kepada
para jenderal dari delapan provinsi di Kanto, namun juga
kepada beberapa jenderal dari Oou di luar provinsi Kanto,
untuk bergabung dengan kampanye militer kali ini.
Begitu Shingen menerima berita tersebut di Kofu dan
gentingnya situasi yang terjadi, ia memerintahkan para
jenderalnya berkumpul di Benteng Kaizu.
Jika Kenshin berhasil menghancurkan Hojo,
kekuatannya pasti akan berlipat ganda hanya dalam sekali
pertempuran itu. Selain itu dengan memanfaatkan
momentum kemenangannya, Kenshin akan memaksa maju
ke wilayah Takeda. Dalam situasi ini, sangatlah penting
bagi Takeda untuk menghimpun kekuatan mereka di
perbatasan antara Shinano dengan Echigo dan
mengarahkan pedang mereka ke jantung Echigo.
Setibanya di Benteng Kaizu, Shingen menjelaskan posisi
masing-masing jenderal dan menyiapkan penyerangan ke
Echigo. Pasukan harus tetap siaga. Shingen juga mengirim
sekelompok kecil pasukan untuk mendukung keluarga
Hojo. la tidak mampu mengirim pasukan dalam jumlah
besar karena perlu menempatkan sekelompok kecil prajurit
untuk mempertahankan Kofu. Kekuatan Takeda terpusat di
wilayah Shinano bagian utara.
Pada bulan Maret, Kenshin mengepung Benteng
Odawara bersama 96.000 pasukan yang dikumpulkan oleh
para jenderal sekutunya di wilayah Kanto dan Oou. Begitu
Benteng Odawara takluk, Shingen berencana menyerang
Echigo. Selama 41 tahun dalam hidupnya, saat inilah yang
paling mendebarkan dan paling tidak menentu yang pernah
ia alami.
Kansuke memilih untuk tetap diam selama persiapan
konfrontasi, la hanya berharap Benteng Odawara tidak akan
jatuh. Jika benteng itu jatuh, maka suka atau tidak, pasukan
Takeda harus melakukan serangan mendadak terhadap
Echigo; ketika Kenshin sedang tidak berada di sana. Lalu
Kenshin akan segera menyerang Kai. Setelah itu,
bagaimana perubahan keadaan perang selanjutnya berada
di luar perkiraan. Hal itu bukan lagi masalah strategi
maupun keahlian perang yg akan menghasilkan
kemenangan. Semua akan bergantung pada keberuntungan.
Keahlian maupun keberanian Shingen tidak akan berguna,
la tidak lagi memerlukan Kansuke atau Kosaka.
Kansuke tidak ingin membiarkan Shingen bertarung
melawan Kenshin dalam situasi perang seperti itu. Pada 13
Maret, Kenshin menggerakkan pasukan dengan kekuatan
penuh untuk menyerang Benteng Odawara. Benteng
tersebut terkenal tidak mudah ditaklukkan. Para prajurit di
dalamnya mati-matian mempertahankan benteng dengan
kekuatan luar biasa. Akhirnya Kenshin menyerah, dan di
akhir bulan itu juga, ia menarik mundur pasukannya
kembali ke Echigo.
Tampaknya Kenshin, yang harus meninggalkan Benteng
Odawara di tengah jalan, akan menyerang pasukan Takeda
kembali untuk menyelamatkan muka. Pada akhir Juni,
begitu kembali ke Benteng Kasugayama di mana ia
bermarkas, Kenshin mengistirahatkan pasukannya.
Kansuke menduga bahwa pada pertengahan musim
dingin nanti, Kenshin akan menyerang dengan pasukannya
ke Shinano bagian utara. Pasukan Echigo, yang sudah
menghabiskan waktu sebelas bulan dalam kampanye militer
mereka di wilayah Kanto, membutuhkan waktu paling
tidak sebanyak itu untuk istirahat. Tapi mereka tidak akan
menunggu sampai tahun depan, pikir Kansuke. Bagi
Kenshin yang ingin mengembalikan kehormatan karena
peristiwa Benteng Odawara, satu hari pun tidak akan
dilewatkan.
Pada malam tanggal 14 Agustus, jenderal Benteng
Kaizu, Kosaka Masanobu, menerima informasi
penyerangan Kenshin ke Shinano bagian utara. Menurut
kabar tersebut, Kenshin menyerang dengan 13.000 pasukan.
Setelah melewati Puncak Tomikura, ia memasuki Obu,
menuju Kawanakajima.
Di atas Gunung Noroshi, di belakang Benteng Kaizu,
sebuah sinyal api dikirim ke udara. Seberkas api
ditembakkan ke langit, menyemburkan percikan yang
membakar kegelapan malam.
Sinyal itu dikirim satu demi satu dari gunung yang satu
ke gunung berikutnya. Metode ini dirancang khusus untuk
mengirimkan informasi ke selatan, melalui Gorigatake,
Puncak Niki, Koshigoe, Nagakubo, dan Puncak Wada.
Berkas api dikirimkan dari satu gunung ke gunung lain
dengan ditembakkan di puncak gunung. Bersamaan dengan
sinyal tersebut, dikirim pula para penunggang kuda yang
terdiri dari dua-tiga orang per kelompok, dari Benteng
Kaizu, menembus kegelapan malam.
Pada malam tanggal 15, Shingen mengetahui berita
tersebut dari sinyal yang ditembakkan dari salah satu
gunung. Pada pagi hari tanggal 16, ia tahu berapa jumlah
pasukan musuh, dari seorang pembawa pesan kilat. Ketika
si pembawa pesan tiba, perbatasan benteng Kofu sudah
dipenuhi para samurai yang siap berangkat perang.
Sejak hari itu sampai tiga hari berikutnya, para prajurit
yang meninggalkan kota benteng terbagi dalam berbagai
kelompok dan menyiapkan formasi perang. Pada tanggal 18
Agustus, pasukan utama yang terakhir yang dipimpin
Shingen, meninggalkan Kofu.
Kansuke bergabung dengan pasukan pertama yang
paling besar saat mereka berangkat dari Kofu. Hampir 20
tahun berlalu sejak pertama kali ia tiba di sini pada tahun
Tenbun ke-I2. Kansuke merasa, inilah terakhir kalinya ia
menjejakkan
kaki di tanah ini. la membayangkan akhir dari
kehidupannya yang panjang. Meskipun tidak bisa
memperkirakan pihak mana yang akan menang, namun
tidak pernah berpikir Takeda akan kalah, sebagaimana
prediksi Kosaka. Kemenangan ini harus ditempatkan di
pundak Shingen. Mereka harus menang, apa pun caranya.
Namun, entah mengapa, Kansuke merasa tidak akan
pernah menginjakkan kaki di tanah ini lagi. Jika aku tidak
gugur dalam perang ini, aku tidak akan gugur dalam
peperangan mana pun, pikirnya, la merasa akan hidup lebih
lama jika kematian tidak segera menjemputnya, la ingin
mengendalikan takdirnya sendiri. Setiap manusia punya
waktu sendiri-sendiri untuk mati.
Kansuke menuju Benteng Takashima di Suwa bersama 5
orang pengikut, meninggalkan pasukannya yang sedang
menuju Shinano bagian utara. Karena pasukan utama
Shingen tidak akan meninggalkan Kofu sampai dua hari
mendatang, Kansuke hendak melakukan dua hal selama
dua hari tersebut Pertama, mengunjungi makam Puteri Yuu
di bukit dari Kuil Kan-non-in. Dan yang kedua adalah
menjemput Katsuyori. Hal ini tentu saja bukan rencana
Kansuke seorang, tetapi juga Shingen. la telah menyetujui
memilih perang ini sebagai kampanye militer pertama
Katsuyori.
Saat memasuki Suwa, Kansuke menemukan banyak
prajurit yang siap berangkat untuk bergabung dengan
pasukan utama dari Kofu. Dari jenderal yang memimpin
pasukan pertama, Kansuke mengetahui bahwa Katsuyori
berada di wilayah Ina, bukan di Suwa, selama enam bulan
terakhir. Wakil wilayah Ina adalah Akiyama Nobutomo,
dan ia bertanggung jawab melindungi benteng di Takato.
Karena itu, Katusyori mungkin sudah mendengar berita
penting itu di Benteng Takato dan meninggalkan tempat itu
bersama Akiyama Haruchika.
Kansuke berpikir bahwa pasukan Akiyama akan melalui
jalan yang sama dalam satu atau dua hari ini, jadi ia akan
menyambutnya di sana. Kansuke ingin mendukung
kampanye militer pertama Katsuyori. Memasuki medan
laga di samping t Katsuyori.
