Sabtu, 28 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (20)


Setelah mengucapkan kalimat itu, Pangeran Diponegoro bergegas masuk ke dalam bangunan utama Puri Tegalredjo. Seorang prajurit keluar dari masjid untuk mengambil salah satu kuda kesayangan Pangeran Diponegoro dan menambatkannya di depan masjid. Dia sendiri menjaga kuda itu.


Pada saat bersamaan, tepat di seberang Kali Winongo, limapuluh meter di selatan jembatan, seorang pengintai yang bersembunyi di balik pohon tampak memicingkan matanya di jendela intip teropong besi berukuran kecil yang diberi lensa di kedua sisinya. Dari teropongnya, dia sudah bisa melihat bagian depan pasukan Belanda yang membawa dua buah meriam ukuran sedang. Beberapa tampak menunggang kuda, sedangkan yang lain berjalan kaki. Semuanya bersenjata lengkap.

            Menurut informasi yang diterima, pasukan Belanda ini berniat menangkap Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, hidup atau mati. Namun dia dan seluruh laskar Diponegoro tidak percaya. Dengan membawa pasukan bersenjata lengkap, Belanda tidak akan sekadar menangkap Diponegoro dan Mangkubumi, namun juga akan menghancurkan laskarnya. Belanda memang menginginkan perang.

            Pengintai itu meletakkan teropongnya. Dia segera memberi kode kepada pasukan pemukul yang tigapuluh meter bersembunyi di belakangnya dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menggoyangkan-goyangkan dahan pohon yang dipegangnya ke atas. Para komandan regu melihat isyarat tersebut. Mereka tahu, musuh sudah bergerak mendekati ujung wetan[1] jembatan Kali Winongo. Namun sesuai dengan perintah Pangeran Diponegoro, mereka tak diperbolehkan menyerang terlebih dahulu. Sebab itu, sambil terus bersembunyi ke rerimbunan pohon dan semak, mereka hanya menunggu apa yang akan dilakukan pasukan Belanda tersebut.

            Di sisi lain, pasukan pemanah sudah mempersiapkan anak panah mereka di tali busur yang tinggal direntangkan. Pasukan pemanah bersembunyi di dua sisi yang agak tinggi, di kiri dan kanan jembatan. Mereka akan menyambut pasukan Belanda yang pasti akan melintasi jembatan Kali Winongo di depannya.

            Di kejauhan, Letnan Satu Thierry memerintahkan pasukannya untuk berhenti sejenak di ujung jembatan. Pimpinan pasukan itu menyuruh tiga prajuritnya memeriksa jembatan hingga ke ujungnya. Mereka agaknya curiga, kalau-kalau jembatan sudah disabotase atau dirusak oleh Laskar Diponegoro, sehingga bisa saja ketika meriam dan pasukan melintas, jembatan itu akan ambruk ke bawah dan mereka akan jatuh tenggelam ke dalam sungai yang cukup dalam tersebut.

            Baru saja ketiga prajurit Belanda itu sampai di tengah jembatan, tanpa diduga siapa pun, dari arah berlawanan tiba-tiba datang sejumlah warga desa yang memegang aneka senjata tajam. Sambil berteriak-teriak riuh-rendah, mereka mengacung-acungkan senjatanya ke arah Belanda. Beberapa di antaranya bahkan mulai menembaki pasukan itu dengan ketapelnya. Beberapa lagi menimpuki pasukan Belanda itu dengan batu-batu.  

            Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo tertegun. Pimpinan duaratusan laskar yang bertugas mempertahankan jembatan Kali Winongo dan sekitarnya saling berpandangan. Mereka benar-benar tidak menduga jika warga desa akan berani menyongsong pasukan Belanda yang bersenjata lengkap seperti itu.

            “Uedan! Mereka kira ono pesta opo?” umpat Joyo Prawiro sambil terus merunduk di balik pohon nangka.
            Joyo Mustopo mengangguk cepat, “Yo wis. Kita lihat saja bagaimana Belanda itu. Kalau mereka mulai menyerang, kita balas!”

