Jumat, 29 Juni 2012

Novel : Untold History of Pangeran Diponegoro (9)


Para jamaah menganggukkan kepalanya.
            “Nah...,” lanjut Diponegoro, “...bagaimana dengan kita sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini? Jawabannya adalah: Pertama, kita harus paham terhadap Islam yang benar, yang haq, yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits palsu. Kita tegakkan Islam itu di dalam dada kita. Biarlah Islam menjadi satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua, tancapkan kuat-kuat cita-cita untuk bisa hidup di dalam kedamaian Daulah Islamiyah. Ketiga, untuk menggapai cita-cita itu, maka thagut dan seluruh pengikutnya harus kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan malah bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan dari thagut itu.





Seperti halnya perang yang akan kita lakukan di hari-hari ke depannya melawan kafir Belanda, maka bukan orang Belanda-nya yang kita musuhi, namun sistem thagut-nya yang kita perangi. Yang akan kita lakukan adalah perang sabil, perang di jalan Allah atau jihad fi sabilillah. Semua yang berjihad di jalan Allah tidak akan rugi. Jika kita mati maka pintu surga telah menanti, dan jika kita menang, maka kita akan hidup bahagia di dalam suatu negara yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran...”


“Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah...”


“Benar itu. Allah subhana wa ta’ala sendiri di dalam surat al-Baqarah ayat 120 berfirman, “Wa lan tardho ankal Yahudu wa Nasharo, hatta tata bi’an milatahum...” yang artinya, “Tidak akan pernah rela, tidak akan pernah sudi, tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua akan tunduk mengikuti, mematuhi, dan melaksanakan keyakinan mereka.
Kaum penjajah kafir tidak akan pernah mau pergi dengan sukarela dari tanah Islam ini. Sebab itu kita harus menghimpun segenap kekuatan untuk memerangi dan mengusir mereka dari tanah kita sendiri.


Tanah Yogyakarta, Tanah Jawa, adalah tanah milik kita yang diwariskan nenek moyang kita. Bukan tanah mereka. Tanah mereka ada di seberang samudera, nun jauh di Eropa sana. Sebab itu kita wajib mengembalikan mereka ke tanah mereka, ke kampung halaman mereka. Ini perang untuk menegakkan keadilan. Nanti setelah mereka kembali ke negerinya, maka kita akan bisa menciptakan satu negeri yang berkeadilan bagi semua rakyatnya berdasarkan tauhid. Inilah hakikat dari Daulah Islamiyah...”


 Tiba-tiba dari arah alun-alun depan terlihat seorang pemuda berlari mendekati masjid sambil berteriak-teriak,  “Kanjeng Gusti Pangeran! Kanjeng Gusti Pangeran..!”


            Pangeran Diponegoro dan seluruh jamaah masjid langsung melihat pemuda itu. Diponegoro mengenalinya sebagai salah seorang anggota pasukan Laskar Ki Joyosuto yang berasal dari Winongo.


            Diponegoro bertanya, “Ada apa Kisanak berlari-lari seperti itu?”        
“Kanjeng Pangeran! Mereka mematoki tanah makam!”


            “Ambil nafas dan hembuskan pelan-pelan. Tenangkan dirimu dulu. Jika sudah tenang, ceritakan dengan jelas...”


            Pemuda itu menuruti apa yang dikatakan Pangeran Diponegoro. Setelah menenangkan diri, walau nafasnya masih tersengal-sengal, dia mulai bercerita, “Tanah makam leluhur dan kebun Kanjeng Pangeran dipatoki Belanda. Mereka ingin membuat jalan dengan menerabas tanah itu Kanjeng Pangeran...”


            Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang. Lelaki yang biasanya lemah lembut itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.


“Pasti ini kerjaan Danuredjo!” desisnya.


            “Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?” ujar salah seorang pemuda yang lain.


            “Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami sudah siap bergerak!” pekik yang lain.


            Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir. Pangeran Diponegoro segera mengangkat kedua tangannya ke atas, berusaha untuk menenangkan semua pengikutnya.


            “Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian pagi ini kita sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan teratur dan tetap tenang, kita akan bersama-sama menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita, orangtua-orangtua kita. Saya sendiri akan berangkat memimpin barisan ini!”


            Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari mengambil Kiai Gentayu—nama dari kuda hitam dengan warna putih di ujung keempat kakinya—beserta Kiai Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan yang berasal dari Demak, dan menyerahkannya kepada Pangeran Diponegoro. Setelah mengambil keris dan menyelipkan di pinggang, dengan tangkas Sang Pangeran melompat naik ke atas Kiai Gentayu. Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-masing dan mengikuti Sang Pangeran.


            Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak terlalu jauh. Tidak sampai sepuluh menit tibalah mereka di areal pemakaman yang dipenuhi batu-batu nisan. Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek jalan raya, tertancap begitu saja di antara nisan-nisan makam leluhurnya. Bahkan ada sejumlah patok yang ditancapkan pas di bagian tengah makam, seakan sengaja dibenamkan ke perut leluhur yang ada di dalam tanahnya.


            Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti seluruh pengikutnya yang menyandang berbagai jenis senjata seperti keris, pedang, dan trisula. Sang Pangeran itu kemudian berlutut di depan kompleks malam. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang teramat sangat. Walau demikian dia mencoba untuk tetap tenang. Bibirnya komat-kamit berzikir. Diponegoro tampak berusaha keras menguasai dirinya dari kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga dirinya serasa diinjak-injak.


            Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut berlutut di sampingnya. Walau demikian, kedua matanya mengawasi keadaan sekitar dengan sikap sangat waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri di dekat mereka berdua.


            “Ki Guntur...,” bisik Diponegoro pelan.
            “Dalem, Kanjeng Pangeran...”
            “Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?”
            “Istighfar, Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita harus tetap berkepala dingin. Sebaiknya sekarang kita kembali saja ke Puri...”


            Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia memanjatkan doa barang sebentar. Kepalanya tertunduk ke tanah. Kemudian Diponegoro mengangguk pelan, “Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong kumpulkan para sesepuh dan senopati di masjid sekarang juga.”


            “Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan!”


            Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar. Di hadapan para pengikutnya yang kian bertambah banyak sehingga membentuk satu pasukan berkuda yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia berteriak lantang,


“Saudara-saudaraku semua, astaghfirullah al-adzim! Tanah makam leluhur kita telah dinodai. Harga diri kita telah dicederai. Mereka tidak saja menindas dan menyiksa saudara-saudara kita yang masih hidup. Para leluhur kita yang sudah mati pun mereka cemari. Sekarang juga, kita akan cabut semua patok-patok ini! Kita bakar! Kita ganti patok-patok itu dengan tombak di sekeliling tanah makam ini. Kita akan menyampaikan protes keras kepada kafir Belanda itu! Kita tunjukkan jika kita tidak pernah takut kepada orang-orang kafir itu. Allahu Akbar!”


            Pekik takbir Diponegoro disambut para pengikutnya dengan gegap gempita. Langit Tegalredjo pagi itu membahana dengan teriakan takbir. Cahaya matahari yang baru saja menyorot ujung-ujung dedaunan kalah panas dengan dendam amarah yang memenuhi seluruh rongga dada.


            “Sekarang kita semua bersiap! Bersiagalah! Siapa pun yang mencintai Islam sebagai agamanya, yang mencintai saya sebagai hamba dari Sang Khaliq, Allah subhana wa ta’ala, bergabunglah dalam barisan jihad ini. Mereka telah menantang kita, dan haram bagi kita untuk takut terhadap tantangan kafir Belanda itu! Bersiagalah. Tunggu perintah dariku. Siapkan perbekalan, urus isteri dan anak-anak. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Semuanya bisa saja terjadi kapan pun. Allah bersama kita!”


            “Allahu akbar!” Pekik takbir membahana sekali lagi.


            “Aku akan kembali ke Puri Tegalredjo. Siapkanlah diri kalian semuanya. Bismillah! Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”


            Setelah mengucapkan salam, Pangeran Diponegoro memacu Kiai Gentayu kembali ke dalam puri diikuti Ki Guntur Wisesa dan ratusan pengikutnya. Debu membumbung tinggi dari kaki ratusan kuda yang meninggalkan tanah makam. Suaranya benar-benar menakutkan.  


Ratusan pengikut Diponegoro yang lain tetap tinggal di tanah makam. Mereka bekerja cepat mencabuti patok-patok kayu tersebut dan menggantinya dengan tombak yang mengelilingi tanah makam. Patok-patok kayu Belanda yang jumlahnya ratusan itu kemudian dibakar hingga habis menjadi abu. 



Bab 6

TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan Paseban[1] Puri Tegalredjo telah dipenuhi para sesepuh dan senopati pasukan pengikut Diponegoro. Sejumlah laskar juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan berjubah putih. Mereka menutupi kepalanya dengan sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di dalam masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar pertemuan terbatas dengan sejumlah sesepuh dan pimpinan pasukan.


            “Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi yang baru saja datang dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.


            “Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah terang-terangan menantang kita dengan menodai tanah makam leluhur. Kita harus mempercepat persiapan pasukan dan segala sesuatunya.”


            “Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik Diponegoro. Basis adalah nama sandi bagi Gua Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas komando utama jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan. Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah yang mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat strategis tersebut. Dan Diponegoro mengakui jika Gua Selarong memang pilihan yang tepat.


            Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai Generalismus[2] Laskar Diponegoro menjawab, “Insya Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki Guntur Wisesa?”


                Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh terhadap Gua Selarong tersenyum dan menganggukkan kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian pula dengan jalur, sudah kita amankan...”


            “Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan penjagaan duapuluh empat jam, tidak saja di lingkar tiga, namun juga lingkar dua, dan satu.”


            Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang lainnya. Sebagai pemuda yang sejak kecil digembleng banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk dasar-dasar kemiliteran, Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah mempersiapkan sistem pertahanan menghadapi pasukan Belanda jika sewaktu-waktu perang meletus dengan Puri Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu ketika dia masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton bersama Pangeran Mangkubumi.


Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan radius yang berbeda. Gelang terluar berjarak empat kilometer dari Puri Tegalredjo yang disebut sebagai lingkar tiga, gelang kedua berjarak dua sampai dua setengah kilometer dari Puri dengan sandi lingkar dua. Dan lingkar satu sejauh satu setengah kilometer dari poros utama. Masing-masing lingkar dijaga oleh pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya dihubungkan dengan jalur komunikasi dan juga logistik, sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.    


            Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki pasukan telik sandi atau mata-mata yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan dari berbagai macam usia. Pasukan telik sandi ini dikirim berpencar ke seluruh penjuru mata angin mengepung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam di pihak musuh.


            “Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir Belanda tidak akan lama lagi meletus. Tolong perempuan dan anak-anak diamankan dahulu, keluarkan mereka dari Tegalredjo. Namun itu harus dilakukan dengan diam-diam. Saya tidak ingin mereka menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan juga pasukannya Danuredjo. Sedikit demi sedikit  para perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa ini,” ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang senopati yang bertanggungjawab terhadap keamanan sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.


            Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng Pangeran. Segera saya laksanakan.”


            “Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit supaya pergerakan ini tidak menimbulkan kecurigaan di pihak musuh. Tolong sampaikan pada para senopati yang lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk bahu Joyokirno.


            “Inggih, Kanjeng Pangeran...”
            “Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu...”


            Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit, dia segera melompat ke atas kudanya dan melesat meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali ke pasukannya yang berjaga tigaratusan meter setelah pintu desa di sebelah utara.


            “Ustadz...,” panggil Diponegoro kepada Ustadz Taftayani yang sedang meneliti peta sederhana kota Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai masjid. Ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di dekat Tegalredjo itu mendekat.


            “Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang lainnya?”


            Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah mereka juga sudah siap. Bahkan saya dengar jika Kiai Modjo juga tengah mengadakan konsolidasi dengan pasukan-pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak para alim-ulama dan sesepuh desa ke berbagai daerah di sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk bergabung dengan kita.”


            Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah kita akan tetap dengan formasi sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”


            Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak segera menjawab. Diponegoro memang telah membagi wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah komandemen, yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang komandan. Khusus Madiun, wilayah ini dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah berhitung, satu daerah komandemen memiliki lebih kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan senjata. Mereka harus menjadi pasukan yang mandiri dan terlatih dengan baik, walau tongkat komando tetap berada di tangan Pangeran Diponegoro.          “Bagaimana, Ustadz?” tanya Diponegoro lagi.


             “Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah cukup. Nanti kita lihat perkembangannya kemudian. Bukankah dalam peperangan organisasi hanyalah suatu ikatan yang teramat lentur? Semuanya tergantung pada improvisasi para pemimpin di lapangan dan kecepatan dalam bertindak tepat. Itu yang penting.”


            “Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal perang yang sebentar lagi akan meletus?”


            “Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri. Jangan sampai kita dituding sebagai pihak yang memulai perang. Kita bertahan saja dahulu. Tentang pancingan atau mungkin jebakan yang dilakukan Belanda dan Patih Danuredjo, yang menancapkan patok-patok di tanah makam, sebaiknya Pangeran mengirim nota protes kepada Residen Smissaert...”


            “Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota protes dan minta agar kafir Belanda menghentikan proyek itu atau mengubah arah jalan yang akan dibuat sehingga tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya minta agar residen kafir itu segera memecat Danuredjo.”


            “Ya, itu bagus. Saya setuju...”
            “Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan siapkan surat sekarang juga untuk diantar ke residen kafir itu.”


            Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan Diponegoro. Pemuda keturunan Cina ini asli Pekalongan yang telah bergabung dengan Diponegoro sejak awal perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun 1820-an.


            Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar masjid untuk memanggil pemuda yang dimaksud. Tak lama kemudian guru ngaji itu datang bersama seorang pemuda berkacamata bulat yang mengenakan baju koko dan songkok putih.


            “Ahmad...,” ujar Diponegoro setelah menjawab salam pemuda itu, “...Saya akan tulis surat. Nanti tolong antarkan langsung ke Residen Smissaert. Pastikan dia yang menerimanya...”


            “Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.”
            “Tunggu sebentar disini.” (Bersambung)


[1] Bahasa Jawa: Tanah atau Lapangan yang cukup luas.
[2] Panglima Besar.
[3] Bahasa Jawa: Utara.

"Mama, Jangan Benci Aku"

Kisah ini benar adanya dan saya menulisnya dengan hati yang dalam supaya kejadian ini menjadi pelajaran untuk kita semua supaya jangan ter...