Namanya Ucup. Pertama kali aku melihatnya dari jendela kamarku yang kebetulan menghadap sebuah Sekolah Dasar Negeri. Aneh tapi nyata, sebuah SD Negeri terletak di dalam kompleks perumahan yang cukup elit. Bangunannya sederhana hanya terdiri dari 6 ruang kelas ditambah 1 kantor guru. Tidak ada halaman. Makanya kegiatan bermain, olah raga ataupun upacara bendera dilakukan di jalanan kompleks, persis di depan pagar rumahku.
Di situlah aku pertama kali melihatnya, sedang berdiri di depan tiang bendera. Kepalanya setengah menengadah. Sebelah tangannya menaungi wajah dari silau matahari siang. Beberapa anak yang lebih kecil berkeliling di dekatnya sambil menyoraki. Rasa penasaran
yang kemudian membuatku beranjak ke halaman dan menyapa seorang anak yang sedang bersandar di pagar rumahku."Dek, anak itu kenapa?" tanyaku sambil menunjuk anak di bawah tiang bendera.
Anak yang kusapa kelihatan kaget. Matanya memicing sejenak melihatku lalu menjawab sambil lalu, "Disetrap."
"Emang kenapa?"
Anak itu menoleh lagi. Mungkin heran melihat kecerewetanku.
"Dia nakal?" tanyaku lagi
"Iya. Berantem dengan kelas 6. Kepala anak kelas 6 itu bocor dijedukin ke tembok."
Setengah tak percaya aku memperhatikan anak yang masih berdiri di bawah tiang bendera. Perawakannya kecil. Lebih tepat dibilang ceking. Taksiranku dia paling baru kelas 3. Kok bisa berantem dengan anak kelas 6?
"Namanya siapa?"
"Siapa?" anak yang kutanya malah balik bertanya.
Aku menunjuk anak yang kumaksud dengan daguku.
"Ucup," anak itu menyahut singkat, lalu berlari ke arah teman-temannya yg sedang main bola.
Sejak itu aku jadi sering memperhatikannya. Hampir tiap pagi dia tiba di sekolah dengan berlari-lari. Seringkali bel sudah keburu berdentang dan akibatnya dia tak boleh masuk kelas. Kalau sudah begitu biasanya kulihat dia bermain-main sendiri di jalanan. Mengejar-ngejar mobil lewat atau mengganggu tukang-tukang jualan.
Dari Ibu-ibu yang biasa nongkrong menunggui anak-anaknya aku tahu kalau Ucup adalah trouble maker di sekolah. Mestinya dia sudah kelas 4. Tapi dua tahun tidak naik kelas, jadi sekarang baru duduk di kelas 2. Tukang berkelahi, selalu terlambat, suka nyolong, suka ngomong jorok, dan masih banyak cerita tak sedap yang membuatku miris.
Pemandangan Ucup berdiri di bawah tiang bendera pun menjadi hal rutin yang kusaksikan hampir tiap hari dari jendela kamarku. Tapi sampai sejauh ini hanya itu saja yang kulakukan. Memperhatikannya dalam diam di balik jendela.
Lalu suatu ketika rutinitas itu hilang. Tiba-tiba aku tak pernah melihatnya lagi berlari-lari supaya tidak terlambat masuk kelas, atau disetrap di bawah tiang bendera. Seorang anak yang kutanyai mengatakan bahwa Ucup sudah dikeluarkan dari sekolah karena untuk ketiga kalinya tidak naik kelas, disamping karena guru-guru sudah kewalahan menghadapi kenakalannya.
Seperti ada rasa yang hilang, tapi cepat tergantikan oleh kesibukan dan waktu yang berjalan.
Sampai suatu ketika aku melihatnya lagi. Kali ini tengah mendorong sebuah gerobak dan mengorek-ngorek tempat sampah di depan rumahku. Lagi-lagi rasa penasaran membuatku memburunya ke depan.
"Kamu Ucup kan?" tanyaku sehalus mungkin, tapi tak urung membuatnya terkejut.
"Kamu dulu sekolah di situ kan?"
Ketika raut terkejutnya hilang, ia balik menatapku dengan sorot menantang. Tutup tong sampahku dibantingnya hingga bergedombrangan. Beberapa cup bekas minuman kemasan yang baru dia ambil dilemparnya ke dalam gerobak.
