Nama Sawahlunto yang menurut asal-usul yang diturunkan secara lisan, berasal dari kata sawah dan lunto. Lunto juga adalah nama sungai yang biasa disebut sebagai Batang Lunto yang menjadi sumber pengairan bagi sawah di kawasan tersebut, anak sungai yang berhulu di lembah bukit Nagari Lumindai dan mengalir menuju Nagari Lunto.
Cerita lain mengenai asal kata Lunto diturturkan dalam legenda tentang sebuah pohon besar yang berbunga dan selalu menarik perhatian orang yang melewatinya, namun tak seorangpun yang tahu apa nama pohon besar yang senantiasa berbunga itu, sehingga setiapkali ada yang bertanya, penduduk setempat selalu menjawab “alun tau” yang dilafalkan secara cepat dan singkat, sehingga lama-kelamaan terdengar seperti luntau =lunto.
Alun tau dalam bahasa Indonesia berarti belum tau.
Sawahlunto hanyalah sebuah kampung kecil, dikelilingi hutan belantara, bukit-bukit yang saling sambung menyambung dengan dataran rendah yang sempit.
Tata letak kota seperti wajan penggorengan. Letaknya terisolir. Tidak menggairahkan dari sudut ekonomi, pikir para petinggi Belanda.
Para pejabat Belanda di Batavia tak menoleh sedikitpun ke kampung kecil ini. Mereka lewati saja. Bahkan mereka telah memilih Sijunjung sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan kontrolir untuk daerah Kota VII.
Jumlah penduduknya juga tak banyak. Digabung dengan kampung-kampung kecil seperti Kubang, Bancah, Sijantang, penduduknya diperkirakan Belanda hanya 500 orang pada pertengahan abad ke 19.
Tentu saja ini perkiraan kasar, mungkin kurang atau mungkin saja berlebih, karena tak ada sensus terinci. Yang penting, menghitung penduduk punya alasan ekonomi, tentunya untuk menarik pajak.
Karena diselubungi hutan belantara, kampung ini seolah-olah tak berpenghuni. Rumah-rumah penduduk hampir tak nampak, diselimuti dedaunan rindang pohon-pohon tinggi.
Wow.....pemandangan indah. Tapi kampung sepi, bisik van Kool, Menteri Koloni Belanda kepada salah seorang petinggi Belanda yang menemani perjalanannya ke Sawahlunto.
Van Kool sengaja datang ke Sawahlunto pada tahun 1901. Tentu saja kita heran, apa sebab Menteri Koloni Belanda justru mau datang ke kampung kecil itu di tengah hutan belantara itu?
Emas Hitam!!!!. Emas Hitam!!!. Ya, Emas hitam atau batubara yang berada di perut bumi Sawahlunto membuat para petinggi rela datang. Rela datang dari jauh. Naik kapal berbulan-bulan. Mengharungi laut lepas, kadang-kadang diterjang badai, demi batubara, ya batubara yang bisa disulap menjadi lembaran-lembaran gulden. Batubara?
Ya demi batubara. Inilah masalahnya. Inilah kisahnya. Batubara dan Orang Rantai adalah dua kata yang membuat para petinggi Belanda sibuk untuk menggais keuntungan dengan menggunakan sistem perbudakan.
Orang rantai? Siapa mereka? Ada apa dengan mereka di Sawahlunto, kok sampai Menteri Koloni datang untuk menyelesaikan masalahnya? Hubungan apa kiranya antara orang rantai dengan emas hitam?
Begini ceritanya.
Orang rantai atau urang rantai dalam bahasa Minang atau Kettingganger dalam bahasa Belanda adalah istilah yang sudah begitu mafhum bagi orang-orang tua di Minangkabau. Sawahlunto, Orang Rantai, dua kata yang selalu berangkai dan memiliki arti dalam bagi kebanyakan orang tua di Minangkabau. Tetapi apa kisah dibalik kehadiran mereka di sana?
Tak banyak yang tahu.
Dirantai di leher, tangan dan kaki, mirip para tawanan pekerja paksa Inggris yang dikapalkan ke benua kanguru, Australia untuk membangun jalan-jalan kereta api atau pun juga untuk membuka tambang-tambang yang bertebaran di benua itu.
