Sabtu, 28 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (24)


Oleh Rizki Ridyasmara



“Sebentar lagi Kanjeng Pangeran Diponegoro akan menemui Kanjeng Kiai..”


            Belum kering bibir Abdullah mengucapkan kalimat itu, dari arah belakang terdengar derap kaki kuda yang kian lama kian jelas. Pangeran Diponegoro, disertai Mangkubumi, Ki Singalodra, dan Ustadz Taftayani terlihat memacu kudanya ikut menyambut Kiai Modjo. Dari atas kudanya, mereka semua bersalaman dan berpelukan. Kedua pasukan besar itu pun bergabung menjadi satu. Pangeran Diponegoro mengajak Kiai Modjo dan Kiai Ghazali ke bagian depan. Mereka kemudian segera memacu kudanya menuju pelataran yang terletak di bagian bawah Gua Selarong.



            Ki Guntur Wisesa yang berada di depan barisan memanggil sejumlah kepala regu. Kepada mereka semua, Senopati yang bertanggungjawab atas wilayah Selarong ini memerintahkan agar mereka semua mengatur pasukannya masing-masing, untuk mengisi pos-pos pertahanan yang sudah dipersiapkan.


            “Tempati posisi kalian semua. Isi posnya masing-masing. Bersiagalah, jangan lengah!” teriaknya.


            Para kepala regu segera membubarkan diri kembali ke regunya masing-masing.


            Setibanya di pelataran depan anak tangga menuju ke Gua Selarong, Pangeran Diponegoro dan lainnya turun dari kudanya. Diponegoro bersama para sesepuh lainnya menaiki tangga yang dibuat dari susunan bebatuan menuju ke gua yang berada di bagian atas. Isteri dari Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih beserta puluhan Laskar Puteri, menunggu di bawah membiarkan kaum laki-laki naik ke atas terlebih dahulu. Setelah para sesepuh naik semua, barulah mereka menaiki tangga menuju gua yang satunya lagi.


Gua Selarong seakan memang diciptakan berpasangan. Satu di sebelah barat dan satu lagi di timur. Yang di sebelah barat di sebut Gua Kakung karena dipakai sebagai pusat komando pasukan laki-laki, sedangkan yang di timur disebut Gua Puteri yang akan dihuni oleh Raden Ayu Retnaningsih beserta pasukannya.


           


Pagi yang sama jauh di utara Selarong, tepatnya di Semarang,Residen Semarang dan Kolonel Von Jett tengah melakukan persiapan untuk menginspeksi duaratusan pasukan artileri dan infanteri di bawah pimpinan Kapten Kumsius yang akan segera berangkat ke Yogyakarta siang atau sore harinya. Menurut rencana, pasukan ini akan transit terlebih dulu ke Magelang untuk mengambil uang titipan dari residennya sesuai dengan permintaan Residen Yogyakarta, A.H. Smissaert.


            Kabar tentang pemberontakan yang meletus di Yogyakarta sendiri sangat mengejutkan Semarang. Warga Semarang terbelah menjadi dua. Ada yang mendukungnya namun lebih banyak yang cemas. Pemerintah jajahan sendiri menyebarkan fitnah jika  yang memberontak di Yogyakarta adalah para kriminal dan penjahat yang kabur setelah menjebol berbagai penjara. Mereka ditampung oleh Pangeran Diponegoro dan dijadikan anggota pasukannya. Kebanyakan warga Semarang, di antaranya banyak warga Cina yang berprofesi sebagai pedagang, dilanda ketakutan yang teramat sangat. Mereka takut jika pemberontakan itu akan menjalar ke Semarang. Mereka segera berkumpul dan berencana membentuk satuan-satuan sipil bersenjata—mirip pamswakarsa—yang akan mempertahankan kampungnya dari segala ancaman yang mungkin saja timbul.