Mengetahui bahwa Katsuyori tidak ada di Suwa,
Kansuke memutuskan untuk tidak ada gunanya masuk ke
dalam benteng. Mereka membalikkan kudanya; dengan
menyondongkan badan ke depan, mereka memacu
melawan angin di tepi Danau Suwa. Matahari baru saja
akan tenggelam dan sinar terakhirnya terpantul merah
jingga di atas danau. Kansuke sesekali mengistirahatkan
kudanya. Tubuhnya sakit tak terkira ketika kudanya berlari,
la tidak bisa mencegah usianya yang semakin bertambah.
Saat mengistrirahatkan kuda, Kansuke merasakan angin
dingin menerpa pipi; angin musim dingin yang
membekukan tulang-tulang dan membuat ngilu.
Makam Puteri Yuu terletak di tengah perjalanan menuju
Kuil Kan-non-ln, yang menjadi kediaman beliau semasa
hidup sampai meninggal dunia. Lima tahun telah berlalu
sejak wafatnya Sang Puteri.
Dengan meninggalkan para pengikut di luar, Kansuke
menuju makam Sang Puteri sendirian, la berlutut, seolah
Sang Puteri hadir di hadapannya.
“Tuan Puteri,” ia berteriak, “Tuan Puteri, sudah lama
sekali. Saya minta maaf tidak bisa berkunjung lebih sering
lantaran sibuk dengan berbagai pertempuran. Tuan Puteri
pasti sangat kesepian. Tapi bergembiralah. Akhirnya telah
tiba waktu bagi Tuan Kita untuk berperang melawan
Kenshin. Lihatlah dari atas sana siapa yang akan menjadi
pemenang. Apakah tidak mungkin bagi Tuan Kita untuk
kalah? Tuan puteri, apakah kau mencintai Harunobu?
Tidak akan lama lagi hingga Tuan Kita menaklukkan
semua wilayah. Saya hidup sampai hari ini untuk
menyaksikan perang ini. Kalau tidak, apalah gunanya? Saya
sudah mati bertahun-tahun lalu jika bukan karena perang
ini. Saya turut menemani ketika Tuan Puteri meninggalkan
dunia ini. Bukankah saat itu musim dingin begitu
membekukan, ketika Tuan Puteri wafat? Pasti sangat dingin
untuk mati di musim dingin yang beku saat itu,” Kansuke
terus bergumam. Begitu mulai, Kansuke tidak bisa berhenti.
Kata-katanya berhamburan keluar dari mulut yang tidak
berkesudahan.
Tiba-tiba Kansuke mengangkat wajah. Lewat angin ia
bisa mendengar suara langkah-langkah kaki kuda. Itu pasti
derap kuda para pasukan yang berangkat dari Benteng
Takashima. Terdengar sampai ke tempat ini dengan
melintasi permukaan danau.
“Tuan Puteri, saya harus mengatakan satu hal lagi. Ini
mengenai kampanye pertama puteramu, Tuan Katsuyori.
Kampanye militer pertama Tuan Katsuyori yang berusia 16
tahun. Darah Suwa yang terhormat masih mengalir dalam
tubuhnya. Tuan Puteri sudah menderita begitu hebat.
Melarikan diri dari benteng di hari bersalju dan membuat
saya sangat khawatir. Rasanya seperti baru terjadi kemarin.
Namun sekarang, Tuan Puteri harus berbahagia. Darah
Suwa masih mengalir dalam…” mendadak Kansuke
berhenti bicara. Merasa mendengar suara tawa Puteri Yuu
yang jernih.
“Apa yang engkau tertawakan, Tuan Puteri?”
Detik berikutnya Sang Puteri terdengar seperti terisak.
“Apakah engkau menangis, Tuan Puteri?”
Kansuke berdiri, melihat ke sekeliling. Tanpa disadari,
kegelapan mulai turun dan menyelimuti makan Puteri Yuu.
“Tuan Puteri!”
Namun kali ini Kansuke tidak mendengar apa-apa selain
suara angin yang bertiup ke atas dari kaki bukit.
Kansuke berdiri di sana beberapa lama. Apa yang
dipikirkan Sang Puteri tentang pertempuran ini? Suara yang
kudengar tadi, apakah suara tangis, atau tawa? Apakah ia
sedih atau bahagia dengan perang ini? Kansuke berdiri di
sana, gelisah mengenai segala sesuatunya. Padahal
sebelumnya ia sangat yakin Puteri Yuu akan bahagia
mendengar berita ini, namun kini Kansuke merasa bingung.
Apa makna tawa dingin mengejek itu? Tidak, mungkin
itu bukan tawa. Jika bukan tawa, apakah suara tangis? Jika
begitu, apa maksudnya?
Tiba-tiba, entah dari mana, terdengar suara seorang
pengikutnya. “Tuan, apa saya boleh mengganggu?”
Kansuke tidak bisa melihatnya. Sosok si pengikut ditelan
oleh kegelapan. Kansuke berbalik melihat melalui pagar
seolah mencoba melihat menembus kegelapan.
“Ada apa?”
“Tuan, di kaki bukit ini, sekelompok besar prajurit
sedang melintas. Saya tidak yakin pasukan dari Kiso akan
melintasi jalan ini. Karena itu, saya yakin mereka adalah
pasukan Jenderal Akiyama dari Takato, dari wilayah Ina.”
Para pengikutnya tahu bahwa Kansuke sedang
menunggu Tuan Katsuyori, yang tengah bersama pasukan
Ina.
“Apa, pasukan Ina?”
Meskipun Kansuke merasa masih terlalu cepat bagi
pasukan Ina untuk tiba di sana, ia memerintahkan
pengikutnya itu untuk pergi dan memeriksanya. Suara
hentakan kaki kuda yang sempat menghilang karena
berubahnya arah angin kembali terdengar. Sebenarnya
Kansuke bisa mendengarnya mendekat. Pasuka tersebut
pasti sedang melintas tepat di bawah bukit.
“Benar, mereka adalah pasukan Tuan Akiyama dari
Takato, Tuanku.”
Mendengar ini, Kansuke meninggalkan makam Puteri
Yuu dan menuruni bukit, diikuti para pengikutnya.
Pasukan Akiyama berjalan dalam diam. Ada begitu
banyak pasukan berkuda dan berjalan kaki di sana-sini.
Inilah pasukan yang mengikuti pesan darurat dari Kofu dan
segera menuju Shinano bagian utara.
“Di mana Tuan Akiyama?” Kansuke meneriakkan nama
komandan pasukan sambil memacu kuda di setiap baris
pasukan tersebut.
Namun sepertinya tidak ada yang mengetahui di mana ia
berada. Beberapa orang mengatakan Akiyama berada di
bagian depan, yang lain mengatakan ia berada di belakang.
Kansuke maju ke bagian depan.
“Tuan Akiyama, apakah Tuan di sini?” Kansuke
berteriak beberapa kali, dengan cepat memacu kuda ke
depan.
Karena bulan belum akan muncul sampai tengah malam,
saat itu sangat gelap, la tidak bisa melihat apa-apa selain
pantulan kegelapan dari danau di sebelah kiri.
“Apakah Tuan Akiyama di sini?” Setelah sepuluh kali
meneriakkan nama itu, Kansuke mendengar suara anak
muda memanggil tepat di belakang, “Apakah kau
Kansuke?”
Kansuke langsung menghentikan kudanya.
“Tuan Katsuyori? Apakah itu engkau?”
“Ya, ini aku. Apakah kau Kansuke?”
“Oh!” Suara Kansuke bergetar oleh luapan emosi.
Kemudian, seseorang menunggang kuda meninggalkan
barisan mendekati Kansuke.
“Pak Tua, apakah itu kau?”
“Benar. Saya sedang mencari Tuan Muda.”
“Kansuke, bergabunglah dalam barisan.”
“Baik, Tuan.”
“Ayo kita bicara sambil jalan bersama.”
Katsuyori kembali ke barisan dan Kansuke mengikuti.
“Aku membawa 50 orang pasukan samurai berkuda,”
kata Katsuyori dengan bangga.
“Itu hebat sekali!” jawab Kansuke. Pikirnya, bukan
Katsuyori yang memimpin mereka, tapi sebaliknya,
Katsuyorilah yang dilindungi 50 orang pasukan berkuda.
Tiba-tiba, dengan perasaan tak tertahankan, Kansuke
berkata, “Tuan Muda harus memasuki Benteng Takashima
bersama 50 orang pasukan berkuda ini.”
“Apa kau bilang!?”
“Tuan Katsuyori masih terlalu cepat untuk bergabung
dalam kampanye militer Tuan yang pertama ini. Tuan
Muda harus menunggu setahun lagi.”
“Kau pasti bercanda! Aku tidak ingin mendengarmu.”
Suaranya terdengar keras kepala dan sepertinya tidak
akan bergeming sedikit pun.
“Tidak, saya tidak bercanda, ini perintah dari Tuanku.
Saya datang jauh-jauh kemari hanya untuk menyampaikan
keinginan beliau.”
“Ayahku?”
“Ya, ini perintah yang harus dipatuhi dari ayah Tuan
Muda.”