Lalu siapa saja yang digelari orang rantai Sawahlunto itu? Sebagian mereka ada yang menjadi tawanan politik Belanda. Dan sebagian lagi, ada pula yang berasal dari para kriminal, para penjahat kelas kakap atau yang dianggap ’penjahat’.
Para tawanan politik Belanda itu, adalah orang-orang yang melawan Belanda. Mereka ingin mempertahankan tanah nenek moyang mereka yang dirampas Belanda.
Mereka adalah orang-orang tidak mau menjadi ’kacung Belanda”. Belanda menganggap mereka teroris, merusak wibawa dan kekuasaan Belanda, suatu ketakutan yang luar biasa yang hinggap di kalangan tuan berwarna kulit putih itu.
Siapa yang disebut orang rantai dan bagaimana kisahnya sampai di Sawahlunto?
Ada seorang pendekar sakti digjaya di dunia persilatan di pulau Bangka.
Sebut saja Kakek Udin. Menurut cerita salah seorang cicitnya di Sungailiat, ia mempunyai banyak murid. Mereka datang dari mana-mana untuk berlatih silat, mempertahankan negeri dari ancaman kekuasaan Belanda.
Takut menjadi ’pengacau’ Belanda di pulau timah itu, Belanda memenjarakan pendekar sakti ini, mengusirnya dari Bangka, dikirim ke dan menjadi orang rantai di Sawahlunto.
Lalu siapa itu kriminal? Sesuai namanya, kriminal itu adalah para perampok, pembunuh yang dipenjarakan karena ulahnya.
Ya, karena ulahnya membunuh orang, merampok rumah-rumah orang-orang kaya di kota-kota besar. Tidak jarang pula mereka sekaligus membunuh para pemilik rumah. Kalau di Batavia nama-nama seperti si Usup, Entong dan Mamang tak asing lagi. Orang-orang Betawi begitu takut kepada mereka.
Mereka merampok rumah-rumah Belanda di daerah Meester Cornelis (Jatinegara), Kemayoran dan Kota. Mereka ditangkap dan dijebloskan ke penjara Cipinang dan Glodok. Tetapi, karena banyak ilmu atau bersekongkol dengan sipir penjara, mereka bisa melarikan diri. Entah bagaimana caranya. Belanda tentu saja gusar. Akhirnya mereka dikirim ke Sawahlunto, menjadi kuli paksa memecah batubara di sana.
Mari kita simak kisah Katimin menjadi orang rantai yang dikirim ke Sawahlunto. Katimin berasal dari salah sebuah desa di Kediri, Jawa Timur. Ia adalah seorang bandar judi. Ketika itu Katimin muda sedang asyik membandari permainan judi dadu putar, yang lagi digemari masyarakat waktu itu.
Maklumlah yang namanya permainan judi. Ada yang jengkel karena kalah dan ada pula yang bersuka cita karena menang. Suatu kali ”Dewi Fortuna” sedang berpihak ke Katimin. Sebagai bandar hari itu, ia memperoleh kemenangan besar. Semua modal lawan berada dalam genggamannya.
Permainan terpaksa usai, karena tak ada lagi teman yang sanggup melanjutkannya, karena semua uang mereka sudah ludes.Ketika Katimin hendak beranjak dari tempat duduknya, tiba-tiba saja salah seorang teman semeja judi yang mengalami kekalahan, angkat bicara. Dengan setengah mengancam Katimin,
ia berkata:”Min aku minta sebagian uang hasil keberuntunganmu hari ini, kalau tidak kamu rasakan akibatnya”. ”Lo...! kowe pije iki, hari-hari kemaren aku kalah, aku tak pernah minta uangku kembali pada siapapun,” jawab Katimin dengan nada kesal.
Entah setan apa yang bersarang dibenak orang-orang kalah ini, tanpa dikomandokan lagi, Katimin dikeroyok sampai babak belur, uangnya dijarah. Mereka lalu pergi meninggalkan Katimin begitu saja.
