Eramuslim.com
Diponegoro kemudian berdiri dan berjalan ke bilik kecil yang terdapat di samping masjid. Di ruangan sempit itu hanya ada sebuah ranjang kecil sederhana, sebuah meja kayu kecil, dan bangku kayu yang sudah sedikit bergoyang jika diduduki. Di atas meja itulah Pangeran Diponegoro menulis surat protes kepada Residen Yogyakarta A.H. Smissaert, yang isinya antara lain meminta agar Residen Yogyakarta itu memecat Patih Danuredjo yang dianggap sudah keterlaluan sikapnya sehingga hampir semua rakyat Yogyakarta memusuhi dia.
Tidak lama kemudian Diponegoro keluar dari biliknya dan kembali ke dalam masjid. Ahmad Prawiro masih duduk bersila di tempatnya didampingi Ustadz Taftayani.
“Ini suratnya, Ahmad. Pagi ini juga tolong berikan langsung kepada residen itu. Berangkatlah dalam nama Allah...”
“Insya Allah, Kanjeng Pangeran. Bismillah...”
Pemuda itu berdiri dan menerima surat yang telah digulung rapi dan dimasukkan ke dalam tabung bambu yang kemudian disimpan di dalam tas kulit yang disandangnya di bahu. Setelah pamit minta diri, Ahmad keluar dari masjid dan langsung melompat ke atas kudanya. Dengan sekali gebrak, kuda itu telah melesat keluar dari pekarangan Puri Tegalredjo.
Sepeninggal Ahmad, Pangeran Diponegoro kembali melanjutan pembahasan rencana perang dengan sejumlah sesepuh dan senopati. Setelah itu semua pasukan diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing dengan kesiagaan penuh di sekeliling Puri Tegalredjo dalam radius berlapis. Demikian pula dengan pasukan telik sandi.
“Ustadz...”
“Ya, Kanjeng Gusti Pangeran...”
“Saya akan menulis beberapa surat perintah kepada orang-orang kita di pantai utara, di Mancanegara[1], serta di Bagelen dan Sukawati. Mereka harus mulai bersiap menyambut apa pun yang akan terjadi esok hari.”
“Surat perintah?”
“Benar, Ustadz. Saya menyerukan kepada semua rakyat Mataram, agar mulai saat ini tidak lagi takut kepada kafir Belanda dan antek-anteknya. Orang-orang yang mengaku Muslim tapi di dalam hidupnya menggantungkan diri dan keluarganya kepada thagut, yang menyerahkan loyalitasnya kepada thagut, bukan kepada Allah dan hukum-hukum-Nya, juga harus diperangi. Hanya Allah subhana wa ta’ala yang layak dan berhak ditakuti sekaligus dicintai. Saya hanya ingin mengatakan, jika terdengar meriam berdentum sepanjang hari dan malam, maka semuanya harus siap siaga. Itu saja.”
“Baik, Kanjeng Pangeran. Itu sudah cukup.”
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati[2], Ustadz! Ini prinsip kita.”
Ustadz Taftayani hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. []
Bab 7
AHMAD TERUS MEMACU KUDANYA MELEWATI jalan utama dari Tegalredjo ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sudah dipenuhi berbagai macam penghalang demi memperlambat gerak maju pasukan reguler Belanda yang biasanya menggunakan kereta penarik meriam. Penghalang itu bisa berupa batang pohon yang sengaja direbahkan melintang di jalan, batu-batu besar yang digulingkan secara acak, atau penggalian sejumlah ruas jalan sedalam setengah meter dengan lebar satu tombak. Di beberapa tempat yang hanya diketahui Laskar Diponegoro juga sudah dipasang jebakan dan perangkap berupa lubang-lubang yang ditutup bilik yang kemudian disamarkan dengan tanah. Siapa pun yang menginjak lubang itu akan jatuh dan tertusuk belasan mata tombak atau panah yang telah ditanam menghadap ke atas. Sebab itu, kurir dan rakyat kebanyakan sejak beberapa hari lalu menghindari jalan-jalan besar sekitar Tegalredjo dan memilih untuk melewati ‘jalan tikus’ yang walau kecil dan berliku namun aman.