            Belum kering Joyo Mustopo berkata, tiba-tiba terdengar suara dentuman yang amat keras. Beberapa detik kemudian, dentuman serupa terdengar lagi.

            “Meriam Belanda!” ujar Joyo Prawiro. Bukannya takut, orang ini malah kegirangan. Dia benar-benar menunggu momen untuk bisa berperang melawan kafir Belanda. Tak jauh beda dengan Joyo Prawiro, Joyo Mustopo juga menyeringai. Belanda telah menyerang! Itu berarti mereka sudah boleh menyerbu tentara kafir itu.

Dengan penuh semangat Joyo Mustopo berdiri, keluar dari tempat persembunyiannya. Sambil mengacungkan pedangnya, dia berteriak, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Serbuu..!!!”

            Dua orang prajurit yang masing-masing membawa panji gula kelapa dan panji kuning dengan kalimah syahadah yang dibordir dengan benang emas berdiri sambil mengibar-kibarkan kedua panji tersebut ke atas. Melihat panji perang sudah berkibar tinggi, dua ratusan laskar dengan senjata aneka macam serentak keluar dari tempat persembunyiannya sambil meneriakkan takbir. Tanpa takut mereka berlari menyongsong musuh yang sebagian sudah berhasil melintasi jembatan. Pasukan berkuda Belanda yang diikuti regu senapan juga baru saja menyeberangi jembatan. Mereka terus merangsek maju dilindungi tembakan dari senapan flintclock yang larasnya diarahkan rendah setinggi pinggang. Dari seberang kali, dua meriam dengan kereta Osten Grey-nya masih tetap menembak ke arah laskar untuk membuyarkan konsentrasi barisan mereka.

            Di ujung jembatan, duel jarak dekat tak bisa dihindari. Dengan bersenjatakan keris, pedang, tombak, bandil, dan apa saja yang bisa dijadikan senjata, dengan gagah berani mereka berusaha menahan laju pasukan Belanda.

            Joyo Mustopo terus merangsek ke depan. Tangan kanannya begitu lincah menyabetkan pedang pendeknya ke kanan dan kiri. Sedangkan tangan kirinya menggenggam trisula yang akan melukai siapa pun yang berada di dekatnya. Dengan kecepatan yang mengagumkan, salah seorang pimpinan laskar ini berlompatan kesana-kemari menghadapi pasukan Belanda yang terus saja berusaha untuk maju.

Sedangkan Joyo Prawiro yang berada lima meter di sebelah kanannya, dengan ganas mengayun-ayunkan bandil dengan tiga bola besi berduri yang bisa meremukkan tulang tengkorak. Kedua kakinya juga lincah berlompatan menghindar dari ujung sangkur Belanda yang ditusukkan ke segala arah.

            Sambil bertempur jarak dekat, Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo melihat Legiun Mangkunegaran mulai berdatangan. Bagai air bah, prajurit-prajurit Jawa yang dikirim Mangkunegara II tersebut membantu pasukan Belanda yang sesungguhnya mulai kepayahan. Mendapat bantuan yang besar, pasukan kafir itu mulai bersemangat. Di depan mereka, pasukan kavaleri mulai melabrak barisan bagian dalam laskar yang akhirnya membuat laskar itu kocar-kacir.

            Joyo Mustopo dan Joyo Prawiro tahu bahwa pasukan Belanda dan kaum murtadin itu tidak akan bisa dibendung lagi. Kekuatan tidak imbang. Mereka akhirnya memilih mundur teratur sembari melakukan perlawanan kecil. Dua serangkai tersebut kemudian berbagi tugas. Joyo Mustopo akan memberikan laporan ke puri, sedangkan Joyo Prawiro akan terus  memimpin laskarnya yang masih tersisa untuk mengundurkan diri ke arah barat.