Katimin pulang dengan muka lebam, dihiasi tonjolan-tonjolan yang membiru di bagian kening, pipi, tangan dan kaki. Melihat keadaan seperti itu, semua keluarga dan saudaranya heran, bertanya-tanya. ”Min, kamu kenapa” tanya ibu Katimin, ”Kakak habis dipukul ya..?”, sela adik-adik Katimin. Beberapa selang waktu, Katimin berembuk dengan delapan orang saudaranya untuk membalas dendam, perbuatan teman semeja judinya. Berangkatlah Katimin dan saudaranya mencari orang yang telah memukulinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dalam perjalanan, Katimin menemukan salah seorang dari tiga orang yang tadi mengeroyoknya. ”Kejar dan tangkap dia” perintah Katimin kepada saudara-saudaranya”.
Berlarianlah mereka mengejar para pengeroyok itu. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Beberapa ratus meter saja buruan pun tertangkap adik Katimin nomor tiga yang kencang larinya. ”hei....! pengecut jangan lari kamu”. ”jangan berani main keroyokan”, ”ayo lawan aku”. Satu persatu Katimin dan saudaranya susul menyusul.
Yang tidak sabar langsung saja menyerang dengan pukulan bertubi-tubi kearah sasaran, tanpa bertanya-tanya lagi. Aksi balas dendam dengan keroyokan pun tidak dapat dihindari. Katimin tidak lagi berpikir panjang. Dendam harus dibalas. Ia mencabut pisau dan menghujamkannya ketubuh lawan berulang-ulang. Seketika itu lawan tewas. Melihat peristiwa itu, satu persatu orang-orang berdatangan. Dalam hitungan menit terjadi kerumunan.
Suasana jadi gempar. Tanpa disadari Katimin, patroli polisi Belanda lewat. Ia tak sempat melarikan diri. Ia keburu ditangkap. Kedua tangannya diborgol. Ia memberontak dan berteriak. “Saya tidak bersalah, saya tidak bersalah. Dia yang membuat saya berbuat seperti ini”. ”Lepaskan saya.. lepaskan saya, lepaskan......!!! Lama sekali teriakan itu, sampai suaranya semakin kecil, karena letih, lelah dan tak berdaya.
Pemberontakan Katimin tiada artinya dibandingkan jumlah polisi dengan senjata api mereka yang mengarah padanya. Ia digiring menaiki kendaraan patroli dan dibawa ke kantor polisi untuk menjalani interogasi dan pemeriksaan. Usai menjalani pemeriksaan dan interogasi, ia digiring seorang petugas menuju sebuah sel tahanan.
Di sana ia bergabung dengan para tahanan lainnya, untuk menunggu putusan persidangan. Tidak cukup sebulan kemudian Katimin menjalani persidangan, dan hukuman penjara dijatuhkan kepadanya selama 17 tahun. Ia masuk penjara setempat di kota Kediri, kemudian dipindahkan ke penjara di Batavia, lalu dibawa ke Sawahlunto.
Jadilah ia orang rantai.
Inilah kisah Katimin yang diceritakan oleh anaknya yang juga telah menjadi mantan buruh tambang batubara yang kini berusia 75 tahun dengan mata menerawang jauh. Memori masa lalunya kembali muncul, menyeruak sedikit demi sedikit ke permukaan. Nasib orang tuanya telah membawanya menjadi orang Sawahlunto yang kinii tinggal di sebuah rumah sederhana di dekat tambang dalam yang akan dijadikan objek wisata tambang.
Lain pengalaman Katimin, lain pula pengalaman Mbah Wongso Karyo. Ia adalah salah seorang perantaian yang berani dan terkenal bringas. Ia dikirim Belanda ke Sawahlunto karena memberontak. Pasalnya bermula ketika Belanda mengambil tanahnya secara paksa di Jawa. Ia jengkel dan pada suatu malam, dengan mengendap-endap ia mendatangi rumah Belanda dan kemudian membakarnya.
Ia kemudian dihukum dan dikirim ke Sawahlunto.
Mari kita ikuti kisah kakek Misnan Sukiman yang dikenal dengan panggilan Romo yang kini tinggal di Blok Ombilin. Nama kakek Romo itu adalah Mbah Kartowiyono. Ia berasal dari sebuah desa di daerah Sleman, Yogyakarta. Kartowiyono lahir pada tahun 1888. Dalam usia muda belia, 25 tahun, ia dikirim ke Sawahlunto.
