Jumat, 10 Agustus 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (25)

Oleh Rizki Ridyasmara

Bab 34
  
ANGIN ADALAH PRAJURIT ALLAH DI medan perang. Dua orang anggota laskar Mulyo Sentiko yang dikirim ke garis paling depan—sekira duaratusan meter di luar gerbang Desa Lagorok, Pisangan—telah mencium kedatangan pasukan kafir dari arah utara. Angin yang bertiup dari Merapi ke arah Laut Kidul membawa serta bebauan orang-orang kafir tersebut lewat udara, sehingga keberadaan mereka bisa diketahui jauh sebelum sosok mereka terlihat.


            Djauhari serta Djamhadi, dua orang laskar kepercayaan Mulyo Sentiko segera memacu kudanya kembali ke perkemahan induk pasukan yang berada di atas bukit kecil di tepi jalan raya Desa Lagorok.



            Perkemahan pasukan mereka juga berada di atas bukit di sisi kanan dan kiri jalan raya yang terlindung lebatnya pohon dan semak. Jalan raya yang berada di bawah mereka agak menanjak dan menikung. Mulyo Sentiko menganggap jalan dengan kondisi seperti ini sangat bagus untuk dijadikan tempat penyergapan. Maka ketika dia menerima kabar dari pasukan telik sandi jika pasukan Kapten Kumsius telah berangkat dari Magelang menuju Yogyakarta lewat jalan ini, maka Mulyo Sentiko memerintahkan pasukannya mendirikan kemah di tempat ini sekaligus menyusun strategi penyergapan.


            Di kedua sisi bukit yang mengapit jalan di bawahnya, para laskar menghimpun batu-batu kali dengan ukuran besar dan disusun sedemikian rupa sehingga terkesan alami. Batu-batu kali ini akan digelontorkan ke bawah untuk menimbun pasukan kafir Belanda yang akan lewat.


            Selain batu-batu, pasukan panah juga disiapkan berjajar di kedua sisi bukit dalam jarak tembak efektif. Mereka bersembunyi di dalam lubang-lubang yang sudah disamarkan oleh ilalang dan semak, dan dilindungi oleh batang-batang pohon, baik yang masih berdiri maupun yang sudah mati.


            Di selatan jalan, Mulyo Sentiko membuat lubang jebakan selebar duameter dengan kedalaman satu meter yang ditutup dengan ranting dan ditimbun dengan tanah kembali. Kuda atau siapa pun yang lewat akan terperosok jatuh ke dalam lubang, di mana dasarnya telah ditanami banyak ujung tombak yang ujungnya menghadap ke atas dan telah diberi racun ular weling.


            Di utara jalan, dimana nanti ekor pasukan kafir Belanda berada, sedianya akan ditutup oleh gelondongan-gelondongan kayu dan batu-batu yang digelontorkan dari atas bukit sehingga pasukan Belanda akan terkurung di jalan yang diapit dua bukit di kedua sisinya, serta tidak bisa maju atau pun mundur. Dalam keadaan terkurung, laskar Mulyo Sentiko akan menghabisi pasukan ini dengan mudah.


            Semua pasukan sudah berada di tempatnya masing-masing. Mereka tinggal menunggu datangnya dua pengintai yang memberi tanda jika rombongan pasukan kafir Belanda sudah dekat.


            Yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dari arah utara dua pengendara kuda memacu kudanya cepat-cepat. Debu beterbangan dan dengan cepat menghilang dibawa angin.


            “Bersiap! Bersiap!” ujar Djauhari dan Djamhadi. Kedua pasukan pengintai itu segera masuk ke dalam jalan setapak yang segera ditutup semak dan dedaunan kering oleh prajurit yang bertugas menghapus jejak kedua pengintai tersebut.   


             Semuanya semakin waspada. Mereka tinggal menunggu aba-aba dari seorang pengintai yang berada di puncak sebuah pohon beringin yang tinggi di puncak bukit. Jika pasukan Belanda sudah tampak dan dekat, dia akan segera menirukan suara monyet, tanda bahwa semua sudah harus benar-benar bersiap untuk menyergap pasukan Belanda pimpinan Kapten Kumsius tersebut.


Detik demi detik berlalu dengan penuh ketegangan. Semuanya sudah memegang dengan erat senjatanya masing-masing. Anak panah mulai diselipkan di tali busur. Suasana begitu mencekam. Tak lama kemudian terdengar suara monyet melengking tinggi tiga kali.


