Kamis, 12 Juli 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (17)

Di dalam masjid, Diponegoro membuka musyawarah dengan memaparkan perkembangan paling baru dari pergerakan musuh.

            “Dari lapangan, saya mendapatkan informasi jika Residen Yogya dan Patih Danuredjo sedang menyiapkan pasukan yang dipusatkan di kraton. Mereka juga memanggil sejumlah pasukan bantuan, baik dari pasukan pribumi seperti Legiun Mangkunegaran, suku Alifuru, Tidore, Ternate, Buton, maupun dari pasukan reguler kafir Belanda dari Semarang, Magelang, dan Surakarta...”


            Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. “Huffhhh.... ternyata banyak pula saudara-saudara seiman kita, orang-orang Islam, yang mau mempertaruhkan nyawanya demi membela kafir Belanda. Mereka ini nyata-nyata telah menukar agama Allah dengan dunia, dengan harga yang amat murah...!”

            “Ya, paman. Saya juga sedih dengan kenyataan ini. Tapi itulah faktanya. Banyak orang yang mengaku Islam, namun ternyata loyalitasnya bukan kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan kepada thagut. Mereka mengerjakan sholat, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji berkali-kali, namun semua itu ternyata belum cukup, mereka belum memahami Islam secara kafaah-syumuliyah, sehingga mereka sesungguhnya tetap dalam kejahilannya...,” jawab Diponegoro.

            “Dan hal ini akan terus terjadi sepanjang sejarah umat manusia...”

            “Benar, paman. Musuh kita bukan hanya kaum kafir, kaum musyrik, tetapi juga orang-orang munafik dan orang-orang jahil. Orang-orang yang mengaku Islam namun membela thagut, atau hidup dengan melayani kepentingan thagut, sesungguhnya mereka kaum munafik dan jahil. Kita harus memerangi mereka juga jika dakwah kita terhadap mereka tidak mereka perdulikan...”

            Ustadz Taftayani menyela, “Kanjeng Pangeran, bagaimana dengan kesiapan pasukan kita? Yang di sekitar sini maupun yang ada di luar Tegalredjo?”

            Pangeran Diponegoro mengangguk kemudian berkata, “Insya Allah, Ustadz. Allah akan selalu bersama kita. Sampai dengan sekarang, sudah banyak ulama, pangeran, kepala desa, dan beberapa sesepuh masyarakat yang menyatakan siap menolong agama Allah ini dengan bergabung ke dalam pasukan kita.”

            “Apakah jumlah pasukan kita sudah setara dengan kekuatan musuh, Kanjeng Pangeran?” tanya Senopati Mardhiko dari Magelang.  

            Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia kemudian menjawab, “Satu orang beriman yang berjihad di jalan Allah, akan bisa menghancurkan sepuluh prajurit musuh. Sepuluh orang beriman yang berjihad di jalan Allah, akan mampu menghancurkan seratus musuh. Mengapa kita takut jika jumlah kita lebih sedikit dibandingkan jumlah pasukan musuh Allah itu? Lupakah Kisanak dengan ibrah dari Perang Badr?”

            “Astaghfirullah al adziiim...,” seru Senopati Mardhiko. “Maafkan saya Kanjeng Pangeran...”

            Diponegoro menggelengkan kepalanya, “Tidak mengapa Senopati. Khilaf dan lupa adalah sifat kita semua sebagai manusia biasa. Apakah Kisanak masih ingat ibrah Perang Badar?”

            Mardhiko mengangguk, “Ya, saya masih ingat.”
            “Coba Kisanak paparkan secara singkat saja.”

            Senopati Mardhiko mulai bercerita, “Perang Badar adalah peperangan pertama Rasulullah menghadapi Musyrikin Quraisy. Kala itu jumlah pasukan Islam hanya tigaratus lebih sedikit, harus berhadapan dengan pasukan kaum Musyrikin Quraisy yang jumlahnya jauh lebih banyak, sekitar seribuan lebih. Pasukan Muslim juga kalah jauh dalam kelengkapan kuda, onta, dan persenjataan. Namun Allah telah berjanji sebagaimana di dalam surat Al-Anfal ayat 65 yang berbunyi, “...Jika ada duapuluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orang  (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir...” Dan Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Dalam perang Badr, pasukan kaum Muslimin dapat menghancurkan pasukan musyrikin Quraisy yang jumlah dan kelengkapannya lebih banyak...”

            “Nah, sejarah sudah memperlihatkan kepada kita semua,“ ujar Pangeran Diponegoro. “...jika kita menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolong kita. Yakinlah, kita pasti menang.”