Menurut Romo, kakeknya itu berambut panjang yang selalu diikat ke belakang, berpakaian hitam, persis seperti jawara Banten. Ia bukan seorang pembunuh atau perampok, akan tetapi ia dikirim ke Sawahlunto karena selalu memberontak terhadap Belanda. Jadilah ia seorang tahanan politik Belanda yang dirantai kakinya dan ditato tangannya.
Lama hukuman orang rantai itu bermacam-macam. Mulai dari yang paling pendek yakni setahun sampai 5 tahun dan kemudian dari 5 tahun sampai 20-25 tahun, tergantung dari berat ringannya kesalahan yang dibuat.
Lalu mengapa Belanda mempekerjakan mereka, dari mana mereka diambil? Di manapun di dunia, yang namanya pemerintah kolonial itu tak pernah berhenti untuk memikirkan keuntungan dari negeri jajahan.
Batubara yang ditemukan oleh insinyur muda Belanda, W.H. de Greeve di wilayah Sawahlunto dan Sijunjung pada tahun 1868 itu memang menjanjikan. Penemuan itu menggegerkan negeri Belanda. Kampung kecil Sawahlunto mendadak jadi pergunjingan di kalangan para petinggi Belanda. Saking banyaknya yang menawarkan diri menjadi investor, Menteri koloni di Den Haag malah bingung, apalagi Gubernur Jenderal di Batavia.
Siapa yang mau mengesploitasinya? Kalau pemerintah tidak punya modal, kalau investor, ya sayang sekali, karena pemerintah Belanda dalam abad emperium perlu batubara. Tarik ulur dalam diskusi Parlemen Belanda di Den Haag terjadi. Sudah ditenderkan berkali-kali ke pihak swasta, tetapi ya...namanya pemerintah Belanda ingin menguasainya. Baru tahun 1892 resmi batubara menjadi perusahaan negara (baca kolonial Belanda).
Bayangkan, dengan mengeruk batubara dari bumi Sawahlunto, kapal-kapal uap, kereta api di pulau Jawa dan kapal-kapal perang Belanda yang memakai batubara tidak perlu mendatangkan batubara dari Natal, Afrika.
Untuk mengambil batubara, Belanda tidak punya uang banyak. Maklumlah, budget Belanda disedot oleh perang menundukkan orang-orang Aceh yang gagah berani mengangkat senjata. Yang namanya penjajah, tentu tak kehabisan akal.
Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, tinggal perintahkan Direktur Kehakiman, Directeur van Justitie namanya dulu. Katanya, ”Lebih baik Jij (Anda) kapalkan para napi dari penjara-penjara manapun ke Sawahlunto, lebih murah, kita tak perlu kasih makan mereka di penjara lagi, suruh mereka kerja di tambang, kita dapat komisi untuk setiap napi yang dikirim, lumayan. Batubara dapat, tenaga kerja murah, gulden mengalir pula ke departemen jij tokh. Berembuklah jij dengan Kontrolir dan Kepala Tambang Ombilin yang kini lagi bingung mencari kuli’, begitu kata Gubernur Jenderal ke bawahannya, Direktur dari Departemen Kehakiman yang mengurus rumah-rumah penjara di seluruh Hindia Belanda.
Mula-mula orang rantai dari penjara Muaro di Padang dibawa ke Sawahlunto. Mayoritas laki-laki, tetapi ada juga beberapa orang napi perempuan. Jumlahnya tidak banyak. Sebagian dipekerjakan membuat jalan kereta api dari Muara Kalaban ke Sawahlunto dan sebagian lagi bekerja di tambang. Mereka ’dipenjarakan’ pula di tempat penampungan di Muara Kalaban dan tangsi rantai di dekat tanah Lapang sekarang.
Dikawal oleh para oppas tangsi, berbadan tegap, berbaju hitam, menyandang bedil dengan muka bringas tanpa henti memelintir kumis panjang bercabang, berjalan kian kemari menjaga orang-orang rantai di tempat peristirahatan. Tempat peristirahatan ini mirip camp tahanan para kuli paksa yang ada di belahan bumi utara, Rusia.