Belanda sudah tiba!


Mulyo Sentiko yang berada di atas bukit sebelah barat sudah memberi isyarat dengan tangannya agar seluruh prajurit yang bertugas menggulingkan batu di bukit barat dan timur bersiap. Bagian depan pasukan Belanda sudah terlihat mulai memasuki jalan yang menyempit yang diapit bukit. Mulyo Sentiko menunggu agar inti pasukan tersebut benar-benar berada di tengah agar konsentrasi pasukan mereka buyar. Mulyo Sentiko dan pasukannya tahu jika sejumlah kuli pengangkut barang yang berada di ekor pasukan merupakan anggota laskar Diponegoro yang sengaja disusupkan.


Semua menunggu tak sabar.
Tiba-tiba Mulyo Sentiko mendorong batu besar yang ada di depannya. Semua anggota laskar yang bertugas menggelontorkan batu dan batang pohon ke bawah mengikutinya. Suaranya menggemuruh bagai tanah longsor. Pasukan Belanda yang berada di bawah seketika melihat ke atas. Sesaat mereka tertegun. Lalu mereka berlarian ke segala arah mengindari longsoran batu-batu besar dan batang-batang pohon yang tiba-tiba saja menghujani mereka. Beberapa prajurit yang tak sempat menghindar tertimbun hidup-hidup. Dari ketinggian, Mulyo Sentiko dan laskarnya menyaksikan bagaimana pasukan pimpinan Kapten Kumsius tersebut kacau-balau.


Ketika asap sudah agak mereda, Mulyo Sentiko mengibarkan panji berwarna merah tinggi-tinggi. Kini giliran pasukan pemanah yang bertugas menghujani pasukan Belanda yang masih kacau tersebut dari atas bukit. Bagai ratusan burung walet yang beterbangan, meluncur lurus ke bawah dalam kecepatan tinggi, anak-anak panah yang ujungnya telah dicelup racun tersebut berlomba untuk menancap dan masuk ke dalam kulit pasukan kafir tersebut.  Tak lama kemudian, setelah hujan panah usai, puluhan pasukan penombak maju dari arah depan dan atas dengan meneriakkan takbir.


Pasukan Belanda yang sama sekali tidak siap berusaha membuat satu formasi pertahanan. Namun sia-sia, jalan terlalu sempit dan musuh sudah terlalu dekat. Pertarungan jarak dekat pun terjadi. Laskar Mulyo Sentiko yang dibantu laskar setempat tanpa takut sedikit pun menerjang lawan. Dengan kekuatan seadanya, pasukan Belanda membuang senjata api laras panjangnya dan mencabut pedang. Mereka berkelahi dengan kalap dan tak lagi menghirakan kawan dan lawan. Kapten Kumsius sendiri diiringi empat prajuritnya sejak dari awal penyerangan sudah melarikan diri dengan memacu kudanya ke arah Yogyakarta, meninggalkan pasukannya yang semakin terdesak dan bergelimpangan mati di sana-sini. Sejumlah kuli angkut yang membawa berbagai barang—termasuk uang yang berada di dalam peti kecil yang berada di atas kuda—sudah terlebih dahulu melarikan diri dan bergabung dengan laskar Mulyo Sentiko. 


Pertempuran itu tidak sampai memakan waktu satu jam. Mulyo Sentiko dengan bertelanjang dada berdiri di tengah-tengah jalan yang dipenuhi mayat pasukan Belanda. Darah musuh memenuhi dada dan celananya. Pedangnya juga demikian.   

Teriakan takbir kembali membahana tatkala mengetahui jika pasukan Belanda sudah dikalahkan. Semuanya mati dan tak ada tawanan satu orang pun. Mulyo Sentiko tersenyum dan menengadahkan kepalanya ke langit yang luas.
“Matur nuwun sanget ya Gusti Allah...“


Melihat hampir semua laskarnya juga bertelanjang dada, bahkan banyak yang celananya robek terkena sabetan pedang dan tanah, serta belepotan darah musuh, Mulyo Sentiko segera memerintahkan anak buahnya agar mengganti bajunya dengan mengenakan seragam tentara Belanda yang masih sangat bagus. Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya berlomba melucuti seragam tentara Belanda tersebut dan mengenakannya. Termasuk topi, pedang, senjata api laras panjang dan pendek, belati, dan lainnya.


“Apakah semuanya sudah kebagian?” teriak Mulyo Sentiko.