Aku sedikit terkejut melihat kekasarannya. Tapi sudah kepalang basah.
"Kenapa kamu gak sekolah lagi?"
Tiba-tiba ia meludah ke tanah. Lalu kembali menatapku, kali ini dengan sinis. "Cina!" umpatnya kasar lalu mendorong gerobaknya menjauh, meninggalkanku terpana.
Tanganku terasa gatal ingin menampar mulutnya. Apa haknya mengataiku bahkan meludah di depanku. Aku cuma bertanya baik-baik. Itupun karena rasa simpati yang tak terbendung.
Tapi yang kulakukan kemudian malah diluar dugaanku sendiri. Aku tak tahu ini namanya tolol atau nekat, tapi aku mendapati diriku sedang mengikuti anak tak tahu adat itu. Aku tahu hari sudah sore, dia pasti sudah mau pulang. Aku jadi ingin tahu dimana rumahnya, seperti apa keluarga yang membesarkannya sampai dia jadi seperti itu.
Rasanya aku sudah seperti seorang detektif yang sedang mengikuti buruannya diam-diam dari jauh. Aku melihat dia keluar dari gerbang kompleks, lalu menyusuri jalan raya dan berbelok di sebuah gang kecil. Terus menuju bantaran kali dimana berderet rumah-rumah yang sebetulnya tak layak untuk disebut rumah.
Aku belum pernah menginjakkan kakiku di tempat yang menyedihkan seperti ini. Aroma sampah yang bau menyeruak dari kali yang airnya menghitam karena limbah, membuatku tak sadar menutup hidung.
Buruanku masuk ke sebuah bangunan yang sekelilingnya tertutup seng lapuk. Aku mendekati untuk mengintip. Tak kuhiraukan tatapan heran beberapa orang yang kebetulan melihat.
Bangunan itu ternyata tempat penampungan barang bekas. Di halamannya yang sarat dengan tumpukan macam-macam rongsokan aku melihat empat orang anak yang sebaya dengan Ucup sedang memilah-milah barang. Diantara tumpukan barang yang menggunung ada sebuah gubuk kecil. Seorang Bapak dengan brewok tebal tengah duduk di ambang pintunya, menghisap rokok sambil mengipas-ngipas badan dengan selembar kardus.
"Meunang naon poe ieu?(-Dapat apa hari ini,-Terj)"serunya dalam bahasa Sunda yang kasar ketika melihat Ucup menyandarkan gerobaknya. Dari suaranya yang kasar dan galak, bisa kunilai seperti apa perangainya.
"Saeutik, Bah. Rada rarieut sirah ieu teh (Cuma sedikit, Pak. Kepalaku pusing)," Kudengar nada takut dalam suara pelan Ucup.
Adegan berikutnya diluar dugaanku. Laki-laki brewok itu bangkit dengan marah, mengaduk-aduk gerobak Ucup, lalu tiba-tiba tangannya melayang menampar pipi anak kecil itu. Jerit kesakitannya terdengar berbarengan dengan jerit kagetku.
Ucup terpental jatuh lalu meringkuk sambil memegangi pipinya yang aku yakin sudah memerah.
"Saha eta (Siapa itu)?" Laki-laki brewok itu sekarang menuju pagar tempat aku mengintip. Rupanya ia mendengar teriakanku tadi. Sudah terlambat untuk mengelak, karena pintu tiba-tiba terpentang dan wajah brewoknya muncul tepat di depanku dengan sorot mata mengancam.
Jantungku hampir melorot ke ujung kaki waktu laki-laki bertampang kasar itu tiba-tiba membentak. "Kamu siapa? Ngapain ngintip-ngintip?"
"Saya cari Ucup," sahutku dengan suara digagah-gagahkan. Tentu saja aku sama sekali tidak ingin kelihatan takut dimatanya.
"Ada urusan apa?"
"Cuma ingin tahu kenapa dia tidak lagi sekolah."
"Kamu gurunya?"
"Bukan. Tapi saya..."
"Kalau begitu kamu tidak ada urusan dengan dia sekolah atau tidak." Ia melotot galak.
