Senin, 23 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (19)

Tiba-tiba seorang kurir dari Residen Smissaert datang ke pendopo alun-alun Lor. Dia langsung menemui Patih Danuredjo dan menyerahkan surat dari tuannya. Setelah membuka surat itu, Danuredjo langsung mengakhiri pertemuan dengan para senopati utama kraton dan yang lainnya.

            “Sekarang kalian semua persiapkan pasukanmu masing-masing dengan baik. Dalam waktu dekat kita akan bergerak.”




            Itu saja. Kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dalam kraton. Residen Smissaert telah menunggunya di ruangan kepatihan seperti biasanya. Tak sampai memakan waktu lima menit, Danuredjo telah membuka pintu ruangan kantornya. Dia tahu Smissaert sudah berada di dalam. Dan benar saja, Belanda bermuka bulat dengan mata biru dan rambut tipis seputih kapas di kedua bagian samping kepalanya sudah berada di atas kursi Danuredjo dengan kedua kaki diselonjorkan ke atas meja.

            “Kowe sudah siapkan semua senopati yang ada?”
            Danuredjo menganggukan kepalanya sambil duduk di depan Residen Smissaert tanpa memperdulikan jika kedua telapak kaki Belanda yang masih memakai sepatu itu langsung menghadap ke arah mukanya.

            “Sudah. Semuanya sudah siap.”
            Smissaert tertawa. Danuredjo juga. Belanda itu kemudian menurunkan kakinya dan berdiri kemudian duduk di pinggir meja setelah menggeser papan nama Patih Dalem Danuredjo IV dari tempatnya semula.

            “Patih... Gillavry dan Von Jett telah mengkonfirmasi semua permintaan kita. Pasukan mereka telah berangkat dari Surakarta, dan akan menyusul kemudian yang dari Magelang serta Semarang. Mereka akan bergabung dengan Legiun Mangkunegaran yang sebentar lagi akan tiba. Kita sudah kuat kembali. Sore ini kita akan tangkap pemberontak itu!”

            “Apakah tidak sebaiknya kita menunggu surat jawaban darinya dulu, Tuan Residen. Bagaimana laporan dari kurir kita tadi malam yang menemui Mangkubumi?”

            “Tidak perlu. Kita mengirim kurir dan meminta Diponegoro menulis surat lagi hanyalah untuk memperbanyak pekerjaannya saja. Kita tidak menunggu surat itu. Kita akan kepung mereka dengan kekuatan yang lebih besar ketimbang kekuatan mereka.”

            “Apakah kita sudah tahu berapa kekuatan mereka yang dipusatkan di Tegalredjo?”
            “Ya. Dari beberapa pasukan telik sandi, kita sudah mendapat kepastiannya.”

            “Siapa nanti yang memimpin penangkapan?”
            Smissaert tertawa, “Kowe mau, Patih?”

            Danuredjo menggeleng cepat. Sambil tertawa konyol Danuredjo menjawab, “Tuan Residen pasti tahu saya bukan orang yang tepat untuk mengemban tugas itu. Wakil Tuan, Chevallier jauh lebih tepat.”

            Smissaert mengangguk-angguk. “Ya, kowe kali ini benar. Chevallier lebih punya kemampuan untuk itu. Dia orang sudah aku panggil. Sekarang dia sedang ke sini.”
“Secepat itukah?”
“Rencana sudah aku susun dengan sangat rapi. Jika kowe pintar, kowe akan bisa banyak belajar...” 

            Danuredjo hanya manggut-manggut. Tak berapa lama terdengar langkah-langkah kaki tergesa milik wakil residen itu. Chevallier sudah mengenakan seragam tempur, lengkap dengan topi dan pedangnya. Dia benar-benar sudah siap diterjunkan ke medan laga. Setelah memberikan military-salute, dengan sikap sempurna Chevallier melapor pada atasannya, Residen Anthonie Hendriks Smissaert.

            “Lapor Tuan Residen! Kami siap dan tinggal menunggu perintah!”
            “Berapa kekuatanmu untuk operasi nanti sore?”

            “Siap! Duapuluh lima flankeurs[1], duapuluh lima huzaren[2], dan dua veldstuk[3]. Demikian pula dengan pasukan prang Sultan, pasukan prang Pangeran Pakualaman, Legiun Mangkunegaran, dan lainnya. Semuanya sudah siap bergerak. Mereka kini berada di posnya masing-masing untuk menunggu perintah. Letnan Satu Thierry dari Resimen Huzaren ke-7 menjadi pimpinan operasi. Saya sendiri ikut di dalam pasukan ini.”

