Senin, 30 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (21)


Oleh Rizki Ridyasmara


Seratusan meter di selatan, Letnan Satu Thierry dan Chevallier masih berada di atas kudanya. Mereka mengawasi penyerbuan dari depan gapura yang sudah sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda dan Legiun Mangkunegara. Sejumlah pasukan kawal berada di keliling mereka. Lalu seorang opsir dengan kudanya mendekat.



“Tuan! Para pimpinan pemberontak sudah meloloskan diri ke arah barat!”
Chevallier terkejut. Demikian pula Thierry. Setahu mereka, dari data yang dihimpun dari pasukan mata-mata, termasuk tukang yang memandikan Kiai Gentayu setiap hari yang disusupkan Belanda, tidak ada lubang sedikit pun di sepanjang dinding arah barat yang bisa digunakan untuk meloloskan diri.  


“Barat? Mana bisa? Bukankah di sana tidak ada pintu? Mengapa kalian tidak bisa mencegahnya!” sergah Thierry.


“Ampun, Tuan. Diponegoro menjebol temboknya...”


Chevallier dan Letnan Satu Thierry kaget bukan kepalang. “Apa katamu? Menjebolnya? Tembok itu sangat tebal. Kowe jangan bohongi saya, opsir!” ujar Chevallier naik pitam.
“Tidak! Saya tidak bohong Tuan! Silakan Tuan lihat sendiri. Kita sudah menguasai jalur ke sana. Mari ikuti saya...”


Keduanya, diiring para pengawal berkuda, segera mengikuti opsir tersebut. Sampai di depan tembok tebal yang dijebol Diponegoro, baik Chevallier maupun Letnan Satu Thierry ternganga-nganga. Mereka sama sekali tidak bisa membayangkan apa dan bagaimana cara seorang Diponegoro melakukannya hingga mampu menjebol tembok tebal dan kuat seperti itu.[1]
Keterkejutan mereka hanya sesaat. Berganti dengan kemarahan yang amat sangat. Chevallier tahu, Residen Smissaert pasti akan memarahinya habis-habisan. Misinya gagal. Walau Puri Tegalredjo sudah dikuasai namun mereka tidak mampu menangkap Diponegoro dan Mangkubumi. Dengan menahan kegeraman, keduanya lalu memerintahkan agar seluruh bangunan di Puri Tegalredjo dibakar.


“Hancurkan! Bakar habis semuanya!” []
          
Bab 25
  
API YANG MENJILAT SELURUH BANGUNAN kompleks Puri Tegalredjo terlihat membumbung tinggi dari atas bukit karang, di mana Pangeran Diponegoro dan seluruh rombongannya beristirahat sejenak. Raden Ayu Retnaningsih sudah siuman. Isteri Pangeran Diponegoro itu sedang dirawat Ki Maswadhi, tabib puri yang juga berhasil melarikan diri bersama mereka. Perempuan itu dibaringkan di atas rumput kering dan diselimuti kain batik panjang berwarna kecoklatan yang biasanya dipakai untuk mengganjal kursi pelana dengan punggung kuda.


            Dari atas Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro menatap jauh ke bawah, ke arah timur di mana Puri Tegalredjo berada. Hatinya teriris melihat rumah kediamannya sejak kecil dibakar habis oleh pasukan kafir Belanda yang dibantu prajurit Legiun Mangkunegaran. Kedua matanya meremang basah. Bibirnya bergetar menahan sedih, dan juga amarah.     


       “Paman...,” ujar Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi yang berada di sampingnya, “...lihatlah sekarang. Rumah dan masjidku sudah dibakar kaum kafir. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini... Hanya Allah subhana wa ta’ala dan Rasul-Nya yang aku punya. Insya Allah, sampai mati, aku akan selalu berjuang membela agama haq ini...”


            Mendengar ucapan keponakannya yang dituturkan dengan penuh perasaan, Mangkubumi ikut terharu. Kedua matanya juga ikut basah. Dengan perlahan dia mencoba memberi penghiburan kepada keponakannya yang tengah gundah.


            “Pangeran..., Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Barangsiapa yang menggantungkan diri hanya kepada-Nya, maka dia akan menjadi orang yang paling beruntung di dunia kini dan akherat nanti. Cukuplah Allah sebagai pelindung. Dia-lah sebaik-baik pelindung...”