Menurut informasi dari pasukan telik sandi, Residen Yogyakarta Smissaert pagi menjelang siang ini masih berada di dalam kraton usai pesta besar tadi malam. Namun beberapa kilometer sebelum pintu gerbang kraton, Ahmad terlebih dahulu mampir ke sebuah rumah di gang sempit sekitar Sosrowijayan untuk berganti pakaian. Ini adalah salah satu ‘rumah aman’ bagi pengikut Diponegoro yang tidak terlalu jauh dari jalan utama menuju pusat kraton.
Di dalam rumah itu, Ahmad mengganti songkok dan baju koko putihnya, dengan baju wulung hitam dengan penutup kepala yang berwarna gelap seperti kebanyakan penduduk sekitar. Setelah itu dia kembali memacu kudanya menuju kraton melewati jalan utama menuju gerbang kraton yang serupa garis lurus, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Malioboro.
Dari atas kudanya Ahmad bisa melihat dua prajurit kraton berjaga di sisi kanan dan kiri pintu gerbang lengkap dengan tombak dan pedang. Namun pemuda itu bersikap tenang, Di dalam lipatan tas kulitnya, telah dijahit sesobek kain merah putih biru dengan lambang kraton di sisi kanannya sebagai tanda jika dirinya adalah kurir resmi bagi keresidenan Belanda untuk Yogyakarta. Dengan simbol ini dia bebas keluar masuk kraton dan gedung pemerintahan di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ahmad terus memacu kudanya. Sepuluh meter di depan gerbang, dua prajurit kraton menghunjamkan tombak ke arahnya.
“Berhenti! Turun!” bentak mereka.
Ahmad berhenti namun tidak turun dari pelana kudanya. Dia malah membentak prajurit itu, “Minggir! Ada surat penting dari Gubernur Jenderal untuk Tuan Residen. Secepatnya harus dibalas oleh Tuan Residen!”
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang di antaranya menjawab dengan nada yang lebih sopan, “Coba perlihatkan kepada kami tanda izin Kisanak!”
Dari atas kudanya, Ahmad memperlihatkan bagian dalam tas berisi sobekan kain merah putih biru dengan simbol kraton di sisi kanannya. Melihat simbol tersebut, kedua prajurit penjaga tersebut segera memberi ruang bagi Ahmad dan kudanya.
“Silakan lewat.”
“Tuan Residen ada di ruangan mana? Surat ini harus langsung sampai di tangannya sekarang juga.”
“Di ruang kepatihan.”
“Baiklah, matur nuwun..!”
Ahmad kembali memacu kudanya memasuki pelataran halaman muka kraton dan langsung menuju ruang kepatihan tempat Patih Danuredjo IV berkantor.
Setelah menambatkan kuda, Ahmad berjalan melintasi aula kraton bagian dalam. Pemuda itu menahan nafasnya sejenak. Dia tidak tahan dengan aroma alkohol dan tembakau yang begitu kuat menyeruak di aula itu. Beberapa puntung rokok masih terlihat berserak di sudut-sudut kaki meja dan kursi. Namun ketika melihat seorang prajurit jaga yang berdiri di depan ruangan kepatihan, Ahmad bisa bernafas lega. Prajurit yang tengah jaga adalah Suryo Widhuro, salah seorang prajurit yang loyal kepada Pangeran Mangkubumi. Ahmad kenal dengannya karena diam-diam Suryo juga merupakan simpatisan Kanjeng Pangeran Diponegoro.
Walau demikian, sekadar untuk memenuhi formalitas kraton, Suryo segera menggeledah Ahmad Prawiro. Setelah dianggap bersih, Suryo segera berbisik, “Serahkan saja suratnya padaku, nanti aku sampaikan pada residen itu.”
Ahmad menyerahkan surat yang langsung ditulis tangan oleh Pangeran Diponegoro, ”Tolong sampaikan langsung sekarang juga. Tidak perlu dibalas...”
Suryo mengangguk. Ahmad segera berlalu darinya. Prajurit itu pun mengetuk pintu kamar kepatihan tempat Smissaert bermalam. [] (Bersambung)
[1] Mancanegara adalah sebutan masa itu untuk wilayah Madiun, Kediri, dan Rembang).