“Aku akan memohon padanya nanti.”
“Percuma saja. Menilai kepribadian Tuanku, begitu
beliau bicara, tidak akan berubah pikiran. Tuan Muda harus
menunggu setahun lagi.”
Kansuke harus menekankan itu dengan tegas. Sangat
aneh, bahkan bagi Kansuke sendiri, bahwa ia tiba-tiba
merasakan desakan untuk menghindarkan Katsuyori dari
kampanye pertamanya. Namun Kansuke yakin sudah
bertindak benar. Setelah melakukan hal tersebut, ia merasa
begitu lega.
Tiba-tiba, entah mengapa, Kansuke merasa cemas
mengirim Katsuyori ke pertempuran ini. Kansuke
kehilangan keyakinan diri. Perubahan pikiran mendadak itu
disebabkan kunjungannya ke makam Puteri Yuu. Kansuke
merasa Puteri Yuu tidak begitu gembira dengan kampanye
militer pertama Katsuyori. Tidak ada gunanya untuk
mengirim orang semuda ini ke medan perang seperti itu. la
bisa mengarang alasan kepada Shingen, nanti.
Setibanya di Benteng Takashima, Kansuke membawa
Katsuyori dan para pengikutnya keluar dari barisan dan
menarik mereka ke pintu gerbang. Di dalam benteng
tersebut, di bawah penerangan api unggun, Kansuke
melihat wajah pucat Katsuyori, dan mulutnya terkatup
rapat. Jelas sekali bagi siapa pun yang melihatnya, bahwa ia
berusaha menahan amarah. Wajahnya bagai pinang dibelah
dua dengan wajah Puteri Yuu yang sedang kecewa.
“Bukankah akan lebih baik maju berperang sebagai
penguasa Benteng Takato di Ina dan memimpin 2000 orang
pasukan, daripada bergabung dengan kampanye militer
sebagai pemimpin 50 pasukan samurai berkuda? Saya
berjanji, dengan taruhan nyawa, untuk meminta Tuan
Horunobu menjadikan Tuan Muda sebagai Penguasa
Benteng Takato dalam jangka waktu satu tahun mendatang.
Saya yakin almarhum ibu Tuan merasakan hal yang sama.”
Tidak peduli apa kata Kansuke, Katsuyori tidak
menjawab. Tanpa mempedulikan hal itu, Kansuke
mengajak Katsuyori ke taman di dalam benteng dan
berkata, “Saya mohon jagalah benteng ini. Di sini, saya,
Kansuke, hendak mengucapkan selamat tinggal.”
Kansuke merasa sudah tidak ada gunanya lagi tinggal
lebih lama, maka ia segera berbalik menuju pintu gerbang
benteng. Di sebuah tempat yang terbuka, tiba-tiba seorang
perempuan memanggil namanya, “Kansuke!” Di sana
berdiri Puteri Ogoto, salah satu sisi wajahnya memantulkan
cahaya api unggun.
“Oh…oh…itu engkau Puteri Ogoto.”
“Aku mohon jagalah dirimu, Kansuke.”
Kansuke membungkuk dan melewatinya, namun
kemudian menghadap Sang Puteri kembali. Kansuke turun
dari kuda dan berkata, “Saya mohon bantulah Tuan
Katsuyori mulai sekarang. Tidak seorang pun tahu siapa
yang akan memenangkan perang ini. Jika terjadi sesuatu,
saya ingin Tuan Puteri menjaganya…”
“Kenapa mendadak berkata seperti itu?” tanya Puteri
Ogoto. Sang Puteri melanjutkan, “Aku mungkin tidak bisa
membantu banyak, namun masih ada kedua puteriku dan
Nobumori. Nobumori sendiri sudah berumur 12 tahun.
Seperti yang kau katakan padaku dulu, aku yakin mereka
dapat banyak membantu Katsuyori.”
“Saya senang mendengarnya. Bisa berangkat ke medan
tempur dengan tenang,” kata Kansuke begitu naik kembali
ke atas kuda.
Saat meninggalkan pintu gerbang Benteng Takato,
Kansuke tidak lagi memiliki penyesalan. Merasa bisa
meninggal dunia dengan damai. Satu-satunya keinginan
yang tersisa adalah memenggal kepala Kenshin dengan
kedua tangannya sendiri.
0=odwo=0
Pasukan utama yang berjumlah 10.000 orang
meninggalkan Kofu pada tanggal 18, sesuai rencana.
Mereka kemudian melewati Puncak Daimon, di mana
pasukan tersebut mendapat tambahan 3.000 prajurit.
Mereka tiba di Koshigoe pada tanggal 21 dan menginap di
Ueda malam itu.
Para pembawa pesan tiba satu persatu dari Benteng
Kaizu dengan menunggang kuda. Shingen sudah
mengetahui bahwa Kenshin telah menyeberangi Sungai
Chikuma dan menancapkan panjinya di Gunung Saijo
dekat Benteng Kaizu. Hal itu merupakan gerakan yang
sangat berani. Sudah menjadi taktik umum dalam
peperangan seperti ini untuk membangun kemah di
seberang Benteng Kaizu dan menjadikan Sungai Chikuma
sebagai batas antara mereka. Namun kenyataan bahwa
Kenshin menyeberangi Sungai Chikuma menandakan ia
sudah memutus semua jalan untuk mundur.
Shingen kembali mendapatkan tambahan 5.000 pasukan di
Ueda yang datang dari berbagai benteng di sekitar Shinano
bagian utara. Jumlah keseluruhan pasukannya mencapai
18.000 orang.
Shingen meninggalkan Ueda pada tanggal 23. Di awal
pagi tanggal 24, mereka menyeberangi Sungai Chikuma dan
membangun perkemahan di seberang kemah Kenshin di
Gunung Saijo. Mereka menghabiskan lima hari dalam
keheningan yang mencekam.
Pada tanggal 29, Shingen kembali menyeberangi Sungai
Chikuma dan memindahkan seluruh pasukannya ke
Benteng Kaizu.
Pada bulan September, baik Kenshin di Gunung Saijo
maupun Shingen di Benteng Kaizu masih saling
berhadapan satu sama lain tanpa pergerakan dari kedua
belah pihak. I Tiba-tiba saja musim gugur sudah mulai, dan
di pegunungan serta padang-padang, cahaya matahari
mulai melemah, dan menjadi dingin. Pada tanggal 9
September, di hari Festival Krisan, semua jenderal di
Benteng Kaizu berkumpul di ruang utama benteng,
mengadakan jamuan perayaan. Karena jamuan tersebut
diadakan di perkemahan, semua yang hadir menggunakan
baju perang. Topik pembicaraan mereka adalah kapan akan
menyerang pasukan Kenshin di Gunung Saijo.
“Kita memiliki hampir 20.000 orang pasukan, sementara
musuh hanya memiliki 13.000 pasukan. Jika kita menyerbu
keluar dari benteng dan menekan mereka sekuat mungkin,
dijamin kita akan menang dengan hanya kehilangan sedikit
pasukan. Saya pikir, bukan gagasan bagus untuk menguji
semangat kita dengan menunda perang ini,” kata Obu
Toramasa. Argumen itu menggambarkan Obu sendiri, yang
percaya pada taktik biasa untuk menyerang. Akiyama dan
Kosaka berpendapat serupa.
“Bagaimana menurutmu, Kansuke?” tanya Shingen.
“Hmm,” kata Kansuke, sebelum menjawab. Apa yang ia
pahami saat ini adalah bahwa selama mereka berlindung di
dalam benteng, mereka tidak akan bisa dikalahkan. Benteng
Kaizu merupakan benteng pertahanan yang tak
terkalahkan, dimana pembangunannya dipimpin sendiri
oleh Kansuke. Benteng itu ditujukan khusus untuk
pertahanan. Mereka tidak akan pernah dikalahkan. Ini yang
diyakini olehnya. Jika mereka keluar dari benteng dan
menyerang dengan membabi buta, boleh jadi mereka
menang, namun mereka juga bisa kalah.
“Saya setuju dengan Jenderal Obu, mungkin kita akan
menang, namun kita juga bisa kalah,” kata Kansuke.
“Itu benar sekali,” kata Shingen tertawa. Merasa begitu
lucu karena Kansuke sedemikian berhati-hati dan begitu
cemas dengan strategi yang digunakan dalam peperangan
kali ini. Mereka sudah bersusah-payah menyeberangi
Sungai Chikuma dan membangun kemah mereka di
seberangnya. Namun, atas saran Kansuke yang begitu
mendesak, mereka harus mengumpulkan kembali semua
pasukan dan membawanya ke Benteng Kaizu.
“Baiklah, apa yang akan kau lakukan untuk menang?”
‘Tunggu sampai mereka bergerak. Kita putuskan strategi
berdasarkan pergerakan musuh. Jika kita bergerak sebelum
mereka, pasukan di Gunung Saijo akan melakukan hal yang
sama. Maka, hal itu akan menjadi keuntungan mereka.”
