Selasa, 10 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (16)


Bab 17

MANGKUBUMI BARU SAJA PERGI MENINGGALKAN kraton untuk kembali ke Tegalredjo. Residen Smissaert segera memerintahkan Patih Danuredjo agar menghubungi setiap pasukan lokal yang ada yang telah menyatakan siap untuk bergabung memperkuat pemerintah.

            “Panggil seluruh pasukan bantuan yang sudah siap bergabung dengan kita secepatnya. Terlebih-lebih Legiun Mangkunegaran. Mereka akan tiba terlebih dahulu, bersama dengan pasukan reguler dari Surakarta. Ke sini itu Cuma mereka hanya perlu tiga jam dari Surakarta. Setelah itu baru yang dari Semarang dan lainnya akan datang ke sini.”


            “Betul, Tuan. Saya akan segera kontak agar Legiun Mangkunegaran segera mengirimkan pasukannya ke sini.”            

            “Diponegoro pasti akan tetap tidak mau kesini... Orang koeppeg[1] itu memang harus ditangkap secepatnya.”

            “Betul, saya setuju, Tuan. Termasuk orang-orang yang dekat dengannya...”
            “Apakah Mangkubumi bisa dipercaya, Patih?”

            Danuredjo menggelengkan kepala, “Diponegoro hormat padanya, dan dia pun sangat menghormati Diponegoro. Keduanya terikat satu tali keluarga. Saya yakin, Tuan Residen, jika Mangkubumi itu diam-diam juga bersimpati padanya. Demikian pula dengan sejumlah pangeran yang lain, seperti Joyokusumah itu...”

            “Jika demikian, kalau dia pulang nanti, kita tangkap saja, atau jangan izinkan dia untuk keluar kraton lagi...”

            “Ya, ya, sangat bagus itu, Tuan.”
            “Jika tidak ada aral melintang, satu jam lagi Mangkubumi akan tiba kembali di sini. Kita akan dengar apa maunya Diponegoro itu. Apakah dia memang berani melawan kita atau menyerah...”

            “Saya tidak yakin kalau dia mau menyerah, Tuan. Tapi kita lihat saja nanti...”

              Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang.
            “Ya, masuk,” ujar Danuredjo.

            Seorang anak buah Ki Sentono masuk. Setelah memberi salam dan penghormatan, dia memberikan informasi jika Ki Sentono telah memanggil pasukan Mangkunegaran agar secepatnya ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

            “Mereka sudah dalam perjalanan ke sini, terdiri dari 10 orang kavaleri Eropa, 100 infanteri, dan limapuluh dragonder[2]. Selain itu, pasukan reguler dari Surakarta, Magelang, dan Semarang juga sedang bersiap untuk berangkat ke Yogya...”

            Danuredjo terdiam. Sepertinya dia baru saja berbicara hal itu pada Smissaert di ruangan ini dan belum didengar siapa pun. Namun mengapa Ki Sentono sudah mengetahui hal ini dan bergerak cepat? Danuredjo sungguh-sungguh heran sekaligus takjub.
Darimana Ki Sentono bisa mengetahui apa yang diinginkannya?

            “Bagus, bagus. Tolong sampaikan pesanku untuk Residen Magelang bahwa kita juga memerlukan dana yang besar untuk menghadapi Diponegoro...”

            Senyum Danuredjo bertambah lebar mendengar Smissaert meminta dukungan dana. Kepalanya mengangguk-angguk. Ya, semuanya memang butuh dana... Aku juga sangat memerlukannya...
            “Patih, kowe siapkan pasukanmu di sini agar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jangan tersenyum-senyum saja seperti itu. Aku muak melihatmu seperti itu!”

            Senyum Danuredjo mendadak hilang dari wajahnya, berganti dengan keseriusan yang dibuat-buat bagaikan badut.

“Ya, Tuan Residen. Saya akan siapkan pasukan disini.”

