Lelaki itu mengintip lewat teleskop, dengan ujung tabung lensa mengarah ke ufuk barat. Mereka menunggu bulan sabit (hilal) terlihat. Sejumlah lelaki lain bersimpuh di kaki teleskop robotik itu. Mereka sibuk mencatat. Tapi di Observatorium Pondok Pesantren Assalam, Surakarta, pada sore jelang Ramadan itu, hilal tak tampak.
Di ufuk barat mendung menggelayut. Langit tertutup awan. Seorang petugas di observatorium milik pondok modern Islam itu mengatakan sulit mengintip hilal hari itu. "Secara astronomi hilal mustahil dilihat," ujar AR Sugeng Riyadi, saat menentukan awal Ramadan, beberapa pekan lalu. Dari perhitungannya, tinggi hilal waktu itu baru 1,5 derajat.
Artinya di sekujur nusantara pada sore itu hilal dipastikan di bawah 2 derajat. Observatorium Assalam adalah satu dari 18 titik pemantau hilal resmi berkoordinasi dengan Departemen Agama dan sejumlah lembaga lain. “Kalau tak terlihat di Solo, berarti tempat lain mungkin juga tak terlihat,” ujar Sugeng. Pekan ini, mereka juga akan menjadi patokan keputusan pemerintah tentang jatuhnya 1 Syawal untuk akhir ibadah puasa.
Setiap awal Ramadan dan juga Idul Fitri, kegiatan melihat hilal menjadi perhatian umat Islam. Terutama untuk memastikan kapan ibadah puasa diakhiri, sesuai perintah agama. Itu sebabnya, tradisi melihat hilal, dan menghitungnya berdasarkan ilmu falak atau astronomi, juga telah dilakukan lebih dari satu milenium oleh peradaban Islam.
Ilmu astronomi itu bahkan berkembang pesat, yang oleh Ehsan Masood dalam bukunya “Science and Islam: A History (2009)”, terdorong oleh kebutuhan ritual Islam. Langit menjadi acuan ketika waktu salat harus ditentukan, jatuhnya Ramadan, hingga arah Mekkah sebagai kiblat salat.
Pada saat jam alarm belum ditemukan, menentukan waktu salat dilakukan dengan mengamati sudut matahari dan bintang di langit. Kalender Islam dihitung berdasarkan peredaran bulan, atau kamariyah. Dalam sistem itu, pergantian bulan dilihat lewat munculnya bulan sabit, sebagai awal bulan baru.
Kebutuhan menghitung waktu ibadah secara akurat pun muncul. Para astronom Islam melakukan penelitian panjang memecahkan misteri sistem tata surya. Pengamatan atas pergerakan bintang-bintang di langit pun dilakukan. Atas upaya itu, astronomi Islam berkembang pesat, melampaui apa yang dicapai oleh peradaban Yunani. Kelak, catatan dari peradaban Islam itu memberikan kontribusi penting bagi ilmu pengetahuan modern.
Astronomi Islam
1006. Langit Kairo cerah pada malam itu. Ibnu Ridwan, seorang ahli astronomi, terkejut mengamati bintang baru yang cemerlang. Dia menuliskan pengamatannya, dan kelak menjadi tonggak bagi astronomi Arab:
“Matahari hari itu terletak 15 derajat Taurus dan bintang baru tersebut di 15 derajat Skorpio. Penampakannya berupa benda langit yang besar, dua setengah sampai tiga kali dari Venus. Langit bersinar karena cahayanya. Intensitas cahayanya sedikit lebih besar dari seperempat intensitas cahaya bulan. Benda itu tetap berada di tempatnya, dan berpindah setiap hari mrngikuti tanda zodiaknya sampai matahari berjarak 60 derajat dengan benda itu di Virgo, ketika benda itu menghilang dengan cepat”.