            Para anak buahnya ada yang menjawab sudah dan ada juga yang belum. Namun disebabkan tidak ada lagi seragam Belanda yang tersisa, maka Mulyo Sentiko memerintahkan agar semuanya berbaris kembali. Dia kemudian menaiki kudanya dan mengambil posisi di depan barisan.


            “Allahu Akbar!” teriaknya disambut takbir oleh seluruh laskarnya. “Alhamdulillah! Alhamdulillahi Rabb al’amin! Ini adalah kemenangan pertama kita terhadap penjajah kafir Belanda.


Sekarang juga, kemenangan ini akan kita laporkan kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro di Selarong. Mari kita berbaris dengan tertib. Insya Allah, jika tidak ada aral melintang, beberapa jam ke depan kita sudah tiba di sana!” 


Bab 35
  
NAFAS KAPTEN KUMSIUS TERDENGAR SEPERTI lokomotif tua yang kelebihan beban. Setelah memacu kudanya sejauh lebih kurang 7 paal atau 10 kilometer, hingga mencapai Yogyakarta, Kumsius tiba di Benteng Vredeburg dan langsung menghadap Kolonel Von Jett yang sudah tiba terlebih dahulu dari Semarang. Dengan suara tersengal, Kumsius melaporkan tragedi yang baru saja dialaminya.


            Demi mendengar laporan anak buahnya, Kolonel Von Jett segera memerintahkan Letnan Delatree untuk memimpin satu detasemen kavaleri untuk secepatnya membantu pasukan Belanda yang sedang disergap pemberontak di Pisangan. Dalam waktu singkat, Letnan Delatree pun berangkat bersama pasukan berkudanya meninggalkan debu musim panas yang beterbangan sepanjang jalan.


            Kolonel Vont Jett sendiri memerintahkan agar Kapten Kumsius beristirahat di salah satu barak Benteng Vredeburg dan sesegera mungkin membuat laporan tentang kejadian yang baru saja dialami.


            Tak sampai satu setengah jam kemudian, Letnan Delatree dan pasukannya tiba kembali. Sama seperti Kapten Kumsius, Letnan Delatree dengan nafas tersengal juga melaporkan bahwa musuh yang sekarang sudah mengenakan seragam pasukan Belanda tiba-tiba menyerangnya, sedangkan pasukan yang dipimpinnya benar-benar tidak siap menghadapi musuh yang disangka ‘teman sendiri’.


            “Para pemberontak itu mengenakan seragam pasukan kita. Semua senjata kita juga sudah berada di tangan mereka. Dari jauh kami mengira jika mereka itu sisa-sisa dari pasukan Kapten Kumsius yang berhasil lolos dari penyergapan. Ternyata kami keliru. Mereka ternyata para pemberontak yang mengenakan seragam kita dan tiba-tiba saja menyerang dengan membabi-buta. Kita tidak siap!”


            Kolonel Von Jett sungguh-sungguh geram. “Berapa anggota pasukanmu yang tersisa!”
            “Begitu kami menyadari musuh, kami hanya bertempur sebentar dan segera menyelamatkan diri kembali ke sini. Korban di pihak kita tidak banyak, Kolonel. Mereka terlalu kuat dan jumlahnya pun banyak sekali...”


            Von Jett mengangguk-angguk. Dia baru sadar jika Belanda sekarang tidak bisa menganggap remeh kekuatan pasukannya Diponegoro. Setelah menerima laporan dari Letnan Delatree, Von Jett segera bertemu dengan Residen Yogyakarta Anthonie Hendriks Smissaert, Asisten Residen Chevallier, dan juga Patih Dalem Danuredjo IV, untuk membahas perkembangan terakhir. []
          
Bab 36
  
GURAT KEGEMBIRAAN TERPANCAR JELAS DI wajah seluruh laskar Mulyo Sentiko yang dalam waktu seharian telah memetik sekaligus dua kemenangan gemilang: menghancurkan kolonel pimpinan Kapten Kumsius dan memukul mundur detasemen kavalerinya Letnan Delatree. Mulyo Sentiko yang juga mengenakan seragam pasukan Belanda lengkap dengan pedang panjangnya memimpin di depan barisan. Sedangkan seluruh laskarnya yang juga berseragam pasukan Belanda lengkap dengan topi dan atributnya, juga semua senjata  yang bisa direbut, mengikutinya dari belakang. Dengan penuh kebanggaan, laskar ini terus bergerak menuju Gua Selarong.