Apa lacur! Para napi dari penjara Muaro ini tidak bisa dipercaya Belanda. Mereka melarikan diri dari tempat kerja. Apa sebabnya? Kerja berat? Tidak ada hiburan? Kalau kerja berat memang tidak digubris Belanda. Kalau hiburan, para petinggi Belanda bilang, masih ada napi perempuan yang bisa dijadikan ’hiburan’, penambah semangat kerja meskipun jumlahnya tidak sebanding dengan napi laki-laki. Bisa satu dibagi bertiga.
Akhirnya, petinggi Belanda memperoleh jawabannya. ”Repot”, kata kontrolir Belanda, kalau kita masih mengambil napi dari penjara di Muaro, Padang. Di penjara itu kan banyak orang Minang. Mereka banyak akal. Mereka tahu dan memiliki berbagai cara untuk keluar dari tangsi-tangsi, lari dari Sawahlunto. Mereka juga mengenal persis tempat-tempat persembunyian di luar kota.
Direktur Kehakiman mencari para napi dari penjara-penjara di pulau Jawa. Penjara-penjara di kota Surabaya, penjara Glodok, penjara Cipinang di Batavia sudah penuh sesak oleh para napi politik dan kriminal. Nah, ini tenaga kerja yang luar biasa untuk tambang batubara, gumam Direktur penjara yang memerintahkan anak buahnya menghitung jumlah napi yang akan diangkut ke ’penjara’ Sawahlunto.
”Mampus kowe (kamu) akan dipindahkan dari penjara sini ya... ke penjara Sawahlunto, jauh, di tengah hutan belantara, kata petugas penjara dengan garangnya sambil memperlihatkan seolah-olah dia lah yang berkuasa penuh di sana. Satu persatu dipilihlah laki-laki yang berbadan tegap, masih muda, lalu dibawa ke pelabuhan Tanjung Periuk untuk kemudian dikapalkan ke pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) yang sudah selesai dibangun, sebelum tambang Sawahlunto dibuka tahun 1892. Tidak peduli, apakah mereka napi politik atau napi kriminal, semua dicampurbaur.
Suka atau tidak suka, para napi harus menuruti perintah petugas penjara. Persis seperti sapi untuk disembelih, makanan bergizi penduduk kelas menengah di kota-kota zaman Belanda, mereka dimasukkan ke gerbong kereta api untuk dibawa ke pelabuhan Tanjung Periuk. Dengan menggunakan kapal laut yang diisi para napi, bersusun-susun, naik ke kapal, tentu saja di ruangan kelas bawah, dek kapal yang menjadi milik penumpang kelas teri. Pengap, panas dan tak ada ruang untuk melepaskan lelah selama dalam perjalanan.
Kisah di perjalanan memang mengerikan. Mbah Sadinomo yang dikapalkan ke Sawahlunto karena membunuh orang bercerita kepada cucunya, Pak Sukarman, seorang pensiunan Ombilin yang kini menikmati hari-hari pensiunnya di Tangsi Baru, Sawahlunto. Begini katanya, lama perjalanan bervariasi, tergantung kapal cepat atau kapal lambat, bahkan ada yang sampai seminggu baru tiba di Padang. Teman Mbah Sadinomo, Mbah Sa’imin namanya, karena membangkang, dimasukkan ke laut dengan memakai jala. Seminggu kemudian diangkat lagi, dikira sudah tak bernyawa, nyatanya masih hidup. Para penumpang kapal tentu saja heran, akan tetapi bagi perantaian, mereka maklum. Mbah Sa’imin bukan sembarang orang, pasti memiliki ’ilmu’.
Perjalanan ke Padang lama sekali. Apalagi tidak disertai dengan pemberian makanan yang cukup selama di kapal. Makanan seadanya. Nasi dicampur sayur mayur, ikan asin atau sepotong telor, kalau ada. Jadi jangan diharap makanan yang disajikan akan memenuhi selera. Apapun yang disajikan harus dimakan, jika ingin membuat tubuh bisa tetap bertahan hidup sampai di tempat tujuan. Kalau tidak, kesehatan menurun dan ajalkan pun akan menjemput, seperti halnya para napi yang dikirim Belanda dari Tanjung Periuk ke Pulau Laut, Kalimantan, untuk menjadi kuli tambang batubara. Dengan makanan seadanya, mereka menuju penjara berikutnya.