            Pangeran Diponegoro mengangguk pelan, “Benar, Paman. Apa yang terjadi hari ini belumlah apa-apa dibandingkan dengan perang sesungguhnya. Semoga Allah subhana wa ta’ala memberikan perlindungan, kekuatan, dan ketabahan bagi kita semua...”


            “Amien ya Rabb...”
            “Paman, mari kita segera berangkat. Hari sudah mulai gelap. Desa Dekso masihlah jauh. Mudah-mudahan kita bisa sampai di sana dengan selamat...”


            Pangeran Mangkubumi dan Ngabehi memerintahkan supaya semuanya bersiap kembali. Desa Dekso yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo masih jauh. Di desa ini, Pangeran Diponegoro berencana menitipkan anak-anak dan keluarganya, juga para emban, dan yang lainnya yang bukan termasuk kombatan. Sedang dirinya sendiri, juga Mangkubumi, Pangeran Bei, Ki Singalodra, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya—termasuk isterinya sendiri, Raden Ayu Retnaningsih—setelah dari Dekso akan berjalan kembali menuju Gua Selarong. Di sanalah markas komando utama berada. Ki Guntur Wisesa sudah mempersiapkan segalanya di Selarong. []


Bab 26
  
NYALA API MASIH BEGITU BESAR membakar hampir semua bangunan di dalam kompleks Puri Tegalredjo. Asapnya membubung tinggi mewarnai langit sore yang seharusnya berwarna jingga dengan nuansa kelabu yang begitu pekat. Adzan maghrib yang biasanya mengalun merdu dari masjid Tegalredjo, kini tiada terdengar lagi. Demikian pula dengan rombongan warga desa berjubah putih yang biasanya berbondong-bondong berjalan kaki menuju masjid untuk menunaikan sholat, sudah tidak ada. Semuanya menghilang, seiring serbuan pasukan gabungan Belanda dan Legiun dari Surakarta ke kediaman Ratu Ageng, tempat di mana Bendoro Raden Mas Ontowiryo, yang kemudian lebih populer disebut Pangeran Diponegoro, menempa diri sejak kecil dengan ilmu dan amal.


            Letnan Satu Thierry bersama pasukannya malam itu terus bertahan di Tegalredjo. Demikian pula dengan Chevallier. Sebagai pimpinan pasukan, Thierry merasa bertanggungjawab untuk terus melakukan pengejaran ke arah Barat, arah di mana rombongan Pangeran Diponegoro melarikan diri.


            Sedangkan Chevallier, walau tidak mengakui, namun sepertinya enggan untuk kembali ke tempat Residen Smissaert berada malam ini. Lolosnya Pangeran Diponegoro dan juga Mangkubumi pasti akan menimbulkan kemarahan Residen Yogyakarta yang baru bertugas dua tahun itu. Sebab itu dia memilih untuk tetap tinggal bersama Thierry.


            Hari sudah mulai gelap. Penjagaan di sekeliling lahan bekas puri diperketat. Para prajurit Legiun Mangkunegaran ditempatkan di pos-pos jaga terluar dari kompleks puri. Menurut laporan sejumlah opsir lapangan, pasukan Belanda ternyata belum sepenuhnya menguasai wilayah ini sepenuhnya. Di sejumlah titik yang menyebar di sekitar Tegalredjo, masih terdapat sisa-sisa laskar pemberontak. Mereka tidak terorganisir dengan rapi, sehingga mirip dengan gerombolan kriminal.


            Yang sama sekali tidak diketahui Thierry dan juga Chevallier, berita penyerangan pasukan Belanda ke Puri Tegalredjo ternyata mengundang simpati yang begitu dalam dari rakyat pribumi terhadap Pangeran Diponegoro. Tanpa dikomando, dari berbagai desa dan pelosok kampung, dari lembah dan gunung, mengalir laskar-laskar dadakan dengan membawa aneka jenis senjata yang berjalan menuju Tegalredjo. Laskar-laskar dadakan ini dipimpin oleh Demang, ulama, atau jagoan setempat. Tujuan mereka satu, untuk merebut kembali kompleks Puri Tegalredjo, yang oleh rakyat pribumi sudah dianggap sebagai kraton sesungguhnya.


            Laskar-laskar dadakan ini mengepung wilayah Tegalredjo dari segala arah. Kecuali sekitar jembatan Kali Winongo menuju Kraton dan Benteng Vredeburg, di mana jalur satu-satunya keluar-masuk Kraton-Puro Tegalredjo yang aman dijaga dengan kuat oleh pasukan gabungan Belanda-Legiun Mangkunegaran. 