[2] Bahasa Jawa: “Sejari sekepala, sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah penghabisan”
Diponegoro kemudian berdiri dan berjalan ke bilik kecil yang terdapat di samping masjid. Di ruangan sempit itu hanya ada sebuah ranjang kecil sederhana, sebuah meja kayu kecil, dan bangku kayu yang sudah sedikit bergoyang jika diduduki. Di atas meja itulah Pangeran Diponegoro menulis surat protes kepada Residen Yogyakarta A.H. Smissaert, yang isinya antara lain meminta agar Residen Yogyakarta itu memecat Patih Danuredjo yang dianggap sudah keterlaluan sikapnya sehingga hampir semua rakyat Yogyakarta memusuhi dia.
Tidak lama kemudian Diponegoro keluar dari biliknya dan kembali ke dalam masjid. Ahmad Prawiro masih duduk bersila di tempatnya didampingi Ustadz Taftayani.
“Ini suratnya, Ahmad. Pagi ini juga tolong berikan langsung kepada residen itu. Berangkatlah dalam nama Allah...”
“Insya Allah, Kanjeng Pangeran. Bismillah...”
Pemuda itu berdiri dan menerima surat yang telah digulung rapi dan dimasukkan ke dalam tabung bambu yang kemudian disimpan di dalam tas kulit yang disandangnya di bahu. Setelah pamit minta diri, Ahmad keluar dari masjid dan langsung melompat ke atas kudanya. Dengan sekali gebrak, kuda itu telah melesat keluar dari pekarangan Puri Tegalredjo.
Sepeninggal Ahmad, Pangeran Diponegoro kembali melanjutan pembahasan rencana perang dengan sejumlah sesepuh dan senopati. Setelah itu semua pasukan diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing dengan kesiagaan penuh di sekeliling Puri Tegalredjo dalam radius berlapis. Demikian pula dengan pasukan telik sandi.
“Ustadz...”
“Ya, Kanjeng Gusti Pangeran...”
“Saya akan menulis beberapa surat perintah kepada orang-orang kita di pantai utara, di Mancanegara[1], serta di Bagelen dan Sukawati. Mereka harus mulai bersiap menyambut apa pun yang akan terjadi esok hari.”
“Surat perintah?”
“Benar, Ustadz. Saya menyerukan kepada semua rakyat Mataram, agar mulai saat ini tidak lagi takut kepada kafir Belanda dan antek-anteknya. Orang-orang yang mengaku Muslim tapi di dalam hidupnya menggantungkan diri dan keluarganya kepada thagut, yang menyerahkan loyalitasnya kepada thagut, bukan kepada Allah dan hukum-hukum-Nya, juga harus diperangi. Hanya Allah subhana wa ta’ala yang layak dan berhak ditakuti sekaligus dicintai. Saya hanya ingin mengatakan, jika terdengar meriam berdentum sepanjang hari dan malam, maka semuanya harus siap siaga. Itu saja.”
“Baik, Kanjeng Pangeran. Itu sudah cukup.”
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati[2], Ustadz! Ini prinsip kita.”
Ustadz Taftayani hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. []
Bab 7
AHMAD TERUS MEMACU KUDANYA MELEWATI jalan utama dari Tegalredjo ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sudah dipenuhi berbagai macam penghalang demi memperlambat gerak maju pasukan reguler Belanda yang biasanya menggunakan kereta penarik meriam. Penghalang itu bisa berupa batang pohon yang sengaja direbahkan melintang di jalan, batu-batu besar yang digulingkan secara acak, atau penggalian sejumlah ruas jalan sedalam setengah meter dengan lebar satu tombak. Di beberapa tempat yang hanya diketahui Laskar Diponegoro juga sudah dipasang jebakan dan perangkap berupa lubang-lubang yang ditutup bilik yang kemudian disamarkan dengan tanah. Siapa pun yang menginjak lubang itu akan jatuh dan tertusuk belasan mata tombak atau panah yang telah ditanam menghadap ke atas. Sebab itu, kurir dan rakyat kebanyakan sejak beberapa hari lalu menghindari jalan-jalan besar sekitar Tegalredjo dan memilih untuk melewati ‘jalan tikus’ yang walau kecil dan berliku namun aman.