Seperti diceritakan, perjalanan menuju pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) memakan waktu tidak kurang 4 atau 5 hari lamanya, bahkan seminggu, tergantung kapalnya. Waktu yang membosankan bagi para napi. Sejauh-jauh mata memandang, hanya hamparan laut biru, berkilau-kilai diterpa cahaya matahari. Kapal menuju ke arah Barat, memasuki Selat Sunda, terus menuju ke utara, mengharungi lautan Samudra Hindia.
Sesekali kapal mereka berpapasan dengan perahu-perahu nelayan yang menangkap ikan di tengah kegelapan. Hanya kedap kedip lampu-lampu lentera di perahu-perahu mereka yang menandakan para nelayan masih berjuang mendapatkan ikan-ikan di tengah lautan luas. Atau sesekali kapal-kapal pembawa napi berpapasan dengan kapal-kapal milik perusahaan swasta Belanda yang tengah membawa hasil bumi pulau Sumatra ke pulau Jawa untuk kemudian diekspor ke Eropa.
Bagi tahanan politik, suasana hati yang telah geram menjadi semakin geram melihat hasil bumi negeri dibawa oleh penjajah untuk membangun negeri Belanda atau negeri Kincir Angin itu. Tetapi apa daya, perlawanan yang telah dilakukan belum membuahkan hasil nyata. Sebut saja, Pak Andi, seorang bangsawan Bugis yang masuk dalam daftar 1500 orang napi yang dikirim pada tahun 1892 ke Sawahlunto, berhari-hari merenungkan nasib dan bangsanya yang dijajah Belanda.
Memberontak? Tidak mungkin, karena siapapun yang memberontak di kapal, langsung dilemparkan ke laut menjadi santapan hewan laut. Itulah hukuman mereka, persis seperti hukuman kuli-kuli Cina yang dibawa dari negerinya di pedalaman Cina ke Singapura atau ke Deli atau ke California ataupun para napi yang dibawa Belanda dari Batavia ke tambang batubara, Pulau Laut, Kalimantan. Meninggal karena kekurangan makanan atau karena kelaparan selama di perjalanan, adalah suatu hal yang biasa.
Perjalanan dari Batavia menuju Sawahlunto betul-betul lama dan memprihatinkan. Perlakuan kasar dan makian sering dihadapi. Maklum cap yang tertempel di diri mereka sebagai napi, telah membuat harga diri semakin tak ada arti. Sebagai napi, mereka dianggap binatang yang pantas mendapat perlakuan yang tak manusiawi. Melawan? Jangan coba. Parah akibatnya. Nyawa taruhannya. Para pengawal bersenjata di kapal takkan membiarkan mereka mencari kesempatan melawan kekuasaan Belanda yang tengah dikjaya. Inikan abad imperium Belanda, kata seorang napi politik setengah berbisik ke teman-teman sebelahnya di kapal, takut dianggap teroris pula nanti oleh mata-mata pemerintah.
Hanyalah berbekal sikap pasrah pada nasib, mereka meneguhkan hati untuk sampai di negeri yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, Sawahlunto. Di sana mereka akan ditempatkan ke dunia bawah tanah? Bergalau pikiran mereka. Dunia bawah tanah, suatu dunia yang tidak lazim mereka hadapi sebagai pelaut-pelaut Bugis-Makassar, Madura dan Timor yang tangguh atau para petani Jawa yang rajin di kampung asalnya. Menambang adalah pekerjaan yang tak cocok dengan dunia kosmologis mereka, begitu penjelasan orang pintar di perguruan tinggi. Mereka ini tak pernah tahu, di pelabuhan mana kapal akan berlabuh dan arah mana yang akan ditempuh untuk sampai ke kota itu.
Penjelasan dari para petugas penjara Cipinang atau Glodok di Batavia juga tidak begitu jelas dan lengkap, apalagi penjelasan para awak kapal. Paling-paling dikasih tahu, kapal akan berlayar ke Westkust van Sumatra (Pantai Barat Sumatra), ke Emma Haven, pelabuhan baru yang sengaja dibangun Belanda untuk mengekspor batubara Ombilin ke pulau Jawa, konsumer terbesarnya. Belanda memberi nama pelabuhan itu sesuai dengan nama Ratunya.