[1] Sampai sekarang, tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro masih bisa disaksikan di Monumen Pangeran Diponegoro, Sasana Wiratama, Jalan H.O.S. Cokroaminoto 430, Tegalredjo, Yogyakarta. Telp. (0274) 622668. 


Di berbagai akses jalan, laskar dadakan ini melakukan blokade hampir di semua jalan utama. Mereka menebangi pohon-pohon besar dan sengaja membiarkannya melintang di jalan raya, batu-batu besar digulingkan, dan sebagian bahkan mulai menggali lubang-lubang dan selokan tepat di tengah-tengah jalan. Letnan Satu Thierry dan Chevallier cemas. Thierry kemudian memanggil sejumlah kurir yang dikumpulkannya di depan tenda komando yang didirikan di utara alun-alun, dekat dengan bagian depan pendopo yang hampir keseluruhan bangunannya sudah hancur.


            “Kalian semua secepatnya ke kraton. Temui Residen Smissaert. Katakan padanya jika sekarang juga memerlukan pasukan bantuan. Para pemberontak berdatangan dari segala arah. Nasib kita semua di sini bergantung pada kalian semua! Pergilah cepat!”


            “Laksanakan, Komandan!”
            Dengan naik kuda, mereka segera menuju jembatan Kali Winongo yang sudah diamankan. Setelah dari jembatan itu, mereka menyebar menuju Benteng Vredeburg dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.


Baru saja para kurir itu pergi dengan kudanya, seorang opsir kembali datang, “Lapor komandan! Para pemberontak semakin mendekati utara dan selatan kita!” ujarnya.


            “Utara dan selatan? Seberapa banyak kekuatan mereka?”
            “Masing-masing sekira seratusan orang. Mereka dipimpin para Demang, pendekar, dan pemimpin Islam, dengan senjata tajam.”


            “Bagaimana dengan pasukan kita?”
            “Mereka siap di posnya masing-masing. Yang di utara, di sekitar Bener dan Kricak, sudah diperkuat oleh limapuluh prajurit Legiun. Limapuluh prajurit Legiun lagi sekarang sedang bergerak ke pos selatan, di sekitar Ngemper dan Gampingan, untuk memperkuat kedudukan kita di sana. 


            Thierry memandang sejenak ke arah Chevallier yang sedang duduk di atas meja sambil mendengarkan laporan opsir tersebut. Kemudian perwira tersebut memerintahkan agar beberapa regu pasukan yang masih ada di dalam kompleks puri segera diberangkatkan ke pos wilayah utara dan selatan Tegalredjo untuk menghadapi ancaman yang tidak bisa diduga itu.


            “Bagaimana dengan pos Barat dan Timur kita?”
            “Pos Barat dan Timur sudah kuat. Juga akses kita ke pusat lewat jembatan Kali Winongo sudah kuat...”


            “Good, kita sudah meminta tambahan pasukan dari Yogyakarta. Mudah-mudahan mereka segera tiba di sini. Untuk pengamanan di dalam puri cukup satu peleton pasukan...”


            Setelah opsir itu berlalu dari hadapannya, Letnan Satu Thierry mendekati Chevallier. Dengan berbisik dia berkata, “Komandan, saya punya firasat jika apa yang kita lakukan sore ini akan menjadi awal dari sebuah perang besar. Pangeran Diponegoro bukan sekadar pangeran pemberontak. Tapi dia sudah menjadi pemimpin, raja yang sesungguhnya, dari inlander. Para inlander itu akan bersatu di belakangnya untuk melawan kita semua...”


            Chevallier terdiam. Kedua matanya menatap lurus ke arah Thierry yang jauh lebih muda. Dengan penuh keingintahuan, Chevallier juga berbisik, “Kamu yakin?”
            Letnan Satu Thierry mengangguk. Begitu yakin.


            “Apa yang membuatmu yakin seperti itu, Letnan?” selidik Chevallier.
            “Ini penilaian obyektifku saja sebagai seorang tentara. Pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah pemimpin sejati. Adalah sangat sulit mengalahkan peperangan yang dipimpin langsung oleh pemimpin yang seperti ini. Rakyat akan rela mati demi pemimpin seperti ini. Mereka tidak lagi menganggapnya sebagai seorang manusia yang memiliki kekurangan, namun mereka akan menganggapnya sebagai Pemimpin Agama mereka sendiri. Diponegoro sudah memenuhi semua syarat itu. Ini akan jadi peperangan yang besar, Komandan. Sama seperti sepuluh tahun lalu ketika Napoleon memimpin pasukan Prancis di Waterloo menghadapi Duke Wellington...”