            Karesidenan Semarang sendiri, sama seperti karesidenan-karesidenan lainnya, berusaha turut memadamkan pemberontakan Diponegoro dengan mengirimkan pasukannya ke Yogyakarta. Duaratusan pasukan infanteri dan kavaleri yang dipimpin Kapten Kumsius sedang bersiap berangkat. Komandan pasukan Belanda di Semarang, Kolonel Von Jett, malah berinisiatif datang langsung ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pembuat kebijakan secara langsung menghadapi pemberontakan itu. []


   


Bab 33     


            


SALAH SEORANG PRAJURIT JAGA MELAPOR pada Ki Guntur Wisesa yang baru saja hendak mendaki susunan tangga batu menuju Gua Kakung tempat di mana Diponegoro akan melangsungkan musyawarah.


            “Ada apa, Kisanak?” selidik senopati itu.


            “Maaf Ki, ada kabar penting yang hendak disampaikan anggota pasukan telik sandi kita dari Plered kepada Kanjeng Pangeran...”


            “Kanjeng Pangeran hendak memimpin pertemuan terbatas. Sampaikan saja padaku, nanti aku teruskan pada Kanjeng Pangeran...”


            “Inggih, Ki....”


            “Apakah itu orangnya?” Ki Guntur Wisesa menunjuk seorang lelaki muda berpakaian wulung hitam-hitam yang tengah berdiri sekira tujuh tombak di belakang mereka. Prajurit jaga itu mengangguk. Dia kemudian memanggil lelaki itu dan mempersilakan untuk menyampaikan informasi yang dimiliki kepada Ki Guntur Wisesa.


            “Apa yang hendak Kisanak sampaikan?”


            Dengan perlahan, prajurit mata-mata itu menyampaikan laporan jika Sentot Prawirodirdjo dengan limaratusan pasukannya sudah menyatakan akan bergabung di Selarong. “Insya Allah, dalam waktu dekat...”


            Ki Guntur Wisesa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi dia sepertinya belum yakin benar dengan kabar yang dibawa prajurit itu. “Kisanak dari Plered?”


            Prajurit itu mengangguk, “Inggih, Ki...”


            “Siapa nama pemimpinmu?” selidik Ki Guntur. Kalimat ini sesungguhnya adalah kata sandi yang harus dijawab dengan sesuai oleh orang yang memang bagian dari pasukan telik sandi yang ditempatkan di Plered. Ada dua kombinasi pertanyaan dan jawaban.


            “Semarang Magelang...,” jawabnya pelan.


            “Apa?”


            “Magelang Yogyakarta...”


            Ki Guntur tersenyum. Kombinasi jawaban prajurit itu sesuai. Baru dia yakin jika informasi yang disampaikan prajurit itu benar adanya. Sambil menepuk-nepuk punggung prajurit tersebut, Ki Guntur mengucapkan terima kasih.


            “Terima kasih, Kisanak. Sekarang saya akan ke atas, melaporkan kabar ini kepada Kanjeng Pangeran.”


            Prajurit itu segera minta diri dan menghilang dalam kesibukan para laskar dan kepala regu yang tengah mempersiapkan segala sesuatunya.


            Ki Guntur sendiri bergegas menaiki susunan tangga batu menuju Gua Kakung dimana Pangeran Diponegoro akan mengadakan tukar pikiran dengan Kiai Modjo, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi. Setibanya di mulut gua, semuanya sudah duduk melingkar.


            Setelah memberi salam, Ki Guntur menyampaikan maaf karena datang terlambat. ”Ndak apa-apa, Ki Guntur. Kita baru saja akan mulai,” ujar Pangeran Diponegoro sembari mempersilakan Senopati Selarong itu duduk di sampingnya.


            Tukar pikiran dibuka dengan pembacaan beberapa ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh Kiai Modjo. Setelah itu, Pangeran Diponegoro mempersilahkan masing-masing untuk bicara.