            Senyum Smissaert mengembang di wajahnya. Sambil mengangguk-angguk, dia memberikan beberapa perintah. “Jika sampai pukul setengah tiga sore Mangkubumi belum juga datang dengan membawa pimpinan pemberontak itu ke sini, maka kedua orang itu—Mangkubumi dan Diponegoro—harus kalian tangkap, hidup atau mati. Tak ada bedanya bagiku. Gunakan segala cara untuk menyeret kedua orang itu ke hadapanku. Secepatnya!”

            Smissaert melirik lemari jam Junghans yang berdiri di sudut ruangan kepatihan. Jarum pendeknya yang berwarna keemasan telah mendekati angka dua. Smissaert tahu, jarum itu akan terus bergerak pasti, detik demi detik, menit demi menit, seirama gerak dua bandul yang bergelantungan di bawah bulatan dengan dua jarum jam.

            Residen itu kemudian menatap wakilnya yang masih berdiri dengan sikap sempurna, “Chevallier, kowe punya waktu kurang dari satu jam untuk bersiap. Sekarang kembalilah ke pasukanmu. Bersiaplah. Sebelum hari menjadi gelap, aku sangat berharap pimpinan pemberontak itu sudah kowe seret ke sini. Kita perlihatkan kepada semua orang, hukuman apa yang bakal menimpa orang-orang yang berani melawan pemerintah yang sah ini!”

            “Siap!” jawab Chevallier singkat dan tegas. Setelah memberikan penghormatan kembali, dia kemudian membalikkan badan. Dengan setengah berlari, veteran Palagan Waterloo itu melintasi lorong yang satu ke lorong yang lain di dalam kraton menuju alun-alun Lor tempat semua pasukannya berkumpul.

              Matahari bulan Juli yang terik semakin tergelincir ke barat. Chevallier telah tiba di ujung alun-alun. Dari kejauhan, nampak semua pasukannya telah berbaris rapi di lapangan yang luas. Chevallier tersenyum. Walau tubuhnya bermandikan keringat, namun semangatnya begitu tinggi. Sore nanti, Pangeran Diponegoro—Kepala Pemberontak itu—beserta Pangeran Mangkubumi, sudah harus dibawanya ke Residen Smissaert. 
                          
Bab 22
  
INFORMASI MERUPAKAN SESUATU YANG AMAT sangat berharga dalam sebuah peperangan. Siapa yang menguasai informasi musuhnya, maka dia akan keluar sebagai pemenang. Pangeran Diponegoro sangat mengetahui hal ini.

Sebab itu, jauh-jauh hari Diponegoro telah menugaskan Pangeran Bei untuk menyebarkan sejumlah pasukan telik sandi ke kantung-kantung musuh, bahkan ke dalam kraton dan juga Vredeburg, benteng Belanda yang berada tak jauh di utara kraton. Pasukan telik sandi Diponegoro bukan hanya terdiri dari kaum lelaki, namun juga perempuan. Para isteri pangeran, selir raja, pelayan kraton, tukang masak, hingga para penari, dan pedagang yang diam-diam bersimpati pada perjuangan Pangeran Diponegoro. Mereka secara suka rela bekerja, mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai perkembangan dan pergerakan pasukan musuh.

            Mengenai pasukan telik sandi ini, laskar Diponegoro memiliki dua jenis. Yang pertama adalah pasukan telik sandi sukarela, yang terdiri dari banyak profesi dari berbagai macam lapisan masyarakat. Sedangkan yang kedua adalah pasukan telik sandi utama, yaitu pasukan yang sengaja dibentuk dari orang-orang terpilih, direkrut dan dilatih secara rahasia, dan secara terencana serta terukur ditempatkan di posnya masing-masing. Dengan sendirinya, tingkat kredibilitas informasi yang diperoleh pasukan telik sandi utama ini jauh lebih terpercaya ketimbang yang pertama. (Bersambung)

[1] Infanteri
[2] Kavaleri
[3] Artileri (pembawa meriam)


Berdasarkan masukan dari pasukan telik sandi utama inilah, Pangeran Bei bersama Pangeran Diponegoro menyusun sistem pengaman di sekitar wilayah Tegalredjo, yang terbagi ke dalam tiga lingkaran dengan radius yang berbeda. Satu lingkaran dipimpin oleh seorang senopati yang membawahi empat komandan arah mata angin, komandan Lor[1], Kulon[2], Kidul[3], dan Wetan[4]. Jadi total ada tiga senopati yang masing-masing membawahi empat komandan sesuai dengan mata angin.