            Chevallier mengangguk-anggukkan kepalanya. Pernyataan Letnan Satu Thierry mengingatkannya akan pertempuran besar yang pernah diikutinya sepuluh tahun lalu di sisi seorang Napoleon Bonaparte.


            “Kita sekarang melawan raja sesungguhnya dari para inlander. Suatu ketika, sejarah bangsa ini akan menulis Pangeran Diponegoro dengan tinta emas. Pemberontak itu akan dianggap sebagai pahlawan besar. Aku yakin itu...,” ujar Thierry. Chevallier mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia juga punya pandangan yang sama dengan perwira yang lebih muda darinya itu. []      
                          
 Bab 27
  
UDARA MALAM YANG BIASANYA SANGAT sejuk kali ini dirasakan begitu panas bagi Residen Yogyakarta, Anthonie Hendriks Smissaert. Itu dirasakannya setelah mendengar kegagalan misi yang diemban Letnan Satu Thierry dan Chevallier dari seorang opsir yang baru saja tiba di depan mejanya.


            “Kerja begitu saja tidak becus! Buat apa membawa pasukan banyak seperti itu, dengan meriam pula, kalau untuk menangkap dua pimpinan pemberontak seperti itu saja tidak bisa!” semprotnya pada opsir itu. Prajurit rendahan tersebut hanya mematung diam.


            “Dan sekarang dia minta bantuan pada kita untuk menyelamatkan dirinya! Gila apa! Apa seluruh Yogyakarta ini mau dikosongkan hanya untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung di Tegalredjo! Buat apa bertahan di situ kalau para pemimpin pemberontak itu kabur? Buat apa bikin pos disitu dan bukannya mengejar sampai mereka tertangkap!”


            Opsir itu masih saja mematung dengan dagu tegak. Smissaert geleng-geleng kepalanya. Wajahnya kemudian didongakkan ke atas sembari menghembuskan nafas panjang-panjang.


            “Thierry dan Chevallier itu bikin malu saja. Apa kata Mac Gillavry nantinya kalau ternyata dia tahu? Mau disembunyikan kemana mukaku ini, hah!”


            Smissaert rupanya benar-benar marah. Beberapa hari lalu, Mac Gillavry memang menulis surat kepada dirinya yang isinya memperingatkan tentang bahayanya Pangeran Diponegoro yang berhasil menghimpun pasukan yang cukup kuat. Namun kala itu Smissaert malah mentertawakannya dan mengacuhkannya. Ternyata faktanya berkata lain. Diponegoro berhasil lolos dari kepungan pasukan gabungan Belanda dan Legiun Mangkunegaran. Sebab itu, dia sungguh-sungguh malu kepada Residen Surakarta tersebut.


            “Opsir!”
            “Siap, Tuan!”
            “Apa benar pasukan kita terjepit di sana dan perlu penambahan pasukan?”


            Dengan dagu tetap terangkat ke atas, opsir tersebut menjawab tegas, “Siap, Tuan. Saya hanya menyampaikan perintah dari Letnan Satu Thierry.”


            Smissaert kembali mengangguk-angguk. Prajurit memang hanyalah pion, yang hanya dilatih untuk mematuhi atau menyampaikan perintah, bukan untuk berpikir. Yang berpikir mengatur strategi adalah para perwira. Tapi dia benar-benar kesal. Kalau saja Thiery atau Chevallier yang datang saat ini di depannya, pasti dia akan memarahi habis-habisan kedua orang itu. Akhirnya setelah berpikir sebentar dia punya satu rencana bagus. Thierry dan Chevallier memang harus diberi pelajaran, namun hal itu tidak akan sampai mengorbankan profesionalitasnya sebagai panglima tertinggi pasukan pemerintah seluruh wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.