            “Sampaikan salamku untuk Kanjeng Gusti Pangeran!” teriak Joyo Prawiro. Joyo Mustopo menggebrak kudanya. Dia langsung melesat meninggalkan arena pertempuran yang mengepulkan asap yang begitu pekat.

[1] (Bahasa Jawa): Timur.


Bab 24

DENTUMAN MERIAM BELANDA TERDENGAR KERAS hingga ke dalam Puri Tegalredjo. Disusul bunyi tembakan yang begitu ramai bersahut-sahutan. Suara itu kian lama kian nyaring,  menandakan pasukan Belanda semakin dekat. Semua laskar bersiap dengan senjata di tangan. Ada yang menjaga bagian luar dinding puri, ada yang berjaga di dalam. Pintu gerbang utama sendiri dijaga seratusan laskar bersenjatakan pedang dan beberapa pucuk senapan, dipimpin langsung  Senopati Joyo Nenggolo.

            Di sekitar kompleks Puri Tegalredjo, ratusan warga desa dengan senjata seadanya juga turut berjaga-jaga. Bahkan di antara mereka ada yang menyongsong pasukan Belanda yang datang dari utara, timur, dan selatan. Mereka menyambut musuh dengan begitu bernafsu bagai menyambut datangnya gadis jelita untuk dipinang. Teriakan-teriakan penyemangat dan takbir membahana di angkasa. Rakyat yang setiap hari akrab dengan cangkul dan sawah, hari itu berlarian menjemput pasukan Belanda tanpa rasa takut sedikit pun dengan senjata seadanya di tangan. Kecintaan mereka kepada Pangeran Diponegoro dan agama Islam membuat mereka rela berkorban jiwa dan raga. Mati satu tumbuh seribu.
Di tengah ketegangan itu, Ki Singalodra kehilangan Pangeran Diponegoro. Dia terus berkeliling, memanjangkan leher ke kiri dan ke kanan mencari orang yang harus dilindunginya. Namun sosok Pangeran Diponegoro tidak ada juga, bagai hilang ditelan bumi. Ki Singalodra terus berdiri di ruang terbuka antara rumah utama dengan masjid, duapuluh meter dari dinding bagian barat Puri Tegalredjo.


            Pangeran Bei masih berada di dalam pendopo utama. Dia menerima sejumlah kurir yang melaporkan dengan cepat bahwa pasukan Belanda ternyata tidak saja menyerang dari arah timur, tapi juga utara dan selatan. Sedangkan di bagian barat, lebih sedikit terbuka.


            Tiba-tiba sisi kiri gapura utama yang berada di selatan kompleks puri meledak dan hancur terkena peluru meriam. Bunyinya begitu keras. Setelah asap menghilang, bagai air bah, gabungan pasukan Belanda dan Legiun Mangkunegaran mulai merangsek masuk ke dalam kompleks puri. Pasukan kafir dan murtadin itu langsung disambut oleh tombak dan sabetan pedang oleh laskar Diponegoro. Duel jarak dekat terjadi. Puri Tegalredjo mulai dibasahi darah. Bumi Mataram kembali bergolak.


Belanda ternyata tidak saja membawa peluru meriam konvensional, namun juga peluru bakar[1], sehingga dari mulut meriam berukuran sedang itu terlontar bola-bola api yang menyala yang langsung membakar apa pun yang dikenainya.


            Ki Singalodra menyaksikan bangunan utama Puri Tegalredjo mulai terbakar. Api mulai menjilat atapnya yang terbuat dari bambu dan daun rumbia. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memadamkannya. Sambil terus mengayunkan pedang untuk membunuh pasukan Belanda dan kaum murtadin sebanyak-banyaknya, matanya masih sibuk mencari-cari keberadaan Pangeran Diponegoro.