Menurut informasi dari pasukan telik sandi, Residen Yogyakarta Smissaert pagi menjelang siang ini masih berada di dalam kraton usai pesta besar tadi malam. Namun beberapa kilometer sebelum pintu gerbang kraton, Ahmad terlebih dahulu mampir ke sebuah rumah di gang sempit sekitar Sosrowijayan untuk berganti pakaian. Ini adalah salah satu ‘rumah aman’ bagi pengikut Diponegoro yang tidak terlalu jauh dari jalan utama menuju pusat kraton.
Di dalam rumah itu, Ahmad mengganti songkok dan baju koko putihnya, dengan baju wulung hitam dengan penutup kepala yang berwarna gelap seperti kebanyakan penduduk sekitar. Setelah itu dia kembali memacu kudanya menuju kraton melewati jalan utama menuju gerbang kraton yang serupa garis lurus, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Malioboro.
Dari atas kudanya Ahmad bisa melihat dua prajurit kraton berjaga di sisi kanan dan kiri pintu gerbang lengkap dengan tombak dan pedang. Namun pemuda itu bersikap tenang, Di dalam lipatan tas kulitnya, telah dijahit sesobek kain merah putih biru dengan lambang kraton di sisi kanannya sebagai tanda jika dirinya adalah kurir resmi bagi keresidenan Belanda untuk Yogyakarta. Dengan simbol ini dia bebas keluar masuk kraton dan gedung pemerintahan di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ahmad terus memacu kudanya. Sepuluh meter di depan gerbang, dua prajurit kraton menghunjamkan tombak ke arahnya.
“Berhenti! Turun!” bentak mereka.
Ahmad berhenti namun tidak turun dari pelana kudanya. Dia malah membentak prajurit itu, “Minggir! Ada surat penting dari Gubernur Jenderal untuk Tuan Residen. Secepatnya harus dibalas oleh Tuan Residen!”
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang di antaranya menjawab dengan nada yang lebih sopan, “Coba perlihatkan kepada kami tanda izin Kisanak!”
Dari atas kudanya, Ahmad memperlihatkan bagian dalam tas berisi sobekan kain merah putih biru dengan simbol kraton di sisi kanannya. Melihat simbol tersebut, kedua prajurit penjaga tersebut segera memberi ruang bagi Ahmad dan kudanya.
“Silakan lewat.”
“Tuan Residen ada di ruangan mana? Surat ini harus langsung sampai di tangannya sekarang juga.”
“Di ruang kepatihan.”
“Baiklah, matur nuwun..!”
Ahmad kembali memacu kudanya memasuki pelataran halaman muka kraton dan langsung menuju ruang kepatihan tempat Patih Danuredjo IV berkantor.
Setelah menambatkan kuda, Ahmad berjalan melintasi aula kraton bagian dalam. Pemuda itu menahan nafasnya sejenak. Dia tidak tahan dengan aroma alkohol dan tembakau yang begitu kuat menyeruak di aula itu. Beberapa puntung rokok masih terlihat berserak di sudut-sudut kaki meja dan kursi. Namun ketika melihat seorang prajurit jaga yang berdiri di depan ruangan kepatihan, Ahmad bisa bernafas lega. Prajurit yang tengah jaga adalah Suryo Widhuro, salah seorang prajurit yang loyal kepada Pangeran Mangkubumi. Ahmad kenal dengannya karena diam-diam Suryo juga merupakan simpatisan Kanjeng Pangeran Diponegoro.
Walau demikian, sekadar untuk memenuhi formalitas kraton, Suryo segera menggeledah Ahmad Prawiro. Setelah dianggap bersih, Suryo segera berbisik, “Serahkan saja suratnya padaku, nanti aku sampaikan pada residen itu.”
Ahmad menyerahkan surat yang langsung ditulis tangan oleh Pangeran Diponegoro, ”Tolong sampaikan langsung sekarang juga. Tidak perlu dibalas...”
Suryo mengangguk. Ahmad segera berlalu darinya. Prajurit itu pun mengetuk pintu kamar kepatihan tempat Smissaert bermalam. [] (Bersambung)
[1] Mancanegara adalah sebutan masa itu untuk wilayah Madiun, Kediri, dan Rembang).
[2] Bahasa Jawa: “Sejari sekepala, sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah penghabisan”