            “Opsir..!” ujarnya lagi.
            “Siap, Tuan!”
            “Dengarkan baik-baik dan sampaikan pada komandanmu di Tegalredjo...”
            “Siap, Tuan!” 
“Saya sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pemerintah di Ngayogyakarta Hadiningrat memutuskan tidak akan memberi tambahan pasukan di Tegalredjo dalam waktu cepat. Komandanmu itu harus bertahan dahulu menghadapi para pemberontak di sana dengan sekuat tenaga. Dan tolong sampaikan pada komandanmu itu, mereka harus menulis laporan yang berisi alasan pentingnya bertahan di Puri Tegalredjo padahal target sudah kabur. Mengapa mereka tidak ikut mengejar Diponegoro dan malah mendirikan pos komando di Puri Tegalredjo. Itu saja. Cepat sampaikan dengan utuh!”


            “Siap, Tuan! Saya akan sampaikan semuanya dengan utuh!”
            “Laksanakan!”
            “Siap, laksanakan!”


            Setelah memberikan penghormatan secara militer, opsir itu segera berlalu dari hadapan Smissaert dan langsung menggebrak kudanya kembali ke Tegalredjo.


            Setelah ruangannya sepi, Smissaert kemudian menulis surat yang secara singkat meminta bantuan kepada Residen Surakarta, Magelang, dan juga Semarang, untuk secepatnya mengirim pasukan bantuan ke Yogyakarta. Khusus kepada Residen Magelang, Smissaert juga meminta pasokan dana untuk membiayai operasi ini. Selesai menulis beberapa surat, dia segera memanggil seorang kurir khusus yang sudah biasa ke Surakarta dan dikenal Mac Gillavry dengan baik. Sutowijoyo namanya.


            “Selamat malam, Tuan,” sapa Sutowijoyo begitu masuk ke dalam ruangan kepatihan. Dia kemudian berdiri saja di depan Smissaert.


            “Ya, malam. Kowe sekarang juga pergi ke Surakarta dan temui Residen Mac Gillavry di sana. Sampaikan salamku dan juga surat ini. Sedangkan surat-surat yang lain nanti kowe sampaikan pada kurir yang lain sesuai dengan tujuannya. Berhati-hatilah di jalan. Para pemberontak sudah berada di mana-mana...”


            “Siap, Tuan. Laksanakan!”
            Sutowijoyo segera menerima surat-surat tersebut kemudian langsung bergegas menuju kudanya.


            Di dalam kamar kerjanya, Smissaert terkekeh sendirian. Dia puas sudah mengerjai Thierry dan Chevallier. Wajah mereka berdua pasti akan terlihat lucu ketika menerima laporan dari kurirnya jika dirinya menolak memberi pasukan tambahan ke Tegalredjo... []
            
Bab 28
  
RESIDEN SURAKARTA, HENDRIK MAURITZ MAC Gillavry berdiri memandangi langit malam dari jendela gedung karesidenan yang lebar. Malam di pertengahan Juli benar-benar pekat. Nun jauh di atas langit, ribuan titik kecil berwarna putih dan kuning bercahaya bagai tebaran mutiara yang menggantung di awan yang gelap. Di bawahnya, dari tempatnya berdiri, puluhan kunang-kunang beterbangan ke sana-kemari dengan lincah di antara pucuk-pucuk ilalang, pohon, dan semak. Walau mencoba untuk bersikap tenang, namun kedua mata Mac Gillavry yang dilindungi tulang pipi yang kuat tidak bisa menyembunyikan kegusaran di dalam hatinya. Mac Gillavry sekarang benar-benar kesal dengan Anthonie Hendriks Smissaert yang menurutnya tidak becus bekerja di wilayah sepenting Yogyakarta.


            Dari tempatnya yang berada di sebelah Lor Wetan[1] wilayah Karesidenan Yogyakarta, Mac Gillavry terus mengikuti perkembangan demi perkembangan operasi penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro dan sejumlah pangeran pemberontak lainnya yang gagal di Tegalredjo.


            Secara pribadi, Mac Gillavry tidak menyalahkan komandan di lapangan terkait kegagalan operasi itu. Yang salah tetap komandan tertinggi di Karesidenan Yogya, yakni Smissaert. Sudah sejak awal dia telah memperingatkan, berkali-kali dia kirim surat yang melaporkan perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro dari hari ke hari—sesuatu yang sesungguhnya bukan kewajibannya—kepada Smissaert, tetapi Residen Yogya ini malah mengabaikannya. Dan ketika perang sudah pecah seperti malam ini, di mana banyak rakyat pribumi membentuk satuan-satuan laskar tersendiri dan berperang di belakang Diponegoro, maka keadaan menjadi sulit untuk dikendalikan dan diprediksi.


