Dikutip dari Eramuslim.com
===================================
Bab 1
178 tahun kemudian...
Gua Selarong, Yogyakarta , 1825
NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya itu.
Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas tanah.
Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana. Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.
Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu berteriak histeris.
Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan dusunnya.
Londo anjing!!!
Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.
Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!
Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana . Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.
Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya memerintahkan kepala pasukan setempat untuk merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi, akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.
Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka. Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda, ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.
Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.
Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.
Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!
Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan dendam.
Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus. Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro, hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.
Inilah jalanku!
Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia segera merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus. Salah satunya membawa obor di tangannya.
“Berhenti!” teriak mereka.
“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.
Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat dirinya kuat dan berani.
“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala, bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang mahluknya sangatlah lemah...”
Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang pedangnya, “Ternyata kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu yang kau bunuh!”
Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini anakku! Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti Kanjeng Pangeran!”
Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.
“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!”
“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat mematikan. Bahkan korbannya bisa hang us terkena pukulan itu.
Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur sesaat, namun mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan. Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.
“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”
Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu menoleh ke arah datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu, lelaki ini pastilah Ki Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya
Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil menggendong seorang bocah yang berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut, “Assalamu’alaikummusalam warahmatullahi wabarakatuh, wahai Singalodra. Apa gerangan yang membawamu ke sini! Anak siapa yang kau bawa itu?”
Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang tadinya panas mendadak sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.
“Wa’alaikumusalam... Aku ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti Pangeran, wahai Ki Guntur Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh Belanda tadi malam, juga isteriku... Izinkan aku menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”
Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan pada tamunya.
“Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai di atas sana ...”
“Terima kasih, Ki Guntur...”
Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan kembali memacu kudanya, namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di depan. Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di kiri kanan dan belakangnya. Mereka beriringan melintasi jalan utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong yang berada di bawah sebuah bukit batu yang besar.
Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan mereka terbentang batu karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur Wisesa memberi aba-aba dengan sebelah tangannya yang diangkat ke atas.
“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki ke atas sana .”
Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda dan menambatkannya pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil masih menggendong Surya Mandriga.
“Mari Kisanak, ikut aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki Singalodra dan menawarkan diri untuk membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki Singalodra menolaknya.
“Biar aku saja... Tolong tunjukkan saja jalannya.”
Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari terlebih dahulu ke atas untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro. Anak buah itu segera berlari ke atas.
“Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak...,” ujar Ki Guntur.
Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan tegap di ujung bawah susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di atasnya.
Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak berlompatan menuruni anak tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki Singalodra.
“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya....”
Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke samping, memberi jalan kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai Kijang Kencana menaiki tangga batu yang cukup curam. Hanya dengan beberapa kali hentakan loncatan, badan mereka sudah melambung ke atas dengan cepat. Keempat prajurit muda yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. Mereka segera menyusul kedua orang itu dengan berlari menaiki tangga.
Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran Diponegoro. Ustadz Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei[1], Ki Guntur Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya yang seluruhnya berpakaian putih-putih tampak mendampinginya.
Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di pinggang, ada pula yang memegang pedang.
Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya, sambil terus memeluk jasad anaknya, Ki Singalodra segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki dengan janggut dan cambang yang lebat ini berkata pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba....”
Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran Diponegoro yang mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut yang menutupi sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Ki Singalodra... Semoga Allah Subhana wa ta’ala selalu melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak...”
Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat berwibawa itu. Entah mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu getaran yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ki Singalodra tidak berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak menjawab apa pun. Bibirnya yang juga bergetar bagaikan terkunci rapat.
“Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama. Semua manusia itu sederajat. Yang membedakan di antara manusia bukanlah keturunan, pangkat, atau jabatan, melainkan ketakwaannya kepada Allah subhana wa ta’ala...,” ujar Diponegoro lagi.
Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan berdiri. Tangannya tetap memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani menatap langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat ke bawah.
“Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?”
“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran... Saya ingin bergabung dengan Kanjeng Gusti Pangeran...”
Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di samping Diponegoro membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya kita urus dahulu jenazah anak itu...”
Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya untuk mengurus jenazah anak dari Ki Singalodra itu.
“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih dahulu dengan baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah dengan layak. Serahkan saja pada kita...”
Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati dan berlinang airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang segera menyambutnya.
Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali, “Nah, apakah seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam menegakkan kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum kafir Belanda dari negeri ini?”
Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya bersungguh-sungguh.”
“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?”
“Melawan Belanda...?”
“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh kami. Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.”
“Thagut...?”
“Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan benar apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam hidupnya. Untuk itu, jika tidak keberatan, Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan menerangkan kepada kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya berperang di dalam Islam. Saya pun saat ini masih selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita sama-sama belajar mendalami ilmu, karena itu adalah perintah agama.”
“Berperang di dalam Islam..?”
“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan diterangkan oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi...”
Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu saja.
Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “...semua yang ada disini harus memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya sekarang. Bagaimana?”
Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik Kanjeng Gusti Pangeran, saya bersedia.”
“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”
Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan perlahan namun jelas, Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri mematung. Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua tangannya memegang kedua bahu lelaki itu. Kemudian dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang diikuti kata demi kata oleh Ki Singalodra.
“Asyhadu ala Ilaha Ilallah... wa asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu... Saya bersaksi, tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul utusan Allah...”
Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika mendengar namanya saja orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki Singalodra cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya. Setelah selesai, semuanya mengucapkan syukur.
“Alhamdulillahi Rabb al’Amien...”
Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra dengan hang at. Bagai pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada kecanggungan tampak di sana . Diponegoro, sang putera Sultan Hamengku Buwono III, dengan sangat akrab dan hang at memeluk erat seorang jagoan yang tangannya banyak berlumur darah orang lain. Hal ini langsung membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini lumer dan menangis terisak.
“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran... Apakah ada cara untuk menebusnya agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?”
Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra. Kedua matanya yang tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki itu.
“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa umat-Nya akan diampuni asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik, yaitu dosa karena menyekutukan Allah dengan sesuatu. Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.”
“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan keluargaku di surga?” ulang Ki Singalodra.
“Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila kalimatillah. Asal kita tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang menemui kematian di jalan jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk surga...tanpa dihisab.”
Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah. “Terima kasih, Kanjeng Gusti Pangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.”
Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian menyalami dan juga memeluk Ki Singalodra. Setelah itu salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri dan memberikan sambutannya, “Dahulu ketika menghadapi kaum musyrikin Quraisy, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk memperkuat barisan kaum Muslimin. Hamzah adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah yang menjadi pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan sekarang, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan bagi kita seorang Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah, dengan izin Allah, dengan bergabungnya Ki Singalodra, barisa kita akan bertambah kuat. Cahaya kemenangan semakin dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah yang dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!”
“Amien ya Rabb! Allahu akbar!” teriak semua yang ada disitu. (bersambung)