“Jadi, kita harus menunggu selamanya sampai mereka
bergerak, begitu?” tanya Shingen. ia selalu bersikap baik
dan melindungi. Gagasan Kansuke tidak sepenuhnya
sejalan dengan gagasan Shingen, namun ia senantiasa
menghormati gagasan ahli strategi tua ini, bahkan dengan
menekan pendapatnya sendiri. Shingen ingin memberi
kesempatan menang terakhir kali pada pengikutnya,
Kansuke, yang sudah menjalani berbagai kesulitan untuk
dapat berada dalam pertempuran melawan Kenshin ini.
Malam itu, Kansuke, yang sudah kembali ke kemahnya,
menerima kunjungan dari Kosaka Masanobu.
“Tuan, ada sesuatu yang harus Tuan ketahui,” kata
Kosaka.
“Apa itu?”
“Tidak banyak, namun saya yakin pasukan sekutu akan
meninggalkan benteng dan menyerang Gunung Saijo dalam
beberapa hari mendatang.”
“Benarkah?”
“Saya percaya Tuan Kita juga bermaksud demikian.”
“Hmm, dengan alasan apa?”
“Semua jenderal, termasuk di dalamnya Jenderal Obu
dan Akiyama, memaksakan gagasan tersebut.”
“Kau sendiri?”
“Saya? Saya tidak menentang gagasan tersebut. Terlepas
dari medan pertempuran di Kawanakajima dengan sungai
di tengahnya; namun dalam situasi kita saat ini, saya
percaya keunggulan dalam hal jumlah akan memberi
manfaat bagi kita.”
Kansuke berpikir dalam diam. Semua ahli perang
menyarankan rencana tersebut; Kansuke tahu bahwa
rencana itu terdengar bagus. Namun, ia tidak yakin mereka
akan menang. Mungkin memang tidak ada yang memiliki
keyakinan dalam perang ini. Tapi, jika memang ada
keraguan, kenapa harus mengambil resiko mempertaruhkan
keberuntungan Takeda?
“Jika kau berpikir hal yang sama, maka aku akan
memikirkannya lebih dalam lagi. Tapi aku harus bertemu
dengan Tuanku dan membicarakan hal tersebut
dengannya,” kata Kansuke dengan pandangan lesu. Begitu
Kosaka pamit, Kansuke segera menemui Shingen.
Begitu melihat Kansuke, Shingen langsung berkata,
“Kau sudah mendengarnya.”
“Benar. Tuanku juga berpikir untuk segera menyerang
mereka?”
“Ya.”
“Alasannya?”
“Pertanyaanmu sulit Tidak ada alasan khusus. Aku
hanya merasakan desakan untuk segera menyerang
mereka.”
“Saya tidak bisa menemukan alasan yang bagus pada
jawaban seperti itu.”
“Namun itulah yang sebenarnya… Itu yang selalu ingin
kau lakukan, bukan?” Shingen tertawa keras.
“Maaf, apa maksud Tuanku?]” Kansuke mengangkat
wajahnya dengan cepat “Itu yang selalu ingin kau
lakukan?” gumam Kansuke di balik napasnya.
Dia memaku pandangannya pada Shingen lama sekali.
Ketidaksetujuan tergambar di wajahnya.
“Saya sudah mengunjungi makam Puteri Yuu.”
“Oh, benarkah?” Shingen menjawab, “aku juga
mendengar bahwa kau menyimpan Katsuyori di Benteng
Takashima.”
“Tuanku sudah mendengarnya?”
“Berita seperti itu cepat beredar.”
“Saya sudah memutuskan untuk menunda kampanye
kemenangan Katsuyori hingga satu tahun mendatang.”
“Apa alasan penundaan itu?”
“Pertempuran ini merupakan pertempuran yang sangat
penting, jika terjadi sesuatu…”
“Jika kau sudah sedemikian bersiap diri, mengapa ragu
untuk menyerang? Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan,
bukan? Kita punya Katsuyori untuk meneruskan perang!”
“Benar, Tuanku.”
“Puteri Yuu sudah memberitahu dan meyakinkanku
untuk melakukan apa yang selalu ingin kulakukan.
‘Seranglah mereka, jika engkau ingin,”‘ kata Shingen
kembali menirukan Puteri Yuu.
Tiba-tiba Kansuke merasakan keberanian meluap keluar
dari dalam diri. la juga merasa seolah mendengar suara
Puteri Yuu.
“Tuanku!” Kansuke menyondongkan tubuh ke depan
dan berkata, “jika kita akan menyerang, kita harus membagi
pasukan kita menjadi dua kelompok. Lalu, dengan satu
pasukan, kita akan menyerang Gunung Saijo, sementara
pasukan lainnya menyeberangi sungai dan mengambil
posisi di Kawanakajima. Pasukan Echigo akan turun untuk
menyerang, meninggalkan kemah mereka di Gunung Saijo,
menyeberangi Sungai Chikuma. Lalu kita akhiri mereka
dengan pasukan kita yang menunggu di Kawanakajima.”
“Hmm, dan kapan saat yang paling tepat?”
“Secepat mungkin.”
“Besok malam?”
“Tidak.”
“Hari sesudah besok, malam hari?”
“Hmm, jika kita melakukan hal ini, maka harus malam
ini juga. Jika kita lakukan malam ini, rencana tidak akan
sempat tersebar ke luar, karena hanya Tuanku dan saya
yang mengetahui.”
“Puteri Yuu mungkin juga mengetahui.” Sambil berkata
begitu, Shingen berdiri, hendak meninggalkan ruangan,
namun kembali lagi dan berkata, “Siapa yang kau sarankan
memimpin pasukan penyerang ke Gunung Saijo?”
“Bagaimana kalau Jenderal Kosaka?”
“Baiklah, dan berapa orang pasukan?”
“12.000 orang. Di bawah komando Jenderal Kosaka,
mereka akan meninggalkan benteng pada tengah malam.
Semua pasukan di bawah komando Obu, Akiyama,
Sanada, dan Oyamada akan bergabung dengan kelompok
Kosaka. Dengan begitu kita akan punya cukup waktu untuk
mempersiapkan mereka.”
“Sisa pasukan akan menjadi 8.000 orang.”
“Benar. Tuanku sendiri yang akan memimpin mereka,
dan sebelum matahari terbit, Tuanku harus menyeberangi
Sungai Chikuma dan membangun kemah di
Kawanakajima. Yamagata, Anayama, Naito, Jenderal
Nobushige dan Shooyoken, semua pasukan mereka akan
menyertai pasukan utama. Untungnya, bulan tidak akan
muncul hingga tengah malam, yang akan menguntungkan
kelompok Kosaka. Selain itu, di awal pagi hari akan turun
kabut. Itu juga akan menguntungkan Tuanku
memindahkan pasukan utama,” kata Kansuke saat
memohon diri kepada Shingen.
Tidak lama setelah itu, semua sudut di benteng itu sudah
dipenuhi oleh para samurai yang siap berangkat. Tidak
seorang pun diizinkan mengucapkan sepatah kata; hanya
gemerincing senjata dan baju perang memecah keheningan
tersebut
Tepat sebelum bulan muncul, pasukan besar yang
berjumlah 12.000 orang di bawah komando Kosaka
Masanobu meninggalkan benteng. Mereka akan mendaki
lereng curam di Gunung Saijo untuk menyerang
perkemahan Kenshin pada jam enam pagi.
Kosaka datang menemui Kansuke dengan menunggangi
kuda.
“Tuan, saya akan meninggalkan benteng ini sebelum
Tuanku.” Kata Kosaka dengan rasa hormat. Dalam
kegelapan, Kansuke hanya mendengar suaranya.
“Aku akan mendoakan keberhasilanmu.”
“Saya juga Tuanku.”
Tidak lama kemudian, kuda Kosaka menjauh. Butuh
waktu lama bagi 12.000 pasukan untuk meninggalkan
benteng. Begitu pasukan besar yang pertama berangkat,
suasana menjadi begitu hening. Kansuke menunggu waktu
keberangkatan pasukan utama bersama sekelompok kecil
pengikutnya di lapangan terbuka di bawah salah satu
menara di barat daya. Tidak lama lagi, tidak akan ada
seorang pun tertinggal di dalam benteng.
Kansuke tetap tidak bergerak untuk waktu yang lama.
Sudah 18 tahun berlalu sejak tahun Tenbun ke-12 ketika
keluarga Takeda mulai mempekerjakannya. Sejumlah
pertempuran telah mengisi tahun-tahun yang panjang itu.
Tidak ada hal lain kecuali perang, bagi Kansuke. Seperti
halnya batu-batu besar dan kecil yang berguling di tanah,
perang juga berguling sepanjang tahun-tahun itu.