Catatan itu, seperti disinggung Ehsan Masood, begitu lengkap dan akurat. Para ahli astronomi zaman sekarang merasa yakin apa yang dilihat Ibnu Ridwan adalah supernova yang berjarak 7.000 tahun cahaya dari Bumi. Itu sebabnya, menilik tahun ditemukan, ledakan cahaya bintang itu disebut Supernova 1006.
Sejarah juga mencatat, peradaban Islam, terutama di di Baghdad dan Kairo memberikan tempat sangat penting bagi penelitian astronomi. Arwin Juli R Butar-Butar, mahasiswa S3 di Institute of Arab Research and Studies di Kairo, Mesir, mengatakan peradaban ilmu falak Arab ini mendapat pengaruh dari berbagai peradaban dunia, antara lain India. “Buku astronomi 'Sindhind' punya pengaruh besar dalam perkembangan astronomi Arab,” tulis Arwin di makalahnya yang dimuat di rukyatulhilal.org.
Arwin yang sedang studi filolologi astronomi Islam klasik itu mencatat buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, pada dinasti Abbasiah. Seorang astronom, Ibrahim al-Fazzârî, ditugaskan oleh khalifah al-Makmun mengerjakan proyek itu, sekaligus melahirkan semacam buku penjelas berjudul “as-Sind Hind al-Kabîr”.
Selain India, Persia juga memberikan pengaruh, antara lain istilah Persia terus dipakai sampai saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku astronomi Persia yang termasyhur adalah 'Zij Syah' atau ‘Zij Syahryaran’.
Dari Yunani, Islam meminjam penemuan Cladius Ptolemeus, yang wafat 160 M. Karyanya yang terkenal Almagest, diterjemahkan ke Arab, dengan judul “al Majisti” atau “Tata Agung” itu menjadi pegangan penting astronomi, sampai pandangan geosentris Ptolemeus itu runtuh berabad-abad kemudian oleh teori tata surya Ibn Syathir dan Copernicus.
Pada abad ke-9, observatorium pertama berdiri di Baghdad, lalu seabad kemudian di Kairo, meskipun yang terakhir itu tak selesai. Di bagian imperium Islam yang lain, observatorium yang lebih besar dan bagus berdiri di Turki, Maragha, dan Samarkand di Uzbekistan. Di tempat itu tersimpan perangkat astronomi, seperti astrolab, armillary sphere, dan kuadran.
Khalifah al-Makmun di Baghdad, dan al Hakim di Kairo, banyak mendanai kegiatan observatorium itu. Para bintang astronom Islam, seperti Hassan Ibnu al-Haitsam misalnya, bekerja buat Dinasti Fatimiyah di abad ke-11, Ibnu al-Syathir di Damaskus pada abad ke-14, Ibnu Sina pada abad ke-11 di Asia Tengah, dan Nasir al-Din al-Thusi mengelola observatorium Maragha di bawah penguasa Hulaku Khan.
Di Samarkand, pada abad ke-15, satu observatorium terbesar didirikan oleh gubernur Ulugh Beg, seorang ilmuwan amatir yang bersemangat. Kubah observatorium itu mencapai 130 kaki, dan jejaknya masih bisa dilihat sampai zaman kini menutupi lahan di bawahnya. Dengan observatorium sedahsyat itu, penghitungan matematika makin canggih, termasuk dalam soal geometri bola dan trigonometri.
Penghitungan poros Bumi misalnya, dihitung dengan sangat akurat mendekati ketepatan pengukuran dunia modern. Seperti disebut Ehsan Masood, para astronom dari dunia Islam itu misalnya mampu menghitung kemiringan poros bumi selama 26.000 tahun. Lingkar Bumi juga diukur, dan hasilnya adalah 24.835 mil. Hanya meleset sedikit dari hasil pengukuran zaman modern dengan peralatan lebih canggih: 24.906 mil. Mereka juga mengukur bagaimana titik terjauh Bumi dari matahari bergerak beberapa detik setiap tahunnya.
Mengapa berbeda?