            Lama-kelamaan jumlah prajurit Belanda dan para murtadin itu kian banyak. Mereka sudah berada sangat dekat dengan bangunan utama puri. Ki Singalodra dan sejumlah laskar pengawal utama Diponegoro mati-matian mempertahankan bangunan utama itu agar Belanda tidak memasukinya.


            Tanpa sepengetahuan siapa pun, Pangeran Diponegoro ternyata masih berada di dalam biliknya. Raden Ayu Retnaningsih jatuh pingsan setelah kepalanya tertimpa sebatang bambu menyala yang jatuh dari atap rumah. Sambil menggendong isterinya tercinta, Pangeran Diponegoro memerintahkan supaya para emban menggendong anak-anaknya satu persatu.


            “Jaga anak-anak itu. Cepat ikuti saya!” teriaknya.


            Walau membawa tubuh isterinya, namun Diponegoro bisa melompat , keluar melewati dinding bangunan utama puri yang sudah berlubang di satu sisinya. Kiai Gentayu juga sudah menunggu di dekat situ, seakan sudah tahu jika tuannya akan keluar dari lubang tersebut. Ki Singalodra merasa lega setelah melihat Pangeran Diponegoro masih hidup. Dengan cepat dia mendekati Diponegoro dan menjadikan dirinya sebagai tameng hidup.


            “Lewat dinding barat saja, Kanjeng Pangeran. Tembok itu harus kita lompati. Semua arah sudah dikepung pasukan kafir!” teriak Ki Singalodra sambil tangannya menunjuk dinding sayap barat Puri Tegalredjo yang tingginya mencapai tiga meter dan tebal hampir satu meter.


            “Tidak mungkin, Kisanak. Anak-anak sulit melompat! Sekarang kamu jaga isteriku ini dahulu!”


 Dengan cepat dan hati-hati, Diponegoro membaringkan Raden Ayu Retnaningsih di atas Kiai Gentayu. Setelah itu dia berdiri tegak sejauh tiga meter dari dinding tebal tersebut. Di belakang Diponegoro, Ki Singalodra dan laskar yang lainnya membuat benteng hidup agar Belanda dan Legiun Mangkunegaran tidak mampu mencapai Sang Pangeran.

Pangeran Diponegoro sendiri menghadapkan badannya ke tembok besar itu. Sambil memejamkan mata, kedua tangannya terangkat ke atas dan mengepal. Secepat kilat dia kemudian berlari menerjang tembok, menubrukkan badannya, dan menghantamkan tangannya keras-keras. Suara menggelegar terdengar . Asap mengepul begitu pekat. Tembok tebal itu pun jebol berantakan bagai terkena peluru meriam yang besar. 


            Pangeran Diponegoro segera melompat ke punggung Kiai Gentayu di mana tubuh isterinya masih terbaring lemas. Dia mempersilakan Ki Singalodra dan yang lainya naik ke kudanya masing-masing, juga para emban yang masing-masing membawa satu anaknya.


            “Cepat! Kita pergi ke barat!” teriaknya.


            Baru saja rombongan hendak bergerak, tiba-tiba dari arah belakang sejumlah prajurit Belanda muncul dengan senapan flintclock siap tembak. Dalam hitungan sepersekian detik, para emban segera memacu kudanya melewati tembol yang jebol itu, diikuti Pangeran Diponegoro dan yang lainnya, termasuk Mangkubumi dan Pangeran Bei. Ukuran tembok jebol cukup besar, setinggi lebih dari dua meter dengan lebar hampir dua meter juga, sehingga bisa dilalui orang yang berkuda dengan leluasa.


 (Bersambung)


[1] Peluru meriam konvensional di zaman itu hanya berupa bola-bola besi.Yang dimaksudkan  peluru bakar adalah bola-bola besi yang sudah dilumuri ter dan dibakar sehingga ketika dilontarkan lewat mulut meriam, bola-bola api itu tidak hanya menghancurkan benda yang terkena namun sekaligus membakarnya.  


Sumber : Eramuslim.com

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...