Jam empat pagi, pasukan Yamagata Masakage
meninggalkan benteng dengan mengambil posisi di bagian
depan pasukan utama. Di belakang mereka berturut-turut
adalah Pasukan Anayama Izu-no-kami, Takeda Nobushige,
dan Naito Shuri beserta pasukan mereka.
Kansuke meninggalkan benteng dan bergabung dengan
pasukan utama Shingen. Saat menengok ke belakang begitu
keluar dari gerbang benteng, tempat tersebut tampak seperti
bayangan hitam dalam kegelapan. Satu sisi langit tampak
lebih cerah dibanding sisi yang lain, namun bumi masih
tampak gelap. Bagi semua orang, benteng tersebut bagaikan
gumpalan kegelapan. Namun bagi Kansuke, benteng itu
berdiri jelas seolah tampak di siang hari. Bayangan
bangunan utama benteng, bangunan pendampingnya dan
lima menara tampak dengan jelas, karena benteng tersebut
dibangun dengan kedua tangannya sendiri.
Mereka menyeberangi Sungai Chikuma di Hirose. Kabut
tebal melayang rendah di padang luas. Shingen
menempatkan kemah perangnya di Yahatahara. Beberapa
panji yang diawali dengan Furin Kazan berkibar di tengah
kabut.
0o-=dw=-o0
Tiga belas
Sesuai rencana, pada jam enam pagi, 12.000 pasukan
terpilih yang dipimpin oleh Kosaka Masanobu akan
menyerang perkemahan Kenshin di Gunung Saijo dari sisi
lain gunung tersebut.
Shingen, yang mendirikan kemah perang di Yahatahara,
secara teratur mengirim patroli dan mengawasi dengan
seksama ke arah Gunung Saijo. Meski kabut tebal masih
menggantung dan tidak mungkin melihat jelas bahkan
dalam jarak tiga meter ke depan, masih terdengar suarasuara
teriakan ketika pasukan sekutu mereka bertempur
dengan musuh di Gunung Saijo.
Tidak lama setelah terdengar suara pertempuran,
pasukan Kenshin pasti akan terpecah dan melarikan diri ke
arah perkemahan ini, menyeberangi Sungai Chikuma.
Kemudian pasukan utama Takeda yang sedang menunggu
di sini, akan menyerang mereka sekaligus. Shingen dan
Kansuke merasa bahwa hanya masalah waktu sampai
mereka memenggal kepala Kenshin.
“Belum juga?” tanya Shingen beberapa kali setiap patroli
datang melapor. Kansuke duduk di sebuah kursi berjarak
tidak sampai 3 meter dari Shingen.
Kadang kala para samurai yang berpatroli muncul nyaris
P merangkak di tanah untuk keluar dari kumpulan kabut.
“Belum ada yang terlihat dari Gunung Saijo. Kami hanya
bisa menangkap sinyal lemah dari api kecil di beberapa
titik.”
Kansuke membahas laporan-laporan tersebut satu
persatu bersama Shingen.
“Pasukan kita pasti tertunda karena kabut tebal ini.
Kabut ini tidak seperti biasanya,” kata Kansuke.
“Ini benar-benar kabut tebal yang tidak biasa, bahkan
untuk daerah ini, namun bisa jadi menguntungkan buat
pasukan sekutu, bukan begitu?” jawab Shingen.
“Tentu saja. Bahkan, ini pastilah salah satu bentuk
perlindungan dewa-dewa Suwa.”
“Namun apa yang menguntungkan kita juga bisa
menguntungkan pihak musuh, bukan?”
“Ya, jika mereka juga menyiapkan penyerangan,” tibatiba
Kansuke mengangkat tubuh dari posisi duduknya saat
mengatakan ini.
“Saya harus melakukan patroli itu sendiri,” kata
Kansuke sambil berjalan turun menuju hamparan sawah.
Kabut mulai terangkat perlahan. Sesekali bayangan
lemah ujung pohon pinus muncul dari balik kabut, dan
secepat itu pula mereka menghilang kembali. Kansuke
berhenti setiap tiga langkah. Seolah berenang dalam kabut
tebal, dan seringkali tidak bisa mengira-ngira apa yang ada
di depan. Kansuke terus berjalan menembus hamparan
tebal tembok kabut putih. Kadang kakinya tersangkut
batang atau akar pohon dan terjatuh sebelum bisa berdiri
kembali lagi.
Kansuke dibebani oleh kecemasan luar biasa. Kini,
bukan lagi kabut tebal yang mengelilingi Kansuke,
melainkan ketakutan yang tidak jelas dan menyakitkan.
Sekarang pasukan sekutunya sedang menunggu untuk
memenggal kepala Kenshin. Namun, apakah mungkin
Kenshin juga sedang bersiaga mendapatkan kesempatan
untuk menghantam kelemahan musuhnya dalam kabut ini
dan merebut kemenangan sendiri? Tidak, itu tidak
mungkin! Lantas, apa yang menyebabkan munculnya
kecemasan ini? Dari mana perasaan cemas ini, yang terus
menggema di dalam batin, berasal?
Tiba-tiba, Kansuke berhenti dan berteriak, “Siapa itu?”
la mendengar derap kaki kuda di dekatnya. Terdengar
seperti seseorang mengendarai kudanya berputar-putar di
satu titik.
“Angin!” teriak lawan bicara.
“Gunung!” jawab Kansuke.
“Pergilah!” teriak sang pengendara kuda dan muncul
dari balik kabut dengan tiba-tiba.
“Aku Yamamoto Kansuke. Apakah kau sedang
berpatroli?”
“Ya, Tuan.” Mendengar suara Kansuke, kuda itu
mengangkat kedua kaki depannya ke udara.
“Tuan, hamparan sawah di depan kita dipenuhi oleh
ratusan pasukan berkuda.”
“Apakah mereka pasukan kita?” tanya Kansuke cemas.
“Saya pikir begitu, tapi saya belum memastikannya.”
Pasukan sekutu sedang menyiapkan formasi perang di
kedua sisi padang Yahatahara. Ya, mereka pasti sedang
mengambil posisi lebih jauh di padang tersebut, namun
sepertinya sulit menduga bahwa mereka sudah maju sampai
sejauh ini. Untuk alasan ini, harusnya tidak ada prajurit
sekutu di depan sana.
“Baiklah, kembali ke perkemahanmu!” Begitu Kansuke
berteriak, ia sendiri langsung berlari ke kemah utama di
mana Takeda Shingen menunggu. Saat itu kabut mulai
menghilang dengan kecepatan tinggi. Di kiri dan kanan
mereka, cabang-cabang dan akar-akar pohon mulai terlihat.
Saat Kansuke tiba di kemah utama, sejumlah panji yang
mengelilingi kemah dapat terlihat melalui kabut, bagaikan
tirai sutera putih yang tipis. Seiring detik yang terus berlalu,
tirai tersebut mulai tersingkap.
“Tuanku.’” panggil Kansuke.
“Bagaimana dengan Gunung Saijo?” tanya Shingen.
“Gunung Saijo mungkin sudah kosong, Tuan.”
“Apa!”
“Tepat di depan kita, dalam kabut ini, Kenshin mungkin
sedang bersembunyi.”
“Tidak mungkin! Apa yang harus kita lakukan?” teriak
Shingen, suaranya bergetar.
Tidak lama kemudian, suara terompet perang yang
mengumumkan pembentukan formasi perang, mulai
menggema dalam nada rendah. Pada saat bersamaan, tiga
ekor kuda patroli tiba satu demi satu.
“Pasukan militer besar sedang membentuk barisan
perang beberapa ratus meter dari sini, dan sayap kanan
mereka mulai bergerak maju,” kata seorang patroli.
“Sayap kiri sudah mulai menggerakkan pasukan berkuda
menuju timur,” lapor patroli kedua.
“Saya tahu bahwa pasukan di depan kita itu pasukan
Echigo. Saya kira ada lebih dari 10.000 orang.” Ketika
patroli ketiga mengatakan ini, ledakan senjata terdengar
dari arah barat.
Sebelum mereka sadar, kabut menghilang. Dataran
rendah, hutan pinus, hamparan sawah, jalanan, pohonpohon
di sekitar rumah-rumah dan sungai yang terhampar
di dataran luas itu mulai terlihat seolah muncul dari dalam
tanah.
Kansuke melihat mereka seketika. Apa yang dilihat
merupakan pemandangan paling menakutkan yang pernah
ia lihat selama ini. Ratusan, bukan, ribuan pasukan
berkuda, dalam tiga barisan panjang, bergerak menuju
Yahatahara, di mana ia dan Shingen berdiri saat ini.
Kansuke menahan napas sejenak, terperangah melihat
pasukan musuh yang terus mendekat.
Saat berikutnya, teriakan perang muncul dari kemah
pasukan sekutu. Teriakan tersebut berasal dari sayap kiri
yang dipimpin oleh Takeda Nobushige. Sekitar 700 pasukan
berkuda mendekat dalam kesatuan menuju salah satu
barisan musuh.