            Ba’da Asyar, ketika Pangeran Diponegoro, Kiai Modjo, Ustadz Taftayani, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bei, dan lainnya tengah berkumpul di Gua Kakung, di batas terluar wilayah Selarong sekira seratus meteran dari pelataran luas di bawah tangga menuju gua, dua orang prajurit jaga—Luthfi dan Manto—yang sedang berada di posnya tampak gugup. Mereka memicingkan mata, berusaha sekuat tenaga memperjelas penglihatannya, jauh melampaui hamparan sawah dan kebun di ujung jalan, tampak barisan panjang pasukan kavaleri dan infanteri Belanda tengah mendekati mereka dengan perlahan.


            “Jahanam! Londo wis uedan![1] Siang-siang begini mereka mau menyerang kita!” jerit Luthfi. Laskar Selarong yang berasal dari Arab-Pekalongan ini kepalanya turun-naik seperti burung onta dengan sebelah mata ditutup dan dipayungi sebelah tangannya untuk memastikan apakah iring-iringan pasukan yang masih jauh itu sungguh-sungguh Belanda atau bukan.


            “Kowe ojo kesusu[2]. Lihat dulu baik-baik...,” ujar Manto yang juga memicingkan matanya. Manto masih ragu apakah benar pasukan Belanda akan mendatangi Gua Selarong siang-siang begini. Dia masih ragu. Tapi semakin dekat, tampaknya apa yang dicemaskan Luthfi cukup beralasan juga. Apalagi dari kejauhan, seseorang dari ‘pasukan Belanda’ itu yang berada di paling depan tiba-tiba tampak memacu kudanya sendirian kencang-kencang mendatangi mereka. Kontan, keduanya bersiaga.   Baru saja keduanya hendak melompat ke atas kuda, terdengar teriakan yang tidak asing di telinga mereka.


            “Assalamu’alaikum! Ini saya, Mulyo Sentiko!”
            Luthfi yang sudah berada di atas kuda hendak mengambil langkah seribu menahan tali kudanya. Sedangkan Manto yang masih berada di bawah menyambut kedatangan Mulyo Sentiko yang sore itu tampak gagah dengan seragam kavaleri Belandanya. Keduanya bernafas lega karena awalnya mereka menyangka jika pasukan Mulyo Sentiko adalah pasukan Belanda yang hendak menyerang mereka.


            “Uedan kowe, dapat dari mana seragam kafir londo itu?”
            Mulyo Sentiko terkekeh, “Pasukanku baru saja mengalahkan wong kafir itu. Ambrol mereka!”


Manto geleng-geleng kepala. Demikian pula dengan Luthfi.
            “Alhamdulillah!” ujar Manto. Prajurit jaga itu kemudian menyuruh Luthfi yang sudah kadung berada di atas kuda menghantarkan Mulyo Sentiko dan pasukannya ke Gua Selarong agar tidak terjadi kesalahpahaman.


            “Sebaiknya Paman terlebih dahulu masuk ke Selarong agar tidak terjadi kesalahpahaman yang lainnya. Dan pasukan yang lain mengikuti dari belakang...” Ujar Manto. 
  
            “Matur Nuwun...!” jawab Mulyo Sentiko yang kemudian langsung menggebrak kudanya mengikuti Luthfi yang telah berlari duluan.


Kedatangan Mulyo Sentiko dan anggota pasukannya yang mengenakan seragam Belanda dan membawa serta aneka persenjataan, serta uang yang cukup banyak, sangat menggembirakan seluruh laskar Diponegoro yang berada di sekitar Selarong. Mereka mengelu-elukan barisan laskar berseragam Belanda yang baru saja memenangkan pertempuran melawan kaum kafir itu.


Mengetahui kedatangan laskar dari Pisangan ini, Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya keluar dari gua dan menyambut Mulyo Sentiko dengan penuh haru.


“Insya Allah, kemenanganmu tadi merupakan awal dari kemenangan perjuangan kita untuk mengusir kaum kafir penjajah dari Bumi Mataram yang kita cintai ini.”


“Amien Ya Rabb al’amien... Terima kasih Kanjeng Gusti Pangeran...,” jawab Mulyo Sentiko. 


(Bersambung)


[1] (Bahasa Jawa kasar): “Jahanam! Belanda sudah gila!”
[2] (Bahasa Jawa kasar): “Kamu jangan terburu-buru” atau “Kamu jangan gegabah.”

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...