Tradisi mengamati hilal seperti yang dilakukan di Pondok Pesantren Assalam, Surakarta, itu adalah bagian dari tradisi ribuan tahun dalam Islam. Kini, dengan metodologi modern, para pengamat hilal bekerja lebih akurat, meskipun pendekatan tradisional tetap dilakukan.
Misalnya, pada Jumat pekan lalu, pada hari ke-22 Ramadan itu, para pengikut Muhammadiyah memutuskan 1 Syawal 1433 Hijriyah jatuh pada Minggu, 19 Agustus 2012. Dengan metode Hisab Wujudul Hilal, menurut Muhammadiyah, pada 18 Agustus 2012 ada tiga syarat yang cukup menentukan 1 Syawal. Pertama, telah terjadi ijtimak (konjungsi). Kedua, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam. Ketiga, pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk, atau bulan baru telah wujud.
"Dengan ketetapan itu, kami menginstruksikan warga Muhammadiyah untuk menggelar salat Idul Fitri pada hari dan tanggal tersebut," ujar Haedar. Ketetapan itu, kata dia, diambil berdasarkan pertimbangan syariah yang kuat dan metode ilimiah teruji. Metode Hisab Wujudul Hilal ini sudah digunakan di Indonesia sejak lebih dari satu abad silam.
"Kerajaan Arab Saudi juga menggunakan metode itu untuk menentukan kalender Islam sejak tahun 2004 lalu," katanya. Ahli hisab PP Muhammadiyah, Oman Fathurrahman, menyatakan metode itu memperkecil perbedaan. “Dia bisa menghilangkan masalah penentuan awal puasa dan hari raya yang sering tak bersamaan," ujar Oman.
Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, menyebutkan, memang ada perbedaan metode dalam penentuan penanggalan kamariyah, atau berdasarkan waktu edar bulan. “Metodenya ada dua, yaitu metode hisab (perhitungan) dan rukyat,” ujarnya. Yang jadi sebab perbedaan hanya pada soal kriteria. Soal hasil hisab, secara umum sama.
Muhammadiyah, kata Thomas, menggunakan metode Wujudul Hilal. “Asal hilal sudah wujud di atas ufuk dengan ketinggian yang positif itu dianggap masuk,” katanya. Tentu dengan tiga syarat mutlak sebagaimana disampaikan Haedar.
Sementara ormas lain, kata Thomas, memakai kriteria Imkan Rukyat. Hilal dianggap terlihat bila memenuhi salah satu syarat. Pertama, ketika Matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat. Kedua, jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat. Ketiga, ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi atau ijtimak berlaku.
Nahdlatul Ulama ikut metode Imkan Rukyat ini. Ghazali Masroeri, Ketua Lajnah Falakiyah NU, menyebut model ini sebagai “metode rukyat dilengkapi dengan hisab kontemporer yang didukung dengan kriteria visibilitas hilal”. Kriteria visibilitas ini dibahasakan NU sebagai 2-3-8, yang artinya 2 derajat hilal, 3 derajat jarak matahari-bulan, dan umur bulan 8 jam.
Jadi, menurut Masroeri, NU tak pernah mempertentangkan rukyat dan hisab. “Sebelum rukyat, NU sudah melakukan hisab jauh-jauh hari,” katanya. Namun hisab ini sifatnya prediksi, yang kemudian diverifikasi dengan rukyat. “Kalau tidak dengan rukyat, itu berarti teoritis saja,” katanya.
Cara tarekat
Tapi di luar dua metode itu, masih ada metode lain yang juga banyak dianut. Jamaah Tarikat Syattariyah di Sumatera Barat misalnya, mendalilkan rukyat dilakukan dengan mata telanjang. Di Pantai Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat, pusat penyebaran tarikat ini, para penganut tarikat ini berkumpul pada hari-hari terakhir Ramadan.
