Dikutip dari Eramuslim.com
Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah memerintahkan dua orang kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang melintas di jalan itu...”
Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka...”
Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti Mangkubumi di dewan perwalian?”
Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan
Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”
Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk menipu rakyat.
Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali pemerintahannya.
Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.
Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi kaki tangan Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.
Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV. Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua tindak-tanduknya.
Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo. Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.
Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap dengan bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa kafir Belanda.
Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.
Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas, Diponegoro—bersama Mangkubumi—menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.
Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan rakyat.
Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro untuk memulai perang.
“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “...saat ini Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita semua di sini...” [] (Bersambung)
[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-1855 (2007) menulis, “...bagaimana dia wafat sangat mengerikan—tampaknya ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan—dan tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni... Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.”
===================================
Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah memerintahkan dua orang kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar, dilarang melintas di jalan itu...”
Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka...”
Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda. Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng Gusti Mangkubumi di dewan perwalian?”
Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan
Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”
Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk menipu rakyat.
Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal menolak. Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali pemerintahannya.
Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena pada tanggal 6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya, dia meninggal dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.
Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan. Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih Danuredjo IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi kaki tangan Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis, Raden Mas Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan adanya raja balita ini, maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai seluruh kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.
Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini, Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri dari orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV. Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan ini atas semua tindak-tanduknya.
Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari seorang Danuredjo. Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.
Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun memilih untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap dengan bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka mereka bisa mewarnai kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa kafir Belanda.
Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung, memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo yang sangat licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an, hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga keberadaan Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana layaknya Dewan Syuro ini tidak memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak lain.
Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas, Diponegoro—bersama Mangkubumi—menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton sepenuhnya.
Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian menyusahkan rakyat.
Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran Diponegoro untuk memulai perang.
“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “...saat ini Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk menangkap dan membunuh kita semua di sini...” [] (Bersambung)
[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-1855 (2007) menulis, “...bagaimana dia wafat sangat mengerikan—tampaknya ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan—dan tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang masa itu, bahwa dia telah diracuni... Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah Hamengku Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.”