            Ki Guntur Wisesa mengangkat tangan terlebih dahulu, “Kanjeng Pangeran, Kiai, dan Ustadz, maafkan saya bila lancang berbicara terlebih dahulu. Saya hanya ingin menyampaikan kabar gembira dari pasukan telik sandi kita yang ada di Plered. Dia mengabarkan jika Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya insya Allah akan bergabung disini. Itu saja....” 


Semua yang hadir di dalam gua tersebut mengucapkan syukur, “Alhamdulillah...”


            Berita baik ini tentu menggembirakan semuanya. Bergabungnya Sentot dan pasukannya merupakan suntikan darah segar pada barisan kaum mujahidin yang tengah menggalang kekuatan untuk mengusir kekuatan penjajah kafir Belanda dan antek-anteknya dari Bumi Mataram.


            Bagi para sesepuh dan kerabat Kraton, sosok Sentot Prawirodirdjo yang dilahirkan pada tahun 1807 tidaklah asing lagi. Ayahnya, Raden Ronggo Prawirodirjo III, merupakan ipar Sultan Hamengku Buwono IV, dan sekaligus juga mertua Pangeran Diponegoro dimana salah satu isterinya yang bernama Raden Ayu Citrowati, merupakan anak dari Raden Ronggo namun beda ibu dengan Sentot.


            Berbeda dengan keluarga Danuredjan, keluarga Raden Ronggo dikenal sebagai keluarga yang gigih menentang penjajah kafir Belanda. Bahkan ayah Sentot Prawirodirdjo sendiri akhirnya meninggal dibunuh Daendels. Hal ini memicu dendam membara di dalam dada seorang Sentot yang sangat membanggakan ayahnya tersebut. Inilah yang menjadi salah satu penyebab bergabungnya Sentot ke dalam pasukan Diponegoro.


Beda dengan remaja seusianya, seorang Sentot Prawirodirjo sejak masih kanak-kanak telah digembleng berbagai macam ilmu dan pengetahuan, seperti olah diri, cara berkelahi, ilmu agama, hingga dasar-dasar kesatriaan atau ilmu perang.


Sebab itulah, walau masih terbilang remaja, namun Sentot tumbuh menjadi seorang laki-laki yang berkepribadian matang dan dewasa. Salah satunya diwujudkan dalam keberaniannya memilih cara berpakaian yang sungguh berbeda dengan orang kebanyakan, yaitu jubah putih dengan surban, yang serupa dengan Pangeran Diponegoro dan Kiai Modjo.


Sentot yang cerdas tahu jika sebuah pakaian bisa dijadikan sebagai identitas sekaligus alat perlawanan. Jika kebanyakan rakyat Mataram hanya berpakaian wulung, atau para pejabat kraton mulai mengenakan pakaian jas dan pantalon, seperti lazimnya orang-orang kafir, maka Sentot menuruti jejak Pangeran Diponegoro dan Kiai Modjo yang mengenakan pakaian jubah dan surban sebagai identitasnya. Ini juga sekaligus maklumatnya kepada rakyat Mataram jika dirinya merupakan bagian dari kaum Muslimin dunia, yang siap mati syahid demi tegaknya kalimat tauhid di seluruh muka bumi.


“Alhamdulillah, apa yang dikabarkan oleh Ki Guntur insya Allah benar...,” ujar Kiai Modjo menanggapi. “...Saya mengenal Adinda Sentot dengan baik. Sejak lama dia memang telah mempersiapkan diri dan juga menyusun pasukannya untuk bergabung dengan kita, untuk mengusir penjajah kafir dari Bumi Mataram. Dengan adanya Sentot, insya Allah kita akan semakin kuat. Anak muda itu memiliki wawasan dan kecakapan perang yang hebat...” 


            Pangeran Diponegoro mengangguk-angguk. Demikian pula dengan Pangeran Bei yang menjadi panglima tertinggi pasukan Diponegoro, dan juga yang lainnya.