"Bila hilal di bawah ufuk (tidak terlihat), kami akan menunggu hingga pukul setengah sembilan malam," ujar Ketua Umum Majelis Zikir Istiqamah Syattariyah (Mazis) Padang Pariaman, Syafri Tuanku Imam Sutan Sari Alam. "Kemarin kami melihat hilal Jumat dan puasa Sabtu,” katanya. Dan Syattariah pun memulai puasa sama seperti yang disampaikan resmi oleh Kementerian Agama.
Lalu bagaimana dengan 1 Syawal 1433 Hijriyah? Pada Ramadan ke-29 atau Sabtu 18 Agustus, Jamaah Syattariyah akan melakukan rukyat. “Jika hilal tak terlihat, puasa digenapkan 30 hari," ujarnya.
Lain lagi dengan Tarikat Naqsyabandiyah. Tarikat yang juga berkembang di Sumatera Barat ini secara turun-temurun menggunakan kalender hisab Munjit. Naqsyabandiyah tidak pernah menetapkan Ramadan hanya 29 hari, selalu 30 hari.
"Yang kami genapkan itu Sya'ban (bulan sebelum Ramadan). Bila bulan tertutup awan, Syaban digenapkan menjadi 30 hari," kata Edizon Revindo, Sekretaris Naqsyabandiyah Kota Padang, kepada VIVAnews, Selasa 14 Agustus.
Upaya penyamaan
Perbedaan itu bukan tak diatasi. Lapan berusaha mempertemukan kedua metode itu dengan menawarkan pendekatan astronomi. Metode ini sesuai dengan kaidah-kaidah sains namun dari segi validitas aturan agama bisa dipertanggungjawabkan.
“Tapi memang ada ormas-ormas tertentu yang sulit menerima itu,” kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan, Prof. Dr. Thomas Djamaluddin. Salah satu yang sulit menerima tawaran Lapan itu, kata Thomas, adalah Muhammadiyah.
Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah, menyatakan perbedaan penentuan awal bulan Hijriyah itu sudah terjadi di sepanjang sejarah Islam. Perbedaan itu terjadi karena banyak faktor. Pertama, faktor alam sendiri. Kedua, faktor cara menentukan awal bulan.
Bagi Muhammadiyah, rukyat itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Pertama faktor geometris, yaitu kedudukan bulan dengan matahari. Kedua, faktor atmosfir, yaitu gelap, dan sebagainya bisa tidak terlihat. Ketiga faktor fisiologis, yaitu kesehatan mata yang melihat. Keempat, faktor psikologis yaitu ada dorongan psikologis untuk melihat sesuatu yang sebenarnya belum terlihat. Sementara dengan metode hisab, kata Syamsul, keempat problem di atas teratasi karena berdasarkan penghitungan (hisab).
Muhammadiyah menyatakan, penetapan dengan hisab ini memang berbeda di zaman Nabi Muhammad masih hidup. “Saat itu tidak ada problem karena umat Islam baru ada di jazirah Arab saja, hilal yang terlihat tidak mempengaruhi daerah lain, karena di daerah lain belum ada umat Islam,” kata Syamsul.
Di zaman modern ini, kata dia, ketika umat Islam ada di seluruh bagian bola Bumi yang bulat ini, penggunaan rukyat akan menjadi problem. Hilal bisa saja terlihat di Jazirah Arab tetapi di Indonesia tidak terlihat. Atau terlihat di satu tempat, tetapi di satu tempat lain tidak terlihat, sehingga daerah-daerah itu memasuki bulan baru pada hari berbeda.
Itu sebabnya, Muhammadiyah mengatakan upaya penyatuan penetapan bulan Hijriyah justru pada sistem hisab, bukan rukyat. “Tidak dapat umat Islam di seluruh dunia merayakan momen yang sama dengan menggunakan rukyat,” kata Syamsul.
Pendekatan ini memang butuh proses. Banyak umat Islam, kata Syamsul, masih terpaku pada pemahaman tekstual Sunnah Nabi yaitu rukyat. “Tapi saya yakin di masa datang, penyatuan itu bisa dicapai,” ujarnya.(viva.co.id)