            Siang itu ba’da Dzuhur, dengan menunggang Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro melakukan inspeksi ke seluruh pasukannya. Ki Singalodra, Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan tiga orang laskar menyertainya.

            Tiba di tepi sebelah barat Kali Winongo yang berbatasan dengan wilayah Badran dan Pringgokusuman, Pangeran Diponegoro beserta seluruh rombongannya menemui Joyomustopo dan Joyoprawiro yang memimpin laskar setempat. Jumlah laskarnya lebih kurang ada sekitar duaratusan orang bersenjata tombak, keris, dan pedang. Beberapa di antaranya terlihat memegang senjata berupa tiga buah bola besi sebesar kepalan tangan orang dewasa yang diberi besi tajam di sana-sini, yang dihubungkan dengan rantai dan diputar-putar hingga mengenai musuh. Senjata ini disebut sebagai Bandil[5].  

            Setelah itu rombongan melanjutkan inspeksinya ke seluruh wilayah Tegalredjo. Inspeksi seperti ini diperlukan, selain untuk koordinasi antar pimpinan pasukan, juga untuk menaikkan semangat berjuang di kalangan laskar atau prajurit.

            Menjelang kumandang adzan Asyar, Diponegoro dan rombongan sudah kembali ke dalam masjid Puri Tegalredjo. Setelah beristirahat dan sholat berjamaah, Diponegoro memanggil Mangkubumi.

            “Paman, saya akan menulis surat terakhir untuk residen. Kita akan tetap pada pendirian kita semula. Tak goyah sedikit pun. Tolong sebentar lagi panggilkan Ahmad Prawiro untuk mengantarkan surat ini ke kraton.”

            Setelah itu Pangeran Diponegoro masuk ke dalam biliknya. Pangeran Mangkubumi menunggu di dalam masjid. Beberapa sesepuh dan laskar masih ada yang berzikir di dalam masjid.

            Seorang kurir dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam masjid. Menyadari Pangeran Diponegoro tengah menulis surat di dalam biliknya, kurir tersebut mendekati Pangeran Mangkubumi yang tengah duduk bersila dan segera menyampaikan berita yang menggembirakan.

            “Kanjeng Pangeran, Kiai Modjo dari Surakarta menyampaikan salam pada Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di Tegalredjo ini. Saat ini beliau, bersama anaknya, Kiai Ghazali, dan seluruh pasukan santrinya tengah menuju ke sini untuk memperkuat pertahanan...”

            “Kiai Modjo dan anaknya?”
            “Betul, Kanjeng Pangeran. Mereka semua sedang berjalan ke Tegalredjo ini...”
            Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk, “Baiklah. Terima kasih atas informasinya, Kisanak. Saya akan sampaikan berita menggembirakan ini kepada Pangeran Diponegoro secepatnya.”
            “Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya minta diri...”
            Setelah mengucapkan salam, kurir tersebut keluar dari masjid untuk mengambil air wudhu. []

Bab 23
  
NAFAS SUROMENGGOLO TERSENGAL-SENGAL. SALAH seorang kepercayaan Diponegoro itu kemudian lompat dari kudanya dan langsung berlari menuju masjid, di mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada.

            “Assalamu’alaikum...!” ujarnya setengah berteriak. Dadanya terlihat turun naik. Nafasnya masih satu-satu. “Kanjeng Pangeran ada?” tanyanya kepada salah seorang laskar yang masih berada di masjid. Laskar itu kemudian menunjukkan ibu jarinya ke arah sudut depan masjid dimana bilik Pangeran Diponegoro berada.

            “Beliau sedang menulis surat di biliknya...”
            Suromenggolo mengangguk dan masuk ke dalam masjid. Begitu melihat Mangkubumi juga ada di masjid, Suromenggolo memberi salam mendekatinya.
            “Salam, Kanjeng Pangeran Mangkubumi...”
            “Salam juga, Kisanak. Apakah ada perkembangan baru di lapangan. Kenapa Kisanak terengah-engah begitu?”