Meski suasana di perjalanan penuh ketidak-pastian, letih dan melelahkan, kejam tak terperi, rasa senasib sepenanggungan pun muncul. Itulah ”Tunggal Sekapal’, shipmate, kata napi Inggris yang dibawa ke Australia, atau teman sekapal yang dianggap saudara. Ini mirip perjalanan orang-orang Itali dan Cina mengadu untung di tambang-tambang emas di California, Amerika Serikat akhir abad ke 19, atau perjalanan budak-budak Afrika dan budak-budak dari Makassar abad ke 17, 18, ke tambang emas kompeni Belanda di Salido, Painan, Sumatera Barat. Sumpah setia membela teman sekapal, senasib sepenanggungan terpatri dalam hati mereka. Tunggal sekapal adalah saudara terdekat mereka.
Perjalanan menuju Emma Haven memang meletihkan. Akhirnya sampailah di pelabuhan yang dituju. Udara cerah. Langit biru. Gunung Padang saksi bisu menyambut kedatangan mereka. Kicauan burung-burung yang terbang ke sana kemari di puncak Gunung Padang menambah semaraknya suasana, seolah menyambut riang kedatangan para perantaian.
Petugas-petugas sibuk.
Mereka hilir mudik memberi aba-aba kepada awak kapal untuk melemparkan sauh. Karena membawa orang perantaian dari pulau Jawa, pengamanan diperketat. Kapal sudah merapat. Para penumpang biasa turun. Gelak tawa dan tangis haru keluarga karena rindu, menyambut kedatangan para penumpang kapal.
Giliran terakhir diikuti para perantaian. Satu persatu orang-orang perantaian yang lusuh dan lelah, turun ke darat, untuk sejenak menghirup udara segar di pinggiran kota Padang. Mereka kemudian dimasukkan ke depot penampungan, dihitung satu persatu, apakah jumlahnya masih lengkap atau ada yang berkurang.
Nama-nama dipanggil. Andi, Mamat, Usup, Entong, Latif dan masih banyak lagi, kadang-kadang ada pula nama-nama dari daerah Sumbawa dan Timor. Ada yang menjawab dengan suara keras, tetapi ada pula yang menjawab dengan suara mengerang kesakitan, akibat badan lemas tak berdaya selama di perjalanan.
Jarang sekali perantaian menginap di depot penampungan untuk menunggu kereta api yang membawa mereka ke Sawahlunto. Kalau perantaian ditampung selama satu, dua atau tiga hari, tentu saja Belanda keberatan, itu perlu memerlukan biaya yang lebih besar. Karena itu lebih baik diangkut langsung dengan kereta api ke Sawahlunto.
”Cepat.........cepat... masuk ke dalam kereta! Perintah salah seorang mandor Belanda yang mengawasi perantaian.
Dengan memegang tongkat panjang, meliuk-liukkannya ke hadapan para napi, ia membentak-bentak sambil mendorong-dorong mereka untuk menaiki tangga kereta api, masuk ke dalam gerbong-gerbongnya. Ada yang jatuh. Bahkan ada yang sampai terinjak-injak oleh orang rantai lainnya. Bagi yang sudah berbadan lemah, mereka berusaha berjalan meski tertatih-tatih.
Kemudian dihitung lagi.
Seribu lima ratus orang sekali angkut dari Tanjung Periuk.
Ini bukan jumlah yang kecil. Selain mengangkut batubara, mengangkut orang-orang perantaian adalah bisnis menguntungkan bagi perusahaan negara Belanda yang mengelola kereta api. Perusahaan batubara dan perusahaan kereta api, dua perusahaan yang disatukan pengelolaannya sampai dekade pertama abad ke 20.
Tidak ada ketentuan pasti berapa kali setahun orang-orang napi ini dibawa ke Sawahlunto. Pengangkutan mereka tergantung pada permintaan perusahaan Ombilin yang disebut juga De Ombilin Steenkolenmijnen, istilah Belandanya. Ada yang dibawa sekali 3 bulan, ada pula sekali 4 bulan. Sampai tahun 1920-an, jumlahnya luar biasa besar. Hampir 75% dari 20.000 tenaga kerja di perusahaan Ombilin berasal dari orang perantaian.