            “Ya, itu benar Kiai. Saya mengenalnya dan mengagumi banyak hal yang ada pada dirinya. Jika semuanya berkenan, saya ingin Sentot memimpin pasukan kita semua di dalam peperangan,” ujar Pangeran Bei dengan wajah bersungguh-sungguh. “Apakah ada pendapat lain?”


            Ustadz Taftayani menjawab, “Insya Allah, peperangan ini adalah peperangan untuk menegakkan La Illaha ilallah, menegakkan ketauhidan, di bumi kita. Saya yakin, seorang Sentot Prawirodirdjo akan menjadi Usamah bin Zaid bin Haritsah[1] di dalam barisan ini. Bismillah...”


            “Ya, bi idznillah, Ustadz. Dengan izin Allah..,” ujar Diponegoro.
            “Paman Mangkubumi, bagaimana dengan perkembangan pasukan kita di lapangan?” tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi.


            “Pertempuran masih berlangsung hingga pagi tadi di Tegalredjo. Rakyat di sana bangkit melawan kafir Belanda. Bukan hanya yang ada di Tegalredjo dan sekitarnya, namun banyak laskar yang terus mengalir ke sana untuk mengusir kafir Belanda dan antek-anteknya itu. Di berbagai desa, laskar-laskar baru bermunculan. Mereka dipimpin para ulama, pendekar, demang, atau jagoan setempat. Mereka telah berjanji setia pada garis perjuangan di jalan Allah ini...”


            Pangeran Mangkubumi terdiam sebentar. Setelah menegakkan punggungnya, dia melanjutkan laporannya. “Pangeran, pasukan kita sendiri sudah berada di posisinya masing-masing. Kafir Belanda yang ada di Yogyakarta juga sudah meminta bantuan pasukan dari Semarang dan Magelang. Legiun Mangkunegaran juga sudah mengirimkan kembali pasukannya untuk membantu kaum kafir itu.”


            Pangeran Ngabehi Djayakusumah terlihat geleng-geleng kepala. Dia tidak habis pikir dengan orang-orang Mataram sendiri, juga para pejabatnya, yang malah berpihak pada kafir Belanda, bukan memihak pada rakyatnya sendiri dan Allah. Padahal banyak dari para antek kafir Belanda itu yang sudah memeluk Islam sebagai agamanya.


            “Pangeran Bei...,” ujar Mangkubumi.
            “Ya, saudaraku...”


“Saya juga dapat kabar dari Pisangan, jika laskar yang dipimpin Mulyo Sentiko sudah siap menghadang pasukan bantuan kafir Belanda yang datang dari arah Magelang. Menurut kabar dari telik sandi kita, pasukan itu juga membawa uang dalam jumlah besar yang diberikan Residen Magelang kepada Residen Yogyakarta. Beberapa orang kita malah turut sebagai kuli angkut yang berada di dalam barisan kafirin itu..”


Pangeran Bei mengangguk-angguk senang, “Berapa jumlah pasukan bantuan kafir itu?”
“Sekitar duaratusan prajurit, terdiri dari pasukan infanteri dan kavaleri, dipimpin seorang kapten Belanda.”


“Dan jumlah laskar Mulyo Sentiko?”
“Paling banyak seratusan. Tapi laskar-laskar setempat sudah menggabungkan diri dengannya.”


Pangeran Bei terdiam sesaat. Kemudian dia berkata pada yang lainnya. “Saudara-saudaraku semua, insya Allah, kita semua sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Kita akan menggunakan strategi perang Dhedhemitan atau Gebag ancat nrabas geblas[2]. Kita akan serbu atau sergap pasukan kafir itu, lalu dengan cepat menghilang ke hutan-hutan. Kita akan gunakan hutan sebagai benteng alam. Insya Allah, orang-orang kafir itu akan kalah!”


“Dan satu lagi Pangeran...,” ujar Kiai Modjo dengan suara yang berwibawa. Ulama yang disegani dari wilayah Modjo, Surakarta, itu kemudian mengeluarkan secarik kertas yang dilipat empat dari saku jubahnya dan membukanya.