            Suromenggolo menganggukkan kepalanya cepat, “Ya. Belanda. Pasukan Belanda sudah bergerak dari alun-alun Lor menuju ke sini. Dua kilometer lagi mereka tiba di jembatan Kali Winongo!”

            Mangkubumi agak terkejut. Dia kemudian berdiri, “Cepat sekali gerakan mereka. Berapa kekuatannya?”

            “Dua meriam baja ukuran sedang yang ditarik dua kereta model Osten-Grey. Meriam itu masih baru. Ada juga puluhan infanteri dengan senjata laras panjang flintlock, puluhan kavaleri berkuda dengan pedang dan senjata api. Legiun Mangkunegaran juga ada di sana. Jumlahnya sekira limaratusan...”

            “Mereka ingin menangkap Pangeran Diponegoro?”
            “Ya. Selain Kanjeng Pangeran Diponegoro, juga beberapa pimpinan lainnya.”
            “Termasuk aku?”
            Suromenggolo mengangguk, “Ya, termasuk.”

            Menyadari bahaya yang semakin mendekat, Mangkubumi akhirnya bergegas mengetuk pintu bilik di mana Pangeran Diponegoro sedang menulis surat. Pintu dibuka dari dalam. Pangeran Diponegoro sudah berdiri diambang pintu. Mangkubumi segera melaporkan semuanya.  

            “Pasukan Belanda sudah mendekati jembatan Kali Winongo!”

            Diponegoro tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jembatan Kali Winongo sangat dekat dengan Puri Tegalredjo. Namun pergerakan pasukan Belanda juga akan sedikit terhambat dengan banyaknya barikade dan jebakan yang sudah dipasang dengan cermat. Laskar yang menjaga sekitar wilayah Winongo juga akan tidak tinggal diam. Pertempuran sebentar lagi akan terjadi.

            Kepada Mangkubumi, Diponegoro berkata, “Paman, sekarang para kafirin dan murtadin itu sudah di depan mata kita. Mereka menyerang kita. Tentu kita tidak akan tinggal diam. Kini bersiaplah. Kita akan sambut mereka. Kita kibarkan panji-panji gula kelapa![6] Kita kibarkan juga panji kejayaan negeri ini[7]. Allah bersama kita! Allahu Akbar!”

            “Allahu Akbar! Kami semua siap, Pangeran!”
            “Oh iya, Pangeran. Ada juga berita gembira. Kiai Modjo dan anaknya, Kiai Ghazali, tengah berjalan ke sini memimpin pasukannya untuk memperkuat Tegalredjo.”
            “Alhamdulillah. Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi kita semua, Paman...”
            “Amien ya Rabb...”

            Setelah mengucap salam, Mangkubumi bergegas keluar dari masjid, diikuti seluruh sesepuh dan laskar yang ada. Hanya Ki Singalodra dan tiga prajurit kawal yang tetap berdiri di samping Diponegoro. Dengan senyum tipis di bibirnya, Diponegoro menoleh kepada Ki Singalodra.

            “Kisanak, pintu surga sebentar lagi akan terbuka lebar-lebar di hadapan kita. Bersiaplah untuk menyambutnya. Saya akan persiapkan isteri dan anak-anak dahulu. Tolong siapkan Kiai Gentayu. Silakan Kisanak tunggu disini...” (Bersambung)

[1] (Bahasa Jawa): Utara
[2] (Bahasa Jawa): Timur
[3] (Bahasa Jawa): Selatan
[4] (Bahasa Jawa): Barat.
[5] Senjata bandil, keris, tombak, pedang, trisula, dwisula, dan sebagainya masih tersimpan dengan baik di Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, museum yang dibangun di atas lahan bekas Puri Tegalredjo di Desa Tegalredjo, sebelah barat Stasiun Tugu, Yogyakarta.
[6] Panji Gula-Kelapa adalah panji atau bendera merah putih. Lambang pemberontakan untuk merdeka.
[7] Yang dimaksudkan dengan Panji Kejayaan adalah bendera berwarna kuning yang melambangkan tanda kebesaran . Bendera ini merupakan simbol perjuangan leluhur yang sudah berabad lamanya tidak pernah dikibarkan, sejak tahun 1292 pada masa Jayakatwang hingga Sultan Agung. 

Sumber : eramuslim.com

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...