Bayangkan, kota Sawahlunto dipadati orang-orang perantaian. Para petinggi Belanda kewalahan mengawasinya. W.H. Rahder saja yang menjadi kontrolir di Sawahluto mengeluh terus-menerus ke atasannya di Batavia, Direktur Departemen Dalam Negeri (Binnenland Bestuur). Gaji kecil, pekerjaan berlipat ganda, mengurus rakyat dan mengurus orang rantai. ”Ik krijg hoofdpijn,” (saya pusiiing), kata Rahder sambil mondar mandir di beranda depan rumah kediamannya. Ik (saya) ditekan sama perusahaan mengurus kettingganger (orang rantai), ditekan pula oleh atasan untuk mengurus orang-orang Sawahlunto. Mana yang harus ik urus? Sambil memegang cangklongnya, ia terus mengisap cerutu, dan mengebulkan asapnya sambil melihat ke langit yang ditutupi awan tebal, pertanda hujan akan turun. ”Sawahlunto sekarang sudah menjadi koloni kriminal”. Keluhnya.
Tut..tuut..tuuut.. bunyi kereta api, perlahan meninggalkan Emma Haven. Memasuki kota Padang, terus ke arah Tabing, berhenti mengambil penumpang, lalu melaju ke arah Lubuk Buaya, terus melewati kota-kota kecil, Padang Panjang, Solok, Silungkang dan akhirnya memasuki Sawahlunto. Pemandangan menakjubkan. Hutan lembah Anai yang hijau, air sungainya yang bersih, dan air terjunnya, menambah kesejukan mata memandang.
Air danau Singkarak yang membiru, berkilau-kilau diterpa cahaya matahari, padi menguning bak hamparan permadani menghiasi pemandangan ketika kereta menuju Solok. Detak-detak mesin tenun terdengar sayup dari rumah-rumah penduduk Silungkang, ikut menambah semaraknya suasana perjalanan menuju penjara Sawahlunto. Suasana indah itu tentulah milik penumpang kereta api biasa, bukan milik para napi yang melihat semua itu melalui pintu-pintu jendela kereta api dengan pandangan kosong.
Aba-aba bahwa kereta api akan berhenti sudah nampak. Lambaian-lambaian bendera kecil sudah mulai kelihatan sejak kereta api memasuki stasiun Muara Kalaban, dan sebentar lagi akan tiba di tempat yang dituju. Hatiku gundah, kata Usup, mau masuk ke lobang tambang, pasti kita mati, katanya meyakinkan teman-teman yang duduk di sebelahnya.
Raung kereta api yang panjang menandakan perjalanan semakin mencapai di tempat tujuan, stasiun Sawahlunto, tujuan akhir dan awal dari penjara baru untuk para napi. Oppas-oppas tangsi, bersiap-siap, polisi juga tidak ketinggalan. Satu persatu napi turun dari kereta api, ditampung di berbagai tangsi.
Mula-mula mereka ditempatkan di sebuah tangsi di Muaro Kalaban, karena harus membuat jalan kereta api. Para napi selanjutnya ditempatkan di tangsi Rantai, dekat lapangan bola kaki – lapangan yang dibangun sendiri - lalu di tangsi Durian di daerah Waringin, seterusnya tangsi di kampung Sungai Durian. Tangsi-tangsi itu mirip penjara, karena dijaga ketat oleh para oppas tangsi yang seram dan berpenampilan bengis.
Dari mana Belanda mengambil para oppas tangsi ini? Mula-mula dari daerah kampung sekitarnya, dari orang-orang bagak atau pemberani dan memiliki ilmu. Semakin banyak orang-orang napi yang datang semakin banyak pula sipir atau oppas tangsi diperlukan. Tidak cukup dari daerah sekitarnya, Belanda lalu mencari ke daerah Gunung Sitoli, orang-orang Batak yang pemberani, berbadan kekar. Belanda melatih mereka, diberi senjata, dan memakai baju seragam hitam, pakai topi, berjalan tegap, dengan mata terus mencurigai gerak-gerik napi. Para oppas tangsi menjaga dan memata-matai para napi di tangsi. Bermulalah kehidupan baru di penjara baru Sawahlunto.
Sumber : teraszaman.blogspot.com