            “Dan untukmu, prajurit. Terima kasih atas laporanmu dan kembalilah ke posmu.”
            “Satu lagi Tuan-Tuan, patok-patok jalan raya yang ada di Tegalredjo telah dicabut oleh pengikutnya Diponegoro. Mereka mengganti patok-patok jalan itu dengan ratusan tombak. Para pekerjanya pun diusir...”

            Smissaert dan Danuredjo mengangguk-anggukkan kepalanya. Ya, mereka agaknya memang mau berperang... 

            “terima kasih, prajurit. Kembalilah ke posmu.”
            “Siap, Tuan Residen. Siap, Kanjeng Patih Dalem. Laksanakan!”

            Prajurit itu pun segera keluar dari ruangan. Smissaert melihat Patih Danuredjo yang masih saja duduk dengan pandangan mata yang merendahkan. Dengan penuh kegeraman, orang Belanda itu berteriak kepada Danuredjo, “Patih, kowe mau apa lagi di sini? Cepat siapkan pasukanmu sekarang juga! Panggil senopati-senopati terbaikmu sekarang!”

            Mendengar Smissaert berteriak seperti itu, Danuredjo segera lompat dari kursinya.

            “Siap! Siap, Tuan Residen. Saya akan segera panggil para senopati untuk menyiapkan pasukannya!” jawabnya sambil berkali-kali membungkukkan badan ke arah Smissaert yang tengah duduk di belakang meja dengan kedua kaki dijulurkan tepat ke depan muka Danuredjo. []

Bab 18
  
ISLAM AGAMA YANG CINTA DAMAI. Namun jika ada musuh yang memerangi agama tauhid ini, maka Islam mewajibkan umat-Nya untuk balas memerangi. Walau demikian, balasan yang dilakukan harus tetap mengindahkan kaidah-kaidah berperang di dalam Islam, yakni tidak boleh melakukan pengrusakan yang tidak perlu, baik terhadap alam dan juga terhadap lingkungan, tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak yang bukan kombatan[3], tidak boleh membunuh dengan sadis, dan lain sebagainya. Berkali-kali hal itu ditekankan Pangeran Diponegoro kepada pasukannya.

            Siang menjelang sore, Mangkubumi telah tiba kembali di Puri Tegalredjo. Kepada Pangeran Diponegoro dan para sesepuh yang lain, Pangeran Mangkubumi menyampaikan pesan dari Residen Yogya Smissaert. Setelah itu dia menyatakan diri bergabung sepenuhnya dengan barisan Diponegoro dan tidak ingin kembali lagi ke kraton.

             Dengan penuh haru Diponegoro memeluk pamannya ini. “Pamanda, syukur alhamdulillah paman mau bergabung dengan kami. Mudah-mudahan Allah subhana wa ta’ala memberikan kekuatan dan ketabahan pada paman di dalam perjuangan ini. Ahlan wa sahlan, Paman...”

            “Amien ya Rabb. Terima kasih, Pangeran. Semoga perjuangan kita menghadapi kafir Belanda dan antek-anteknya bisa dimudahkan Allah subhana wa ta’ala. Semoga kafir Belanda dapat segera terusir dari Tanah Jawa ini...”

            “Amien ra Rabb al ‘amien...”

            Pangeran Diponegoro kemudian mengajak Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan para sesepuh lainnya untuk menggelar musyawarah kecil di dalam masjid. Rombongan jubah putih itu pun beranjak dari pendopo depan Puri Tegalredjo menuju masjid yang berdekatan letaknya. Hanya Ki Singalodra yang tetap berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala yang juga hitam. (Bersambung)

[1] Bahasa Belanda: Keras Kepala.
[2] Dragonder adalah istilah untuk kavaleri ringan atau infanteri berkuda.
[3] Kombatan adalah pasukan tempur. ‘Bukan Kombatan’ artinya adalah perempuan dan anak-anak yang bukan bagian dari pasukan tempur. 

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...