Minggu, 12 Agustus 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (26)

Oleh Rizki Ridyasmara


Bab 37

KETAKUTAN MELANDA WARGA EROPA DAN Cina di Yogyakarta dan sekitarnya. Pemberontakan Pangeran Diponegoro yang awalnya sempat dianggap remeh ternyata malah membesar dan meluas. Banyak kepala desa, terutama di wilayah-wilayah perdikan yang banyak terdapat sekolah agama, dengan terang-terangan memihak Diponegoro. Bahkan para kepala desa itu membentuk laskarnya sendiri-sendiri dan mulai mengganggu pos-pos jaga Belanda di sejumlah titik. Sejumlah pasukan kraton juga bergabung dengan Diponegoro dengan membawa serta persenjataan dan kudanya.



Dan di dalam kraton sendiri, terjadi perpecahan di kalangan kerabat kerajaan. Lebih dari setengah pangeran dan bangsawan bergabung ke Selarong. Mereka ingin ber sama-sama membebaskan Bumi Mataram dari tangan kotor kafir Belanda dan juga menghukum Patih Danuredjo IV yang telah mengotori kraton dan memperdaya Sultan Hamengku Buwono V yang masih bocah. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun Sultan Hamengku Buwono I dengan begitu berwibawa dan sakral, oleh Danuredjo malah dicemari, hingga kini tak ubahnya bagai rumah bordil. Para pangeran dan bangsawan bagaimana pun menghendaki kemuliaan kraton bisa kembali seperti awalnya[1].

Semua perkembangan ini yang terjadi dengan begitu cepat membuat pihak Belanda cemas. Dari Batavia, Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen menuding Residen Anthonie Hendriks Smissaert tidak becus mengurus Yogya. Van der Capellen berjanji akan sangat serius memperhatikan salah satu anak buahnya ini dan mengancam akan mengambil tindakan tegas jika Smissaert masih saja lemah.

Sore itu Kolonel Von Jett mondar-mandir di ruangan peta yang berada di dalam kompleks Benteng Vredeburg. Residen Smissaert dan Danuredjo tampak duduk di atas kursi kayu yang menempel di dinding ruangan dekat jendela. Keduanya tampak tegang memperhatikan Von Jett yang tampak begitu serius, bahkan tak bisa menyembunyikan sedikit kecemasannya.

“Gila! Ini sungguh gila jika dibiarkan. Baru tiga hari Diponegoro memberontak, tapi dimana-mana sudah banyak orang yang bergabung dengannya. Pasukannya bertambah kuat. Sedangkan pasukan yang mau membantu kita masih saja berada di jalan. Lambat sekali mereka. Mana itu laskar Sumenep! Mana laskar Tidore! Mana Legiun yang katanya mau mengirim pasukan tambahan lagi ke sini!”

Von Jett masih saja mondar-mandir. Dia kemudian menggeleng-gelangkan kepalanya. Lalu dia berkata lagi. Masih dengan nada yang tinggi, “Mana Kapten Bouwensch! Panggil dia!”

Smissaert dan Danuredjo saling berpandangan. Di ruangan hanya ada mereka berdua selain Von Jett. Danuredjo akhirnya berdiri dengan kikuk. Dia bergegas keluar ruangan memanggil salah seorang prajurit jaga dan menyuruhnya memanggil Kapten Bouwensch, Komandan Garnisun Karesidenan Yogyakarta. Setelah itu Danuredjo kembali masuk ke ruangan.

“Residen...,” ujar Von Jett. Smissaert menatap lelaki jangkung tersebut. Tatapan matanya masih saja angkuh, walau dia menyadari jika pemberontakan Diponegoro yang membesar dengan cepat merupakan kesalahannya. Von Jett tidak menghiraukan semua itu sama sekali.

Kemudian Von Jett melanjutkan, “...tidak ada jalan lain bagi kita kecuali menghentikan pemberontakan Diponegoro ini secepatnya. Dia orang harus ditangkap segera. Menurut pasukan mata-mata kita, pemberontak itu bersama yang lainnya sekarang ini berada di Selarong. Dan saya sudah menyiapkan satu koloni pasukan untuk menyerbu markasnya di sana.”