‘Tuanku!” kata Kansuke, “saya salah menilai musuh.
Kita menempatkan diri dalam situasi tak terduga.”
“Apakah kita akan menang?” Shingen tampak begitu
tenang.
“Kita harus menang.”
“Ya, kalau tidak, nyawa kita taruhannya.”
“Bukan hanya nyawa kita, juga arwah leluhur yang
berhak atas kemenangan ini. Jika kita kalah, akan menjadi
kekalahan tak termaafkan bagi mereka.”
“Aku belum ingin mati. Aku akan tetap hidup,” kata
Shingen seolah berkelakar. Tersenyum sendiri mendengar
kata-katanya.
“Kansuke, hingga pasukan Kosaka tiba, pertempuran ini
akan menjadi sebuah kekacauan. Pastikan kau tidak mati
dalam kekacauan ini.”
“Saya juga menyarankan hal yang sama kepadamu,
Tuanku,” jawab Kansuke, senyum menghiasi wajahnya.
Kansuke setuju dengan Shingen. Semua jenderal terlatih
dalam angkatan perang Takeda, seperti Kosaka, Obu, Baba,
dan Oyamada, berada dalam pasukan yang akan
menyerang musuh yang seharusnya berlokasi di Gunung
Saijo, namun sekarang tidak lagi. Kemenangan tergantung
pada kapan pasukan besar Takeda yang berjumlah 12.000
orang itu bergabung dengan mereka di medan laga. Jika
mereka bisa bertahan sampai saat itu, kemenangan akan
bisa diraih. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku tidak
akan membiarkan Shingen mati di medan ini, pikir
Kansuke. Bertekad untuk tidak meninggalkan sisi Shingen.
Bersiap mati demi Shingen.
Teriakan perang terdengar dari segala penjuru medan
pertempuran. Pasukan Yamagata Saburohyobei tiba,
memotong ke barisan tengah. Demikian pula pasukan
Naito Shuri dan Morozumi Bungo di sayap kanan yang
juga mencoba memotong barisan musuh. Kansuke tidak
pernah mengira akan menempatkan prajuritnya melawan
pasukan Kenshin dalam situasi sesulit ini. Sejak lama ia
sudah merencanakan strategi untuk menghadapi saat seperti
ini. Namun yang terjadi di hadapannya, sama sekali
berbeda dari yang ia bayangkan.
Kabut sudah benar-benar menghilang; menampilkan pagi
musim dingin yang terasa tenang. Jubah berwarna merah
yang dikenakan Shingen tampak terang, la duduk di kursi,
mengenakan jubah perang yang dijahit dengan benang
hitam dan helm perang khas Klan Takeda dari wilayah
Suwa. Kansuke duduk di sebelahnya. Kepalanya yang
tercukur dibalut sehelai kain putih, dan ia juga mengenakan
baju perang berhias benang sutera hitam.
Tiba-tiba, teriakan perang semakin membesar, dan
ringkikan kuda memekakkan telinga juga terdengar pada
saat yang sama. Jelas sekali bahwa saat ini kedua pasukan
sudah saling bertarung.
0o-dw-o0
Sejak awal, perang ini sudah begitu sulit buat pasukan
Takeda. Ada perbedaan jumlah yang sangat besar antara
kedua pihak; kesalahan strategi mereka mengurangi
kepercayaan diri para prajurit sekutu. Bagaimanapun juga,
pasukan Takeda harus menghadapi serangan kejutan
mendadak pasukan Echigo yang jauh lebih besar dan lebih
kuat.
Mereka harus menang. Dan untuk menang, mereka
harus bertahan dengan posisi militer yang lebih lemah,
sampai 12.000 prajurit pasukan sekutu mereka bergabung
dalam barisan. Kansuke tidak memiliki keinginan apa pun
selain ini. Sudah tidak ada lagi ruang untuk strategi. Perang
itu kini murni menjadi pertunjukan kekuasaan dan
kekuatan. Kenshin telah memperdaya Kansuke kali ini.
“Bagaimana keadaan Nobushige?” tanya Shingen. la
tidak melihat ke barisan perang; matanya setengah tertutup,
bertanya dengan suara lebih lemah dari biasanya.
“Mereka belum sampai ke tahap untuk menyerah.”
“Hmm, mereka bertahan dengan baik, ya?” kata
Shingen. Dari caranya mengatakan hal itu saja sudah
terdengar nada hangat di telinga Kansuke. Bahkan dari
sana, Kansuke bisa melihat pertarungan mati-matian
Nobushige. Hanya dengan 700 pasukan, mereka dapat
bertahan dengan gigih melawan pasukan musuh yang
jumlahnya beberapa kali lebih besar. Meskipun pasukan
sekutu berulang kali dipukul mundur, mereka kembali maju
dan selalu berusaha mendesak.
Seringkali Kansuke merasa mereka dalam bahaya,
karena pasukan musuh yang baru dan masih segar secara
teratur maju ke depan. Hampir di saat yang bersamaan,
pasukan Nobushige yang sudah bertahan sedemikian lama,
berhamburan. Sungguh pemandangan menyedihkan.
Karena jumlah mereka jauh lebih kecil dibanding pasukan
musuh, maka dalam sekejap mereka tertelan oleh
gelombang pasukan musuh yang berlipat.
Kemudian, 1000 pasukan di bawah Yamagata muncul
dari samping dan mencoba memotong barisan musuh.
Taktik serangan itu sangat bagus dan mengagumkan di
mata Kansuke.
“Pasukan Tuan Nobushige jatuh, tapi…” Kansuke
memulai.
“Yamagata, ya?”
“Benar, Tuanku.”
“Kita bisa bergantung padanya dalam hal itu. Bagaimana
dengan sayap kanan?”
“Pasukan Morozumi juga bertarung mati-matian.”
“Masih bertahan?”
“Pasukan Naito berbelok ke kanan. Sulit mengatakan
siapa yang unggul.”
Tidak lama setelah itu, mereka mendengar berita
kematian Takeda Nobushige.
“Tuan Nobushige gugur!” kata si pembawa pesan. Kuda
yang ditungganginya mendadak menjatuhkan kaki depan
dan si pembawa pesan berguling ke tanah sambil memegang
pedang panjang di tangan, la berdiri dan kembali berteriak,
“Tuan Nobushige gugur!” lalu jatuh tersungkur kembali.
Kansuke berlari ke samurai tersebut dan membalikkan
tubuhnya. Satu kaki diletakkan ke dada sang samurai dan
menarik satu persatu anak panah yang menancap. Tiga
buah anak panah menancap di tubuhnya. Samurai tersebut
sudah mati. Nobushige juga pasti kehilangan nyawanya
seperti ini, pikir Kansuke.
“Nobushige gugur. Orang yang malang,” kata Shingen.
“Saya minta maaf,” kata Kansuke. Merasa bertanggung
jawab atas semuanya, termasuk kematian saudara Shingen.
“Kansuke, aku hanya bilang bahwa dia orang yang
malang. Jangan cemas. Jam dua siang nanti, kita akan
meneriakkan teriakan kemenangan.”
“Baik, Tuanku.”
Kansuke tidak dapat mengangkat kepala. Apakah
Shingen mencoba menutupi kesalahanku? pikir Kansuke.
Atau apakah ia benar-benar percaya pada kemenangan
yang akan diraih nanti? Shingen tidak pernah menyalahkan
Kansuke atas kegagalannya. Luapan emosi melanda
Kansuke. Ingin melakukan apa saja untuk membantu
Shingen. la menyesal hanya punya satu nyawa untuk
diberikan. Kansuke menaiki kuda abu-abunya, melihat ke
segala penjuru dari perkemahan Yahatahara.
Sekarang pertempuran meledak menjadi kekacauan
sepenuhnya. Sudah tidak ada lagi barisan yang
membedakan antara pasukan musuh dan sekutu. Ini
merupakan pertempuran antara hidup dan mati. Meskipun
matahari musim dingin menyebarkan cahaya dinginnya ke
padang luas itu, namun tempat tersebut tetap diliputi
suasana kepedihan. Pedang dan tombak yang terlihat di
mana-mana berkilatan dalam keheningan.
Andai saja Kosaka ada di sini! Seandainya Baba di sini!
Seandainya Obu di sini! Entah berapa kali pikiran seperti ini
melintas dalam benaknya! Pasukan terpilih yang mahir
menunggang kuda dan menggunakan tombak panjang
berada sangat jauh dari medan tempur akibat strategi
Kansuke sendiri.
Pasukan Yamagata yang menggantikan pasukan Takeda
Nobushige sudah menyerang dalam jangka waktu lama
sepanjang barisan tengah dan sayap kiri, namun perlahan
mundur dan bertahan. Dipaksa mundur selangkah demi
selangkah.