"Tentu saja ada. Saya dari Komnas perlindungan anak. Anda menyuruhnya bekerja jadi pemulung itu berarti anda sudah melanggar hak-haknya sebagai seorang anak. Ditambah lagi perlakuan anda yang kasar tadi. Saya bisa melaporkan anda dengan tuduhan penganiayaan. Hukumannya sudah pasti tidak ringan." Aku sampai heran sendiri dari mana bisa mendapat kata-kata sepanjang dan selancar itu pada saat jantungku sedang berdebar-debar tak karuan.
"Taik kucing!" laki-laki itu mendengus , "Budak budak aing. Aing nu mere parab. Rek dinaonkeun oge kumaha aing. Rek naon pipilueun? (Anak itu anakku. Aku yang kasih dia makan. Mau diapakan juga terserah padaku. Untuk apa ikut campur?"
"Saya cuma kasihan melihatnya. Dia masih kecil. Harusnya dia bisa sekolah terus, bukan bekerja seperti ini."
"Montong pipilueun! Nyingkah sia tidieu bisi ditampiling ku aing! (Sudah kubilang jangan ikut campur. Pergi dari sini sebelum kugampar!)"
Aku mundur dua tindak waktu laki-laki itu mengangkat tangannya dengan gerakan mengancam.
"Nyingkah! (Pergi!)" serunya lebih keras.
Kali ini kakiku mengambil inisiatif lebih cepat. Sebelum otakku sempat berpikir lagi, aku sudah berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Nyaris tak berhenti hingga sampai ke jalan raya.
Ketika berhenti barulah kurasakan sekujur tubuhku lemas seperti habis kehilangan semua tulang-tulangnya. Keringat mengucur dan degup jantungku begitu keras sampai aku takut semua orang yang lewat di dekatku bisa mendengarnya.
Aku pulang ke rumah dan memutuskan untuk menyimpan rapat-rapat apa yang telah kulakukan barusan.
Beberapa hari lewat dan aku hampir bisa melupakan kejadian itu. Lalu tiba-tiba suatu kali sepulang kuliah aku mendapati Ucup sedang berjongkok di depan pintu pagarku, memperhatikan anak-anak sekolah yang sedang bermain kelereng. Dia berdiri begitu melihatku. Berusaha tersenyum walaupun aku bisa melihat jelas keraguan di matanya.
"Ada apa?" tanyaku, berusaha untuk tidak mengingat lagi kekasaran Bapaknya tempo hari.
"Mau minta maaf," katanya malu-malu.
"Soal Bapakmu? Gak apa-apa. Aku sudah melupakan."
"Lain (Bukan)," ia garuk-garuk kepala, "Basa eta kuring ngomong... Cina. (Waktu itu saya bilang.... Cina.)"
Aku tertawa. "Aku memang Cina. Jadi gak masalah kan?"
Ia garuk-garuk kepala lagi.
"Kamu sudah makan? Tunggu, aku tahu kamu pasti belum makan. Aku akan suruh Mbok bawakan makanan buat kamu. Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana."
Aku melesat ke dalam. Dengan cepat menyuruh Mbok Umi menyiapkan sepiring nasi dan lauk-pauk yang kemudian kubawa sendiri ke depan.
Ucup terpana. Perlu beberapa menit bagiku untuk meyakinkannya bahwa makanan bertumpuk di piring itu memang untuknya dan halal. Tapi akhirnya ia makan juga. Dengan amat lahap bahkan. Mulut kecilnya begitu sibuk antara mengunyah dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
Pada akhirnya aku tahu lebih banyak tentang dia, tentang Ibunya yang meninggal waktu dia masih bayi, tentang Abah yang galak dan suka memukul, tentang kenapa ia berhenti sekolah. Dan aku baru paham kenapa dulu itu ia selalu nakal, kasar, suka memberontak. Ternyata dia cuma korban dari kerasnya kehidupan.
Aku jadi tambah simpati. Kutawari dia untuk kerja saja di toko milik Papi. Dia bisa tinggal di belakang toko bersama karyawan lain. Jadi dia tidak perlu lagi menerima perlakuan semena-mena dari Abah. Tapi tanpa kuduga dia langsung menggeleng tegas.
"Kalau saya pergi, terus Abah tinggal sama siapa?" katanya polos. "Biarpun galak, tapi dia sudah merawat saya dari kecil."
"Tapi dia suka mukulin kamu kan?"