            Dan semua ini membuat posisi Mac Gillavry serba salah. Mau tidak mau dia harus memenuhi permintaan dari Smissaert untuk mengirimkan pasukan tambahan ke Yogyakarta. Permintaan yang sama yang ditujukan bagi Mangkunegara II dengan Legiun Mangkunegarannya.


            Kebetulan, malam ini baru saja tiba Letnan-Kolonel Genie[2] Cochius dari Markas Komando Semarang, yang berencana akan menginspeksi pasukan besok pagi. Sebentar lagi, bawahan dari Kolonel Von Jett ini akan datang di ruangannya untuk membahas strategi pertahanan Yogyakarta.


            Benar saja, tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kakinya di atas lantai marmer yang dingin di malam yang sunyi itu. Setelah saling memberikan hormat secara militer dan bersalaman, Cochius dan Mac Gillavry membentangkan sebuah peta Karesidenan Yogyakarta dan sekitarnya di atas meja bundar, tempat di mana biasanya dilangsungkan rapat antar pejabat karesidenan.


            Sambil menunjukkan jarinya di satu titik merah di atas peta, Gillavry berkata, “Ini Tegalredjo. Semula Diponegoro dan yang lainnya tinggal dan bermarkas di sini. Tadi sore Chevallier dan Letnan Satu Thierry menyerang kedudukan mereka dari segala arah, terutama selatan, timur, dan utara. Pasukan dari arah barat sendiri rupanya terhambat blokade jalan dan banyak jebakan di sana sehingga Diponegoro dan yang lainnya berhasil meloloskan diri ke arah barat ini.”


            “Kemana kira-kira perginya mereka?”
            Mac Gillavry mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Mereka mungkin sudah mempersiapkan segalanya, termasuk jalur pelarian. Yang jadi masalah, sepeninggal Diponegoro dari Puri Tegalredjo sore tadi, sepanjang malam ini timbul pemberontakan di mana-mana. Pasukan kita cukup kewalahan sekarang. Bukan tidak mungkin, pemberontakan akan merembet ke Surakarta ini...”


            “Ya, ya itu benar. Saya juga mendengar kabar jika pasukan Kiai Modjo juga telah bergerak untuk bergabung dengan Diponegoro. Entah, mereka sudah bertemu atau belum...”


            Mac Gillavry tidak begitu kaget dengan kabar yang dikatakan Cochius. Dia tahu, Kiai Modjo dan banyak guru agama di wilayahnya memang sangat dekat dengan Diponegoro sejak lama. Bahkan ada juga di antara mereka yang mengikatkan diri dalam tali kekeluargaan dengan mengawinkan satu anak dengan yang lainnya.


“Agama Islam telah menyatukan mereka semua. Inilah yang sesungguhnya sangat berbahaya. Kita akan sulit untuk menundukkan para pemberontak yang disatukan oleh agama ini. Sejarah telah memberi kita banyak pelajaran tentang hal itu, sejak masa-masa awal penyebaran agama ini di Arab hingga masa Perang Salib di Yerusalem...”


Cochius mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya dia benar-benar kagum dengan residen yang satu ini yang mempunyai wawasan kesejarahan yang cukup baik. Berbeda sekali dengan Smissaert. Cochius kemudian menoleh kepada Gillavry dan bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Smissaert dalam menghadapi Diponegoro, “Tuan Residen, apa yang kemudian diperbuat oleh Karesidenan Yogya untuk menghadapi hal ini?”


            Mac Gillavry tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. “Tidak ada! Nyaris tidak ada! Sejak awal aku sudah peringatkan mereka akan bahayanya Diponegoro ini, tetapi mereka tidak perduli. Sekarang setelah semuanya terjadi, dengan enaknya mereka meminta bantuan pasukan kepada kita. Mau tidak mau, kita pasti akan membantu mereka. Segala sesuatu yang terjadi di Yogya, sudah pasti akan dirasakan juga disini!”


            “Lantas jika demikian, apa yang sekarang Tuan Residen buat?”
            “Apa yang aku perbuat?”
            “Ya. Yang pertama sudah pasti Tuan akan berusaha keras mencegah pemberontakan akan merembet di wilayah ini. Benar bukan?”
            Residen Surakarta itu mengamini pandangan Cochius, “Ya. Itu sudah pasti...”
            “Dan yang kedua?” (Bersambung)


[1] (Bahasa Jawa): Timur Laut
[2] Insinyur kemiliteran, atau Korps Zeni.

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...