            Semua yang ada di situ mengangguk-anggukkan kepalanya. Pangeran Diponegoro melanjutkan, “Kafir Belanda dan antek-anteknya itu tidak punya kekuatan. Yang Maha Kuat hanyalah Allah subhana wa ta’ala. Dan jangan takut, lebih dari setengah pangeran, lebih dari setengah demang, dan sebagian besar rakyat ada di belakang kita. Dari informasi yang disampaikan para telik sandi kita yang disebar di mana-mana, mereka semua sudah mempersenjatai diri dan tinggal menunggu perintah. Dengan pasukan yang sangat kuat dan bantuan serta ridho Allah, insya Allah, kita akan meraih kemenangan!”

             “Allahu Akbar!” teriak Ki Singalodra. Yang lainnya pun meneriakkan takbir tersebut hingga memenuhi seluruh bagian masjid tersebut.

            “Dan saudara-saudaraku semua, para ulama, para pangeran, para demang, dan senopati, kita sudah menempatkan pasukan-pasukan kita di semua pos sekitar Tegalredjo ini. Kita sekarang hanya menunggu mereka, karena kita tidak ingin dianggap yang memulai perang...”

Pangeran Diponegoro kemudian membaca kembali ayat suci Al-Qur’an, kali ini surat Al-Hajj ayat 39 dan 40,

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa’”

            “Kalian semua, nanti malam beristirahatlah dengan cukup. Berjagalah bergantian. Sebab aku punya firasat jika besok akan menjadi hari yang melelahkan bagi kita semua. Bersiaga dan bersiaplah...”

            “Siap, Kanjeng Pangeran!” ujar para senopati.
            “Nah, sekarang kembalilah ke pos kalian masing-masing. Jika sesuatu yang paling buruk menimpa Puri Tegalredjo, maka semuanya sudah tahu kemana aku dan pasukan akan pergi.”

              Para senopati dan sesepuh yang lain pun meninggalkan masjid. Mereka kembali ke pasukannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyebar ke seluruh wilayah sekitar Tegalredjo. Satu jam lagi waktu maghrib akan tiba. Pangeran Diponegoro segera mengambil wudhu untuk kembali berzikir menjelang saat pergantian siang ke malam di dalam masjid. []
           
 Bab 19
  
NAFAS PANGERAN DIPONEGORO BEGITU TENANG dan teratur. Bibirnya yang selalu basah oleh zikir bergerak-gerak kecil. Kedua matanya dipejamkan. Tangan kanannya begitu khusyuk memilin butiran biji tasbih yang terbuat dari kayu asam jawa yang begitu langka. Putera Sultan Hamengku Buwono III ini kuat duduk bersila di dalam masjidnya semalaman penuh, diseling sholat tahajud yang panjang. Perutnya juga jarang diisi makanan dan minuman. Sejak remaja di bawah bimbingan Ratu Ageng, permaisuri dari Hamengku Buwono I, Diponegoro telah terbiasa melakukan puasa sunnah Daud, selang-seling sehari puasa sehari tidak.

            Di sisi lain, sejak remaja Diponegoro juga mendapatkan gemblengan yang begitu keras dan  penuh disiplin dari Ratu Ageng yang notabene mantan panglima tertinggi pasukan khusus pengawal raja Langen Kesuma. Selain Ratu Ageng, sejumlah pendekar dengan ilmu beladiri juga didatangkan untuk membekali cicit kesayangannya ini agar bisa menjadi manusia yang shalih, cerdas, serta kuat secara fisik dan mental.

            Sehabis menunaikan sholat Isya berjamaah, Pangeran Diponegoro terus saja berzikir di dalam masjid ditemani Ustadz Taftayani. Ki Singalodra dengan setia terus berjaga di shaft paling belakang masjid. Dia duduk bersandar di dinding. Sesepuh yang lain sudah kembali ke biliknya masing-masing. Sejumlah pasukan dengan senjata lengkap tampak terus bersiaga di depan gerbang dan di batas desa dalam kelompok-kelompok kecil. Tak hanya pasukan yang sudah terlatih, para lelaki Desa Tegalredjo juga tampak melakukan penjagaan secara bergantian.

Malam itu menjadi malam yang menegangkan. Udara malam hari yang biasanya sejuk bahkan dingin, berubah menjadi sangat gerah. Angin seolah tidak mau bertiup. Tanda-tanda alam seperti ini sudah dimaklumi banyak orang. Peristiwa besar pasti akan terjadi esok hari. Entah apa, hanya Allah Yang Maha Tahu. (Bersambung)

Sumber : Era Muslim.com

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...