"Itu kalau Abah lagi pusing karena gak punya duit."
"Dia juga melarang kamu untuk sekolah kan?"
"Nggak. Saya yang gak mau sekolah lagi. Buat apa?"
"Kamu bisa jadi pintar kalau sekolah. Nanti kamu bisa jadi orang sukses, bukan jadi pemulung seperti ini."
"Abah bilang sekolah gak akan bikin saya jadi kaya. Saya bisa kaya kalau dari sekarang saya kerja rajin dan ngumpulin duit sebanyak-banyaknya."
"Makanya saya tawari kamu kerja. Gajinya lumayan. Kamu bisa beli apa yang kamu mau dan bisa nabung juga." aku setengah memaksanya.
Dia menggeleng lagi. "Saya gak bisa ninggalin Abah."
Sekarang aku benar-benar tak mengerti. Bagaimana dia bisa dengan tegas menolak kehidupan yang mungkin jauh lebih baik hanya untuk seorang laki-laki tua kasar yang cuma tahu memeras tenaganya saja.
Tapi aku juga tahu tak bisa memaksanya. Maka kubiarkan dia dengan pilihannya. Hanya kubantu sedapat mungkin dengan memberikan sebanyak-banyaknya barang bekas yang bisa kutemui di rumah.
Berkali-kali setelah itu aku melihatnya datang dengan bekas pukulan di tangan atau di pipinya. Pernah sekali kutemukan luka di sudut bibirnya. Bahkan pernah juga ada benjolan besar di keningnya yang dia bilang kejeduk lemari. Aku yakin semua itu perbuatan Abah. Tapi Ucup tak pernah mengubah pilihannya. Ia tetap pilih ikut Abah daripada ikut aku. Sebuah pilihan yang tak pernah bisa kupahami hingga sekarang.
Hari ini seperti biasa dia mampir ke rumah. Lagi-lagi kulihat memar di pelipis kirinya. Tapi aku tak lagi ingin bertanya sebab sudah hapal seperti apa jawabannya. Kuberi dia sebutir apel yang langsung dikunyahnya dengan lahap.
Aku baru mau menawarinya makan waktu seorang anak sebayanya datang dan berteriak memanggilnya dengan nada panik.
"Cup, gancang balik, Abah maneh katabrak kareta api. Maot cenah. (Cup, cepat pulang. Abahmu tertabrak kereta api. Mereka bilang meninggal)."
Aku terperangah. Ucup apalagi. Kulihat badannya tiba-tiba gemetar. Wajahnya memucat. Apel yang masih setengah di tangannya jatuh ke tanah lalu menggelinding masuk got.
"Abaaaahhh...!!!" ia berteriak sambil berlari meninggalkan gerobaknya begitu saja.
Aku tak sempat lagi mencegahnya. Tak sempat lagi mengatakan apa-apa. Dia sudah keburu menghilang.
Sejak itu aku tak pernah lagi melihatnya. Gerobaknya yang tertinggal di depan rumah diambil oleh seorang temannya. Dia sendiri entah kemana.
Pernah kucoba mendatangi bantaran kali tempat tinggalnya. Tapi gubuk berpagar seng itu sudah kosong. Seorang Bapak di situ bilang setelah Abah meninggal, Ucup diajak seorang tetangganya kerja di Jakarta lalu tidak pernah ada kabarnya lagi hingga sekarang. Dari Bapak itu juga aku baru tahu bahwa Abah itu sebetulnya bukan ayah kandungnya. Ucup ditemukan oleh Abah ketika berumur 2 tahun sedang terlunta-lunta di pasar. Sejak itu Abah memeliharanya.
Aku meninggalkan tempat itu dengan sebuah pelajaran baru tentang hidup. Ucup yang selalu dibilang nakal, tapi ternyata punya kesetiaan dan kasih sayang pada orang yang pernah menolongnya, betapapun buruk perlakuan orang itu. Abah yang semula kupikir seorang laki-laki kasar dan jahat, tapi ternyata masih punya hati merawat seorang anak kecil yang tak punya siapa-siapa. Padahal kehidupannya sendiri sudah susah.
Jadi jangan menghakimi. Karena penghakiman itu hak Tuhan yang mengetahui segala hal dari awal hingga akhirnya...
Oleh : drackpack.multiply.com