Smissaert hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Von Jett agaknya tidak puas jika residen tersebut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya begitu saja.

“Bagaimana pandanganmu, Tuan Residen?” ujarnya dengan ketus.
Masih menganggukkan kepalanya, Smissaert menjawab, “Ya, tidak ada jalan lain, memang. Dia orang secepatnya harus ditangkap.”

“Itu sudah pasti. Sekarang saya minta agar Yogyakarta menyiapkan dukungan logistik bagi pasukan yang akan ke Selarong. Kiriman dari Magelang sudah direbut musuh, Yogya harus menanggungnya.”

“Oke, oke... Chevallier yang akan menyiapkan...”

Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang, “Maaf, saya Kapten Bouwensch...”
“Ya. Masuk,” jawab Kolonel Von Jett datar.

Bouwensch masuk dan memberi hormat secara militer. Von Jett hanya menganggukkan kepalanya dan tidak menyuruhnya duduk, sehingga orang nomor satu yang bertanggungjawab atas keamanan Karesidenan Yogya ini terus saja berdiri dengan sikap sempurna.

“Kapten...”
“Siap, Kolonel!”
“Sekarang juga siapkan pasukanmu dengan perbekalan tempur garis pertama. Besok pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok, berangkatlah ke Selarong untuk menangkap Diponegoro. Pimpin langsung pasukan itu.”
“Siap, Kolonel. Berapa kekuatan yang akan kita kerahkan ke Selarong?”
“Satu koloni, gabungan kavaleri dan invanteri, didukung artileri ringan. Seluruh Legiun dari Mangkunegaran harus ikut.”
“Keamanan di dalam Yogya?”
“Serahkan pada prajurit Sultan dan beberapa regu pasukan reguler. Jika serangan esok hari gagal, maka kita akan berada di dalam situasi yang sangat sulit. Bisa-bisa kita akan bertahan di dalam benteng ini saja.”

            Kapten Bouwensch mengamini pandangan komandannya itu. Keadaan dalam tiga hari terakhir ini memang bertambah buruk bagi mereka. Pemberontak mendapat dukungan dari mana-mana. Inlander bangkit di hampir semua desa dan dusun. Dan semakin lama Karesidenan Yogyakarta semakin terkepung oleh berbagai laskar yang muncul di mana-mana. Perjalanan ke Kedu, Magelang, dan Surakarta sudah tidak aman lagi.

            “Bagaimana perkembangan terakhir keamanan di sini?”
            “Semua pasukan reguler bertugas mengamankan dalam kota, bersama-sama pasukan kraton dengan tambahan Legiun...”
            “Pasukan bantuan dari Tidore dan Sumenep?”
            “Dalam waktu tak lama lagi mereka akan tiba.”
            “Berapa hari lagi kita menunggu mereka?”
            “Jika tidak ada halangan, paling lama dua hari lagi.”
            “Apa rencanamu jika sewaktu-waktu pemberontak benar-benar mengepung dan menyerang Yogya?”
            “Sultan dan semua pembesar kraton harus diamankan di dalam benteng ini.”

            Von Jett mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagus. Benteng ini adalah tempat terakhir yang harus memberikan keamanan bagi Sultan dan yang lainnya. Batavia terus memantau perkembangan di sini setiap waktu. Mereka tidak segan mengambil tindakan yang tidak kita sukai jika itu memang diperlukan. Terhadap semuanya...,” ujar Von Jett yang menatap Smissaert dengan tajam ketika mengucapkan kalimat terakhir yang terdengar bagaikan ancaman. (Bersambung)


[1] Para putera Sultan Hamengku Buwono I, II, dan III yang berjumlah 23 orang bergabung dengan Pangeran Diponegoro, demikian pula dengan cucu dan cicit mereka yang jumlahnya tak kurang dari 54 orang. Itu diluar angka 74 bangsawan kraton yang juga menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selarong. Sedangkan para ulama, hampir semuanya bergabung dengan Diponegoro, kecuali segelintir orang yang memilih bersekutu dengan Danuredjo dan Belanda.

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...