Dalam situasi ini, di sayap kanan, Morozumi gugur
dalam pertempuran. Begitu komandan mereka terbunuh,
pasukan sayap kanan mulai melemah. Saat mengetahui
tentang kematian Morozumi, Kansuke merasa bahwa
perkemahan mereka di Yahatahara akan berubah jadi
medan perang. Karena kekalahan sayap kanan, Yahatahara
kehilangan perlindungan dan bahkan menghadapi garis
depan pasukan musuh.
“Tuanku!” panggil Kansuke. Shingen juga menyadari
bahaya yang mengancam dan berkata, “Ya, pasukan utama
Kenshin akan menyerang kemari, bukan?”
“Saya menduga demikian.”
“Kalau begitu, dapatkah kita bertahan selama dua jam?”
“Ya. Harus.”
“Jika kita mampu bertahan selama dua jam, kita akan
menang. Sampai saat itu, pasukan Kosaka akan tiba di
belakang mereka.”
“Ya, pasti.”
Kansuke mengirim pesan ke segala penjuru. Mereka
harus mempertahankan Yahatahara. Di kemah utama
hanya tersisa 1.800 prajurit. 1000 pasukan di sayap kiri
dipimpin oleh Hara Hayato dan Takeda Shoyoken,
sementara 800 pasukan di sayap kanan yang dipimpin oleh
Takeda Yoshinobu dan Mochizuki Kanhachiro, maju ke
depan. Maka, setiap prajurit di kemah Takeda akan
bergabung dalam pertempuran.
Tidak lama kemudian, Kansuke mendengar teriakan
perang begitu keras mengguncang tanah, la melihat 3.000
pasukan Echigo menuju ke arah mereka melintasi dataran
dengan jarak hanya beberapa ratus meter dari mereka.
Tepat seperti apa yang mereka ramalkan.
Untuk pertama kalinya Shingen memberi komando, la
perintahkan seluruh pasukan di kemah utama
meninggalkan Yahatahara dan menghadapi musuh.
“Apakah Tuanku akan berkuda bersama pasukan Tuan?”
tanya Kansuke bergegas kepada Shingen.
Shingen masih duduk di kursinya, menggeleng. Sama
sekali tidak bergerak. Duduk seperti boneka prajurit.
“Tuanku, saya akan berangkat.”
Kansuke bertekad untuk memimpin pasukan perang.
“Apakah kau sudah melihat pasukan?”
“Belum, belum ada, Tuanku.”
“Baik, pergilah!” kata Shingen. Mata sang komandan
perang itu bersinar.
Kansuke berkuda hingga ke padang yang lebih tinggi
letaknya, la melihat ke ujung padang luas itu. Kansuke
tidak melihat satu pun pasukan sekutu mereka di sana. Apa
yang terjadi pada Kosaka! Bagaimana dengan Baba?
Kansuke merasa begitu terpuruk dalam keputusasaan.
Kansuke membuat 200 orang pasukannya tetap berada di
tempat dan menunggu saat yang tepat bagi pasukannya
sendiri untuk maju sebagai pelindung terakhir bagi Shingen.
Anak-anak panah secara teratur menabrak pohon-pohon
pinus dan jatuh ke tanah. Suara ledakan senjata begitu jelas
terdengar. Teriakan perang terdengar di mana-mana.
Ladang pembantaian hanya berada beberapa ratus meter di
depan Kansuke. Kedua pasukan saling bertarung dan
berjuang mempertahankan nyawa masing-masing.
Kansuke menunggangi kudanya bolak-balik di tempat
yang sama berulang kali. la berdoa kepada para dewa
semoga sekelompok pasukan itu akan muncul di ujung
hamparan padang ini. Kemenangan mereka tergantung
kepada pasukan itu. Tidak ada jalan lain.
“Tuanku,” Kansuke kembali menghadap Shingen.
Shingen berkata, “Bukankah seperti ini juga ketika
pertempuran melawan Murakami Yoshikiyo? Tidak
seorang pengikut pun yang berada di sekitarku.”
Ya, itu benar, dan bukankah ia meneriakkan teriakan
kemenangan dalam pertempuran melawan Murakami
Yoshikiyo?! Kansuke merasa itulah yang ingin dikatakan
Shingen. Bahkan dalam pertempuran seperti ini, Shingen
hanya memikirkan kemenangan. Tidak ada bayangan
kematian atau keputusasaan dalam dirinya.
Sementara itu, formasi pasukan Takeda Shoyoken
terpecah dua, dan Kansuke melihat 30 prajurit penunggang
kuda saat kelompok tersebut terbagi dua. Mereka maju
dengan kekuatan penuh.
Kansuke memerintahkan pasukannya menunggu prajurit
mendekat. Sekarang waktunya bagi setiap pengikut untuk
terlibat dalam pertumpahan darah.
Pertempuran sudah berlangsung satu jam. Kansuke
belum pernah mengalami pertempuran sesulit dan sekeras
ini. Musuh bertekad menghancurkan kemah utama Shingen
dalam satu serangan. Sekelompok pasukan memotong ke
pasukan pertahanan kemah utama Takeda dari waktu ke
waktu. Setiap kali mereka melakukan, teriakan, jeritan dan
ringkik kuda bergema di tanah. Pasukan Takeda selalu
berusaha mengepung dan membunuh setiap musuh.
Sungguh pertempuran yang sangat mengesankan.
Kansuke secara teratur menggerakkan pasukannya ke
kanan dan ke kiri. Tugasnya adalah tidak membiarkan satu
pun pasukan musuh mendekati kemah utama tempat
Shingen berada. Namun, jumlah pengikutnya semakin
berkurang setiap kali mereka bergerak.
Setiap kali berhenti untuk mengambil napas, Kansuke
memeriksa kemah utama di hutan pinus. Di tengah padang
di mana 20.000 prajurit sedang bertempur, hanya bagian itu
yang tetap diam. Panji-panji Takeda tetap berdiri tegak.
Belum ada satu pun pasukan musuh yang menembus ke
sana. Namun, itu cuma soal waktu. Ini adalah pertempuran
melawan waktu. Kekuatan Echigo akan segera memenuhi
wilayah ini.
“Yamamoto Kansuke!”
Kansuke berbalik ke arah suara tersebut. Itu suara putera
resmi Shingen, Yoshinobu, yang berlari mendekat. Berusia
24 tahun, kening jenderal muda itu terluka dan pipi
kanannya berlumuran darah.
“Jagalah ayahku, Kansuke. Jangan bergerak dari sini.”
“Tuan Muda sendiri bagaimana?”
“Aku akan menyerang kemah utama musuh. Jika kita
biarkan keadaan ini, pasukan sekutu akan hancur. Lainnya
aku percayakan padamu. Aku, Yoshinobu, akan menyerang
kemah utama musuh.”
Berhasil atau tidak, Yoshinobu bermaksud menembus
kemah utama musuh dan memenggal kepala Kenshin. Tapi
itu tidak mudah, bahkan untuk mencapai kemah Kenshin.
Ribuan prajurit musuh akan menghalanginya.
Untuk waktu yang lama mata Kansuke terpaku di wajah
Yoshinobu. Kansuke sudah lama menentang kekuatan yang
mengelilingi anak muda ini. Dari kekuatan itu, Kansuke
melindungi Puteri Yuu dan anak-anak Shingen yang tidak
resmi, seperti Katsuyori dan yang lain. Namun, sekarang
Kansuke berpikir bahwa ia membenci jenderal muda ini
untuk alasan yang salah, hanya karena ia anak dari istri
resmi Tuannya.
Matahari musim dingin bersinar lembut menerpa helm
perang Yoshinobu yang berhias lambang keluarga Takeda;
gambar kepala naga di lempengan logam berbentuk berlian.
Benang berwarna ungu yang terjahit di baju perangnya
tampak sobek dan kudanya terluka.
Setelah beberapa saat, Kansuke berkata pelan, “Sayalah
yang seharusnya melakukan pekerjaan itu, bukan Tuan
Muda. Seperti Tuan Muda bilang, jika kita b iarkan keadaan
ini, kita tidak akan bertahan bahkan satu jam. Pasukan
sekutu yang sangat kita harapkan kedatangannya, belum
juga tiba karena alasan tertentu.”
Saat ia bicara, matanya menerawang ke cakrawala.
12.000 pasukan mereka yang dipimpin Kosaka belum juga
muncul di padang itu. Tidak satu orang pun.
“Saya, Kansuke, akan menyerang kemah utama musuh.
Tuan Yoshinobu, tetaplah di sini. Saat sayap kanan dan kiri
sudah tidak dapat lagi bertahan, Tuan Muda, mohon bawa
Tuan Kita mencari jalan keluar meloloskan diri ke Benteng
Kaizu.”
“Tidak,” Yoshinobu menggeleng kuat-kuat, mencoba
mengatakan sesuatu.
Kansuke menyela, “Saya mohon Tuan Muda tidak
bertindak ceroboh. Hidup Tuan berbeda dengan saya. Tuan
adalah putera resmi keluarga Takeda yang sangat penting.”