“Selebaran ini saya dapat dari seorang prajurit saya. Dia bilang di Yogyakarta dan sekitarnya sudah banyak tertempel selebaran seperti ini subuh tadi. Isinya mengatakan jika Pangeran Diponegoro adalah penjahat dan pasukannya terdiri dari para kriminal dan tahanan yang lari dari penjara, yang telah disulap seolah-olah pasukan santri dan ulama. Kita dituding sebagai orang-orang yang memperalat agama demi mencapai ambisi kekuasaan duniawi. Dan siapa pun yang bergabung dengan kita, akan dianggap sebagai penjahat dan akan diperangi oleh Belanda. Ini jelas buatan Belanda atau antek-anteknya semacam Danuredjo itu. Bagaimana pendapat sinuhun sendiri?”


Pangeran Ngabehi menerima selebaran itu yang diserahkan oleh Kiai Modjo kepadanya. Setelah membacanya sebentar, selebaran itu kemudian diserahkannya kepada Pangeran Diponegoro.  


“Aku sudah menduga jika kafir Belanda tidak saja menyerang kita secara fisik, tetapi juga berusaha menghancurkan kita lewat cara-cara seperti ini. Sejarah sudah mengajarkan kepada kita jika musuh-musuh Allah senantiasa menggunakan berbagai macam cara untuk melenyapkan api tauhid ini untuk selama-lamanya. Ini adalah bagian dari Ghouz al fikri, perang urat syaraf. Allah subhana wa ta’ala di dalam al Qur’an telah memperingatkan kita semua akan hal ini..,” papar Diponegoro yang kemudian menyerahkan selebaran itu kepada Ustadz Taftayani. Setelah membacanya sebentar, guru agama yang sudah mendidik Diponegoro sejak usia kanak-kanak di Pesantren Mlangi dekat dengan Puri Tegalredjo itu berkata,
“Selebaran berisi fitnah seperti ini mengingatkan kita pada satu episode dalam siroh Rasul shalallohu wa alaihi wassalam tentang berita dari kaum fasik. Adalah Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith, yang diutus Rasulullah untuk mengambil zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar, seperti diriwayatkan Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya. Padalah sesungguhnya al-Walid tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Rasulullah marah. Namun Beliau harus mengecek kebenaran berita itu. Rasulullah lalu mengutus Khalid untuk mengecek kebenarannya. Ternyata al-Walid terbukti berdusta. Peristiwa ini menyebabkan Allah subhana wa ta’ala menurunkan firman-Nya seperti yang tercatat di dalam surat al-Hujurat ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Ayat ini, seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir, termasuk ayat yang agung, karena berisi pelajaran yang amat penting agar umat tidak mudah terprovokasi oleh fitnah atau berita dusta, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya, tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar fitnah. Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surat Al-Hujurat, surat yang sarat dengan pesan etika, moral, dan prinsip-prinsip mu’amalah. Insya Allah Pangeran, para ulama kita akan membimbing saudara-saudara kita, rakyat Mataram sampai ke desa-desa, agar tidak mudah percaya dengan selebaran-selebaran yang dibuat oleh orang kafir dan kaum murtadin semacam ini. Fitnah ini tidak akan mengurangi kekuatan kita sedikit pun!”


“Ya, Ustadz. At-Tabayyun minaLlah wal ‘ajalatu Minasy Syaithan, sikap tabayun[3] merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan,” jawab Diponegoro. []


[1] Usamah bin Zaid bin Haritsah adalah panglima pasukan Rasulullah SAW yang masih sangat muda, usianya belum 20 tahun ketika memimpin pasukan kaum Muslimin dalam membebaskan beberapa negeri. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Usama_ibn_Zayd
[2] Istilah ini merupakan prinsip-prinsip dari Perang Gerilya.
[3] (Bahasa Arab) Tabayyun lebih kurang berarti cek dan ricek.

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...