Ujarnya, padahal inilah bocah yang dulu pernah ingin
dihancurkan oleh Kansuke demi Katsuyori—putera Puteri
Yuu—yang ia lindungi. Tanpa diduga dan berbahaya,
takdir sedang mendekati Takeda. Di saat-saat seperti ini,
tidak peduli siapa pun dia, selama di tubuhnya mengalir
darah Takeda, ia harus dilindungi.
“Tidak!” Yoshinobu tidak mau mendengar Kansuke,
mencoba membelokkan kudanya dengan kasar.
“Tidakkah Tuan mengerti?” teriak Kansuke. “Jangan
bergerak dari tempat ini. Jika bukan Tuan yang melindungi
E Tuan Kita, siapa lagi?”
Kansuke perlahan maju, kemudian berbalik dan mulai
mendaki menuju kemah utama di mana Shingen sedang
mengawasi.
Shingen berdiri tegak, menyandarkan tangan kanan di
sebatang pohon pinus, la memandang ke medan
pertempuran dengan ketenangan yang begitu agung.
Tuanku, engkau sudah menjadi seorang komandan
perang yang hebat, begitu yang ingin disampaikan Kansuke.
la belum pernah terlihat begitu mengagumkan seperti
sekarang ini. Sampai detik itu, setiap kali pertempuran
dimulai, Shingen selalu berada di atas kuda. Selalu ingin
memberi komando dan memimpin pasukannya sendiri.
Namun hari ini, dalam pertempuran di mana kemungkinan
besar ia akan kalah, Shingen begitu tenang dan terkontrol
sejak awal, seperti sosok yang berbeda. Shingen
menyerahkan semua kepada para pengikutnya. Segalanya,
kecuali keputusan-keputusan yang paling penting.
Sambil membiarkan tangannya bertumpu di pohon
pinus, Shingen mengalihkan pandangan dari satu sisi
medan pertempuran ke sisi yang lain. Wajahnya bukan
wajah seorang komandan perang yang sedang mengamati
pertempuran yang akan kalah. Kansuke ingin
memperlihatkan sisi Shingen yang seperti ini kepada Puteri
Yuu. Inilah wajah seorang komandan perang paling hebat
di seluruh negeri.
Kansuke membalikkan kudanya dan mengumpulkan
semua pengikut yang masih bertahan.
“Sekarang kita akan memacu kuda kita menembus
wilayah musuh dan menyerang kemah utama mereka. Pacu
saja kuda kalian menuju kemah utama. Jangan hiraukan
apa yang terjadi di sekeliling. Saat ini, hidup kalian adalah
milikku._
“Oooooll” Terdengar teriakan keras dari para
pengikutnya.
Sesaat kemudian, Kansuke memacu kudanya menuju
sudut berlawanan dari pertempuran itu. Di tengah
perjalanan ia menengok ke belakang, melihat para samurai
yang mengikutinya. Jumlah mereka jauh lebih besar dari
yang Kansuke bayangkan.
Musuh mengepung. Kansuke menyondongkan badan ke
depan. Tampak seperti sedang menjilati leher kuda.
Kansuke memegang pedang di satu sudut, mata pedang di
sebelah pipinya.
Sepanjang waktu Kansuke menahan sakit di sekujur
tubuh, la tebaskan pedang ke arah musuh dan musuh
melakukan hal yang sama.
Begitu mendapat kesempatan melihat ke depan, Kansuke
melihat dirinya sedang menembus dinding dari sekumpulan
mata pedang. Tiba-tiba kudanya merubah arah dan berlari
kencang seperti kerasukan. Kuda tersebut tetap berlari
sejauh 60 meter, lalu dengan tiba-tiba berhenti dan
membengkokkan kaki belakang seperti hendak duduk. Saat
itu ia berada di kaki sebuah bukit kecil.
Kansuke terlempar ke tanah.
Saat mencoba bangkit, Kansuke menahan napas. Secara
mengejutkan ia mampu melihat padang yang terhampar
dari tempatnya berdiri. Bisa melihat hamparan sawah dan
padang yang ditumbuhi ilalang dan sebuah danau. Di ujung
padang luas itu ia bisa melihat banyak titik-titik kecil
menyebar ke segala penjuru, memenuhi wilayah tersebut.
Akhirnya mereka tiba, pikir Kansuke. Saat berbalik hendak
melihat ke arah hutan pinus, sejumlah kuda tunggangan
melintas dengan kecepatan penuh.
Kansuke berdiri tegak. Beberapa samurai musuh
mendesak dari sebelah kanan, la mulai berjalan menuju
mereka dengan limbung. Kansuke membunuh satu orang,
namun bahunya juga terluka. la membunuh seorang lagi,
namun kakinya terenggut dari bawah tubuhnya; ia terduduk
di tanah.
Tuanku, pasukan kita sudah tiba. Sekarang engkau akan
menang dan meneriakkan kemenanganmu!
Sebilah pedang menembus perut Kansuke dari samping,
la berdiri menggenggam kepala pedang itu.
Titik-titik hitam itu semakin bertambah jumlahnya.
Di sudut hutan pinus di mana Shingen berada, masih
berdiri panji Furin Kazan, dan di sekeliling panji tersebut
berdiri panji-panji Takeda lainnya. Pasukan Takeda
Yoshinobu pasti juga sedang melindungi kemah utama.
Dalam pertempuran ini, tibanya 12.000 prajurit
menjanjikan kemenangan. Kemenangan itu mendekat
dalam hitungan menit. Dia tetap harus hidup, pikir
Kansuke.
“Yamamoto Kansuke, aku akan memenggal kepalamu,”
Kansuke mendengar suara seorang anak muda. la coba
melihat ke arah suara tersebut, namun tidak bisa. Sambil
menggenggam kepala pedang yang menembus tubuhnya,
Kansuke mencoba mengangkat pedang panjangnya.
Namun tidak terjadi apa-apa.
”Tuanku! Teriakkan kemenangan kita! Mereka akan
segera tiba di sini.”
Rasa sakit kembali menusuk bahu. Kansuke terbanting
beberapa meter, seperti dibetot seseorang dengan kepala
pedang yang menonjol keluar dari tubuhnya, lalu menabrak
sebatang pohon pinus. Kansuke bertumpu di pohon
tersebut; masih memegang pedangnya dan bersiap untuk
menyerang.
Saat paling hening dalam hidupnya pun tiba. Meskipun
jeritan dan teriakan perang memenuhi ruang antara langit
dan bumi, Kansuke merasakan keheningan. Wajah Itagaki
Nobukata muncul, la berkata, “Kau sudah hidup untuk
waktu yang lama. Sepuluh tahun setelah aku mati!”
Kemudian, wajah Puteri Yuu muncul, la tertawa seperti
ketika Sang Puteri sedang merasa bahagia. Tawa tersebut
mendekat seperti sebuah mutiara menggelinding ke
arahnya.
“Lihatlah luka-lukamu. Kau dilahirkan dengan wajah
begitu buruk, dan kau semakin menambahkan luka ke
wajah itu!” gaya khas Puteri Yuu saat mengolok-oloknya
terdengar menyenangkan. Kansuke merasa berbahagia
karenanya.
“Aku yakin namamu Yamamoto Kansuke, tapi sebutkan
namamu dulu,” Kansuke mendengar suara seorang anak
muda, merusak kebahagiaan sesaat yang dirasakan. Entah
mengapa Kansuke merasa puas gugur di tangan seorang
samurai muda.
“Ya, benar, akulah sang ahli strategi Klan Takeda,
Yamamoto Kansuke.”
Saat mengatakan hal itu, Kansuke merasakan pedang
dingin yang akan mengakhiri hidupnya bergerak menebas
leher.
Darah menyembur. Kepala sang ahli strategi Yamamoto
Kansuke lepas dari tubuh pendeknya.
Saat itu, di satu sudut padang tersebut, kelompok
pasukan berkuda Kosaka, Baba, dan Obu, yang sudah
melintasi sungai, menyerbu bagian belakang pasukan
Echigo.
Di saat yang bersamaan, komandan perang Echigo,
Uesugi Kenshin, yang sudah membungkus helm perangnya
dengan bahan sutera lembut berwarna putih yang tampak
seperti rahib, menarik pedangnya yang sepanjang dua
setengah kaki dan memacu kuda cokelatnya, la berniat
untuk menyerang Shingen sendirian dan memutuskan siapa
yang menjadi pemenang dalam satu tebasan pedang.
Masih dua jam berlalu hingga tiba jam dua siang ketika
Shingen meneriakkan kemenangan, seperti yang sudah ia
ramalkan.
Sejak saat itu, penampilan padang tersebut perlahan
berubah. Matahari menghilang di balik awan. Di langit
sebelah barat daya, awan hitam mulai berkumpul.
Tamat

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...